BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi
hukum dan keadilan bukan masalah sederhana. Masalahnya sangat luas dan
kompleks. Masalah kualitas penegakan hukum dan kebijakan penanggulangan
kejahatan masih merupakan masalah yang mendapat sorotan tajam di era reformasi.
Penegakan hukum pada dasarnya merupakan kewajiban setiap anggota masyarakat.
Namun dalam proses penyelenggaraannya lebih menekankan mekanisme bekerjanya
aparat penegak hukum, mulai dari proses penyelidikan-penyidikan, penangkapan
dan penahanan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan. Namun perlu diketahui
bahwa banyaknya aparat penegak hukum yang tersandung dalam lingkaran setan
kasus kriminal membuat kita sebagai masyarakat awam mulai meragukan kualitas
aparat penegak hukum sekarang ini.
Seperti
kasus Iptu Hendro (30) perwira pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa
Tengah ditangkap petugas dari Badan Narkotika Provinsi Jawa Tengah atas
kepemilikan narkotika jenis sabu. Penangkapan terjadi pada Senin 25 Februari
2013 malam di di Jalan Karangwaru, kawasan Lamper, Kecamatan Semarang Selatan.
Saat ditangkap, Iptu Hendro kedapatan membawa sabu seberat 1 gram. Parahnya penangkapan
tersebut sudah ketiga kali nya, sebelum nya tanggal 2 Mei 2009 Iptu Hendro menggunakan sabu-sabu
dan divonis 3 bulan, kemudian pada
tanggal 16 Januari 2010 Iptu Hendro disangka menjadi kurir narkoba. Namun
karena lemahnya bukti dan saksi Iptu Hendro pun akhir nya lolos dari jeratan
pidana[1].
Dari paparan kasus di atas, salah satu
sebab kejahatan yang bertalian dengan peredaran narkotika ini agak sulit
diberantas, karena kejahatan ini memiliki jaringan internasional yang bersifat
tertutup dan ekslusif[2].
Meski dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Iptu Hendro
telah dikenai pasal 112
dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun . Selain
itu Iptu Hendro
juga melanggar Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia no.pol:7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia yakni pasal 5 huruf c dan pasal 10 ayat (1) huruf c. Namun tersangka
Iptu Hendro hanya dijatuhi hukuman 3 bulan penjara, hal itu membuktikan adanya
diskriminasi terhadap pelaku tindak pidana. Padahal possisi dan kedudukan kita
di depan hukum itu sama tanpa melihat proporsi diri kita di depan hukum (Equality before the law).
Dengan dijatuhi nya pidana penjara
pendek bagi Iptu Hendro maka hal tersebut akan menjadi sebuah fenomena hukum
baru, yang mengakibatkan efek domino berkepanjangan apabila tidak tertangani
secara tepat dalam analisis kepastian hukum. Mengapa hal demikian sangat
penting, karena dampak narkotika sangat riskan sekali apabila telah menjadi
sebuah klausula hukum, ketika banyak masyarakat berpikiran aparat hukum saja
dihukum ringan ketika menyalahgunakan narkotika, apalagi hal tersebut
disalahgunakan oleh masyarakat awam.
Berdasarkan fakta-fakta dan urgensi
terhadap sanksi pidana penjara pendek pada aparat kepolisian tersebut, maka
penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam sebuah makalah yang berjudul
“Efek Domino Pidana Penjara Pendek Terhadap Terpidana Kasus Narkotika (Studi
Kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa
Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu”.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
implikasi penjatuhan pidana penjara pendek terhadap terpidana kasus narkotika?
(ditinjau dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma)
Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu).
2. Bagaimana
upaya progresif Pemerintah dalam penanganan kasus Narkotika di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1.Tujuan
Obyektif
a. Untuk
mengetahui implikasi dilaksanakannya penjatuhan pidana penjara pendek terhadap
terpidana kasus narkotika. (ditinjau dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama
Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika
Jenis Sabu).
b. Untuk
memberikan masukan penjatuhan pidana mati bagi terpidana kasus narkotika.
2.Tujuan
Subyektif
a. Melengkapi
tugas Ujian Kompetensi Dasar 1 hukum Pelaksanaan Pidana.
b. Menambah
wawasan bagi penulis dalam menanggapi isu hukum yang sedang berkembang dalam
masyarakat tentang pelaksanaan pidana penjara bagi terpidana kasus narkotika di
Indonesia.
D.
Manfaat Penulisan
a. Mampu
memberikan usulan tentang pemikiran penjatuhan pidana penajara mati bagi kasus
terpidana narkotika di Indonesia akibat adanya efek domino bagi keberlangsungan
kehidupan masyarakat serta kepastian hukum di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Implikasi
Penjatuhan Pidana Penjara Pendek Terhadap Terpidana Kasus Narkotika (Ditinjau
dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa
Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu)
1.
Penegakan
Hukum Pidana Narkotika
Di
dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika
didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman/bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri
dan dapat menimbulkan ketrgantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebgaimana terlampir.
Pembentukan
UU No.35 tahun 2009 bertujuan:
a. Menjamin
ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau/
pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
b. Mencegah,
melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika.
c. Memberantas
peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika dan,
d. Menjamin
Pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan Pecandu
Narkotika.
Dalam
Undang-Undang no.35 tahun 2009,
ketentuan pidana Narkotika (bentuk tindak pidana yang dilakukan serta
ancaman sanksi pidana bagi pelakunya) diatur dalam UU No.35 tahun 2009
tercantum dalam lebih dari 30 pasal, yaitu pasal 111 s.d pasal 142[3].
Dalam kasus Iptu Hendro, beliau dikenai ketentuan
pasal 112 UU no.35 tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)
(2) Dalam
hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman sebagaiman dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Namun
apa yang terjadi, Iptu Hendro ternyata dipidana 3 bulan penjara dan hanya di
mutasi akibat pelanggaran kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni:
Dalam Etika Kelembagaan setiap anggota POLRI Pasal 5 huruf a yakni Menjaga
citra dan kehormatan Lembaga Polri serta dalam etika Hubungan Dengan Masyarakat
pasal 10 ayat (1) huruf c yakni menghindarkan diri dari perbuatan tercela dan
menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran demi pelayanan pada
masyarakat[4].
Hal
itu yang memunculkan paradigma negatif
kepada masyarakat terkait kedudukan equality
before the law yang tidak berjalan maksimal, serta efek domino yang terjadi
adalah tidak berlangsungnya asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian sesuai
pemikiran Gustav Radburch di kehidupan
masyarakat. Efek Domino di sini terjadi apabila kasus aparat
kepolisian ini tidak ditangani secara
tegas, berimbas pada citra kepolisian, di masyarakat akan muncul stigma bahwa
masyarakat menganggap kasus narkotika itu memang penjatuhan hukuman pidana nya
itu ringan sehingga mereka beranggapan terjun dalam lingakaran setan narkotika itu wajar.
2.
Kritik
Terhadap Pidana Penjara Pendek
Pada
halaman 101, Rupert Cross pada intinya tidak setuju dengan pernyataan bahwa
“pidana-pidana pendek tidak efektif sebagai sarana pencegahan atau penangkal
individual” (short sentences are
ineffective as an individual deterrent”). Alasan nya: karena kenyataan
banyak orang yang dipidana penjara untuk pertama kali tidak kembali lagi ke
penjara, berdasarkan penelitian jumlah nya sekitar ¾ 75%.
Dari
jumlah itu diperkirakan kebanyakan dijatuhi pidana penjara 6 bulan atau kurang.
Oleh karena itu, beralasan untuk menganggap bahwa mereka tercegah (tidak
melakukan) pidana lagi karena pengalaman mereka di dalam penjara. (they were deterred by the experience of
imprisonment[5]).
Namun
apa kenyataannya di Indonesia hal itu tidak terbukti secara signifikan untuk
menanggulangi sebuah tindak pidana, justru dengan adanya pidana penjara pendek
menjadikan celah bagi orang-orang jahat untuk menganggap enteng tindak pidana
yang mereka lakukan.
B.
Upaya
Progresif Pemerintah Dalam Penanganan Kasus Narkotika di Indonesia
1.
Pro
Pidana Mati bagi Terpidana Kasus Narkotika
Menurut
Oemar Senoadji, bahwa selama negara masih meneguhkan diri, masih bergulat
dengan kehidupan sendiri yang terancam bahaya, selama tata tertib masyarakat di
kacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal
perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati.
Menurut
Bawazjir, bahwa pidana mati seumur hidup adalah lebih kejam, karena penderitaan
orang yang dijatuhi pidana ini adalah lebih hebat daripada penderitaan orang
yang dalam sekejap saja pindah ke alam baqa. Selain itu pidana penjara seumur
hidup dianggap tidak cukup menakutkan[6].
Di
luar KUHP, Undang-Undang yang di dalam nya mencantumkan pidana mati dapat
disebutkan antara lain:
·
UU no.12 Drt tahun 1951
·
UU no.21 Prp.Tahun 1959
·
UU no.31 tahun 1964
·
KUHP Militer
·
UU no.5 tahun 1997
·
UU no.22 tahun 1997
·
UU no.26 tahun 2000
·
UU no.31 tahun 1999 jo.UU no.20 tahun
2001
·
UU no.15 tahun 2003.
Meskipun
di dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia
merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan, maka pemberlakuan pasal 28 A
dan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 tidaklah berlaku mutlak dan absolut, akan
tetapi dibatasi oleh pasal yang lain, yaitu pasal 28J. Kedua pasal yang pertama
disebut sebgai landasan “Hak Asasi” sementara Pasal yang kedua sebagai landasan
“Kewajiban Asasi”[7].
Namun
bisa diulas kembali bahwa UU no.35 tahun 199 mengenai Narkotika tidak
ditegaskan mengenai hukuman mati bagi terpidana, padahal dampak narkotika
sendiri bagi generasi muda sekarang ini sudah sanagt merusak moral masa depan
Bangsa. Apalagi terkait kasus aparat penegak Hukum seperti Iptu Hendro yang
semakin mengkhawatirkan. Sedangkan di RUU KUHP Baru tahun 1999-2000,
perbuatan-perbuatan yang diancam pidana mati meliputi:
·
Makar terhadap Presiden dan Wakil
Presiden pada pasal 199
·
Pengkhianatan kepada
negara/mata-mata/kaki tangan negara asing pada pasal 204
·
Memberi Kemudahan terhadap Musuh Neagar
Dalam Waktu Perang pada pasal 218
·
Makar terhadap Wakil Negara Sahabat pada
pasal 231
·
Terorisme pada pasal 302.
Sehingga
tidak etis bila aparat penegak hukum yang hanya dihukum 3 bulan penjara
sedangkan upaya pemidanaan di UU.no.35 tahun 1999 ancaman maksimal nya 20 tahun
penjara, akhirnya bukan merasakan efek jera namun terlibat lagi dalam hal kasus
narkotika.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Implikasi
Penjatuhan Pidana Penjara Pendek Terhadap Terpidana Kasus Narkotika (Ditinjau
dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa
Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu) merupakan kesalahan dari para penegak hukum lainnya. Hal itu
terbukti dengan adanya hukuman pidana penjara pendek selama 3 bulan hal itu
tidak efektif untuk menimbulkan efek jera, justru malah menimbulkan
ketidakpastian hukum, ketidakadilan dan ketidakmanfaatan hukum yang tidak
maksumal. Memunculkan stigma negatif, masyarakat yang berpikiran bahwa di
Indonesia praktik diskriminasi masih
tumbuh subur.
2. Pidana
mati perlu dimasukkan dalam UU di luar KUHP khususnya UU No.35 tahun 1999
tentang Narkotika, mengingat karena arus Globalisasi serta kapitalisme yang
merasuk ke Indonesia, membuat generasi mudamakin terancam terjun ke lingkaran
setan barang haram tersebut. Meski di dalam BAB XA tentang Hak Asasi
Manusia merupakan rangkaian yang tidak
terpisahkan, maka pemberlakuan pasal 28 A dan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945
tidaklah berlaku mutlak dan absolut, akan tetapi dibatasi oleh pasal yang lain,
yaitu pasal 28J. Kedua pasal yang pertama disebut sebgai landasan “Hak Asasi”
sementara Pasal yang kedua sebagai landasan “Kewajiban Asasi”. Namun
kemaslahatan umat serta kepentingan umum yang dapat dihancurkan oleh narkotika
lebih penting dari hal pembunuhan kepada seseorang. Karena mengingat dampak nya
bukan hanya bersifat indiviudal melainkan komunal.
b.
Saran
1. Perlu
ada perubahan pemikiran dalam Konsep Uuno.35 tahun 1999 tentang Narkotika bahwa pidana mati merupakan
konsekuensi logis yang normatif bagi seseorang yang melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagai upaya untuk menghindari malapetaka
yang lebih besar dan berkedudukan sebagai pidana pokok. Pencantuman pidana mati
di laur pidana pokok (Bersifat khusus/istimewa), dapat menimbulkan kesan
seolah-olah pembentuk UU “ragu” untuk tetap mencantumkan pidana mati atau tidak
mencantumkannya sebagai salah satu jenis pidana. Kesan yang demikian akan
menurunkan kewibawaan hukum pidana yang berkarakter tegas dan pasti.
2. Diharapkan
ada pola Built in control oleh masyarakat dan aparat penegak hukum demi
terciptanya suatu sinergisitas penegkan hukum di Indonesia. Segera melapor atau
mengadu apabila ada tindak pidana kejahatan di lingkungan masyarakat. Serta
pengawasan terhadap sanksi penjatuhan pidana secara transparan kepada publik.
DAFTAR
PUSTAKA
JURNAL:
Agus
Raharjo, ”Profesionalisme
Polisi Dalam Penegakan Hukum,”
jurnal
Dinamika Hukum, vol.11
no.3 (September
2011), halaman
2
BUKU:
Andi
Hamzah dan Sumangelipu, 2006. Pidana Mati
di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Datang, Jakarta:Ghalia Indonesia
Aziz
Syamsuddin, 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta:
Sinar Grafika
Barda
Nawawi Arief, 2003. Kapita Selekta Pidana
. Bandung:Citra Aditya Bakti
Waluyadi,
2009. Kejahatan, Pengadilan dan Hukum
Pidana Bandung:Mandar Maju
Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia no.pol: 7 tahun 2006 tentang Kode
Etik Profesi POLRI
RUU
KUHP tahun 1999-2000
INTERNET:
Abdi
Purnomo, ”200
Polisi Terlibat Kasus Penyalahgunaan Narkoba,” http://beritajogja.co.id/2013/02/27/oknum-polisi-terlibat-kasus-narkoba/
di akses tanggal 22 Maret 2013 pukul 03.30 WIB
[1]Abdi Purnomo, ”200 Polisi Terlibat Kasus Penyalahgunaan Narkoba,” http://beritajogja.co.id/2013/02/27/oknum-polisi-terlibat-kasus-narkoba/ di akses tanggal 22 Maret 2013
pukul 03.30 WIB
[2] Agus Raharjo, ”Profesionalisme Polisi Dalam
Penegakan Hukum,” jurnal
Dinamika Hukum, vol.11
no.3 (September
2011), halaman
2
[3]
Aziz
Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011) halaman 90
[4] Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia no.pol: 7 tahun 2006 tentang Kode
Etik Profesi POLRI
[5]
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Pidana (Bandung:Citra
Aditya Bakti, 2003) halaman 40-41
[6] Andi Hamzah dan Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini
dan Masa Datang, Ghalia Indonesia, Jakarta, Halaman 39-40
[7]
Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana
(Bandung:Mandar Maju,2009) halaman 63-64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar