PENGAYAAN
URANIUM (NUKLIR) OLEH KOREA UTARA
TERKAIT
PENGGUNAAN SENJATA PERANG DALAM PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Oleh:
RISKA
EGA WARDANI / E0010308
A.
Pendahuluan
North Korea has
been characterized as isolationist, particularly its centralized economy, since
its inception in 1948 under a strict dictatorship. North Korea’s first
dictator, Kim Il - Sung, developed the principle of self-reliance, or juche, and strengthened the influence
of the professional military in national decision-making process. Kim Jong-Il,
North Korea’s second tyrant as well as Kim II-Sung’s son, further increased the
dominance of the fundamental principle of extreme self-reliance and
concentration of power in the military under the pressure of emerging signs of
regime collapse in the 1990s. Under the tight control of continuing brutal
dictatorship, the development of a nuclear weapons program has been a priority
of both North Korean dictators for several decades, implying North Korea’s firm
resolve to acquire nuclear capabilities. The development of a nuclear weapons
program gained momentum in the 1990s when Kim Jong-Il became the supreme leader
of the state, confronting a deteriorating economic condition and the collapse
of its vital ally, the Soviet Union (Terjemahan
bebas : Korea Utara
merupakan negara isolasionis, terutama dengan kebijakan ekonomi terpusatnya,
sejak didirikan pada tahun 1948 di bawah kediktatoran yang ketat. Diktator pertama Korea
Utara, Kim Il-Sung, mengembangkan prinsip kemandirian dan memperkuat pengaruh
militer dalam proses pengambilan keputusan. Kim Jong-Il lebih lanjut
meningkatkan dominasi prinsip dasar kemandirian yang lebih ekstrim dan
konsentrasi kekuasaan di militer. Di bawah kontrol ketat dari para diktator,
pengembangan program senjata nuklir telah menjadi prioritas Korea Utara selama
beberapa dekade. Pengembangan program senjata nuklir mendapatkan momentum pada
1990-an ketika Kim Jong Il menjadi pemimpin tertinggi negara, menghadapi
kondisi ekonomi yang memburuk dan runtuhnya sekutu vital, Uni Soviet) ( Yewon Ji, 2009 : 2)[1].
Korea Utara pada tahun 1985 ikut serta dalam NPT atau nuclear Nonproliferation Treaty, yaitu traktat yang bertujuan untuk
tidak akan memproses atau memperkaya nuklir di negaranya dengan persyaratan
bahwa Amerika menarik seluruh persenjataan nuklirnya dari Korea Selatan. Amerika
Serikat pada tahun 1991 menarik senjata nuklirnya dari Korea Selatan, dan pada
31 Desember tahun 1991 kedua Korea sepakat menandatangani South-North Joint Declaration on the Denuclearization of the Korean
Peninsula. Yaitu perjanjian dengan tujuan kedua negara tidak akan melakukan
uji coba, memproduksi, menerima, memiliki, menyebarkan, atau menggunakan
senjata nuklir serta memiliki alat untuk memproses dan memperkaya Uranium. Di
samping itu, kedua negara juga sepakat mengijinkan inspeksi terhadap
fasilitas-fasilitas nuklir di negaranya.
Tetapi pada 10
Januari 2003, Korea Utara mengeluarkan diri dari Perjanjian Non-profelasi
Nuklir (NPT). Dengan dinyatakannya keluar
dari NPT, maka isi dari perjanjian tersebut tidak berlaku bagi Korea Utara
sehingga Korea Utara bisa untuk melanjutkan program senjata nuklirnya.
Kemudian pada
Agustus 2003 digagaslah six-party talks
yang melibatkan Korea Utara, Korea Selatan, China, Rusia, Jepang, dan Amerika
Serikat. Pembicaraan ini meliputi masalah keamanan, normalisasi hubungan Korea
Utara dan Amerika Serikat, pembangunan light
water reactor, normalisasi perdagangan, dan pembongkaran senjata nuklir.
Pembicaraan ini berlangsung selama 6 kali sampai pada tahun 2009.
The Six-Party
Talks represents the latest phase in ongoing efforts to develop multilateral
cooperation in response to the greatest source of instability that the parties
in Northeast Asia collectively face; the prospect of instability that derives
from North Korea’s inability to integrate itself with a broader set of
collective interests in the promotion of stability and prosperity. The success
or failure of the Six-Party Talks will depend on the ability of all parties to
build a concrete record of shared cooperation in the service of jointly
identified objectives of denuclearization, political normalization, economic
development, and the establishment of a permanent peace in Northeast Asia. (Terjemahan bebas : The Six-Party
Talks merupakan tahap terbaru
dalam upaya-upaya
pengembangan kerjasama multilateral
dalam
menanggapi isu
ketidakstabilan di Asia Timur Laut; prospek
ketidakstabilan
berasal
dari ketidakmampuan
Korea
Utara untuk mengintegrasikan
dirinya dengan
kepentingan kolektif
dalam
mempromosikan stabilitas dan
kemakmuran.
Keberhasilan
atau
kegagalan dari Six-Party Talks akan
tergantung pada kemampuan
semua
pihak untuk membangun
catatan konkret
kerja
sama bersama
dalam
mencapai tujuan
bersama
mengenai denuklirisasi,
normalisasi politik,
pembangunan ekonomi, dan pembentukan
perdamaian
yang permanen di
Asia
Timur Laut)[2].
Biasanya negara-negara mengembangkan senjata nuklir dengan
sangat rahasia untuk menghindari intervensi luar. Namun rejim Korut melakukan
hal yang sebaliknya, pada tahun 2005 Korea Utara mengakui secara terang-terangan keinginan mereka
untuk menjadi negara nuklir dan telah memiliki sejumlah
senjata nuklir aktif yang tidak digunakan untuk kepentingan publik dan
perdamaian tapi untuk kepentingan militer.
Untuk menunjang
kekuatan militer konvensional yang lemah, maka Korea Utara berusaha untuk
mengembangkan nuklir. Program nuklir yang dilakukan Korea Utara memiliki
tujuan:
1. Meningkatkan
kekuatan untuk mencapai posisi setara dengan Korea Selatan.
2.
Menambah kewibawaan dan pengaruh Korea Utara dalam hubungan antar negara di
dunia.
3.
Digunakan sebagai sarana pemerasan agar mendapatkan keuntungan dari Korea
Selatan.
4.
Sebagai strategi penyeimbang terhadap persenjataan
Korea Selatan.
Kemudian pada 09
Oktober 2006, Korea Utara berhasil melakukan uji coba nuklir pertamanya, yang
diuji pada sebuah terowongan di pantai timur, dan ledakan yang terjadi
menimbulkan gempa berkekuatan 4,2 Mb (body
wave magnitude) yang langsung mendapatkan banyak protes dari negara
tetangga terdekatnya, yaitu Korea Selatan dan Jepang. Uji Coba ini dipandang
mengancam stabilitas regional, melanggar kehendak DK-PBB dan memukul
usaha-usaha non-proliferasi. Pada saat itu, Korea telah mendapat kecaman keras
dari masyarakat internasional dan PBB, untuk segera menghentikan program nuklirnya
dan secara damai kembali dalam NPT. Jika tidak, maka akan diadukan pada DK-PBB
untuk ditindak lanjuti.
Akhirnya pada
tahun 2008, Korea Utara akhirnya mau menuruti apa yang diharapkan masyarakat
internasional., tetapi dengan syarat-syarat tertentu terkait dengan latar
belakang mengapa Korea Utara melakukan pengembangan nuklir. Namun, pada Mei
2009, Korea Utara meluncurkan rudal diatas Jepang yang diklaim sebagai rudal
pengecek cuaca Taepodong-2 yang gagal dan jatuh di laut pasifik. Hal ini memicu
kemarahan dunia internasional terhadap Korea Utara, karena dengan nyata telah
menunjukkan adanya ancaman yang keras terhadap perdamaian dan ketentraman
negara lain.
Pengembangan
nuklir yang dilakukan Korea Utara ini menyebabkan wilayah Semenanjung Korea
selalu diliputi suasana permusuhan. Krisis nuklir Korea telah berlangsung
sebanyak dua kali. Pada tahun 1994 ketika reaktor Yongbyon telah berhasil
memproduksi bahan bakar, Korea Utara mengumumkan penarikan dirinya dari NPT (Non-Proliferation Treaty) dan memerintahkan
pemeriksa dari IAEA (International Atomic
Energy Agency) untuk meninggalkan Korea Utara. Krisis nuklir ini berakhir
dengan adanya kesepakatan Jenewa. Namun kemudian krisis nuklir kedua
Semenanjung Korea terjadi sejak tahun 2002 ketika Korea Utara mengakui telah
melakukan program pengayaan uranium.
Kepemilikan senjata nuklir Korea Utara menjadi isu yang sangat penting,
selain masalah keamanan dunia, dikhawatirkan kepemilikan senjata nuklir ini
bisa berakibat munculnya perlombaan senjata nuklir di semenanjung Korea,
Jepang, dan Taiwan. Kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara mengancam Korea
Selatan secara langsung, perang Korea yang terjadi sejak tahun 1950 hingga 1953
belum resmi berakhir. Perjanjian antara Korea Utara dan Korea Selatan hanyalah
merupakan perjanjian gencatan senjata[3].
Sehingga bisa dikatakan sampai sekarang antara kedua Korea masih memelihara
status perang mereka. Bagaimanapun, kekhawatiran bukan berasal dari serangan
langsung yang mungkin dilakukan oleh Korea Utara terhadap Korea Selatan, Jepang
maupun Amerika Serikat, melainkan penjualan senjata nuklir ke pasar gelap,
seperti yang sudah dilakukan oleh Korea Utara di masa lalu yang menjual senjata
nuklirnya di negara-negara Timur Tengah. Tercatat bahwa Korea Utara memiliki 10
hulu ledak nuklir.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Nuklir
Nuklir
adalah sesuatu yang berhubungan dengan atau menggunakan inti ata energi
(tenaga) atom[4]. Perkembangan
teknologi nuklir tidak terlepas dari kondisi dan situasi politik dunia, yang
pada saat terjadinya Perang Dunia menyebabkan perkembangan teknologi nuklir
mengarah kepada pembuatan senjata untuk perang berupa bom nuklir. Bermula dari
kenyataan inilah nuklir seringkali dikaitkan dengan senjata[5].
Senjata
nuklir merupakan alat peledak yang kekuatannya dapat merusak yang berasal dari
reaksi nuklir baik yang berupa reaksi fusi dan fisi. Senjata nuklir modern hanya
mempunyai seribu kilogram, namun mampu menghasilkan ledakan yang sebanding
dengan milyaran kilogram bahan peledak konvensional yang berdaya ledak tinggi
misalnya TNT (Trinitrotoluene / bahan
peledak kimia). Bahkan sebuah senjata nuklir yang hanya seukuran peledak biasa,
mampu meluluh lantakan seluruh kota dengan ledakan, api dan radiasi yang
dihasilkannya[6].
Dalam
fisika, fusi nuklir (reaksi termonuklir) adalah sebuah proses saat dua inti
atom bergabung, membentuk inti atom yang lebih besar dan melepaskan energi,
fisi nuklir adalah sebuah proses di mana terjadi pembelahan inti atom yang
berat akibat ditumbukkan oleh neutron, pembelahan ini menghasilkan energi, dengan
ukuran tertentu dan dengan menembakkan neutron dua hingga tiga kali ke inti
atom, sehingga menyebabkan reaksi berantai dan reaksi berantai inilah yang
mengeluarkan energi yang sangat besar.
2.
Bahaya
Nuklir
Kecelakaan
nuklir diakibatkan oleh energi yang terlalu besar yang seringkali sangat
berbahaya. Pada sejarahnya, insiden pertama melibatkan pemaparan radiasi yang
fatal dan aplastik anemia yang merupakan hasil dari pemaparan nuklir tingkat
tinggi berakibat sampai meninggal. Dua peneliti Amerika, Harry Daghlian dan
Louis Slotin, meninggal akibat penanganan massa plutonium yang salah. Tidak
seperti senjata konvensional, sinar yang intensif, panas, dan daya ledak bukan
satu-satunya komponen mematikan bagi senjata nuklir. Diperkirakan setengah dari
korban meninggal di Hiroshima dan Nagasaki meninggal setelah dua hingga lima
tahun setelah pemaparan radiasi akibat bom atom.
Kecelakaan
radiologis dan nuklir sipil sebagian besar melibatkan pembangkit listrik tenaga
nuklir. Yang paling sering adalah pemaparan nuklir terhadap para pekerjanya
akibat kebocoran nuklir. Kebocoran nuklir adalah istilah yang merujuk pada
bahaya serius dalam pelepasan material nuklir ke lingkungan sekitar. Kecelakaan
militer biasanya melibatkan kehilangan atau peledakkan senjata nuklir yang
tidak diharapkan. Percobaan Castle Bravo di tahun 1954 menghasilkan ledakan
diluar perkiraan, yang mengkontaminasi pulau terdekat, sebuah kapal penangkap
ikan berbendera Jepang (dengan satu kematian), dan meningkatkan kekhawatiran
terhadap kontaminasi ikan di Jepang. Di
tahun 1950an hingga 1970an, beberapa bom nuklir telah hilang dari kapal selam
dan pesawat terbang, yang beberapa di antaranya tidak pernah ditemukan. Selama
20 tahun terakhir telah jadi pengurangan kasus demikian.
Radioaktif
adalah sejenis zat yang berada di permukaan atau di dalam benda padat, cair
atau gas yang kehadirannya berbahaya bagi tubuh manusia. Radioaktif berasal
dari radionuklida (radioisotop) sebuah inti tak stabil akibat energi yang
berlebihan.
3.
Pengaturan
Internasional Mengenai Nuklir
a.
Perjanjian
Internasional yang Mengatur Pemanfaatan Tenaga Nuklir
Melalui
IAEA lahir perjanjian internasional yang mengatur pemanfaatan dan perkembangan nuklir , antara
lain:
1. Traktat
Pelarangan Menyeluruh Uji-coba Nuklir (Comprehensive
Test Ban Treaty)
Sebuah
perjanjian Internasional yang melarang semua kegiatan peledakan nuklir dalam
semua lingkungan baik untuk tujuan militer maupun sipil.
Perjanjian
ini selesai pada bulan Juni 1996 di Konferensi Perlucutan Senjata di Jenewa,
namun baru dapat di adopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 September 1996, dan
terbuka untuk ditandatangani pada 24 September 1996 di Markas Besar PBB yang
pada waktu itu ditandatangani oleh 71 Negara termasuk didalamnya 5 dari 8
negara berkemampuan nuklir. Pada tanggal 10 September 2006, perjanjian ini
telah ditandatangani oleh 176 negara dan sudah diratifikasi oleh 135 negara.
Dibawah
pasal XIV, traktat belum berlaku jika tidak ditandatangani dan diratifikasi
oleh 44 Negara pemilik reaktor nuklir yang tercantum dalam Annex 2. Daftar
Annex 2 terdiri dari negara-negara yang secara resmi berpartisipasi dalam
sidang Konfrensi Perlucutan Senjata 1996, dan yang ada dalam Tabel 1 edisi
Desember 1995 “Nuclear Research Reactor
in the World” dan Tabel 1 edisi April 1996 “Nuclear Power Reactors in the World” yang keduanya dihimpun oleh
Badan Tenaga Atom (IAEA). Sesuai pasal XIV (2), jika traktat belum juga berlaku
“tiga tahun setelah tanggal dibukanya penandatanganan”, suatu konfrensi khusus
negara-negara yang telah meratifikasinya dapat diselenggarakan untuk memutuskan
langkah-langkah apa yang akan di ambil guna mempercepat proses ratifikasi dan
guna memfasilitasi berlakunya traktat.
Ke-44
Negara yang harus menandatangani dan meratifikasi agar traktat ini berlaku
secara resmi adalah Aljazair, Argentina, Australia, Austria, Bangladesh,
Belgia, Brasil, Bulgaria, Kanada, Chili, Republik Rakyat Tiongkok, Kolombia,
Korea Utara, Republik Demokrasi Kongo, Mesir, Finlandia, Perancis, Jerman,
Hongaria, India, Indonesia, Iran, Israel, Italia, Jepang, Meksiko, Belanda,
Norwegia, Pakistan, Peru, Polandia, Korea Selatan, Romania, Rusia, Slowakia,
Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Kerajaan Bersatu,
Amerika Serikat dan Vietnam.
b.
Perjanjian
Nonproliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty)
Perjanjian
yang ditandatangani pada 1 Juli 1968 yang membatasi kepemilikan senjata nuklir.
Perjanjian ini memiliki tiga pokok utama, yaitu nonproliferasi, perlucutan dan
hak untuk menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai.
1) Pokok
pertama: Non-Proliferasi
Hanya ada lima
negara (Perancis, Republik Rakyat Tiongkok, Uni Soviet, Britania Raya dan
Amerika Serikat) yang memiliki senjata nuklir saat perjanjian ini dibuka dan
juga termasuk lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Lima negara pemilik
senjata nuklir (Nuclear Weapon States/NWS) setuju untuk tidak mentransfer
teknologi senjata nuklir maupun hulu ledak nuklir ke negara lain, dan negara
non-NWS setuju untuk tidak meneliti atau mengembangkan senjata nuklir.
Artikel
1 : Negara-negara yang termasuk dalam
NWS bersepakat untuk tidak mengirimkan senjata nuklir atau alat peledak nuklir
dan tidak dalam cara apapun untuk membantu, mendorong ataupun membujuk negara-negara
yang termasuk dalam NNWS untuk memperoleh senjata nuklir.
Artikel
2 : Negara-negara NNWS juga bersepakat
untuk tidak menerima, membuat atau mendapatkan senjata nuklir atau untuk
mencari atau menerima pertolongan dalam pembuatan senjata nuklir.
Artikel
3 : Negara NNWS juga sepakat untuk
menyetujui usaha perlindungan (safeguard)
dari Badan Energi Atom Internasional (International
Atomic Energy Agency) untuk memeriksa bahwa negara-negara NNWS ini tidak
mengalihkan energi nuklir yang bertujuan damai menjadi senjata nuklir atau alat
peledak nuklir lainnya
2) Pokok
kedua: Perlucutan
Diatur dalam
Artikel 6 dan Pembukaan Perjanjian menerangkan bahwa negara-negara NWS berusaha
mencapai rencana untuk mengurangi dan membekukan simpanan mereka. Di dalam
artikel 6 menyatakan “... Perjanjian dalam pelucutan umum dan lengkap dibawah
kendali internasional yang tegas dan efektif.” Sehingga, setiap negara berusaha
untuk mengejar negosiasi yang jujur dalam tindakan efektif berhubungan dengan
gencatan atau penghentian perlombaan senjata nuklir pada perjanjian sebelumnya
dan untuk perlucutan senjata nuklir.
3) Pokok
ketiga: Hak untuk menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai
Pokok ketiga
perjanjian memperbolehkan penambangan uranium dengan alasan bahan bakar, selain
itu perjanjian ini memberikan hak pada setiap negara untuk menggunakan tenaga nuklir
untuk kepentingan damai, dan karena populernya pembangkit tenaga nuklir yang
menggunakan bahan bakar uranium, maka perjanjian ini juga menyatakan bahwa
pengembangan uranium maupun perdagangannya di pasar internasional
diperbolehkan.
Negara-negara yang
menandatangani NPT boleh dan setuju untuk mentransfer teknologi nuklir untuk
program pengembangan energi nuklir sipil di negara-negara tersebut, selama
negara-negara tersebut bisa membuktikan dan mendemonstrasikan bahwa program
pengembangan teknologi nuklir mereka tidak digunakan untuk senjata nuklir. Hal
ini di atur dalam artikel 4 NPT[7].
b.
Penerapan
Sanksi Atas Pelanggaran dan Penyalahgunaan Pemanfaatan Tenaga Nuklir Menurut
Hukum Internasional
Bagi
negara-negara yang tergabung sebagai anggota IAEA melakukan pelanggaran dan
penyalahgunaan pemanfaatan tenaga nuklir maka akan dikenai sanksi menurut
ketentuan hukum internasional.
Negara-negara
yang diduga melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan pemanfaatan tenaga nuklir
akan dilakukan pemeriksaan oleh IAEA dan apabila selama pemeriksaan tersebut
diperoleh bukti-bukti dan keterangan yang mengarah kepada pelanggaran dalam hal
pemanfaatan tenaga nuklir oleh negara yang sedag diperiksa tersebut, maka IAEA
akan melaporkannya kepada Dewan Keamanan PBB. Apabila melalui perundingan yang
dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB dengan negara yang bersangkutan tidak
mendapatkan hasil yang diinginkan oleh Dewan Keamanan PBB serta sesuai dengan
ketentuan yang berlaku bagi anggota IAEA maka akan dikenai sanksi berupa
Resolusi Dewan Keamanan PBB berdasarkan laporan dan bukti-bukti serta
keterangan yang diberikan oleh IAEA.
4.
Motif
Penggunaan Nuklir di Korea Utara
Salah
satu negara yang mempunyai senjata nuklir adalah Korea Utara. Korea Utara
dicurigai mempunyai senjata nuklir yang terdeteksi melalui foto satelit yang dilakukan oleh
analis intelejen Amerika Serikat pada tahun yang sama di kota Yongbyon, mereka
mencurigai Korea Utara membangun program nuklir rahasia dan pihak Korea Utara
tidak memperbolehkan inspeksi terhadap pembangunan program nuklir yang
dikerjakan oleh Korea Utara.
Munculnya
isu nuklir Korea Utara tentunya memberikan kekhawatiran bagi masyarakat dunia
jika nuklir tersebut diaktifkan demi kepentingan perang. Namun, motif utama
dalam mengembangkan senjata nuklir itu masih belum jelas, sehingga dilihat dari
Nuklir sebagai “The Ultimate Weapon”,
ada 3 motif utama pengembangan Nuklir di Korea Utara, antara lain :
a. Regime Survival.
Secara teknis, perang Korea belum berakhir karena situasi perang Korea mereda
setelah ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Korea Utara tidak akan melupakan bagaimana Cina pada dekade 1950-an mengalami
tiga kali ancaman serangan nuklir dari Amerika Serikat. Akhirnya pada tahun
1964 Cina berhasil melakukan uji ledak senjata nuklir dan membuat AS mengkaji
ulang hubungannya dengan Cina.
b. Ekonomi.
Korea Utara menggunakan program nuklirnya sebagai instrumen untuk memeras
negara-negara di sekitarnya memberikan bantuan ekonomi. Di tahun 2003, Korea
Utara pernah mengutarakan niatnya mengembangkan senjata nuklir agar menghemat
pengeluaran bagi angkatan bersenjatanya. Dengan adanya nuclear deterrent, maka Korea Utara berharap dapat mengurangi
jumlah tentaranya yang mencapai 1,1 juta orang dan mengalokasikan lebih banyak
uang untuk ekonomi sipilnya.
c. Mengangkat status politik Korea
Utara di mata dunia. Korut selalu ingin bernegosiasi
langsung dengan AS dan bukannya Korea Selatan, yang dianggap hanya negara
boneka bentukan AS. Dengan bernegosiasi langsung dengan AS, Korut memberikan
sinyal pada dunia bahwa dirinya adalah lawan yang sepadan dengan AS[8].
5.
Analisis
Pengembangan Nuklir Korea Utara berdasarkan Pengaturan Internasional Nuklir
Korea
Utara pada tahun 1985 menandatangani perjanjian non-proliferasi yang menyatakan
bahwa negara yang menandatangani perjanjian ini tidak boleh mentransfer
teknologi senjata nuklir maupun hulu ledak nuklir ke negara lain, dan negara
non- Nuclear Weapon States setuju untuk tidak meneliti atau mengembangkan
senjata nuklir. Namun pada tahun 2003, Korea Utara keluar dari perjanjian
non-proliferasi.
Dengan
dinyatakannya keluar dari Nuclear
Non-Proliferation Treaty (NPT), maka isi dari perjanjian tersebut tidak
berlaku bagi Korea Utara sehingga Korea Utara bisa untuk melanjutkan program
senjata nuklirnya.
Berdasarkan
hal tersebut, Korea Utara tidak terikat pada NPT dan tidak dapat dianggap
melanggar ketentuan yang tercantum dalam NPT mengingat hukum internasional,
khususnya yang bersumber dari perjanjian internasional hanya dapat berlaku dan
mengikat suatu negara ketika negara tersebut telah meratifikasi perjanjian
internasional tersebut dan mengimplementasikannya dalam peraturan hukum
nasionalnya.
Namun,
tindakan pengembangan senjata nuklir yang dilakukan Korea Utara tidak dapat
dianggap legitimate. Karena berdasarkan
Resolusi Dewan Keamanan PBB 1874 tahun
2009 juncto Resolusi Dewan Keamanan
PBB 1718 tahun 2006 yang dibeberapa butir ketentuannya menyatakan bahwa :
2.
Demands that the DPRK not conduct any further nuclear test or any launch
using ballistic missile technology;
3.
Decides that the DPRK shall suspend all activities related to its ballistic
missile programme and in this context re-establish its pre-existing commitments
to a moratorium on missile launches;
5.
Demands that the DPRK immediately retract its announcement of withdrawal
from the NPT;
6.
Demands further that the DPRK return at an early date to the NPT and
International Atomic Energy Agency (IAEA) safeguards, bearing in mind the
rights and obligations of States Parties to the NPT, and underlines the need
for all States Parties to the NPT to continue to comply with their Treaty
obligations;
7.
Calls upon all Member States to implement their obligations pursuant to
resolution 1718 (2006), including with respect to designations made by the
Committee established pursuant to resolution 1718 (2006) (“the Committee”)
pursuant to the statement of its President of 13 April 2009 (S/PRST/2009/7);
8.
Decides that the DPRK shall abandon all nuclear weapons and existing
nuclear programs in a complete, verifiable and irreversible manner and
immediately cease all related activities, shall act strictly in accordance with
the obligations applicable to parties under the NPT and the terms and
conditions of the IAEA Safeguards Agreement (IAEA INFCIRC/403) and shall
provide the IAEA transparency measures extending beyond these requirements,
including such access to individuals, documentation, equipment and facilities
as may be required and deemed necessary by the IAEA;
Inti dari
kedua resolusi itu adalah embargo senjata kecuali senjata ringan beserta
bahan-bahan yang berhubungan dengan itu, embargo senjata nuklir, rudal
balistik, serta barang yang berhubungan dengan senjata pemusnah masal, larangan
ekspor barang-barang mewah ke Korea Utara, dan pembekuan aset-aset keuangan
yang berada diluar negeri.
Berdasarkan dua hasil Resolusi Dewan Keamanan PBB
serta mengingat bahwa sejak awal
krisis nuklir
kedua,
Korea Utara telah mengambil langkah
yang semakin memperburuk
situasi dengan menarik diri dari
NPT,
tidak membekukan fasilitas nuklir dan
kegiatan pengembangan nuklir,
mengumumkan
kepemilikan senjata
nuklir,
dan melakukan
uji coba nuklir[9],
maka Korea Utara seharusnya menghentikan semua aktifitas pengayaan uranium
karena telah mengancam kedamaian dan keamanan global.
Sedangkan
menurut Bagian III dari Protokol I mengatur soal cara dan alat berperang, soal
Kombatan dan tawanan perang. Akibat kerugian besar yang diakibatkan oleh
nuklir, maka bertentangan dengan pasal 35 tentang cara berperang dan pasal 36
tentang alat berperang yakni:
·
Setiap konflik bersenjata, hak dari
fihak-fihak dalam konflik untuk memilih atau menentukan cara atau alat
berperang dibatasi. (Ketentuan ini terdapat juga dalam pasal 22 Hague
Regulations.
·
Dilarang menggunakan senjata
proyektil-material dan metode berperang yang menimbulkan luka-luka yang
berlebihan (superfluous) dan
penderitaan yang tidak perlu.
·
Dilarang menggunakan alat atau cara
berperang yang, atau dapat diharapkan akan menyebabkan kerusakan
luas-hebat-berjangka panjang terhadap lingkungan hidup.
Menurut pasal 36 sudah barang
tertentu untuk mencegah jangan sampai negara peserta protokol mengembangkan
senjata yang dilarang oleh protokol ini. Manfaat dari pasal ini dapat diragukan
mengingat bahwa:
·
Yang menentukan apakah senjata itu
termasuk senjata terlarang atau tidak adalah negara yang memiliki senjata itu
sendiri.
·
Tidak ada sanksi bila negara yang
bersangkutan tidak memenuhi ketentuan tersebut[10].
Majelis
Umum Resolusi PBB 1653 (XVI) 1961 penggunaan senjata nuklir dan termonuklir
merupakan pelanggaran langsung atas piagam PBB yang mengakibatkan “penderitaan
menyeluruh dan kehancuran pada manusia dan peradaban serta bertentangan dengan
ketentuan hukum Internasional dan hukum Kemanusiaan.
C.
Penutup
Korea Utara merupakan negara isolasionis, sejak didirikan pada tahun 1948
di bawah kediktatoran yang ketat.
Di bawah kontrol ketat dari para diktator, pengembangan program senjata nuklir
telah menjadi prioritas Korea Utara, momentum pada 1990-an ketika Kim Jong Il
menjadi pemimpin tertinggi negara, menghadapi kondisi ekonomi yang memburuk dan
runtuhnya sekutu vital, Uni Soviet.
Korea Utara pada
tahun 1985 ikut serta dalam NPT atau Nuclear
Nonproliferation Treaty, Tetapi pada 10 Januari 2003, Korea Utara
mengeluarkan diri dari NPT. Dengan
dinyatakannya keluar dari NPT, maka isi dari perjanjian tersebut tidak berlaku
bagi Korea Utara sehingga Korea Utara bisa untuk melanjutkan program senjata
nuklirnya.
Berdasarkan dua hasil
Resolusi Dewan Keamanan PBB serta mengingat bahwa sejak
awal krisis
nuklir kedua,
Korea Utara telah mengambil langkah
yang semakin memperburuk
situasi dengan menarik diri dari
NPT,
tidak membekukan fasilitas nuklir dan
kegiatan pengembangan nuklir,
mengumumkan
kepemilikan senjata
nuklir,
dan melakukan
uji coba nuklir,
maka Korea Utara seharusnya menghentikan semua aktifitas pengayaan uranium
karena telah mengancam kedamaian dan keamanan global. Serta menurut Bagian III
dari Protokol I mengatur soal cara dan alat berperang, soal Kombatan dan
tawanan perang. Akibat kerugian besar yang diakibatkan oleh nuklir, maka
bertentangan dengan pasal 35 tentang cara berperang dan pasal 36 tentang alat
berperang.
Sampai saat ini pun berbagai perjanjian,
perundingan, dan kesepakatan sangat sulit menghentikan pengembangan senjata
nuklir Korea Utara. Six Party Talks yang selama ini merupakan
wadah negosiasi utama antara negara-negara Asia Timur dalam menyelesaikan
masalah pengembangan nuklir Korea Utara bahkan tidak banyak melakukan kemajuan.
Pembicaraan ataupun perjanjian yang ada seringkali mengalami kebuntuan.
Daftar Pustaka
Buku
Akhadi,
Mukhlis Akhadi. 1997. Pengantar Teknologi
Nuklir. Jakarta : Rineka Cipta.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
GPH.
Haryomataram. 1984. Hukum Humaniter.
Jakarta : CV Rajawali
Sriyono,
A. Agus. 2004. Korea Utara: Antara
Diplomasi dan Perang. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal
Choi,
Kang dan Joon-Sung Park. 2007. A Prospect
for US-North Korean Relations beyond the BDA Issue. International Journal
of Korean Unification studies. Vol 16, No 1.
Ji,
Yewon. 2009. Three Paradigms Of North
Korea’s Nuclear Ambitions. Journal of Political Inquiry. Issue 2.
Snyder,
Scott. 2007. Six-Party Talks : “Action
for Action” and the Formalization of Regional Security Cooperation in Northeast
Asia. International Journal of Korean Unification studies. Vol 16, No. 1.
Internet
Firmansyah,
Dian Firmansyah. 2010. Motif Nuklir Korea Utara Dan Prospek
Perdamaian Di Semenanjung Korea. (diakses pada http://hankamindonesia.wordpress.com/2009/04/29/motif-nuklirkorea-utara-dan-prospek-perdamaian-di-semenanjung-korea/
tanggal 14 Mei 2013 pukul 20.11 WIB)
Wikipedia.
2010. Non-Proliferation Treaty.
(diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Non_Proliferation_Treaty
tanggal 14 Mei 2013 pukul 20:46 WIB)
Wikipedia.
2010. Nuclear weapon. (diakses pada
http://en.wikipedia.org/wiki/Nuclear_weapon tanggal 14 Mei 2013 pukul 19.37)
[1] Yewon Ji, Three Paradigms Of North Korea’s Nuclear
Ambitions, Journal of Political Inquiry, 2009, Issue 2, hlm. 2.
[2] Scott Snyder, Six-Party Talks : : “Action for Action” and
the Formalization of Regional Security Cooperation in Northeast Asia,
International Journal of Korean Unification studies, 2007, Vol. 16 No. 1, hlm.
3.
[3] A. Agus Sriyono, Korea Utara: Antara Diplomasi dan Perang,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm. 88.
[4] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 618.
[5]
Mukhlis Akhadi, Pengantar Teknologi
Nuklir. Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 10.
[6] Nuclear weapon, 19 April
2010, http://en.wikipedia.org/wiki/Nuclear_weapon
diakses pada tanggal 4 Juni 2012 pukul 19.37.
[7] Non-Proliferation Treaty,
19 April 2010, http://en.wikipedia.org/wiki/Non_Proliferation_Treaty
diakses pada tanggal 4 Juni 2004 pukul 20:46 WIB
[8] Dian Firmansyah, motif nuklir Korea Utara dan prospek
perdamaian di semenanjung korea, 19 April 2010, http://hankamindonesia.wordpress.com/2009/04/29/motif-nuklirkorea-utara-dan-prospek-perdamaian-di-semenanjung-korea/
diakses pada tanggal 4 Juni 2012 pukul 20.11 WIB.
[9] Kang Choi dan Joon-Sung
Park, A Prospect for US-North Korean Relations
beyond the BDA Issue, International Journal of Korean Unification studies, 2007,
Vol 16 No 1, hlm. 121.
[10] GPH.
Haryomataram. 1984. Hukum Humaniter.
Jakarta : CV Rajawali hal. 138-139
Tidak ada komentar:
Posting Komentar