Rabu, 25 Februari 2015

ANALISIS PRODUK CDR (CALCIUM-D-REDOXON) TERKAIT HAK-HAK KONSUMEN di INDONESIA

ANALISIS PRODUK CDR (CALCIUM-D-REDOXON) TERKAIT HAK-HAK KONSUMEN di INDONESIA
Oleh:
RISKA EGA WARDANI / E0010308
Hukum Perlindungan Komsumen kelas A

Berikut gambar produk:

Analisis penulis:
1.      The right to safety
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dan barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani atau rohani. Sedangkan dalam barang dan jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha beresiko sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, maka Pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat.
Hak untuk mendapatkan keamanan, keselamatan, kenyamanan mengkonsumsi barang atau jasa. Bahwa di dalam produk produsen telah mencantumkan Kegunaan, peringatan, anjuran pemakaian, cara penggunaan dan penyimpanan. CDR merupakan produk kalsium, suplemen makanan yang diproduksi oleh Bayer.  Didalam kemasan tercantum Kegunaan dari produk yakni sebagai Suplementasi kalsium, vitamin C, D, B6 agar tulang sehat pada orang dewasa, serta membantu memnuhi kebutuhan kalsium pada ibu hamil dan menyusui. Juga diperlukan untuk masa pertumbuhan, masa penyembuhan, keadaan gizi buruk serta gangguan penyerapan makanan.
Terdapat juga peringatan bahwa produk ini mengandung pemanis buatan rendah kalori aspartame dan acesulfame. Dan diharapkan tidak digunakan pada orang dengan kadar fenilalanin tinggi dan penderita fenilketonuria. Serta Anjuran pemakaian yang disarankan bagi para konsumen yakni 1 tablet effervescent per hari atau menurut petunjuk dokter.
Didalam kemasan juga menerapkan cara pemakaian produk yakni dengan cara melarutkan tablet effervescent ke dalam segelas air untuk memperoleh minuman segar rasa jeruk, sebaiknya diminum segera setelah dilarutkan. Serta terdapat cara penyimpanan produk yakni dengan menutup tube dengan rapat dan disimpan dalam tempat kering, di bawah suhu 25 derajat Celcius.
Di dalam produk juga terdapat Kode produksi, tanggal produksi sebaiknya digunakan sebelum dsb. Dan terbukti di atas tutup karton terdapat kode nya berikut uraian nya. CM 11385 - MFD 11 2012 - EXP 112015. Nomor register POM SD.051 520 311.
2.      The right to choose
Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli.
Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk membandingkan produk yang satu dengan produk yang lain. Jika monopoli itu diberika  kepada perusahaan yang tidak berorientasi pada kepentingan konsumen, akhirnya konsumen pasti didikte untuk mengkonsumsi barang atau jasa itu tanpa dapat perbuatan lainHak untuk memilih, mendapatkan barang/jasa sesuai nilai bayar. Dalam produk ini tidak tercantum harga maksimal di pasaran. Dan terbukti ketika saya selesai membeli produk ini di Apotek “X” memang berbeda harga nya ketika membeli di Apotek “Y”. Meskipun kami para konsumen baru mengetahui setelah membandingkan harga sebaiknya pihak produsen memberitahu dalam kemasan agar kami sebagai konsumen tidak merasakan kekecewaan dan modus penipuan.
3.      The right to be informed
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua konsumen (tidak diskriminatif).
Hak atas informasi (benar, jujur, jelas). Di dalam produk sudah ditegaskan mengenai kegunaan, peringatan, anjuran pemakaian, cara penggunaan, serta penyimpanan. Namun yang perlu digarisbawahi di sini adalah produsen telah mencantumkan informasi mengenai gigi dan tulang kuat, seperti halnya kalimat berikut ini, “Tulang kuat diperlukan untuk menunjang aktifitas anda sehari-hari. Kekuatan tulang dapat dipersiapkan sejak dini, yakni dengan memenuhi kebutuhan kalsium, tulang bisa tipis dan rapuh di kemudian hari. CDR dengan Strong Bone Formula mengandung kalsium serta vitamin penting lainnya yang berperan penting dalam proses pembentukan tulang kuat dan sehat. CDR dengan rasa jeruk segar membantu memenuhi kebutuhan kalsium ansa setiap hari bila perlu agar tulang tetap kuat kini dan nanti”. Setiap tablet effervescent mengandung:
Kalsium                                   250mg - 31,25%
Dalam bentuk karbonat          625mg
Vitamin C                                1000mg           1111%
Vitamin D                                300IU              75%
Vitamin B6                              15mg               1153,8%
Bahan tambahan perasa orange permaseal, orange mandarin. Serta bisa dikonsumsi oleh penderita diabetes.
Bahwa produsen juga benar-benar memproduksi secara orisinil produk CDR ini terbukti dengan adanya alamat pabrik yakni PT. Bayer Indonesia Jl.Raya Bogor km 32, Depok 16416, Indonesia dengan lisensi dan pengawasan Bayer Consumer Care AG, Switzerland serta dicantumkannya No.Reg POM SD.051 520 311
4.      T he right to be heard
Hak ini erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu, konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.
Dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia disebutkan bila diminta oleh konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklanan, harus bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu. Pengaturan demikian, sekalipun masih berbentuk kode etik akan mengarah kepada langkah positif menuju penghormatan hak konsumen untuk didengar[1].
Hak untuk di dengar pendapat/keluhan atas barang yang dikonsumsi yakni transparansi nya asas keterbukaan dan kedudukan. Dalam produk terdapat layanan konsumen Bayer yang digunakan untuk pengaktualisasian hak konsumen tersebut yakni: 0 800 11 888 99 Bebas Pulsa dimana diharapkan konsumen tidak mnegalami kerugian immateriil maupun materiil secara berlebihan dan tidak berkelanjutan.




[1] Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. (Jakarta: Grasindo, 2004) Hal.19 dan 22-28

JUVENILE DELIQUENCY

Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile Deliquency, dibahas dalam Badan Peradilan Amerika Serikat dalam usaha untuk membentuk suatu Undang-Undang Peradilan Anak. Ada dua hal yang menjadi topik pembicaraan utama yaitu:
·         Segi pelanggaran hukumnya, dan
·         Sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku dan melanggar hukumatau tidak.
Juvenile Deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran
norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak
usia muda di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya.
Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency)
Pengadilan Anak bertanggung jawab untuk melakukan proses pengadilan tentang anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dalam peranannya pengadilan anak dilakukan tertutup untuk umum, dikarenakan proses rehabilitasi dan mengurangi dampak psikologis anak. Biasanya setidaknya satu orang tua diperlukan untuk menghadiri sidang. Pengadilan Anak yang terbiasa memperkuat hubungan orangtua-anak. Kehadiran orang tua memastikan bahwa orang tua tahu tentang insiden tersebut, memahami alasan-alasan untuk disposisi yang dibuat dalam kasus ini, dan dapat bekerja sama dalam pengenaan sanksi yang sesuai.
Ada dua kategori utama dari kasus yang disidangkan di Pengadilan Anak:
• Kasus Kenakalan-di mana seorang anak didakwa dengan pelanggaran
• Ketergantungan kasus-yang melibatkan tuduhan pelecehan dan penelantaran anak.

Pengadilan Anak juga menangani:
• Adopsi
• Emansipasi
• Izin untuk menikah
• Lalu Lintas dan pelanggaran-pelanggaran kecil yang dilakukan oleh seorang anak
• Masalah bolos sekolah
Lembaga lain yang terlibat dengan sistem Pengadilan Anak meliputi:
• Departemen Percobaan
• Kesehatan dan Badan Layanan Kemanusiaan
• Jaksa Wilayah Kantor
 • Pembela Umum Kantor Pembela Umum
• Komisi Peradilan Anak
• Lembaga penegak hukum
• Ketergantungan Hukum Kelompok San Diego 


A.    PELANGGARAN LALU LINTAS OLEH ANAK
Semua pelanggaran lalu lintas seperti ngebut, melanggar lampu merah, dan pelanggaran tetap ditangani di Pengadilan Lalu Lintas dewasa.
• Non-kejahatan pelanggaran Kode Kendaraan
• Pelanggaran negara bagian atau lokal hukum yang berkaitan dengan lalu lintas
•Pelanggaran negara bagian dan lokal hukum yang berkaitan dengan penghindaran tarif pada sistem transportasi umum
• Berkeliaran Daytime
• Pelanggaran Jam malam
• Mabuk di depan umum
• Kode Bisnis dan Profesi pelanggaran yang berkaitan dengan kepemilikan atau konsumsi alkohol oleh anak di bawah umur
• Graffiti
• Memiliki kurang dari satu ons ganja
• Pencurian kecil ($ 50,00 atau kurang)
• Bagian KUHP 415 - Mengganggu perdamaian (dibebankan sebagai pelanggaran
Tindakan kenakalan remaja melibatkan pelanggaran hukum oleh anak di bawah umur. Jika pengadilan menemukan dugaan pelanggaran dan menjadi kenyataan, biasanya ditempatkan dalam masa percobaan dengan syarat dan kondisi yang dirancang untuk menahan tanggung jawab atas perilaku nya dan kemungkinan kecil untuk menjadi anggota yang taat hukum dan produktif masyarakat.
            Pengadilan harus menyeimbangkan kepentingan keselamatan publik dan perlindungan, pentingnya korban restitusi, dan kepentingan terbaik ketika memutuskan kondisi masa percobaan untuk memaksakan dan di mana untuk menempatkan.    


B.     PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
Pengadilan Narkotika adalah program intervensi untuk anak-anak yang berada dalam masa percobaan dan yang mengalami kesulitan untuk tetap bersih dan sadar akibat adanya ketergantungan obat-obatan terlarang. Ini merupakan upaya kerja sama antara Pengadilan Anak, Kantor Jaksa Wilayah, Departemen Percobaan, Kantor Pembela Umum, Kesehatan, dan Badan Layanan Kemanusiaan, Lembaga penegak hukum, dan Program Rehabilitasi. Dengan bekerja sama, mereka berusaha untuk menyediakan berbagai program dan pengawasan yang konsisten diarahkan untuk mendukung dan membantu anak-anak untuk mempertahankan kehidupan bebas narkoba. Pengadilan Narkotika melibatkan proses pengadilan, inspeksi mendadak narkotika, dan penerapan konseling keluarga.
Program Penanggulangan Narkotika
Melalui kerjasama antara pengadilan dan mitra masyarakat lainnya, program-program berikut ini tersedia untuk orang tua dari anak yang dependen:
• Terapi obat untuk orang tua yang memiliki masalah penyalahgunaan narkotika.
•Ketergantungan Obat Pengadilan bagi orang tua yang membutuhkan pemantauan ekstra oleh pengadilan untuk tetap bersih dan sadar.   
 

C.    PELANGGARAN yang MENIMBULKAN KETERGANTUNGAN
Tindakan pelanggaran yang menimbulkan ketergantungan ini melibatkan dugaan penyalahgunaan atau penelantaran anak oleh orang tua atau pengasuh. Tujuan dari proses ini adalah untuk melindungi anak-anak dan melestarikan atau menyatukan kembali keluarga bila memungkinkan. Awalnya, pengadilan harus menentukan apakah tuduhan pelecehan anak atau kelalaian adalah benar dan apakah anak harus dihapus dari rumah dan membuat tergantung pengadilan.
Kepentingan terbaik anak untuk mengembalikan anak ke orang tuanya, tujuannya adalah untuk memberikan penempatan permanen untuk anak dengan kerabat, wali, keluarga angkat, atau orangtua angkat.

D.    KEGIATAN BOLOS SEKOLAH
 Pembolosan adalah kegagalan yang disengaja atau dibenarkan sejak kecil untuk bersekolah. Setiap petugas keamanan atau administrator sekolah dapat menerbitkan kutipan anak yang harus mengahdirkan si anak untuk muncul dalam Pengadilan Anak jika dia melanggar hukum pembolosan.
Pembolosan adalah pelanggaran dihukum oleh Pengadilan Anak di bawah ketentuan Kesejahteraan dan Lembaga Kode Bagian 601.
Jika anak yang tidak pergi ke sekolah, dia dapat:
o dituntut untuk membolos,
o ditugaskan petugas percobaan,
o diberi jam malam oleh hakim,
o diperlukan untuk melakukan relawan / pekerjaan masyarakat,
o diharuskan membayar denda.
 Jika anak yang terus bolos setelah hakim memerintahkan dia untuk pergi ke sekolah, ia dapat dikirim ke Juvenile Hall.
Program Diversion pembolosan
Sebagai alternatif untuk pengajuan petisi 601, anak dapat diberikan kesempatan untuk secara sukarela berpartisipasi dalam program pengalihan pembolosan.
Sekolah Kehadiran Review Board (SARB)
Undang-undang mengharuskan orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka berusia antara 6 sampai 18 ke sekolah. Jika mereka gagal melakukannya, mereka dapat dibawa sebelum Kehadiran Dewan Sekolah Ulasan.
Jika anak yang terus membolos, Kejaksaan Distrik bisa menuntut orang tua nya untuk berkontribusi terhadap kenakalan anak di bawah umur, sebuah pelanggaran yang diancam hukuman atas keyakinan.

E.     LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT yang MENANGANI KASUS KEJAHATAN dan PELANGGARAN ANAK
Pengadilan-Appointed Special Advocate (CASA)
Casas adalah relawan yang membantu pengadilan dan pekerja sosial menentukan cara terbaik untuk membantu anak-anak yang mengalami ketergantungan. Mereka direkrut, dilatih dan diawasi oleh lembaga swasta, Voices for Children, Inc, yang memiliki kantor di setiap gedung pengadilan daerah dan pada Pengadilan Anak utama.
Kelompok Hukum San Diego (DLGSD)
Di Amerika Kelompok Hukum San Diego (DLGSD) adalah perusahaan sosial nirlaba yang dibentuk untuk tujuan tunggal menyediakan perwakilan hukum bagi keluarga miskin yang datang sebelum ketergantungan pengadilan anak-anak di San Diego Country. Ada empat divisi DLGSD - Kantor Induk Primer, yang merupakan orang tua primer, Kantor Induk Konflik, yang merupakan orang tua kedua atau noncustodial, Kantor Penasihat tersebut Minor, yang mewakili anak, dan Kantor Counsel Konflik, yang mewakili orang tua dan anak-anak tambahan, dan menerima semua keluhan dari masyarakat. Dalam setiap divisi DLGSD, seorang pengacara mengawasi dan asisten jaksa bertanggung jawab untuk mengelola divisi mereka dan membantu staf pengacara mereka, peneliti, dan karyawan administrasi. Setiap divisi telah ditetapkan, dilatih, dan peneliti terampil staf. Peneliti DLGSD memiliki pendidikan dan / atau pengalaman dalam pekerjaan sosial, kesejahteraan anak, penegakan hukum, atau keterampilan paralegal

PENITENSIER

Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile Deliquency, dibahas dalam Badan Peradilan Amerika Serikat dalam usaha untuk membentuk suatu Undang-Undang Peradilan Anak. Ada dua hal yang menjadi topik pembicaraan utama yaitu:
·         Segi pelanggaran hukumnya, dan
·         Sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku dan melanggar hukumatau tidak.
Juvenile Deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran
norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak
usia muda di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya.
Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency)
Pengadilan Anak bertanggung jawab untuk melakukan proses pengadilan tentang anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dalam peranannya pengadilan anak dilakukan tertutup untuk umum, dikarenakan proses rehabilitasi dan mengurangi dampak psikologis anak. Biasanya setidaknya satu orang tua diperlukan untuk menghadiri sidang. Pengadilan Anak yang terbiasa memperkuat hubungan orangtua-anak. Kehadiran orang tua memastikan bahwa orang tua tahu tentang insiden tersebut, memahami alasan-alasan untuk disposisi yang dibuat dalam kasus ini, dan dapat bekerja sama dalam pengenaan sanksi yang sesuai.
Ada dua kategori utama dari kasus yang disidangkan di Pengadilan Anak:
• Kasus Kenakalan-di mana seorang anak didakwa dengan pelanggaran
• Ketergantungan kasus-yang melibatkan tuduhan pelecehan dan penelantaran anak.

Pengadilan Anak juga menangani:
• Adopsi
• Emansipasi
• Izin untuk menikah
• Lalu Lintas dan pelanggaran-pelanggaran kecil yang dilakukan oleh seorang anak
• Masalah bolos sekolah
Lembaga lain yang terlibat dengan sistem Pengadilan Anak meliputi:
• Departemen Percobaan
• Kesehatan dan Badan Layanan Kemanusiaan
• Jaksa Wilayah Kantor
 • Pembela Umum Kantor Pembela Umum
• Komisi Peradilan Anak
• Lembaga penegak hukum
• Ketergantungan Hukum Kelompok San Diego 






A.    PELANGGARAN LALU LINTAS OLEH ANAK
Semua pelanggaran lalu lintas seperti ngebut, melanggar lampu merah, dan pelanggaran tetap ditangani di Pengadilan Lalu Lintas dewasa.
• Non-kejahatan pelanggaran Kode Kendaraan
• Pelanggaran negara bagian atau lokal hukum yang berkaitan dengan lalu lintas
•Pelanggaran negara bagian dan lokal hukum yang berkaitan dengan penghindaran tarif pada sistem transportasi umum
• Berkeliaran Daytime
• Pelanggaran Jam malam
• Mabuk di depan umum
• Kode Bisnis dan Profesi pelanggaran yang berkaitan dengan kepemilikan atau konsumsi alkohol oleh anak di bawah umur
• Graffiti
• Memiliki kurang dari satu ons ganja
• Pencurian kecil ($ 50,00 atau kurang)
• Bagian KUHP 415 - Mengganggu perdamaian (dibebankan sebagai pelanggaran
Tindakan kenakalan remaja melibatkan pelanggaran hukum oleh anak di bawah umur. Jika pengadilan menemukan dugaan pelanggaran dan menjadi kenyataan, biasanya ditempatkan dalam masa percobaan dengan syarat dan kondisi yang dirancang untuk menahan tanggung jawab atas perilaku nya dan kemungkinan kecil untuk menjadi anggota yang taat hukum dan produktif masyarakat.
            Pengadilan harus menyeimbangkan kepentingan keselamatan publik dan perlindungan, pentingnya korban restitusi, dan kepentingan terbaik ketika memutuskan kondisi masa percobaan untuk memaksakan dan di mana untuk menempatkan.  


B.     PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
Pengadilan Narkotika adalah program intervensi untuk anak-anak yang berada dalam masa percobaan dan yang mengalami kesulitan untuk tetap bersih dan sadar akibat adanya ketergantungan obat-obatan terlarang. Ini merupakan upaya kerja sama antara Pengadilan Anak, Kantor Jaksa Wilayah, Departemen Percobaan, Kantor Pembela Umum, Kesehatan, dan Badan Layanan Kemanusiaan, Lembaga penegak hukum, dan Program Rehabilitasi. Dengan bekerja sama, mereka berusaha untuk menyediakan berbagai program dan pengawasan yang konsisten diarahkan untuk mendukung dan membantu anak-anak untuk mempertahankan kehidupan bebas narkoba. Pengadilan Narkotika melibatkan proses pengadilan, inspeksi mendadak narkotika, dan penerapan konseling keluarga.
Program Penanggulangan Narkotika
Melalui kerjasama antara pengadilan dan mitra masyarakat lainnya, program-program berikut ini tersedia untuk orang tua dari anak yang dependen:
• Terapi obat untuk orang tua yang memiliki masalah penyalahgunaan narkotika.
•Ketergantungan Obat Pengadilan bagi orang tua yang membutuhkan pemantauan ekstra oleh pengadilan untuk tetap bersih dan sadar.  



C.    PELANGGARAN yang MENIMBULKAN KETERGANTUNGAN
Tindakan pelanggaran yang menimbulkan ketergantungan ini melibatkan dugaan penyalahgunaan atau penelantaran anak oleh orang tua atau pengasuh. Tujuan dari proses ini adalah untuk melindungi anak-anak dan melestarikan atau menyatukan kembali keluarga bila memungkinkan. Awalnya, pengadilan harus menentukan apakah tuduhan pelecehan anak atau kelalaian adalah benar dan apakah anak harus dihapus dari rumah dan membuat tergantung pengadilan.
Kepentingan terbaik anak untuk mengembalikan anak ke orang tuanya, tujuannya adalah untuk memberikan penempatan permanen untuk anak dengan kerabat, wali, keluarga angkat, atau orangtua angkat.  



D.    KEGIATAN BOLOS SEKOLAH
 Pembolosan adalah kegagalan yang disengaja atau dibenarkan sejak kecil untuk bersekolah. Setiap petugas keamanan atau administrator sekolah dapat menerbitkan kutipan anak yang harus mengahdirkan si anak untuk muncul dalam Pengadilan Anak jika dia melanggar hukum pembolosan.
Pembolosan adalah pelanggaran dihukum oleh Pengadilan Anak di bawah ketentuan Kesejahteraan dan Lembaga Kode Bagian 601.
Jika anak yang tidak pergi ke sekolah, dia dapat:
o dituntut untuk membolos,
o ditugaskan petugas percobaan,
o diberi jam malam oleh hakim,
o diperlukan untuk melakukan relawan / pekerjaan masyarakat,
o diharuskan membayar denda.
 Jika anak yang terus bolos setelah hakim memerintahkan dia untuk pergi ke sekolah, ia dapat dikirim ke Juvenile Hall.
Program Diversion pembolosan
Sebagai alternatif untuk pengajuan petisi 601, anak dapat diberikan kesempatan untuk secara sukarela berpartisipasi dalam program pengalihan pembolosan.
Sekolah Kehadiran Review Board (SARB)
Undang-undang mengharuskan orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka berusia antara 6 sampai 18 ke sekolah. Jika mereka gagal melakukannya, mereka dapat dibawa sebelum Kehadiran Dewan Sekolah Ulasan.
Jika anak yang terus membolos, Kejaksaan Distrik bisa menuntut orang tua nya untuk berkontribusi terhadap kenakalan anak di bawah umur, sebuah pelanggaran yang diancam hukuman atas keyakinan.

E.     LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT yang MENANGANI KASUS KEJAHATAN dan PELANGGARAN ANAK
Pengadilan-Appointed Special Advocate (CASA)
Casas adalah relawan yang membantu pengadilan dan pekerja sosial menentukan cara terbaik untuk membantu anak-anak yang mengalami ketergantungan. Mereka direkrut, dilatih dan diawasi oleh lembaga swasta, Voices for Children, Inc, yang memiliki kantor di setiap gedung pengadilan daerah dan pada Pengadilan Anak utama.
Kelompok Hukum San Diego (DLGSD)
Di Amerika Kelompok Hukum San Diego (DLGSD) adalah perusahaan sosial nirlaba yang dibentuk untuk tujuan tunggal menyediakan perwakilan hukum bagi keluarga miskin yang datang sebelum ketergantungan pengadilan anak-anak di San Diego Country. Ada empat divisi DLGSD - Kantor Induk Primer, yang merupakan orang tua primer, Kantor Induk Konflik, yang merupakan orang tua kedua atau noncustodial, Kantor Penasihat tersebut Minor, yang mewakili anak, dan Kantor Counsel Konflik, yang mewakili orang tua dan anak-anak tambahan, dan menerima semua keluhan dari masyarakat. Dalam setiap divisi DLGSD, seorang pengacara mengawasi dan asisten jaksa bertanggung jawab untuk mengelola divisi mereka dan membantu staf pengacara mereka, peneliti, dan karyawan administrasi. Setiap divisi telah ditetapkan, dilatih, dan peneliti terampil staf. Peneliti DLGSD memiliki pendidikan dan / atau pengalaman dalam pekerjaan sosial, kesejahteraan anak, penegakan hukum, atau keterampilan paralegal

EFEK DOMINO PIDANA PENJARA PENDEK TERHADAP TERPIDANA KASUS NARKOTIKA (Studi Kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Reformasi hukum dan keadilan bukan masalah sederhana. Masalahnya sangat luas dan kompleks. Masalah kualitas penegakan hukum dan kebijakan penanggulangan kejahatan masih merupakan masalah yang mendapat sorotan tajam di era reformasi. Penegakan hukum pada dasarnya merupakan kewajiban setiap anggota masyarakat. Namun dalam proses penyelenggaraannya lebih menekankan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum, mulai dari proses penyelidikan-penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan. Namun perlu diketahui bahwa banyaknya aparat penegak hukum yang tersandung dalam lingkaran setan kasus kriminal membuat kita sebagai masyarakat awam mulai meragukan kualitas aparat penegak hukum sekarang ini.
Seperti kasus Iptu Hendro (30) perwira pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah ditangkap petugas dari Badan Narkotika Provinsi Jawa Tengah atas kepemilikan narkotika jenis sabu. Penangkapan terjadi pada Senin 25 Februari 2013 malam di di Jalan Karangwaru, kawasan Lamper, Kecamatan Semarang Selatan. Saat ditangkap, Iptu Hendro kedapatan membawa sabu seberat 1 gram. Parahnya penangkapan tersebut sudah ketiga kali nya, sebelum nya  tanggal 2 Mei 2009 Iptu Hendro menggunakan sabu-sabu dan divonis 3 bulan, kemudian  pada tanggal 16 Januari 2010 Iptu Hendro disangka menjadi kurir narkoba. Namun karena lemahnya bukti dan saksi Iptu Hendro pun akhir nya lolos dari jeratan pidana[1].
Dari paparan kasus di atas, salah satu sebab kejahatan yang bertalian dengan peredaran narkotika ini agak sulit diberantas, karena kejahatan ini memiliki jaringan internasional yang bersifat tertutup dan ekslusif[2]. Meski dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Iptu Hendro telah dikenai pasal 112 dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun . Selain itu Iptu Hendro  juga melanggar Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia no.pol:7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni pasal 5 huruf c dan pasal 10 ayat (1) huruf c. Namun tersangka Iptu Hendro hanya dijatuhi hukuman 3 bulan penjara, hal itu membuktikan adanya diskriminasi terhadap pelaku tindak pidana. Padahal possisi dan kedudukan kita di depan hukum itu sama tanpa melihat proporsi diri kita di depan hukum (Equality before the law).
Dengan dijatuhi nya pidana penjara pendek bagi Iptu Hendro maka hal tersebut akan menjadi sebuah fenomena hukum baru, yang mengakibatkan efek domino berkepanjangan apabila tidak tertangani secara tepat dalam analisis kepastian hukum. Mengapa hal demikian sangat penting, karena dampak narkotika sangat riskan sekali apabila telah menjadi sebuah klausula hukum, ketika banyak masyarakat berpikiran aparat hukum saja dihukum ringan ketika menyalahgunakan narkotika, apalagi hal tersebut disalahgunakan oleh masyarakat awam.
Berdasarkan fakta-fakta dan urgensi terhadap sanksi pidana penjara pendek pada aparat kepolisian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam sebuah makalah yang berjudul “Efek Domino Pidana Penjara Pendek Terhadap Terpidana Kasus Narkotika (Studi Kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu”.

B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana implikasi penjatuhan pidana penjara pendek terhadap terpidana kasus narkotika? (ditinjau dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu).
2.      Bagaimana upaya progresif Pemerintah dalam penanganan kasus Narkotika di Indonesia?
C.  Tujuan Penulisan
1.Tujuan Obyektif
a.       Untuk mengetahui implikasi dilaksanakannya penjatuhan pidana penjara pendek terhadap terpidana kasus narkotika. (ditinjau dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu).
b.      Untuk memberikan masukan penjatuhan pidana mati bagi terpidana kasus narkotika.
2.Tujuan Subyektif
a.       Melengkapi tugas Ujian Kompetensi Dasar 1 hukum Pelaksanaan Pidana.
b.      Menambah wawasan bagi penulis dalam menanggapi isu hukum yang sedang berkembang dalam masyarakat tentang pelaksanaan pidana penjara bagi terpidana kasus narkotika di Indonesia.

D.     Manfaat Penulisan
a.       Mampu memberikan usulan tentang pemikiran penjatuhan pidana penajara mati bagi kasus terpidana narkotika di Indonesia akibat adanya efek domino bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat serta kepastian hukum di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Implikasi Penjatuhan Pidana Penjara Pendek Terhadap Terpidana Kasus Narkotika (Ditinjau dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu)

1.      Penegakan Hukum Pidana Narkotika
Di dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman/bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketrgantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebgaimana terlampir.
Pembentukan UU  No.35 tahun 2009 bertujuan:
a.       Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau/ pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
b.      Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika.
c.       Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika dan,
d.      Menjamin Pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan Pecandu Narkotika.
Dalam Undang-Undang no.35 tahun 2009,  ketentuan pidana Narkotika (bentuk tindak pidana yang dilakukan serta ancaman sanksi pidana bagi pelakunya) diatur dalam UU No.35 tahun 2009 tercantum dalam lebih dari 30 pasal, yaitu pasal 111 s.d pasal 142[3].
Dalam  kasus Iptu Hendro, beliau dikenai ketentuan pasal 112 UU no.35 tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut:
(1)   Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)
(2)   Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaiman dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Namun apa yang terjadi, Iptu Hendro ternyata dipidana 3 bulan penjara dan hanya di mutasi akibat pelanggaran kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni: Dalam Etika Kelembagaan setiap anggota POLRI Pasal 5 huruf a yakni Menjaga citra dan kehormatan Lembaga Polri serta dalam etika Hubungan Dengan Masyarakat pasal 10 ayat (1) huruf c yakni menghindarkan diri dari perbuatan tercela dan menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran demi pelayanan pada masyarakat[4].
Hal itu yang memunculkan paradigma negatif  kepada masyarakat terkait kedudukan equality before the law yang tidak berjalan maksimal, serta efek domino yang terjadi adalah tidak berlangsungnya asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian sesuai pemikiran Gustav Radburch di kehidupan  masyarakat. Efek Domino di sini terjadi apabila kasus aparat kepolisian  ini tidak ditangani secara tegas, berimbas pada citra kepolisian, di masyarakat akan muncul stigma bahwa masyarakat menganggap kasus narkotika itu memang penjatuhan hukuman pidana nya itu ringan sehingga mereka beranggapan terjun dalam  lingakaran setan narkotika itu wajar.
2.      Kritik Terhadap Pidana Penjara Pendek
Pada halaman 101, Rupert Cross pada intinya tidak setuju dengan pernyataan bahwa “pidana-pidana pendek tidak efektif sebagai sarana pencegahan atau penangkal individual” (short sentences are ineffective as an individual deterrent”). Alasan nya: karena kenyataan banyak orang yang dipidana penjara untuk pertama kali tidak kembali lagi ke penjara, berdasarkan penelitian jumlah nya sekitar ¾ 75%.
Dari jumlah itu diperkirakan kebanyakan dijatuhi pidana penjara 6 bulan atau kurang. Oleh karena itu, beralasan untuk menganggap bahwa mereka tercegah (tidak melakukan) pidana lagi karena pengalaman mereka di dalam penjara. (they were deterred by the experience of imprisonment[5]).
Namun apa kenyataannya di Indonesia hal itu tidak terbukti secara signifikan untuk menanggulangi sebuah tindak pidana, justru dengan adanya pidana penjara pendek menjadikan celah bagi orang-orang jahat untuk menganggap enteng tindak pidana yang mereka lakukan.


B.     Upaya Progresif Pemerintah Dalam Penanganan Kasus Narkotika di Indonesia

1.      Pro Pidana Mati bagi Terpidana Kasus Narkotika
Menurut Oemar Senoadji, bahwa selama negara masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam bahaya, selama tata tertib masyarakat di kacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati.
Menurut Bawazjir, bahwa pidana mati seumur hidup adalah lebih kejam, karena penderitaan orang yang dijatuhi pidana ini adalah lebih hebat daripada penderitaan orang yang dalam sekejap saja pindah ke alam baqa. Selain itu pidana penjara seumur hidup dianggap tidak cukup menakutkan[6].
Di luar KUHP, Undang-Undang yang di dalam nya mencantumkan pidana mati dapat disebutkan antara lain:
·         UU no.12 Drt tahun 1951
·         UU no.21 Prp.Tahun 1959
·         UU no.31 tahun 1964
·         KUHP Militer
·         UU no.5 tahun 1997
·         UU no.22 tahun 1997
·         UU no.26 tahun 2000
·         UU no.31 tahun 1999 jo.UU no.20 tahun 2001
·         UU no.15 tahun 2003.
Meskipun di dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia  merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan, maka pemberlakuan pasal 28 A dan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 tidaklah berlaku mutlak dan absolut, akan tetapi dibatasi oleh pasal yang lain, yaitu pasal 28J. Kedua pasal yang pertama disebut sebgai landasan “Hak Asasi” sementara Pasal yang kedua sebagai landasan “Kewajiban Asasi”[7].
Namun bisa diulas kembali bahwa UU no.35 tahun 199 mengenai Narkotika tidak ditegaskan mengenai hukuman mati bagi terpidana, padahal dampak narkotika sendiri bagi generasi muda sekarang ini sudah sanagt merusak moral masa depan Bangsa. Apalagi terkait kasus aparat penegak Hukum seperti Iptu Hendro yang semakin mengkhawatirkan. Sedangkan di RUU KUHP Baru tahun 1999-2000, perbuatan-perbuatan yang diancam pidana mati meliputi:
·         Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 199
·         Pengkhianatan kepada negara/mata-mata/kaki tangan negara asing pada pasal 204
·         Memberi Kemudahan terhadap Musuh Neagar Dalam Waktu Perang pada pasal 218
·         Makar terhadap Wakil Negara Sahabat pada pasal 231
·         Terorisme pada pasal 302.

Sehingga tidak etis bila aparat penegak hukum yang hanya dihukum 3 bulan penjara sedangkan upaya pemidanaan di UU.no.35 tahun 1999 ancaman maksimal nya 20 tahun penjara, akhirnya bukan merasakan efek jera namun terlibat lagi dalam hal kasus narkotika.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Implikasi Penjatuhan Pidana Penjara Pendek Terhadap Terpidana Kasus Narkotika (Ditinjau dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu) merupakan kesalahan dari para penegak hukum lainnya. Hal itu terbukti dengan adanya hukuman pidana penjara pendek selama 3 bulan hal itu tidak efektif untuk menimbulkan efek jera, justru malah menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan dan ketidakmanfaatan hukum yang tidak maksumal. Memunculkan stigma negatif, masyarakat yang berpikiran bahwa di Indonesia praktik diskriminasi masih  tumbuh subur.
2.      Pidana mati perlu dimasukkan dalam UU di luar KUHP khususnya UU No.35 tahun 1999 tentang Narkotika, mengingat karena arus Globalisasi serta kapitalisme yang merasuk ke Indonesia, membuat generasi mudamakin terancam terjun ke lingkaran setan barang haram tersebut. Meski di dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia  merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan, maka pemberlakuan pasal 28 A dan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 tidaklah berlaku mutlak dan absolut, akan tetapi dibatasi oleh pasal yang lain, yaitu pasal 28J. Kedua pasal yang pertama disebut sebgai landasan “Hak Asasi” sementara Pasal yang kedua sebagai landasan “Kewajiban Asasi”. Namun kemaslahatan umat serta kepentingan umum yang dapat dihancurkan oleh narkotika lebih penting dari hal pembunuhan kepada seseorang. Karena mengingat dampak nya bukan hanya bersifat indiviudal melainkan komunal.


b.      Saran
1.      Perlu ada perubahan pemikiran dalam Konsep Uuno.35 tahun 1999  tentang Narkotika bahwa pidana mati merupakan konsekuensi logis yang normatif bagi seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagai upaya untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dan berkedudukan sebagai pidana pokok. Pencantuman pidana mati di laur pidana pokok (Bersifat khusus/istimewa), dapat menimbulkan kesan seolah-olah pembentuk UU “ragu” untuk tetap mencantumkan pidana mati atau tidak mencantumkannya sebagai salah satu jenis pidana. Kesan yang demikian akan menurunkan kewibawaan hukum pidana yang berkarakter tegas dan pasti.
2.      Diharapkan ada pola Built in control  oleh masyarakat dan aparat penegak hukum demi terciptanya suatu sinergisitas penegkan hukum di Indonesia. Segera melapor atau mengadu apabila ada tindak pidana kejahatan di lingkungan masyarakat. Serta pengawasan terhadap sanksi penjatuhan pidana secara transparan kepada publik.














DAFTAR PUSTAKA

JURNAL:
Agus Raharjo, ”Profesionalisme Polisi Dalam Penegakan Hukum,” jurnal Dinamika Hukum, vol.11 no.3 (September 2011), halaman 2
BUKU:
Andi Hamzah dan Sumangelipu, 2006. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Datang, Jakarta:Ghalia Indonesia
Aziz Syamsuddin, 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika
Barda Nawawi Arief, 2003. Kapita Selekta Pidana . Bandung:Citra Aditya Bakti
Waluyadi, 2009. Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana  Bandung:Mandar Maju
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia no.pol: 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi POLRI
RUU KUHP tahun 1999-2000
INTERNET:
Abdi Purnomo, ”200 Polisi Terlibat Kasus Penyalahgunaan Narkoba,” http://beritajogja.co.id/2013/02/27/oknum-polisi-terlibat-kasus-narkoba/ di akses tanggal 22 Maret 2013 pukul 03.30 WIB





[1]Abdi Purnomo, ”200 Polisi Terlibat Kasus Penyalahgunaan Narkoba,” http://beritajogja.co.id/2013/02/27/oknum-polisi-terlibat-kasus-narkoba/ di akses tanggal 22 Maret 2013 pukul 03.30 WIB

[2] Agus Raharjo, ”Profesionalisme Polisi Dalam Penegakan Hukum,” jurnal Dinamika Hukum, vol.11 no.3 (September 2011), halaman 2
[3] Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) halaman 90
[4] Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia no.pol: 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi POLRI
[5] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Pidana (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2003) halaman 40-41

[6] Andi Hamzah dan Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Datang, Ghalia Indonesia, Jakarta, Halaman 39-40
[7] Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana (Bandung:Mandar Maju,2009) halaman 63-64