Rabu, 25 Februari 2015

EFEK DOMINO PIDANA PENJARA PENDEK TERHADAP TERPIDANA KASUS NARKOTIKA (Studi Kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Reformasi hukum dan keadilan bukan masalah sederhana. Masalahnya sangat luas dan kompleks. Masalah kualitas penegakan hukum dan kebijakan penanggulangan kejahatan masih merupakan masalah yang mendapat sorotan tajam di era reformasi. Penegakan hukum pada dasarnya merupakan kewajiban setiap anggota masyarakat. Namun dalam proses penyelenggaraannya lebih menekankan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum, mulai dari proses penyelidikan-penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan. Namun perlu diketahui bahwa banyaknya aparat penegak hukum yang tersandung dalam lingkaran setan kasus kriminal membuat kita sebagai masyarakat awam mulai meragukan kualitas aparat penegak hukum sekarang ini.
Seperti kasus Iptu Hendro (30) perwira pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah ditangkap petugas dari Badan Narkotika Provinsi Jawa Tengah atas kepemilikan narkotika jenis sabu. Penangkapan terjadi pada Senin 25 Februari 2013 malam di di Jalan Karangwaru, kawasan Lamper, Kecamatan Semarang Selatan. Saat ditangkap, Iptu Hendro kedapatan membawa sabu seberat 1 gram. Parahnya penangkapan tersebut sudah ketiga kali nya, sebelum nya  tanggal 2 Mei 2009 Iptu Hendro menggunakan sabu-sabu dan divonis 3 bulan, kemudian  pada tanggal 16 Januari 2010 Iptu Hendro disangka menjadi kurir narkoba. Namun karena lemahnya bukti dan saksi Iptu Hendro pun akhir nya lolos dari jeratan pidana[1].
Dari paparan kasus di atas, salah satu sebab kejahatan yang bertalian dengan peredaran narkotika ini agak sulit diberantas, karena kejahatan ini memiliki jaringan internasional yang bersifat tertutup dan ekslusif[2]. Meski dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Iptu Hendro telah dikenai pasal 112 dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun . Selain itu Iptu Hendro  juga melanggar Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia no.pol:7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni pasal 5 huruf c dan pasal 10 ayat (1) huruf c. Namun tersangka Iptu Hendro hanya dijatuhi hukuman 3 bulan penjara, hal itu membuktikan adanya diskriminasi terhadap pelaku tindak pidana. Padahal possisi dan kedudukan kita di depan hukum itu sama tanpa melihat proporsi diri kita di depan hukum (Equality before the law).
Dengan dijatuhi nya pidana penjara pendek bagi Iptu Hendro maka hal tersebut akan menjadi sebuah fenomena hukum baru, yang mengakibatkan efek domino berkepanjangan apabila tidak tertangani secara tepat dalam analisis kepastian hukum. Mengapa hal demikian sangat penting, karena dampak narkotika sangat riskan sekali apabila telah menjadi sebuah klausula hukum, ketika banyak masyarakat berpikiran aparat hukum saja dihukum ringan ketika menyalahgunakan narkotika, apalagi hal tersebut disalahgunakan oleh masyarakat awam.
Berdasarkan fakta-fakta dan urgensi terhadap sanksi pidana penjara pendek pada aparat kepolisian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam sebuah makalah yang berjudul “Efek Domino Pidana Penjara Pendek Terhadap Terpidana Kasus Narkotika (Studi Kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu”.

B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana implikasi penjatuhan pidana penjara pendek terhadap terpidana kasus narkotika? (ditinjau dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu).
2.      Bagaimana upaya progresif Pemerintah dalam penanganan kasus Narkotika di Indonesia?
C.  Tujuan Penulisan
1.Tujuan Obyektif
a.       Untuk mengetahui implikasi dilaksanakannya penjatuhan pidana penjara pendek terhadap terpidana kasus narkotika. (ditinjau dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu).
b.      Untuk memberikan masukan penjatuhan pidana mati bagi terpidana kasus narkotika.
2.Tujuan Subyektif
a.       Melengkapi tugas Ujian Kompetensi Dasar 1 hukum Pelaksanaan Pidana.
b.      Menambah wawasan bagi penulis dalam menanggapi isu hukum yang sedang berkembang dalam masyarakat tentang pelaksanaan pidana penjara bagi terpidana kasus narkotika di Indonesia.

D.     Manfaat Penulisan
a.       Mampu memberikan usulan tentang pemikiran penjatuhan pidana penajara mati bagi kasus terpidana narkotika di Indonesia akibat adanya efek domino bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat serta kepastian hukum di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Implikasi Penjatuhan Pidana Penjara Pendek Terhadap Terpidana Kasus Narkotika (Ditinjau dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu)

1.      Penegakan Hukum Pidana Narkotika
Di dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman/bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketrgantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebgaimana terlampir.
Pembentukan UU  No.35 tahun 2009 bertujuan:
a.       Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau/ pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
b.      Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika.
c.       Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika dan,
d.      Menjamin Pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan Pecandu Narkotika.
Dalam Undang-Undang no.35 tahun 2009,  ketentuan pidana Narkotika (bentuk tindak pidana yang dilakukan serta ancaman sanksi pidana bagi pelakunya) diatur dalam UU No.35 tahun 2009 tercantum dalam lebih dari 30 pasal, yaitu pasal 111 s.d pasal 142[3].
Dalam  kasus Iptu Hendro, beliau dikenai ketentuan pasal 112 UU no.35 tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut:
(1)   Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)
(2)   Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaiman dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Namun apa yang terjadi, Iptu Hendro ternyata dipidana 3 bulan penjara dan hanya di mutasi akibat pelanggaran kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni: Dalam Etika Kelembagaan setiap anggota POLRI Pasal 5 huruf a yakni Menjaga citra dan kehormatan Lembaga Polri serta dalam etika Hubungan Dengan Masyarakat pasal 10 ayat (1) huruf c yakni menghindarkan diri dari perbuatan tercela dan menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran demi pelayanan pada masyarakat[4].
Hal itu yang memunculkan paradigma negatif  kepada masyarakat terkait kedudukan equality before the law yang tidak berjalan maksimal, serta efek domino yang terjadi adalah tidak berlangsungnya asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian sesuai pemikiran Gustav Radburch di kehidupan  masyarakat. Efek Domino di sini terjadi apabila kasus aparat kepolisian  ini tidak ditangani secara tegas, berimbas pada citra kepolisian, di masyarakat akan muncul stigma bahwa masyarakat menganggap kasus narkotika itu memang penjatuhan hukuman pidana nya itu ringan sehingga mereka beranggapan terjun dalam  lingakaran setan narkotika itu wajar.
2.      Kritik Terhadap Pidana Penjara Pendek
Pada halaman 101, Rupert Cross pada intinya tidak setuju dengan pernyataan bahwa “pidana-pidana pendek tidak efektif sebagai sarana pencegahan atau penangkal individual” (short sentences are ineffective as an individual deterrent”). Alasan nya: karena kenyataan banyak orang yang dipidana penjara untuk pertama kali tidak kembali lagi ke penjara, berdasarkan penelitian jumlah nya sekitar ¾ 75%.
Dari jumlah itu diperkirakan kebanyakan dijatuhi pidana penjara 6 bulan atau kurang. Oleh karena itu, beralasan untuk menganggap bahwa mereka tercegah (tidak melakukan) pidana lagi karena pengalaman mereka di dalam penjara. (they were deterred by the experience of imprisonment[5]).
Namun apa kenyataannya di Indonesia hal itu tidak terbukti secara signifikan untuk menanggulangi sebuah tindak pidana, justru dengan adanya pidana penjara pendek menjadikan celah bagi orang-orang jahat untuk menganggap enteng tindak pidana yang mereka lakukan.


B.     Upaya Progresif Pemerintah Dalam Penanganan Kasus Narkotika di Indonesia

1.      Pro Pidana Mati bagi Terpidana Kasus Narkotika
Menurut Oemar Senoadji, bahwa selama negara masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam bahaya, selama tata tertib masyarakat di kacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati.
Menurut Bawazjir, bahwa pidana mati seumur hidup adalah lebih kejam, karena penderitaan orang yang dijatuhi pidana ini adalah lebih hebat daripada penderitaan orang yang dalam sekejap saja pindah ke alam baqa. Selain itu pidana penjara seumur hidup dianggap tidak cukup menakutkan[6].
Di luar KUHP, Undang-Undang yang di dalam nya mencantumkan pidana mati dapat disebutkan antara lain:
·         UU no.12 Drt tahun 1951
·         UU no.21 Prp.Tahun 1959
·         UU no.31 tahun 1964
·         KUHP Militer
·         UU no.5 tahun 1997
·         UU no.22 tahun 1997
·         UU no.26 tahun 2000
·         UU no.31 tahun 1999 jo.UU no.20 tahun 2001
·         UU no.15 tahun 2003.
Meskipun di dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia  merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan, maka pemberlakuan pasal 28 A dan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 tidaklah berlaku mutlak dan absolut, akan tetapi dibatasi oleh pasal yang lain, yaitu pasal 28J. Kedua pasal yang pertama disebut sebgai landasan “Hak Asasi” sementara Pasal yang kedua sebagai landasan “Kewajiban Asasi”[7].
Namun bisa diulas kembali bahwa UU no.35 tahun 199 mengenai Narkotika tidak ditegaskan mengenai hukuman mati bagi terpidana, padahal dampak narkotika sendiri bagi generasi muda sekarang ini sudah sanagt merusak moral masa depan Bangsa. Apalagi terkait kasus aparat penegak Hukum seperti Iptu Hendro yang semakin mengkhawatirkan. Sedangkan di RUU KUHP Baru tahun 1999-2000, perbuatan-perbuatan yang diancam pidana mati meliputi:
·         Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 199
·         Pengkhianatan kepada negara/mata-mata/kaki tangan negara asing pada pasal 204
·         Memberi Kemudahan terhadap Musuh Neagar Dalam Waktu Perang pada pasal 218
·         Makar terhadap Wakil Negara Sahabat pada pasal 231
·         Terorisme pada pasal 302.

Sehingga tidak etis bila aparat penegak hukum yang hanya dihukum 3 bulan penjara sedangkan upaya pemidanaan di UU.no.35 tahun 1999 ancaman maksimal nya 20 tahun penjara, akhirnya bukan merasakan efek jera namun terlibat lagi dalam hal kasus narkotika.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Implikasi Penjatuhan Pidana Penjara Pendek Terhadap Terpidana Kasus Narkotika (Ditinjau dari kasus Iptu Hendro Perwira Pertama Detasemen Markas (Denma) Kepolisian Jawa Tengah atas Kepemilikan Narkotika Jenis Sabu) merupakan kesalahan dari para penegak hukum lainnya. Hal itu terbukti dengan adanya hukuman pidana penjara pendek selama 3 bulan hal itu tidak efektif untuk menimbulkan efek jera, justru malah menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan dan ketidakmanfaatan hukum yang tidak maksumal. Memunculkan stigma negatif, masyarakat yang berpikiran bahwa di Indonesia praktik diskriminasi masih  tumbuh subur.
2.      Pidana mati perlu dimasukkan dalam UU di luar KUHP khususnya UU No.35 tahun 1999 tentang Narkotika, mengingat karena arus Globalisasi serta kapitalisme yang merasuk ke Indonesia, membuat generasi mudamakin terancam terjun ke lingkaran setan barang haram tersebut. Meski di dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia  merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan, maka pemberlakuan pasal 28 A dan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 tidaklah berlaku mutlak dan absolut, akan tetapi dibatasi oleh pasal yang lain, yaitu pasal 28J. Kedua pasal yang pertama disebut sebgai landasan “Hak Asasi” sementara Pasal yang kedua sebagai landasan “Kewajiban Asasi”. Namun kemaslahatan umat serta kepentingan umum yang dapat dihancurkan oleh narkotika lebih penting dari hal pembunuhan kepada seseorang. Karena mengingat dampak nya bukan hanya bersifat indiviudal melainkan komunal.


b.      Saran
1.      Perlu ada perubahan pemikiran dalam Konsep Uuno.35 tahun 1999  tentang Narkotika bahwa pidana mati merupakan konsekuensi logis yang normatif bagi seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagai upaya untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dan berkedudukan sebagai pidana pokok. Pencantuman pidana mati di laur pidana pokok (Bersifat khusus/istimewa), dapat menimbulkan kesan seolah-olah pembentuk UU “ragu” untuk tetap mencantumkan pidana mati atau tidak mencantumkannya sebagai salah satu jenis pidana. Kesan yang demikian akan menurunkan kewibawaan hukum pidana yang berkarakter tegas dan pasti.
2.      Diharapkan ada pola Built in control  oleh masyarakat dan aparat penegak hukum demi terciptanya suatu sinergisitas penegkan hukum di Indonesia. Segera melapor atau mengadu apabila ada tindak pidana kejahatan di lingkungan masyarakat. Serta pengawasan terhadap sanksi penjatuhan pidana secara transparan kepada publik.














DAFTAR PUSTAKA

JURNAL:
Agus Raharjo, ”Profesionalisme Polisi Dalam Penegakan Hukum,” jurnal Dinamika Hukum, vol.11 no.3 (September 2011), halaman 2
BUKU:
Andi Hamzah dan Sumangelipu, 2006. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Datang, Jakarta:Ghalia Indonesia
Aziz Syamsuddin, 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika
Barda Nawawi Arief, 2003. Kapita Selekta Pidana . Bandung:Citra Aditya Bakti
Waluyadi, 2009. Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana  Bandung:Mandar Maju
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia no.pol: 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi POLRI
RUU KUHP tahun 1999-2000
INTERNET:
Abdi Purnomo, ”200 Polisi Terlibat Kasus Penyalahgunaan Narkoba,” http://beritajogja.co.id/2013/02/27/oknum-polisi-terlibat-kasus-narkoba/ di akses tanggal 22 Maret 2013 pukul 03.30 WIB





[1]Abdi Purnomo, ”200 Polisi Terlibat Kasus Penyalahgunaan Narkoba,” http://beritajogja.co.id/2013/02/27/oknum-polisi-terlibat-kasus-narkoba/ di akses tanggal 22 Maret 2013 pukul 03.30 WIB

[2] Agus Raharjo, ”Profesionalisme Polisi Dalam Penegakan Hukum,” jurnal Dinamika Hukum, vol.11 no.3 (September 2011), halaman 2
[3] Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) halaman 90
[4] Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia no.pol: 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi POLRI
[5] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Pidana (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2003) halaman 40-41

[6] Andi Hamzah dan Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Datang, Ghalia Indonesia, Jakarta, Halaman 39-40
[7] Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana (Bandung:Mandar Maju,2009) halaman 63-64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar