Rabu, 11 Maret 2015

HUKUM ACARA PIDANA DAN PERADILAN MILITER MENGENAI KOMPARASI ANTARA KUHPM DAN KUHAP



TUGAS UJIAN KOMPETENSI DASAR III
HUKUM ACARA PIDANA DAN PERADILAN MILITER
MENGENAI KOMPARASI ANTARA KUHPM DAN KUHAP
KELAS B


Disusun Oleh:
RISKA EGA WARDANI
E0010308



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013

No.
Kategori Pembeda
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang KUHPM
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
1.

Ruang Lingkup Tindak Pidana
Tindak pidana khusus adalah tindak pidana khusus merupakan suatu tindak pidana yang diatur diluar KUHP dan pengaturannya menyimpang dari KUHP.
Dikarenakan pertama militer itu memegang senjata dan dapat mempergunakan senjata dan serta mempunyai tugas untuk pembelaan dan pertahanan negara. Kedua cara pandang, pikir dan bertindak anggota militer berbeda dengan sipil (berlaku asa unity of command, kepentingan militer, sumpah prajurit dan sapta marga). Maka diperlukan adanya suatu peraturan khusus dalam rangka pengawasan kinerja militer. Terdapat penyimpangan dari ketentuan pidana umum seperti sanksinya ataupun perbuatan (tindak) pidana itu sendiri. Meskipun diberlakukan secara khusus namun para anggota militer tersebut tetap tunduk pada ketentuan umum.

Tindak pidana umum merupakan perbuatan piadana yang diatur dalam KUHP.
2.
Kompetensi Absolut (Pihak-Pihak yang Diperiksa dan Diadili)
1. Prajurit, yakni militer murni dan masih aktif dalam organisasi TNI
2. Orang-orang yang disamakan dengan prajurit menurut undang-undang
3. Anggota dari badan atau organisasi atau jawatan yang di persamakan dengan prajurit menurut undang-undang.

Hukum pidana merupakan hukum publik yang mengikat bagi siapa saja, pemberlakuan hukum pidana yang bersifat publik tersebut menunjukan kewenangannya berlaku bagi setiap orang yang melanggar ketentuan yang ada di dalam kitab undang-undang hukum pidana
3.
Kompetensi Relatif
Susunan Peradilan:
a. Pengadilan Militer
b. Pengadilan Militer Tinggi
c. Pengadilan Militer Utama
d. Pengadilan Militer Pertempuran.

Susunan Kekuasaan Kehakiman dalam Peradilan Militer:

a.        Mahkamah Militer (MAHMIL)
b.      Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI)
c.       Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).

Peradilan Umum. Untuk Upaya Hukum diatur dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP. Bahwa Upaya Hukum Biasa dibedakan menajdi pemeriksaan banding pada tingkat Pengadilan Tinggi dan Pemeriksaan Kasasi pada tingkatan Mahkamah Agung sedangkan Upaya Hukum Luar Biasa berupa permintaan Pemeriksaan Peninjauan Kembali.
4.
Penyidik
Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 menyebutkan “ yang dimaksud dengan penyidik adalah : a. Atasan yang berhak menghukum, b. Polisi Militer, c. Oditur.” Sedangkan dalam ketentuan pasal 69 ayat (2) undang-undang no.31 tahun 1997 menyebutkan “ yang dimaksud dengan penyidik pembantu adalah : a. Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, b. Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, c. Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, d. Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia.” Dalam ketentuan diatas memperlihatkan adanya letak perbedaan dalam lembaga penyidikan yang berada dalam lingkungan peradilan umum dan lembaga peradilan militer. Penyidikan dalam lembaga peradilan umum dilakukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan juga bisa dilakukan oleh pegawai negeri sipil yang diberikan wewenang oleh undang-undang. Sedangkan dalam lembaga peradilan militer penyidikan dilakukan oleh tiga (3) lembaga yakni atasan yang berhak menghukum (ANKUM), Polisi Militer dan Oditur. Adanya perbedaan dalam penanganan penyidikan di lembaga peradilan yang berbeda menyebabkan adanya perbedaan kewenangan dan kewajiban pula di tiap lembaga penyidik tersebut. Dan juga dalam lembaga penyidikan peradilan militer mempunyai penyidik tambahan yang mempunyai tugas sendiri.
Pasal 6 KUHAP menyebutkan “yang dimaksud dengan penyidik adalah : a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia. b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undang”.
5.
Penangkapan
Pasal 77 undang-undang no.31 tahun 1997 menyebutkan “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh Penyidik atau anggota Polisi Militer atau anggota bawahan Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa.” . proses peangkapan dalam lembaga peradilan umum dilakukan oleh Kepolisian sedangkan dalam lembaga peradilan militer penangkapan dilakukan oleh bawahan dari atasan yang berhak menghukum ataupun dari polisi militer. Dan dilam kententuan pasal 77 ayat (4) menyebutkan “ sesudah penangkapan dilakukan. Penyidik wajib melaporkan kepada atasan yang berhak menghukum yang bersangkutan.” Dapat terlihat bahwa atsan mempunyai peranan penting terhadap anak buahnya, ini merupakan salah satu karakteristik mengapa militer ini dibedakan dari masyarakat sipil pada umumnya.

Pasal 18 ayat (1) KUHAP menyebutkan “pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penahanan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang di persangkakan serta tempat ia diperiksa.”
6.
Penahanan
Pasal 79 ayat (2) undang-undang No.31 tahun 1997 menyebutkan :“ Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan terhadap Tersangka yang disangka melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 3 (tiga) bulan atau lebih.”. Penahanan yang dimaksudkan dalam lembaga peradilan umum dengan pasal diatas untuk pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam 5 tahun sedangkan dalam lembaga peradilan militer pemberian bantuan tindak pidana yang diancam 3 bulan atau lebih.

Pasal 21 ayat (4) KUHAP menyebutkan “ penahan tersebut hanya dapat dilkenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima taun atau lebih ; b. tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 (1), pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal, 459, pasal 480 dan pasal 506 kitab undang-undang hukum pidana, pasal 25 dan pasal 26 rechtenordonantie (pelanggaran terhadap ordonansii bea dan cukai terakhir diubah dengan staatblad nomor 471 tahun1931), pasal 1, pasal 2 dan pasal 4 undang-undang tindak pidana imigrasi (undang-undang Drt tahun 1955, lembaran negara tahun 1955 nomor 8), pasal 36 ayat (7), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47 dan pasal 48 undang-undang No.9 tahun 1976 tentang narkotika (lembaran negara tahun 1976 nomor 37, tambahan lembaran negara nomor 3086).”
7.
Jangka Waktu Penahanan
Pasal 78 Undang-Undang Nomor31 Tahun 1997 menyebutkan “(1) Untuk kepentingan penyidikan Atasan yang Berhak Menghukum dengan surat keputusannya, berwenang melakukan penahanan Tersangka untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. (2) Tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara yang berwenang dengan keputusannya untuk setiap kali 30 (tiga puluh) hari dan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya Tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, apabila kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi. (4) Sesudah waktu 200 (dua ratus) hari, Tersangka harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum“.

Pasal 24 KUHAP menyebutkan “(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4)Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.”.
8.
Penangguhan Penahanan
Pasal 81 ayat (1) undang-undang no.31 tahun 1997 menyebutkan “Atas permintaan Tersangka, Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan saran Polisi Militer atau Oditur dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan persyaratan yang ditentukan.”. dalam ketentuan diatas tersebut terdapat perbedaan mengenai penangguhan penahanan, bagaimana cara atau bagaimana penangguhan penahanan itu diberikan kepada tersangka.
Pasal 31 ayat (1) menyebutkan “Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan”.
9.
Mencabut Penangguhan Penahanan
Pasal 81 ayat (2) undang-undang no.31 tahun 1997 menyebutkan “Karena jabatannya, Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal Tersangka melanggar persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. sebagaimana ketentuan diatas mengatur mengenai pencabutan penangguhan penahanan, sebab-sebab pencabutan penahan dan juga siapa yang dapat mencabut penangguhan tersebut telah diatur dalam ketentuan pasal-pasal diatas.

Pasal 31 ayat (2) menyebutkan “Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
10.
Hukuman
Pasal 6 Hukuman Pokok terdiri atas:
a.       Hukuman Mati
b.      Hukuman Penjara
c.       Hukuman Kurungan
Hukuman Tambahan terdiri atas:
a.       Pemecatan dari dinas tentara yang disertai atau tidak disertai pencabutan hak untuk bekerja pada kekuasaan bersenjata.
b.      Penurunan pangkat
c.       Pencabutan hak menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan, hak masuk pada kekuasaan bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilu.

Hukuman Pokok terdiri atas:
a.       Hukuman Mati
b.      Hukuman Penjara
c.       Hukuman Kurungan
d.      Hukuman Denda
Hukuman Tambahan terdiri atas:
a.       Pencabutan hak-hak tertentu
b.      Perampasan barang tertentu
c.       Pengumuman putusan hakim
11.
Perangkat Pengadilan
a.       Hakim
b.      Panitera
c.       Oditurat terdiri dari:
Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi, Oditurat Jenderal, Oditurat Militer Pertempuran
d.      Bantuan Hukum  terdiri dari:
Dinas Bantuan Hukum di Lingkungan Militer, Diusahakan sendiri oleh Tersangka/Terdakwa
a.       Hakim
b.      Panitera
c.       Penuntut Umum
d.      Penasehat Hukum

KESIMPULAN
Dari paparan tabel diatas yang mengangkat tema perbandingan proses penyelesaian perkara dalam lingkup peradilan umum dengan proses penyelesaian perkara dalam lingkup peradilan militer dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Antara militer dengan sipil mempunyai perbedaan yang mendasar, yakni bagaimana dalam militer ditempa dan menjalani kehidupan yang mempunyai disiplin prajurit serta kode kehormatan prajurityang harus dijaga dengan sikap yang tentunya masyarakat sipil mempunyai cara yang lebih bebas dalam menjalaninya. Serta bagaimana militer dipersenjatai sehingga mereka memang harus dibedakan dari masyarakat sipil.
2. Sejak kemerdekaan RI hingga saat sekarang ini, peradilan militer telah menjalani perubahan berkali-kali, baik dari segi penamaan, tingkatan maupun kewenangan mengadili. Hal ini ditandai dengan lahirnya beberapa peraturan tentang peradilan militer, yang pada akhirnya lahir UU No. 31 tahun 1997. Tentang Peradilan Militer, yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi beberapa peraturan sebelumnya.
4. Militer sebagai orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur, bagi mereka diadakan norma-norma yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang telah ditentukan dan diawasi dengan ketat. Karena kekhususan dalam mengemban tugas ini, mengakibatkan terjadinya pemisahan peradilan anggota tentara dengan masyarakat umum. Penegakan disiplin yang sangat ketat dan harus dipertanggung jawabkan di lembaga khusus jika melanggar. Mereka diadili dengan aturan yang khusus berlaku bagi mereka dengan tidak mengesampingkan kenyataan yang hidup ditengah masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Mochammad Faisal Salam,1996. Hukum Acara Peradilan Militer di Indonesia. Bandung: Mandar Maju
Irman Nating,2003. Sejarah Peradilan Militer di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press
Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang   Hukum Acara Pidana Indonesia
Undang-undang No.31 tahun 1997 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
Tap MPR Nomor 7 Tahun 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar