TUGAS
UJIAN KOMPETENSI DASAR IV
HUKUM
ACARA PIDANA DAN PERADILAN MILITER B
PERKARA
KONEKSITAS MENGENAI KORUPSI DI TUBUH TNI (ANALISIS PUTUSAN NOMOR
14-K/PMT.III/AD/III/2013 ATAS NAMA TERDAKWA LETNAN JENDERAL TNI (Purn) DJAJA
SUPARMAN, S.SIp, MM)
Disusun Oleh:
RISKA
EGA WARDANI
E0010308
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
A. ANALISIS PUTUSAN
Letjen TNI Purnawirawan
Djaja Suparman dijerat kasus dugaan korupsi. Mantan Panglima Kostrad ini
didakwa terlibat dalam dugaan korupsi dana tukar guling tanah seluas 8,8
hektare senilai Rp 13,3 miliar di Dukuh Menanggal, Kecamatan Wonocolo,
Surabaya, pada 1998. Ketika itu terdakwa masih menjabat Pangdam Brawijaya.
Persidangan perdana Djaja digelar di pengadilan militer, Senin (23/4). Oditur
militer menjerat jenderal bintang tiga ini dengan pasal 1 ayat 1 A jo pasal 28
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam dakwaan primer serta pasal 1 ayat 1 B Undang-Undang
No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun
Putusan mengenai beliau pada tanggal 26 September 2013 Pengadilan Militer
Tinggi III Surabaya menggelar sidang lanjutan atas nama Terdakwa Letnan
Jenderal TNI (Purn) DJAJA SUPARMAN, S.SIp, MM dengan agenda Pembacaan Putusan
oleh Majelis Hakim Militer Tinggi.
Majelis
Hakim membaca Putusan Nomor 14-K/PMT.III/AD/III/2013 tanggal 26 September 2013
setebal 266 halaman dibaca secara bergantian oleh Majelis Hakim mulai pukul
09.00 WIB sampai dengan pukul 23.30 WIB yang amarnya menyatakan Terdakwa DJAJA
SUPARMAN, S.SIp, MM, Letnan Jenderal TNI (Purn) terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "KORUPSI" sebagaimana
diatur dalam pasal 1 ayat huruf b jo pasal 28 jo pasal 34 huruf (c) UURI Nomor
3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, jo pasal 30 ayat (3)
KUHP jo pasal 190 ayat (1) UURI No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer.
Memidana
terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar
Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) subsidair kurungan pengganti selama 3
(tiga) bulan.
Menjatuhkan
pidana tambahan kepada terdakwa membayar uang pengganti sebesar
Rp.13.344.252.200,- (tiga belas milyar tiga ratus empat puluh empat juta dua
ratus lima puluh dua ribu dua ratus rupiah) dengan ketentuan apabila uang
pengganti tersebut tidak dipenuhi, maka diganti dengan kurungan pengganti
selama 6 (enam) bulan.
Membebankan biaya
perkara kepada terdakwa sebesar Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah).
Susunan
Majelis Hakim Militer Tinggi pada persidangan atas nama terdakwa Djaja
Suparman, S,SIp, MM Letnan Jenderal TNI (Purn), sebagai Hakim Ketua, Hidayat
Manao, SH, Letnan Jenderal TNI, Hakim Anggota I, Bambang Aribowo, SH, MH
Marsekal Madya TNI, Hakim Anggota II, Sinoeng Hardjanti, SH, M.Hum Laksamana
Madya TNI, Oditur Militer Tinggi Sumartono, SH Letnan Jenderal TNI dan Panitera
Ahmad Junaedi, SH Kapten Laut (KH) NRP. 17425/P serta Tim Penasihat Hukum
Terdakwa Subagya Santosa, SH, MH NRP. 33984, Ulises Tampubolon, SH, MH dan
Lettu Sus Ismanto, SH NRP. 535928.
Atas
putusan Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya Nomor
14-K/PMT.III/AD/III/2013 tanggal 26 September 2013 tersebut terdakwa menyatakan
banding sedangkan Oditur Militer Tinggi menyatakan mohon waktu untuk berpikir.
B.
ANALISIS PERKARA KONEKSITAS
Dalam ketentuan pasal 89 (1) KUHAP,
terdapat sebuah ketentuan prinsip pemeriksaan dan peradilan perkara koneksitas,
yakni lingkungan peradilan yang aka memeriksan dan mengadili perkara koneksitas
adalah lingkungan Peradilan Umum.
Akan tetapi, ada pengecualian lagi disini yang
mengakibatkan Peradilan Militer bisa untuk memeriksa dan mengadili perkara
koneksitas ini, yakni bila dalam kondisi:
- Jika ada keputusan Menteri Pertahanan yang
mengharuskan perkara koneksitas ini diperiksa dan diadili oleh lingkungan
Peradilan Militer.
- Keputusan Menteri Pertahanan tersebut telah
mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa
perkara koneksitas itu diperiksa dan diadili oleh oleh lingkungan
Peradilan Militer.
Penyidikan
perkara pidana koneksitas;
Dilaksanakan oleh suatu
tim tetap, terdiri dari penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, dan oditur
militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang
berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
Pasal 89 (2) KUHAP telah menentukan cara dan aparat yang berwenang dalam
melakukan penyidikan terhadap perkara koneksitas. Aparat penyidik perkara koneksitas
terdiri dari suatu tim tetap, yang terdiri dari unsur :
a. Penyidik Polri;
b. Polisi Militer;
c.Oditur Militer atau
Oditur Militer Tinggi.
Penyidikan
Koneksitas
Di
dalam Hukum Acara Pidana Militer (HAPMIL) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 tidak membedakan pengertian “Penyelidik”, “Penyelidikan”,
Penyidik dan Penyidikan sebgaaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1,2,3,4,5 dan
Pasal 102, 106 KUHAP. Tidak dibedakannya pengertian tersebut karena HAPMIL
adalah Hukum Acara Pidana Khusus, jadi tidak perlu mengatur semua hal yang
telah diatur oleh Hukum Acara Pidana Umum, maka aturan Hukum Acara Pidana Umum
yang tidak diatur dalam Hukum Acara Pidana Khusus dengan sendirinya berlaku
bagi Hukum Acara Pidana Khusus sepanjang ketentuan itu tidak bertentangan
dengan Hukum Acara Pidana Khusus itu, bsik yang tersurat maupun yang tersirat.
Demikian halnya ketentuan mengenai penyelidikan sebagaimana tersebut di atas berlaku
bagi penyelidikan hukum Acara Pidana Militer, dimana kalau dalam Hukum Acara
Pidana Umum penyelidikan tersebut dilakukan oleh Polisi Negara, di dalam Hukum
Acara Pidana Militer dilakukan oleh Atasan Yang Berhak Menghukum (ANKUM)
melalui Bagian I (Intel) tiap-tiap kesatuan dan Polisi Militer.
Jadi
di dalam Hukum Acara Pidana Militer proses pemeriksaan pendahuluan sangat
berbeda dengan KUHAP, dimana kekuasaan Komandan meliputi dua hal/macam
wewenang, yaitu wewenang lazimnya disebut hak komando dan wewenang hak
menghukum. Hak Komando ini meliputi tiga hal yaitu:
1. Mengarahkan
(directing);
2. Mengkoordinir
(coordinating);
3. Mengendalikan
(control).
Hak Komando
daripada Komandan diperolehnya dari delegasi yang berasal dan pucuk pimpinan
Angkatan Bersenjata sedangkan hak untuk menghukum anak buahnya diatur oleh
undang-undang.
Hukum Acara
Pidana Militer yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 membagi
tahap-tahap Penyidikan sebagaimana diatur dalam Bab IV yaitu:
a. Bagian
Pertama adalah Penyidikan yang terdiri dari lima paragrap yaitu:
1) Paragraf
1 tentang Penyidik dan Penyidik Pembantu.
2) Paragraf
2 tentang Penangkapan dan Penahanan.
3) Paragraf
3 tentang Penggeledahan dan Penyitaan.
4) Paragraf
4 tentang Pemeriksaan Surat.
5) Paragraf
5 tentang Pelaksanaan Penyidikan.
b. Bagian
Kedua Penyerahan Perkara.
c. Bagian
Ketiga Pemeriksaan di sidang Pengadilan terdiri dari:
1) Paragraf
1 Persiapan Persidangan
2) Paragraf
2 mengenai Penahanan
3) Paragraf
3 mengenai Pemanggilan
d. Bagian
Keempat Acara Pemeriksaan biasa terdiri dari:
1) Paragraf
1 Pemeriksaan dan Pembuktian
2) Paragraf
2 Penuntutan dan Pembelaan
3) Paragraf
3 Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Rugi
4) Paragraf
4 Musyawarah dan Putusan
e. Bagian
Kelima, Acara Pemeriksaan Koneksitas
f. Bagian
Keenam, Acara Pemeriksaan Khusus
g. Bagian
Ketujuh, Acara Pemeriksaan Cepat
h. Bagian
Kedelapan, Bantuan Hukum
i.
Bagian Kesembilan, Upaya Hukum Biasa
terdiri dari:
Paragraf 1 tentang Pemeriksaan Banding
Paragraf 2 tentang Pemeriksaan Tingkat Kasasi
j.
Bagian Kesepuluh, Upaya Hukum Luar Biasa
terdiri dari Paragraf 1 tentang Pemeriksaan Tingkat Kasasi demi Kepentingan
Hukum. Paragraf 2 tentang Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan yang sudah
memperoleh kekuatan Hukum Tetap.
k. Bagian
Kesebelas, Pelaksanaan Putusan Pengadilan
l.
Bagian Ketigabelas, Berita Acara
Di dalam Pasal
69 Undnag-Undang Nomor 31 Tahun 1997 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
penyidik adalah:
1) a.
Atasan Yang Berhak Menghukum
b. Polisi Militer
c. Oditur Militer.
Kemudian pada
ayat (2) menyatakan tentang penyidik pembantu yaitu:
2) a.
Provos TNI Angkatan Darat
b. Provos TNI Angkatan Laut
c. Provos TNI Angkatan Udara
Tim tetap
adalah;
- Tim yang dibentuk dengan
surat keputusan bersama,
-Menteri Pertahanan dan
Keamanan dan Menteri Kehakiman. Pasal 89 ayat (3).
Tata cara menetapkan kewenangan mengadili perkara tindak pidana koneksitas:
1. Diadakan penelitian bersama oleh jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur
militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut. Pasal 90 ayat (1).
2. Pendapat dari
penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditanda tangani
oleh para pihak. Pasal 90 ayat (2).
3. Jika dalam
penelitian bersama terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang
berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau
jaksa tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur militer
tinggi kepada Oditur Jendral Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pasal 90
ayat (3).
Menetapkan
tentang wewenang mengadili; apabila titik berat kerugian
yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum,
- perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum,
-maka perwira penyerah
perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi
kepada penuntut umum,
-untuk dijadikan dasar
mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang. Pasal 91 ayat (1)
Apabila menurut
pendapat itu titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer.
- perkara pidana itu
harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer,
- pendapat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dijadikan dasar bagi Oditur Jendral Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia,
-untuk mengusulkan
kepada Menteri pertahanan dan Keamanan,
- agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri
Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan, bahwa
- perkara pidana
tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pasal 91
ayat (2).
Prosedur Pemeriksaan
Pengadilan Dalam Perkara Koneksitas
1.
Peradilan umum
Langkah-langkah
peradilan dalam hal telah ditetapkan bahwa perkara pidana diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka langkah selanjutnya adalah;
1.1. Penyerahan perkara;
Perwira
penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang
diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut
umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan
negeri yang berwenang. Pasal 91 ayat (1).
1.2. Berita acara pemeriksaan;
-
penuntut umum yang mengajukan perkara,
-
menerangkan dalam berita acara tersebut telah di ambil alih olehnya. Pasal 92
ayat (1).
1.3.
Pemeriksaan pengadilan;
Perkara
tersebut diadili dengan majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga
orang hakim. Pasal 94 ayat (1).
2.
Peradilan militer;
Langkah - langkah
peradilan dalam hal telah ditetapkan bahwa perkara pidana diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka langkah selanjutnya adalah;
2.1.
Usul kepada Menhankam.
-Perwira
penyerah perkara,
-
segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur
militer atau oditur militer tinggi kepada oditur jendral ABRI,
-
untuk dijadikan dasar usulan mengajukan perkara,
-kepada
Menteri Pertahanan dan Keamanan,
-agar
dengan persetujuan Menteri Kehakiman,
-dikeluarkan
keputusan yang menetapkan,
- perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer. Pasal 91 ayat (2).
2.2.
Berita acara pemeriksaan;
-
Oditur militer menambahi catatan pada berita acara yang dibuat oleh tim,
-
menerangkan dalam berita acara tersebut telah di ambil alih olehnya.
Pasal 92 ayat (2).
2.3.
Pemeriksaan pengadilan;
Berdasarkan
surat keputusan Menhankam, perwira penyerah perkara dan jaksa atau jaksa tinggi
menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah militer atau mahkamah militer
tinggi. Pasal 91 ayat (3).
Bilamana terjadi
perbedaan pendapat dalam wewenang mengadili.
1. Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1)
terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur
militer tinggi, mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu
secara tertulis, dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa
tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur Jendral Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. Pasal 93 ayat (1).
2. Jaksa Agung dan
Oditur Jendral Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bermusyawarah untuk
mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)……Pasal 93 ayat (2).
3. Dalam hal terjadi
perbedaan antara Jaksa Agung dan Oditur Jendral Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang memutuskan.
Pasal 93 ayat (3).
Komposisi majelis
hakim yang mengadili perkara koneksitas :
1. Dalam hal mengadili perkara koneksitas, baik diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum atau dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari
sekurang-kurangnya tiga hakim. Pasal 94 ayat (1).
2. Dalam hal pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana, majelis hakim
terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota
masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan hakim anggota masing-masing
ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang. Pasal 94
ayat (2).
3. Dalam hal pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana tersebut
majelis hakim terdiri, hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim
anggota secara berimbang dari masing-masing lingkungan peradilan militer dan
dari peradilan umum diberi pangkat militer. Pasal 94 ayat (3)
4. Ketentuan tersebut
pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat banding. Pasal
94 ayat (4).
5. Menteri Kehakiman
dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik mengusulkan
pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) dan hakim perwira sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4).Pasal
94 ayat (5).
C.
ANALISIS KORUPSI DI TUBUH TNI
Korupsi atau rasuah (bahasa
Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutar balik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi
maupun pegawai negeri,
serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak.
Kartono memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari
kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan
negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya
denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Penyebab dari korupsi itu sendiri antara lain:
-Sistem
administrasi yang memungkinkan pertukaran antara jabatan resmi dengan imbalan
material;
-Kekeliruan
persepsi masyarakat tentang makna upeti atau gratifikasi terkait budaya nenek
moyang yang sudah mengenal tentang adanya upeti pada masa kerajaan; dan
-Menurut
Harold Rogow korupsi terjadi karena tataran politik yang ada membuka peluang
lebar bagi adanya jual-beli jabatan publik (Uang dan modal mendapat jabatan
penting).
Korupsi merupakan
perbuatan yang sangat keji dan membunuh karakteristik bangsa Indonesia, dana
publik di Indonesia yang hilang akibat korupsi sangat besar. Pada tahun 1995,
menurut laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) telah terjadi 358 kebocoran
dana negara sebesar Rp.1.062 triliun. Pada tahun 1996 Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) melaporkan adanya kebocoran dana 22 departemen dan lembaga pemerintah non
departemen dengan total senilai Rp 3.22 milliar. Selain itu sepanjang tahun
1995-1996 ditemukan 18.578 kasus korupsi dan penyelewengan dana senilai Rp
888,72 milliar. Pada era reformasi tidak akan berubah menjadi lebih baik dari
era sebelumnya dan bahkan lebih buruk. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) penyimpangan uang negara sudah mencapai Rp166,53 triliun atau sekitar 50%
dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2003. Sebagaimana dilaporkan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio
Budihardjo Joedono sejak pertengahan 2003 telah ditemukan 22 penyimpangan
keungan negara. Dalam semester satu tahun 2004 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
juga melakukan pemeriksaan terhadap 377 proyek dan asset senilai Rp 1.312
trlliun. Dari jumlah tersebut menemukan penyimpangan sekitar Rp 37,4 trilliun
atau 2,85% dari nilai keseluruhannya. Tidak mengherankan jika dalam laporan
Tranparansi Internasional Indonesia (TII) sebagaimana diungkapkan dalam siaran
persnya dari 146 negara yang disurvey Indonesia masuk dalam urutan kelima
negara terkorup di dunia dengan indeks prestasi korupsi 2,0 .
Adapun
sebab-sebab Korupsi adalah Ainan (1982)
menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi yaitu :
a. Perumusan perundang-undangan yang
kurang sempurna;
b. Administrasi yang lamban, mahal, dan
tidak luwes;
c. Tradisi untuk menambah penghasilan
yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap;
d. Dimana berbagai macam korupsi
dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang
berlomba untuk korupsi;
e. Di India, misalnya menyuap jarang
dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan;
f. Menurut kebudayaannya, orang Nigeria
Tidak dapat menolak suapan dan korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan
harta dan kekayaannya;
g. Manakala orang tidak menghargai
aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus
mempersoalkan korupsi.
Celah
KKN di Tubuh TNI
Banyak
modus yang dapat dilakukan untuk menggelontorkan dana secara besar-besaran baik
yang merupakan kegiatan resmi juga yang fiktif. Misalnya, ada kegiatan di luar
program (kegiatan atas inisiatif pimpinan) yang “seolah-olah” ada dan
dilaksanakan, dan didanai dengan dana yang tidak sedikit walaupun kenyataan tidak
pernah ada. Triknya cukup sederhana, lengkapi saja dengan perencanaan kegiatan
dan rencana anggaran, ditutup dengan laporan pelaksanaan kegiatan. Jika
sifatnya kegiatannya resmi, maka modus yang berlaku adalah penggelembungan dana
dan setelah dana turun, “sunat-menyunat” anggaran pun dilakukan di bawah
tangan. Permainan ini terbilang masih dalam skala kecil, pada skala yang lebih
besar dilakukan dengan melibatkan “rekanan-rekanan
hitam” yang
merupakan pemasok perlengkapan militer yang berbiaya milyaran rupiah yang
pelaksanaan tendernya pun hanya “akal-akalan”. Rekanan-rekanan hitam tersebutlah
yang menentukan spesifikasi alat yang akan dibeli (dimana seharusnya TNI yang
melakukannya), sehingga tentu saja pada saat tender dilakukan, rekanan hitam
lah yang akan memenangkannya.
Kenapa KKN Di TNI Sulit Diungkap?
Struktur
organisasi TNI yang menuntut loyalitas mati terhadap pimpinannya menjadikan
penyakit korupsi di tubuh TNI sulit diberantas ketika pimpinan ataupun pejabat
berwenang bertindak sebagai “orang yang mengetahui” kegiatan nakal ini. Atau
bahkan pejabat yang berwenang tersebut bertindak sebagai rekan, sahabat,
saudara atau bahkan “pencipta” rekanan-rekanan hitam. Para pimpinan ini tentu bukan
orang sembarangan. Mereka rata-rata adalah orang yang dekat dengan kekuasaan. Kedekatan
dengan kekuasaan ini menjadikan para pimpinan tersebut “disegani” di angkatan
masing-masing. Misalnya, para mantan ADC Presiden, dengan bermodalkan kata-kata “Atas petunjuk Bapak Presiden” maka dijamin, tak seorangpun
yang berani menghalanginya. Misalnya dalam tubuh Angkatan Udara yang sarat
dengan asset-asset bernilai puluhan triliyun rupiah yang
membuat Angkatan Udara sangat rentan dengan kasus korupsi berskala besar jika
dibandingkan dengan kasus simulator SIM POLRI yang nilainya “hanya” milyaran
rupiah. Para pemegang jabatan strategis TNI AU seperti Kasau, Asisten-asisten
Kasau dan Pangkoops AU, adalah pejabat-pejabat yang diyakini “mengetahui”
pergerakan para rekanan-rekanan hitam ini (jika tidak dikatakan sebagai mitra dari
rekanan hitam). Sebagaimana layaknya berbagai modus korupsi yang terjadi,
selalu dilakukan secara sistematis dan terstruktur dengan melibatkan
pejabat-pejabat lainnya seperti misalnya Kadispam AU untuk mengamankan
“kegiatan”, Danpom AU untuk mencari “celah” legalitas kebijakan dan pejabat
lain yang memiliki hubungan darah dengan keluarga Cikeas seperti Gubernur AAU
sekarang misalnya. Lalu, tentu diperlukan peran Pangkoops AU sebagai pejabat
berwenang penyelenggara operasi udara di wilayah kedaulatan NKRI yang
bertanggung jawab dalam operasional dan pembinaan manusia dan pemeliharaan alat
yang sangat tinggi nilainya. Pangkoops
AU yang juga kebetulan merupakan mantan ADC Presiden tentu akan bekerja sama
dengan rekanan hitam untuk menentukan spesifikasi alat yang “layak” dibeli oleh
negara. Agar layak dan pantas untuk memperoleh keuntungan besar dari pembelian
tersebut maka spesifikasinya pun “disesuaikan”. Jika sudah seperti ini alurnya,
pimpinan Angkatan Udara hanya perlu menyetujui dan mengajukannya ke DPR melalui
Kemenhan, dan “menutup mata” saat menandatanganinya.
Terbukti
bahwa Brigjen Koesmayadi dan Letjen TNI Purnawirawan Djaja Suparman tidak
menghayati dan meresapi nilai-nilai Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, bahwa
setiap prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia memiliki sendi-sendi
disiplin yang kukuh, kode etik dalam pergaulan, kode kehormatan dalam
perjuangan, kode moral dan pengamalan, serta sistem nilai dalam tata kehidupan
yang mantap. Suatu ketaatan yang
dilandasi oleh kesadaran lahir dan bathin atas pengabdiannya pada nusa dan
bangsa serta merupakan perwujudan pengendalian diri untuk tidak melanggar
perintah kedinasan dan tata kehidupan prajurit.
D.
PENYIDIKAN,
PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Di
dalam kasus tersebut berlaku ketentuan Pasal 26 yang menentukan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi,
dilakukan berdasarkan acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang. Jadi meskipun yang berlaku untuk penyidikan itu adalah hukum
acara pidana militer yang menjadi wewenang; Atasan Yang Berhak Menghukum,
tetapi pada bagian akhir kalimat pasal tersebut menyebutkan “kecuali ditentukan
lain dalam Undnag-Undang ini”. Kalimat tersebut mengakibatkan timbulnya
wewenang dari Jaksa Agung turut berperan serta di dalam penyelidikan,
penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal
27 dan Pasal 39 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disebut UUPTPK. Keberadaan UUPTPK
adalah lebih khusus lagi, karena hal-hal yang diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 sudah merupakan tindak pidana khusus yang berlaku bagi
militer. Akan tetapi dengan Undang-Undang tindak pidana korupsi masih disimpangi
meniadakan kewenangan Ankum dalam pengusutan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh militer.
DAFTAR PUSTAKA
Moch.Faisal
Salam, 2002. Hukum Acara Pidana Militer
Di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Moch.Faisal
Salam, 2004. Peradilan Militer Di
Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
M.Karjadi,R.Soesilo,
1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Bogor: Politeia
OC Kaligis,
2008. Praktek Tebang Pilih Perkara
Korupsi Jilid 1.Yogyakarta.
OC Kaligis, Praktek Tebang Pilih Perkara Korupsi Jilid 1
(Yogyakarta, 2008), hal.1