TUGAS
UJIAN KOMPETENSI DASAR III
HUKUM
ACARA PIDANA DAN PERADILAN MILITER
MENGENAI
KOMPARASI ANTARA KUHPM DAN KUHAP
KELAS
B
Disusun Oleh:
RISKA
EGA WARDANI
E0010308
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
No.
|
Kategori Pembeda
|
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1947 tentang KUHPM
|
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
|
1.
|
Ruang
Lingkup Tindak Pidana
|
Tindak
pidana khusus adalah tindak pidana khusus merupakan suatu tindak pidana yang
diatur diluar KUHP dan pengaturannya menyimpang dari KUHP.
Dikarenakan pertama militer itu memegang senjata dan dapat mempergunakan senjata dan serta mempunyai tugas untuk pembelaan dan pertahanan negara. Kedua cara pandang, pikir dan bertindak anggota militer berbeda dengan sipil (berlaku asa unity of command, kepentingan militer, sumpah prajurit dan sapta marga). Maka diperlukan adanya suatu peraturan khusus dalam rangka pengawasan kinerja militer. Terdapat penyimpangan dari ketentuan pidana umum seperti sanksinya ataupun perbuatan (tindak) pidana itu sendiri. Meskipun diberlakukan secara khusus namun para anggota militer tersebut tetap tunduk pada ketentuan umum. |
Tindak
pidana umum merupakan perbuatan piadana yang diatur dalam KUHP.
|
2.
|
Kompetensi
Absolut (Pihak-Pihak yang Diperiksa dan Diadili)
|
1.
Prajurit, yakni militer murni dan masih aktif dalam organisasi TNI
2. Orang-orang yang disamakan dengan prajurit menurut undang-undang 3. Anggota dari badan atau organisasi atau jawatan yang di persamakan dengan prajurit menurut undang-undang. |
Hukum
pidana merupakan hukum publik yang mengikat bagi siapa saja, pemberlakuan
hukum pidana yang bersifat publik tersebut menunjukan kewenangannya berlaku
bagi setiap orang yang melanggar ketentuan yang ada di dalam kitab
undang-undang hukum pidana
|
3.
|
Kompetensi
Relatif
|
Susunan
Peradilan:
a.
Pengadilan Militer
b. Pengadilan Militer Tinggi c. Pengadilan Militer Utama d. Pengadilan Militer Pertempuran.
Susunan
Kekuasaan Kehakiman dalam Peradilan Militer:
a.
Mahkamah
Militer (MAHMIL)
b.
Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI)
c.
Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).
|
Peradilan
Umum. Untuk Upaya Hukum diatur dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP. Bahwa Upaya
Hukum Biasa dibedakan menajdi pemeriksaan banding pada tingkat Pengadilan
Tinggi dan Pemeriksaan Kasasi pada tingkatan Mahkamah Agung sedangkan Upaya
Hukum Luar Biasa berupa permintaan Pemeriksaan Peninjauan Kembali.
|
4.
|
Penyidik
|
Pasal
69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 menyebutkan “ yang dimaksud
dengan penyidik adalah : a. Atasan yang berhak menghukum, b. Polisi Militer,
c. Oditur.” Sedangkan dalam ketentuan pasal 69 ayat (2) undang-undang no.31
tahun 1997 menyebutkan “ yang dimaksud dengan penyidik pembantu adalah : a.
Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, b. Provos Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut, c. Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara,
d. Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia.” Dalam ketentuan diatas
memperlihatkan adanya letak perbedaan dalam lembaga penyidikan yang berada
dalam lingkungan peradilan umum dan lembaga peradilan militer. Penyidikan
dalam lembaga peradilan umum dilakukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan juga bisa dilakukan oleh pegawai negeri sipil yang
diberikan wewenang oleh undang-undang. Sedangkan dalam lembaga peradilan militer
penyidikan dilakukan oleh tiga (3) lembaga yakni atasan yang berhak menghukum
(ANKUM), Polisi Militer dan Oditur. Adanya perbedaan dalam penanganan
penyidikan di lembaga peradilan yang berbeda menyebabkan adanya perbedaan
kewenangan dan kewajiban pula di tiap lembaga penyidik tersebut. Dan juga
dalam lembaga penyidikan peradilan militer mempunyai penyidik tambahan yang
mempunyai tugas sendiri.
|
Pasal
6 KUHAP menyebutkan “yang dimaksud dengan penyidik adalah : a. Pejabat polisi
negara Republik Indonesia. b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi kewenangan oleh undang-undang”.
|
5.
|
Penangkapan
|
Pasal
77 undang-undang no.31 tahun 1997 menyebutkan “Pelaksanaan tugas penangkapan
dilakukan oleh Penyidik atau anggota Polisi Militer atau anggota bawahan
Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan dengan memperlihatkan surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas Tersangka, menyebutkan
alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan
tempat ia diperiksa.” . proses peangkapan dalam lembaga peradilan umum
dilakukan oleh Kepolisian sedangkan dalam lembaga peradilan militer
penangkapan dilakukan oleh bawahan dari atasan yang berhak menghukum ataupun
dari polisi militer. Dan dilam kententuan pasal 77 ayat (4) menyebutkan “
sesudah penangkapan dilakukan. Penyidik wajib melaporkan kepada atasan yang
berhak menghukum yang bersangkutan.” Dapat terlihat bahwa atsan mempunyai
peranan penting terhadap anak buahnya, ini merupakan salah satu karakteristik
mengapa militer ini dibedakan dari masyarakat sipil pada umumnya.
|
Pasal
18 ayat (1) KUHAP menyebutkan “pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat
tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penahanan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta
uraian singkat perkara kejahatan yang di persangkakan serta tempat ia
diperiksa.”
|
6.
|
Penahanan
|
Pasal
79 ayat (2) undang-undang No.31 tahun 1997 menyebutkan :“ Penahanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan terhadap Tersangka
yang disangka melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian
bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 3 (tiga) bulan
atau lebih.”. Penahanan yang dimaksudkan dalam lembaga peradilan umum dengan
pasal diatas untuk pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam 5 tahun
sedangkan dalam lembaga peradilan militer pemberian bantuan tindak pidana
yang diancam 3 bulan atau lebih.
|
Pasal
21 ayat (4) KUHAP menyebutkan “ penahan tersebut hanya dapat dilkenakan
terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana percobaan
maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a. tindak
pidana itu diancam dengan pidana penjara lima taun atau lebih ; b. tindak
pidana sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335
ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 (1), pasal 372, pasal 378, pasal 379
a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal, 459, pasal 480 dan pasal 506 kitab
undang-undang hukum pidana, pasal 25 dan pasal 26 rechtenordonantie (pelanggaran terhadap ordonansii bea dan cukai
terakhir diubah dengan staatblad nomor 471 tahun1931), pasal 1, pasal 2 dan
pasal 4 undang-undang tindak pidana imigrasi (undang-undang Drt tahun 1955,
lembaran negara tahun 1955 nomor 8), pasal 36 ayat (7), pasal 41, pasal 42,
pasal 43, pasal 47 dan pasal 48 undang-undang No.9 tahun 1976 tentang
narkotika (lembaran negara tahun 1976 nomor 37, tambahan lembaran negara
nomor 3086).”
|
7.
|
Jangka
Waktu Penahanan
|
Pasal
78 Undang-Undang Nomor31 Tahun 1997 menyebutkan “(1) Untuk kepentingan
penyidikan Atasan yang Berhak Menghukum dengan surat keputusannya, berwenang
melakukan penahanan Tersangka untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. (2)
Tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan, dapat diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara
yang berwenang dengan keputusannya untuk setiap kali 30 (tiga puluh) hari dan
paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari. (3) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya
Tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, apabila
kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi. (4) Sesudah waktu 200 (dua ratus)
hari, Tersangka harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum“.
|
Pasal
24 KUHAP menyebutkan “(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh
hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan
guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh
penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. (3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan
tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4)Setelah waktu enam
puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan
demi hukum.”.
|
8.
|
Penangguhan
Penahanan
|
Pasal
81 ayat (1) undang-undang no.31 tahun 1997 menyebutkan “Atas permintaan
Tersangka, Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara sesuai
dengan kewenangan masing-masing berdasarkan saran Polisi Militer atau Oditur
dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan persyaratan yang ditentukan.”.
dalam ketentuan diatas tersebut terdapat perbedaan mengenai penangguhan
penahanan, bagaimana cara atau bagaimana penangguhan penahanan itu diberikan
kepada tersangka.
|
Pasal
31 ayat (1) menyebutkan “Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik
atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat
mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan
orang, berdasarkan syarat yang ditentukan”.
|
9.
|
Mencabut
Penangguhan Penahanan
|
Pasal
81 ayat (2) undang-undang no.31 tahun 1997 menyebutkan “Karena jabatannya,
Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara sewaktu-waktu
dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal Tersangka melanggar
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. sebagaimana ketentuan diatas
mengatur mengenai pencabutan penangguhan penahanan, sebab-sebab pencabutan
penahan dan juga siapa yang dapat mencabut penangguhan tersebut telah diatur
dalam ketentuan pasal-pasal diatas.
|
Pasal
31 ayat (2) menyebutkan “Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau
hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka
atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
10.
|
Hukuman
|
Pasal 6 Hukuman Pokok terdiri atas:
a.
Hukuman Mati
b.
Hukuman Penjara
c.
Hukuman Kurungan
Hukuman Tambahan terdiri atas:
a.
Pemecatan dari dinas tentara yang disertai atau tidak
disertai pencabutan hak untuk bekerja pada kekuasaan bersenjata.
b.
Penurunan pangkat
c.
Pencabutan hak menjabat segala jabatan atau jabatan
yang ditentukan, hak masuk pada kekuasaan bersenjata, hak memilih dan dipilih
dalam pemilu.
|
Hukuman Pokok terdiri atas:
a.
Hukuman Mati
b.
Hukuman Penjara
c.
Hukuman Kurungan
d.
Hukuman Denda
Hukuman Tambahan terdiri atas:
a.
Pencabutan hak-hak tertentu
b.
Perampasan barang tertentu
c.
Pengumuman putusan hakim
|
11.
|
Perangkat Pengadilan
|
a.
Hakim
b.
Panitera
c.
Oditurat terdiri dari:
Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi,
Oditurat Jenderal, Oditurat Militer Pertempuran
d.
Bantuan Hukum
terdiri dari:
Dinas Bantuan Hukum di Lingkungan Militer, Diusahakan
sendiri oleh Tersangka/Terdakwa
|
a.
Hakim
b.
Panitera
c.
Penuntut Umum
d.
Penasehat Hukum
|
KESIMPULAN
Dari paparan
tabel diatas yang mengangkat tema perbandingan proses penyelesaian perkara
dalam lingkup peradilan umum dengan proses penyelesaian perkara dalam lingkup
peradilan militer dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Antara militer dengan sipil mempunyai perbedaan yang mendasar, yakni bagaimana dalam militer ditempa dan menjalani kehidupan yang mempunyai disiplin prajurit serta kode kehormatan prajurityang harus dijaga dengan sikap yang tentunya masyarakat sipil mempunyai cara yang lebih bebas dalam menjalaninya. Serta bagaimana militer dipersenjatai sehingga mereka memang harus dibedakan dari masyarakat sipil.
2. Sejak kemerdekaan RI hingga saat sekarang ini, peradilan militer telah menjalani perubahan berkali-kali, baik dari segi penamaan, tingkatan maupun kewenangan mengadili. Hal ini ditandai dengan lahirnya beberapa peraturan tentang peradilan militer, yang pada akhirnya lahir UU No. 31 tahun 1997. Tentang Peradilan Militer, yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi beberapa peraturan sebelumnya.
4. Militer sebagai orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur, bagi mereka diadakan norma-norma yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang telah ditentukan dan diawasi dengan ketat. Karena kekhususan dalam mengemban tugas ini, mengakibatkan terjadinya pemisahan peradilan anggota tentara dengan masyarakat umum. Penegakan disiplin yang sangat ketat dan harus dipertanggung jawabkan di lembaga khusus jika melanggar. Mereka diadili dengan aturan yang khusus berlaku bagi mereka dengan tidak mengesampingkan kenyataan yang hidup ditengah masyarakat.
1. Antara militer dengan sipil mempunyai perbedaan yang mendasar, yakni bagaimana dalam militer ditempa dan menjalani kehidupan yang mempunyai disiplin prajurit serta kode kehormatan prajurityang harus dijaga dengan sikap yang tentunya masyarakat sipil mempunyai cara yang lebih bebas dalam menjalaninya. Serta bagaimana militer dipersenjatai sehingga mereka memang harus dibedakan dari masyarakat sipil.
2. Sejak kemerdekaan RI hingga saat sekarang ini, peradilan militer telah menjalani perubahan berkali-kali, baik dari segi penamaan, tingkatan maupun kewenangan mengadili. Hal ini ditandai dengan lahirnya beberapa peraturan tentang peradilan militer, yang pada akhirnya lahir UU No. 31 tahun 1997. Tentang Peradilan Militer, yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi beberapa peraturan sebelumnya.
4. Militer sebagai orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur, bagi mereka diadakan norma-norma yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang telah ditentukan dan diawasi dengan ketat. Karena kekhususan dalam mengemban tugas ini, mengakibatkan terjadinya pemisahan peradilan anggota tentara dengan masyarakat umum. Penegakan disiplin yang sangat ketat dan harus dipertanggung jawabkan di lembaga khusus jika melanggar. Mereka diadili dengan aturan yang khusus berlaku bagi mereka dengan tidak mengesampingkan kenyataan yang hidup ditengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Mochammad Faisal Salam,1996. Hukum Acara Peradilan Militer di Indonesia. Bandung: Mandar Maju
Irman Nating,2003. Sejarah Peradilan Militer di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press
Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia
Undang-undang No.31 tahun 1997 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
Tap MPR Nomor 7 Tahun 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar