RESUME
TUGAS UKD I
HUKUM
DAN DESENTRALISASI FISKAL
Dosen pengampu
Adriana
Grahani Firdausy, S.H.,M.H
Disusun
Oleh:
Riska Ega Wardani
E0010308
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
A.
LATAR
BELAKANG PELAKSANAAN POLA HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DENGAN DAERAH
Perimbangan
keuangan antar pusat dan daerah merupakan suatu system hubungan keuangan yang
bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah (intergovernmental
fiscal relation system ), sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi
daerah dalam bentuk penyerahan sebagian wewenang pemerintahan. Oleh karena itu,
dikatakan bahwa hubungan keuangan merupakan sebuah system pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah. Pengaturan perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah sangat penting dilakukan, karena tidak semua
wewenang pemerintahan diberikan dan diserahkan kepada pemerintah daerah.
Mengingat eksistensi keuangan yang sangat vital
tersebut, maka segala upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan dan
memanfaatkan segenap sumber keuangan yang ada. Hasil yang diperoleh selanjutnya
akan dipergunakan untuk membiayai pengeluaran kegiatan pemerintahan dan
pembangunan ekonomi nasional. Dalam hubungan keuangan di Indonesia dikenal
konsep desentralisasi fiskal yakni penyerahan kewenangan di bidang keuangan
antarlevel pemerintahan yang mencakup bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan
sejumlah besar dana dan/atau sumber-sumber daya ekonomi kepada daerah untuk
dikelola menurut kepentingan dan kebutuhan daerah itu sendiri (Adrian Sutedi, 2009:
23).
Dampak
dari sistem yang dulunya kita anut menyebabkan Pemerintah Daerah tidak
responsif dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat daerah. Banyak proyek
pembangunan daerah yang tidak menghiraukan manfaat langsung yang dirasakan
masyarakat, karena beberapa proyek merupakan proyek titipan yang sarat petunjuk
dan arahan dari Pemerintah Pusat. Kritik yang muncul selama ini adalah
Pemerintah Pusat terlalu dominan terhadap daerah. Pola pendekatan yang sentralistik
dan seragam yang dikembangkan Pemerintah Pusat telah mematikan inisiatif dan
kreatifitas daerah. Pemerintah Daerah kurang diberi keleluasaan (local discreation) untuk menentukan kebijakan
daerahnya sendiri.
Otonomi
yang diberikan tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai,
penyiapan sumber daya manusia yang profesional, dan pembiayaan yang adil .
Akibatnya, yang terjadi bukannya tercipta kemandirian daerah, tetapi justru
ketergantungan Daerah terhadap Pemerintah Pusat (Jurnal Perspektif Volume XVI
No.1 Tahun 2011 Edisi Januari hal.12). Hal tersebut tentunya berbanding
terbalik dengan UUD 1945 pada pasal 18A ayat
2 dimana termuat “*(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintahan pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang”.
Saatnya Desentralisasi memberikan implikasi yang bervariasi
terhadap kegiatan pembangunan antar daerah, tergantung pada pengaturan kelembagaan,
dan desain menyeluruh dari pembagian wewenang dan perimbangan keuangan antar
pemerintah pusat dan daerah. Risiko paling besar adalah ketika sumber utama
penerimaan pemerintah diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa diikuti
langkah-langkah kebijaksanaan yang menjamin mobilisasi pendapatan daerah untuk
membiayai berbagai pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah.
Besarnya arahan (campur tangan) dari Pemerintah Pusat
didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk menjamin stabilitas nasional dan
karena alasan kondisi sumber daya manusia daerah yang dirasa masih relatif
lemah. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah memunculkan
masalah rendahnya akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial,
rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta memperlambat
pengembangan kelembagaan sosial ekonomi daerah. Dengan dikeluarkannya kedua
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 mengenai keuangan daerah dan dana perimbangan
serta Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 mengenai perimbangan keuangan antara
Pusat dan daerah memberikan implikasi yang sangat mendasar yang mengarah pada
perlu dilakukannya reformasi sektor publik yang diikuti dengan reformasi
kelembagaan dan reformasi manajemen sektor publik. Sehingga masyarakat di
daerah dapat mempunyai andil besar untuk membangun daerahnya sendiri
berdasarkan prioritas dan kebutuhan masyarakatnya sendiri (Mardiasmo, 2002 :
96-97)
Dalam
melihat latar belakang terciptanya hubungan keuangan antara pusat dan daerah,
penulis meninjau dari tiga latar belakang, yaitu dilihat dari latar belakang
filosofis, latar belakang yuridis dan latar belakang sosiologis.
Ø
Latar
Belakang Filosofis Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintahan Daerah
Negara Republik Indonesia mempunyai dasar falsafah
yang termaktub di dalam Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
merupakan hasil dari perjuangan the founding fathers dan di dalamnya
mengandung cita-cita negara Indonesia. Nilai tersebut merupakan dasar yang
dipegang oleh negara dalam menjalankan kehidupan ketatanegaraan dan sebagai
acuan untuk dapat mewujudkan cita-cita NKRI.
Pancasila sebagai staatsfundamentalnorms menjadi dasar terbentuknya Undang-Undang
Dasar 1945. Berdasarkan UUD 1945 kerangka
kenegaraan dan sistem pemerintah Republik Indonesia diatur. UUD 1945
menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik (Hanif Nurcholis,2005: 5)
Ditegaskan pula bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat.
Dengan demikian, negara Indonesia adalah negara konstitusi bersendikan
demokrasi dan berbentuk republik-kesatuan (Ni’Matul Huda,2005: 54).
Formasi negara kesatuan membentuk daerah-daerah atau
wilayah-wilayah yang kemudian diberi
kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai
kepentingan masyarakatnya. Kewenangan pemerintah pusat dapat dikatakan mencakup
semua kewenangan urusan pemrintahan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Akan tetapi melihat kondisi geografis dan kondisi sosial-budaya yang beragam,
maka difikirkan pentingnya mengatur terkait pemerintahan daerah. Pasal 18 UUD
1945 menegaskan bahwa negara Indonesia dibagi dalam daerah besar dan daerah
kecil yang bersifat otonom, dengan mempertimbangkan asal usul daerah yang
bersangkutan sebagai keistimewaan. Implentasi dari hal tersebut adalah terdapat
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut saat ini diatur lebih
lanjut di UU No 32 Tahun 2004.
Pemberian otonomi daerah memberikan kewenangan yang
sangat luas untuk mengatur daerahnya sehingga dapat mensejahteraan warganya.
Hal mana yang juga menjadi dasar mengapa pembentukan otonomi dan pemerintah
daerah itu diperlukan. Fungsi Negara sebagai welfarestate dipertaruhkan di sini, maka hal mana yang menyangkut
kesejahteraan, termasuk di dalamya terkait pengaturan hubungan keuangan antara
pusat dan daerah sangat diperlukan guna mengatur penyerahan kewenangan keuangan
dari pemerintah pusat kepada daerah.
Di negara kesatuan Republik Indonesia, faktor
keuangan daerah sangat erat hubungannya dengan faktor keuangan negara. Hubungan
keduanya bersifat timbal balik, yakni berarti bahwa kondisi keuangan negara
akan mempengaruhi kondisi keuangan daerah dan begiru pula sebaiknya.
Jika diartikan bahwa otonomi itu dipandang sebagai
hak, wewenang bagi pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah
tangga daerah sendiri, maka pada gilirannya akan timbul kewajiban bagi segenap
aparatur pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakatnya dan sekaligus
juga meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian di daerahnya. Adanya sejumlah
dana yang relative memadai dan mencukupi merupakan prasyarat penting bagi
pencapaian hasil maksimal di dalam mengembangkan otonomi yang dimilikinya
(Adrian Sutedi, 2009: 24)
Maka ini yang
membuktikan dan melatarbelakangi dilaksanakannya desentralisasi fiskal, yang
pada dasarnya dilaksanakan sebagai salah satu upaya pemenuhan kewajiban negara
dalam rangka mensejahterakan seluruh warga negaranya (khusunya dalam hal ini
masyarakat daerah). Hal mana selaras dengan tujuan Negara yang termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Ø
Latar
Belakang Yiridis Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan
Daerah
Dalam aspek yuridis berkaitan dengan substansi
hubungan keuangan dengan pusat, akan dibicarakan latar belakang munculnya
pengaturan berupa peraturan perundang-undangan serta perkembangannya. Hal mana
berhubungan dengan yuridis terbentuknya otonomi pemerintah daerah.
Secara yuridis, latar belakang munculnya hubungan
keuangan antara pusat dengan daerah berkaitan dengan pengaturan keuangan daerah
oleh Belanda karena konsep dan pengaturan tentang pemerintahan daerah pun
diperkenalkan oleh Belanda. Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan daerah
pada mulanya dicantumkan dalam “Behearsvoorschiften
1936” ( Staadsblad 1936 Nomor
432) yang seterusnya mengalami berbagai penyesuaian (Ahmad Yani, 2009: 32).
Jauh sebelum UUD 1945 diamandemen, upaya formal
untuk mengatur hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah
dilakukan. Hal ini dapat dilihat dalam UU Nomor 32 Tahun 1956 tentang
Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang berhak Mengurus
Rumah Tangganya Sendiri dan beberapa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang mengatur tentang GBHN antara lain Tap MPR Nomor III/1978, Tap. MPR Nomor
IV/1983 dan Tap MPR No. II/1998 (Muhamad Fauzan, 2006: 5).
Setelah merdeka, Indonesia memiliki UU Nomor 1 Tahun
1945 yang juga memuat pembagian daerah di Indonesia, UU Nomor 22 Tahun 1948
yang menetukan kewajiban apa saja yang diserahkan kepada daerah (otonomi
material), UU Nomor 1 Tahun 1957 dan pada tahun 1965 melalui UU Nomor 18 Tahun
1965 yang menganut sistem otonomi riil yaitu urusan rumah tangga secara luas
diserahkan kepada daerah. Selanjutnya pada rezim Orde Baru, undang-undang tersebut
diperbaharui dan diganti dengan UU Nomor 5 Tahun 1974 (Ahmad Yani, 2009: 22-23).
Namun UU Nomor 5 Tahun 1974 ini tidak dapat
diterapkan sepenuhnya karena tidak ada peraturan pelaksanaannya sampai jangka
waktu 18 tahun yaitu dengan dikeluarkannya PP Nomor 45 Tahun 1992 yang mengatur
implementasi otonomi daerah pada tingkat II (Ahmad Yani, 2009: 34) . Pada masa
reformasi, dengan perubahan rezim, maka pengaturan hubungan kekuasaan pusat
dengan daerah pun penting untuk segera diubah berdasarkan keadaan yang ada
yaitu melalui UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun berdasarkan berbagai pertimbangan dan
melihat situasi dan kondisi pemerintahan daerah baik yang terus berkembang maka
direvisi dengan dikeluarkannya UU Nomor 33 Tahun 2004.
Pertimbangan yuridis pengaturan hubungan keuangan
pusat dengan daerah di dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 (UU PKPD) antara lain
termuat dalam penjelasannya yaitu bahwa berdasarkan Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah
dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan
Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh
Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA merekomendasikan kepada Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat agar melakukan perubahan yang bersifat mendasar dan
menyeluruh terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sejalan dengan amanat TAP MPR tersebut serta adanya
perkembangan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Keuangan Negara yaitu
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
menyebabkan terjadinya perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh dalam
sistem Keuangan Negara. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
perlu diperbaharui serta diselaraskan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Selain itu, dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tersebut dikatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah,
penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara
nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan
antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Aturan di dalam Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tersebut memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada
pemerintah daerah untuk mengelola dan mengatur sumberdaya sesuai dengan
kepentingan masyarakat daerahnya, sehingga pemerintah daerah berwenang untuk
menetapkan prioritas pembangunan sesuai dengan potensi dan sumberdaya yang
dimilikinya (Suyanto,2010:5). Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Hal-hal tersebut yang merupakan latar
belakang dibentuknya peraturan pelaksana hubungan pemerintah pusat dan daerah,
yang kemudian juga sebagai landasan yuridis pentingnya dibentuk hubungna
keuangan pusat dan daerah, serta pengaturannya.
Ø Latar Belakang Sosiologis Hubungan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah
Munculnya
hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah secara sosiologis
pertama adalah sebagai konsekuensi dan seiring sejalan dengan pelaksanaan
otonomi daerah, yaitu kebutuhan ketatanegaraan dan administrasi Negara karena
tugas-tugas pemerintahan yang makin banyak dan menjangkau daerah yang luat
tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik apabila dipusatkan di tangan satu
tingkat pemerinyahan saja (Ahmad Yani, 2009: 2).
Dalam
hal sosiologi historis, hubungan ini muncul sebagai kebutuhan yang mengikuti
perkembangan desentralisasi di bidang pemerintahan Indonesia sejak tahun 1903,
didorong oleh kebutuhan sebagai akibat masuknya modal swasta yang masuk dengan
masuknya paham liberalism ke Hindia Belanda sejak tahun 1870. Pengambilan
keputusan pemerintah yang bersifat sentralistik pada waktu itu menyebabkan
beban berat dan timbul banyak permasalahan dalam hal pelayanan. Akibatnya
pengambilan keputusan lamban dan faktor yang jauh menyebabkan keputusan yang
diambil tidak sesuai keinginan. Oleh karena itu dibentuklah badan- badan
territorial di luar pemerintahan pusat yang membutuhkan sumber-sumber keuangan
dalam menyelenggarakan urusan sehingga terjadi penyerahan sebagian sumber keuangan
ke daerah (Ahmad Yani, 2009: 26).
Dengan
munculnya hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah ini, maka
hubungan tersebut harus diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan.
Dimensi sosiologis pengaturan mengenai hubungan ini yaitu dapat dilihat dari
kenyataan empiris dalam setiap perkembangan peraturan perundang-undangan. Dari
perubahan peraturan satu ke Pengaturan pertama yaitu dalam Undang-undang Nomor
1 Tahun 1945 yang memuat pengaturan hubungan keuangan pusat dengan daerah dalam
sistem sluit post yaitu memberikan
sumbangan keuangan kepada daerah-daerah agar APBD-nya seimbang. Dalam praktinya
sistem ini tidak sepenuhnya berjalan. Secara kenyataan empiris, sampai pada
tahun 1956, pemerintah memberikan tunjangan tergantung kebijaksanaannya sendiri
oleh kementerian dalam negeri sehingga disebut limit post yang menyulitkan daerah
dalam pelaksanaan APBD-nya (Ahmad Yani, 2009: 28). Keadaan ini terus berlanjut
dan terus diperbaharui sesuai keadaan yang terjadi yaitu selama kurun waktu tahun
1953. Tahun 1956 hingga masa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 (Ahmad Yani,
2009: 29).
Selain
itu, pada masa pasca reformasi, keadaan ketetatanegaraan termasuk sistem
pemerintahan daerah mengalami perkembangan dan kompleksitas dalam
pelaksanaannya sehingga diperlukan pengaturan yang lebih komprehensif. Seperti
disebutkan dalam konsideran UU PKPD dijelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan serta tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga perlu diganti.
Selanjutnya,
dalam penjelasan Undang-undang nomor 33 tahun 2004 disebutkan mengenai landasan
sosiologis diaturnya hubungan berbentuk perimbangan keuangan pusat dengan
daerah yaitu untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan
sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat,
Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.
Dapat
disimpulkan seecara sosiologis, desentralisasi fiscal berfungsi bagi pemerintah
daerah guna menentukan jumlah uang yang akan digunakan untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat dan desentralisasi fiskal memberikan kewenangan
yang lebih besar dalam pengelolaan daerah yang bertujuan untuk mensejahterakan
warga daerah (David Hariyanto, 2007: 1).
Hal ini selain memenuhi standar pelayanan public juga akan menunjang
kapasitas keuangan daerah supaya kesejahteraan rakyat yang merupakan tujuan
negara Republik Indonesia dapat terwujud. Maka jelas, pengaturan mengenai
hubungan keuangan pemerintah pusat dengan daerah sangat diperlukan sebagai
payung hukum dan pedoman pelaksanaan perimbangan keuangan guna sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
B.
HUBUNGAN
PUSAT DENGAN DAERAH
Dengan
sentralisasi dan otonomi daerah diharapkan memacu terciptanya suatu daerah yang
menjadi pusat pertumbuhan baru yang sesuai dengan ciri geografis dan demografis
daerah tertentu. Adanya otonomi daerah ini, bukan berarti melepaskan tanggung
jawab pemerintah pusat terhadap daerah, juga sebaliknya. Pemerintah pusat masih
turut berperan andil dalam pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah oleh
pemerintah lokal (Jurnal Hukum Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010). Hal
ini terlihat dengan dianutnya asas penyelenggaraan pemerintah daerah, yang mana
asas-asas tersebut memperjelas hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah,
asas-asas tersebut yaitu:
1. Asas Desentralisasi
Yaitu
asas penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah pusat atau daerah tingkat
atasnya kepada pemerintah daerah menjadi urusan rumah tangganya.
Prinsip-prinsip
dalam asas ini:
a.
penyerahan urusan/wewenang pemerintahan dari pemerintah atau pemerintah local
tingkat yang lebih atas kepada daerah untuk menjadi urusan atau wewenang pemerintahan
sendiri;
b.
Asas yang bermaksud melakukan pembagian wilayah Negara yang berhak/berwenang
mengurus rumah tangganya sendiri;
c.
Asas yang bermaksud membentuk pemerintahan local yang berwenang
menyelenggarakan pemerintahan sendiri;
d. Manifestasi bentuk
susunan organisasi Negara yang terdiri dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Lokal.
Kebijakan
Desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah merupakan bentuk implementasi
dari kebijakan demokratisasi karena tanpa adanya desentralisasi maka
demokratisasi pemerintahan tidak akan terwujud (Sony Yuwono, Dwi Cahyo Utomo,
Suheiry Zein, Azrafiany, 2007: 12-13).
2. Asas
Dekonsentrasi
Yaitu
pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi
vertical tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
Prinsip-prinsip
dalam asas ini:
a.
sentralisasi yang diperhalus;
b.pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada
gubernur sebagai alat perlengkapan pusat;
c.
Menimbulkan wilayah-wilayah administrative;
d.
Bentuk penyelenggaraan pemerintahan umum pusat di daerah;
e. kewenangan,
pendanaan, sarana dan prasarana dari pusat.
3. Asas Tugas
Pembantuan
Yaitu asas yang
menjelaskan adanya tugas tururt serta dalam melaksanakan tugas urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah tingkat atasnya dengan
kewajiban pertanggungjawabannya ke Pusat.
4. Asas Vrejbestuur
Yaitu asas yang
memberikan kekuasaan kepala daerah untuk menempuh suatu kebijaksanaan, manakala
masalahnya belum tertampung peraturan perundang-undangan/menghindarkan kerugian
masyarakat.
Melihat adanya asas-asas ini, kekhawatiran akan
lepasnya kotrol dan kekuasaan Pemerintah Pusat terhadap daerah tidak perlu ada.
Pemerintah Pusat masih tetap mempunyai posisi dan peran dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara. Hal ini didasarkan bahwa pemerintahan suatu Negara pada
hakekatnya mengemban tiga fungsi utama dalam penyelenggaraan suatu
pemerintahan. Yaitu Pertama, fungsi
alokasi yang meliputi antara lain sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa
pelayanan masyarakat. Kedua, Fungsi
distribusi yang meliputi antara lain pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan
pembangunan, dan fungsi stabilisasi pertahanan-keamanan, ekonomi-moneter. Ketiga, Fungsi distribusi dan fungsi
stabilisasi.
Selain itu hubungan antara daerah dan pusat juga
meliputi hubungan kewenangan, hubungan keuangan antara pusat dan daerah, hubungan
pengawasan, serta hubungan dalam Susunan Organisasi Pemerintahan Daerah.
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT
DENGAN DAERAH
Umumnya
sumber keuangan daerah sebagian besar masih berupa bantuan dari pemerintah
pusat. Hanya sebagian kecil yang merupakan pendapatan asli daerah. Ini jelas
akan mengurangi sifat kemandirian pemerintah di bidang keuangan. Kebijaksanaan
keuangan daerah itu tercermin pada kebijaksanaan fiskal atau anggaran daerah.
Tujuan utama dari kebijaksanaan fiskal adalah:
-
Untuk menjamin agar laju pertumbuhan ekonomi
dapat sesuai dengan potensinya. Ini berarti dengan kebijaksanaan fiskal akan
diusahakan seoptimal mungkin agar potensi-potensi ekonomi yang ada di daerah
dapat terealisasi.
-
Mengusahakan terbukanya berbagai
kesempatan dan mengusahakan dalam tingkat yang wajar dan peningkatan
pertumbuhan. Maka kebijaksanaan penganggaran daerah harus ditangani dengan
sebaik-baiknya.
Dana
yang digunakan untuk pembangunan daerah itu berasal dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan swadaya masyarakat. Dana yang didapat dari pemerintah
pusat mungkin juga sebagian berasal dari bantuan luar negeri. Alokasi dana dari
pusat yang diberikan sebagai sumber pendapatan daerah dapat berupa subsidi,
bagian pendapatan dari pusat, pinjaman, investasi pemerintah pusat di daerah,
pajak ikutan, retribusi, laba perusahaan.
Menurut Davey (1982) tujuan hubungan
antara pusat dan daerah adalah:
-
Adanya pembagian wewenang yang rasional
antara tingkat-tingkat pemerintahan mengenai peningkatan sumber-sumber
pendapatan dan penggunaannya.
-
Pemerintah daerah memiliki sumber-sumber
dana yang cukup, sehingga dapat menjalankan tugas atau fungsi dengan baik,
(penyediaan dana untuk menutup kebutuhan rutin dan pembangunan).
-
Pembagian yang adil antara pembelanjaan
daerah yang satu dan daerah lain.
-
Pemerintah daerah dalam mengusahakan
pendapatan (pajak dan retribusi) sesuai dengan pembagian yang adil terhadap
keseluruhan beban pengeluaran pemerintah.
Hubungan
keuangan antara pusat dan daerah dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan,
yaitu:
-
Pendekatan kapitalisasi (capitalization approach)
Pemerintah
pusat mengadakan investasi di daerah dan berpatungan dengan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengelolanya. Keuntungan yang
diperolehnya sebagian menjadi hak pusat dan sebagian menjadi hak daerah, sesuai
dengan besarnya modal yang ditanam dan perimbangan manajemennya.
-
Pendekatan sumber pendapatan (income source approach)
Pemberian
sebagian pendapatan dari sumber-sumber pendapatan oleh pusat ke daerah. Dapat
berupa wewenang mengelola sumber-sumber pendapatan tertentu sepenuhnya yang
diserahkan kepala daerah atau wewenang untuk menikmati sebagian persentase dari
pungutan yang dilakukan oleh daerah atas nama pusat.
-
Pendekatan belanja (expenditures approach)
Pendekatan
ini didasarkan pada kebutuhan pengeluaran biaya-biaya untuk proyek atau untuk
membiayai kegiatan rutin pemerintah daerah. Subsidi pemerintah pusat diberikan
dengan mempertimbangkan kemampuan dan alokasi bantuan pada masing-masing
daerah, dan kebutuhan-kebutuhan pembangunan tidak boleh ada perbedaan yang
mencolok dengan tahun-tahun sebelumnya.
-
Pendekatan Komprehensif (comprehensive approach)
Pendekatan
ini didasarkan pada pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola
sumber-sumber pendapatannya sendiri guna membiayai pengeluaran-pengeluaran
daerah dan mencoba untuk mempertemukan antara sumber-sumber pendapatan dan
target belanja. Sumber-sumber pendapatan yang boleh dikelola sepenuhnya oleh
daerah merupakan PAD. Apabila untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah
itu masih kurang, maka kekurangan itu akan disubsidi pusat. Karena umumnya
pemerintah daerah dalam membiayai kebutuhannya itu tidak cukup, maka pendekatan
ini pun dinamakan pendekatan defisit (Wahyudi Kumorotomo, 2008: 29-30).
C.
IMPLEMENTASI
HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH
Untuk
mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata
dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan
pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah
dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan
(HAW. Widjaja, 2009:25).
Sumber-sumber pendapatan daerah
dalam pelaksanaan Desentralisasi menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah pasal 157 junto pasal 5 Undang-undang Nomor 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, terdiri dari:
a.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
1. Hasil pajak daerah;
2. Hasil retribusi daerah;
3. Hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan
4. Lain-lain
PAD yang sah
b. Dana perimbangan
c. Lain-lain
pendapatan daerah yang sah
Dana perimbangan sesuai
dengan pasal 159 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
junto pasal 10 Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah terdiri atas:
a.
Dana Bagi Hasil;
Dana bagi hasil sebagaimana yang diatur
dalam pasal 160 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah junto pasal 11 ayat 1 Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, bersumber
dari Pajak dan Sumber Daya Alam.
Sumber keuangan yang berasal dari dana bagi
hasil yang bersumber dari sumber daya alam sangat penting dalam menunjang
pendapatan keuangan daerah, mengingat banyaknya potensi yang dimiliki daerah
dari sumberdaya alam. Untuk menambah pendapatan keuangan daerah tersebut,
daerah tidak hanya mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber
dari retribusi daerah, pajak daerah maupun hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan ataupun lain-lain PAD yang sah namun dana bagi hasil
dari dana perimbangan sangat penting dalam mensukseskan penyelenggaraan otonomi
daerah. Menurut Bird, Humes, Shah, Wilson dan Game yang dikutip oleh M.R.
Khoirul Muluk, dana bagi hasil dibanyak negara menjadi pendapatan yang
utama bagi pemerintah daerah.
Terdapat tiga alasan utama dari pentingnya
dana bagi hasil bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu menambah sumber
pendapatan daerah, untuk memenuhi kebutuhan yang berlebihan atau pendapatan
yang terbatas dari area tertentu, dan untuk meningkatkan program tertentu serta
menyelipkan kontrol terhadapnya.
b.
Dana Alokasi Umum
Bertujuan untuk pemerataan
kemampuan daerah termasuk jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintah
daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat dan merupakan
satu kesatuan dengan penerimaan umum APBD. DAU digunakan untuk membiayai
kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang penggunaan
nya ditetapkan oleh daerah (HAW. Widjaja, 2009:33).
c. Dana Alokasi Khusus
Dapat dialokasikan dari
APBN kepada daerah tertentu untuk membiayai kebutuhan khusus dengan
memperhatikan dana dalam APBN. Kebutuhan khusus adalah kebutuhan yang tidak
dapat diperkirakan secara umum dengan rumus atau komitmen atau prioritas
nasional misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, pembangunan kawasan
terpencil maupun saluran irigasi primer (HAW. Widjaja,
2009:35).
Namun
demikian hubungan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah harus tetap
dilaksanakan secara adil, berimbang dan selaras sesuai dengan amanat UUD 1945
pasal 18A ayat 2 yang merupakan dasar filosofis dan landasan konstitusional
pembentukan Undang-undang tersebut dengan tujuan utama mengabdi kepada sasaran
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sehingga Desentralisasi fiskal berpengaruh
pada kepentingan dari banyak pihak atau kelompok pembuat kebijakan di suatu
negara, baik di tingkat nasional maupun subnasional (Wahyudi Kumorotomo,
2008:26).
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adrian,
Sutedi, 2009.Implikasi Hukum Atas Sumber
Pembiayaan Daerah dalam Kerangka
Otonomi Daerah.Jakarta: Sinar Grafika
Ahmad, Yani, 2009.Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah di Indonesia.Jakarta:
Rajawali Pers
Hanif, Nurcholis, 2005.Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
Daerah.Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
HAW.Widjaja, 2005. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia.Jakarta:
RajaGrafindo Persada
Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta:
ANDI Yogyakarta
Muhammad,Fauzan, 2006.Hukum Pemerintahan Daerah.Yogyakarta:
UII Press
Ni’Matul, Huda, 2005.Otonomi Daerah.Yogyakarta: Pustaka
Belajar
Sony Yuwono,Dwi Cahyo
Utomo,Suheiry Zein, Azrafiany, 2008. Memahami
APBD dan Permasalahannya (Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah).Malang:
Bayumedia Publishing
Wahyudi, Kumorotomo,
2008. Desentralisasi FiskalPolitik dan
Perubahan Kebijakan 1974-2004.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
JURNAL
David Hariyanto,Hubungan
antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan per Kapita, Simposium
Nasional Akuntansi 26-28 Juli 2007
Suyanto,Flypaper Effect Theory Dalam Implementasi
Kebijakan Desentralisasi Fiskal,2010,Jurnal Ekonomi Pembangunan,Volume 11 Nomor 1
Umbu
Lily Pekuwali, Eksistensi Perda Dalam
Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat,2010,Jurnal Hukum Yustisia,Edisi
79,Januari-April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar