RISKA EGA WARDANI
E0010308
UKD III HUKUM BIROKRASI DAN PELAYANAN PUBLIK
Kepolisian hanyalah salah satu dari
sekian Lembaga Negara yang ada di Republik Indonesia, dimana setiap lembaga
tersebut mempunyai fungsi yang relatif berbeda. Walaupun demikian tujuan utama
dari setiap Lembaga Negara adalah sama, yaitu memberikan pelayanan kepada
masyarakat sehingga tercipta masyarakat yang aman, adil makmur dan sejahtera.
UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan
bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan Alat Negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”. Deskripsi berbagai fungsi
kepolisian itu sangat jelas bahwa peran utama Kepolisian di masyarakat dapat
dikatagorikan sebagai public service, yang memiliki implikasi
sangat fundamental sebagai organisasi yang menyediakan jasa.
Hasil survei
yang dilakukan oleh Transparency
International Indonesia (TII) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun
2008, sama-sama meletakkan institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
sebagai institusi yang rentan tingkat korupsinya. Baik TII maupun KPK sama-sama
menemukan fakta bahwa tingkat suap di institusi penegak hukum ini marak
terjadi. Menurut Ombudsman pada tahun 2012, lembaga pengawas pelayanan publik
ini mengelola 2.209 laporan masyarakat. Sebanyak 383 aduan di antaranya terkait
dengan pelayanan di kepolisian. Sementara pada 2013 hingga September, Ombudsman
RI telah menangani 129 laporan masyarakat yang mengadukan buruknya kinerja
pelayanan di kepolisian. Ombudsman RI melakukan supervisi pelayanan publik di
12 provinsi pada 2012 lalu, dan di 23 provinsi tahun 2013 ini.
Tidak jarang,
oknum-oknum kepolisian bahkan menjadi bagian dan atau lebih suka disuap
daripada memproses pelaku tersebut ke jalur hukum. Praktik buruk semacam ini
kerap masih terjadi di daerah-daerah. Khususnya di daerah tempat tinggal saya,
Kabupaten Magetan. Tepatnya 16 September 2013 saat itu saya sedang melakukan
penelitian mengenai pajak hotel di daerah Aloon-Aloon Magetan. Saya tidak
mengetahui jika aturan lalu lintas mewajibkan pengendara melalui jalan satu arah.
Dalam waktu yang bersamaan ada sepasang polisi yang melakukan patroli dan
menegur serta menilang saya dengan ancaman pelanggaran rambu-rambu lalu lintas.
Lalu saya disuruh ke Pos Polisi, belum sampai duduk di ruang tunggu, saya sudah
disodori sanksi yang mewajibkan membayar Rp 40.000,00. Padahal saya balik
bertanya, pasal berapa yang dikenakan pada saya. Serta sanksi minimal dan
maksimal nya apa. Polisi yang berada di satu pos tersebut saling bertanya satu
sama lain. Masih sibuk membuka lembaran-lembaran peraturan sanksi lalu lintas.
Sedangkan kasus lain saya temui terhadap masyarakat yang sama-sama melakukan
pelanggaran, namun dilepaskan dikarenakan salah satu saudaranya berseragam TNI
menjemput untuk melakukan damai. Dan parahnya lagi, pelanggar yang lain
menyerah begitu saja dengan membayar denda. Dengan alasan gak mau susah untuk
mengurus administrasinya. Akhirnya saya mengambil langkah untuk sidang di
Pengadilan yang hanya menghabiskan biaya Rp 30.000,00 di kemudian hari.
Berlatar belakang
kasus tersebut dalam rangka meningkatkan pelayanan publik maksimum, institusi
Polri harus mampu menjawab sejumlah tantangan. Persepsi publik yang negatif
terhadap kinerja kepolisian harus dijawab dengan kinerja anti suap, sigap
bertindak, dan profesionalisme kerja penyidikan dalam menangani sebuah kasus
kejahatan maupun pelanggaran. Polisi profesional adalah polisi yang bekerja
dengan keahlian dan tanggung jawabnya. Beberapa faktor-faktor kunci
keberhasilan yang bisa dikembangkan untuk mengatasi hal tersebut, antara lain
adalah: interactive marketing, internal marketing,
dan external marketing.
a. Interactive marketing mengacu
kepada kemampuan berinteraksi dengan publik dalam cara yang konsisten, dan
berorientasi untuk memuaskan kebutuhan masyarakat dalam memecahkan masalah
hukum atau ketertiban. Meskipun demikian, disadari bahwa membangun perilaku
seragam dengan mutu standar minimal dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat
bukanlah hal yang mudah.
b. Internal Marketing mengacu
kepada pembudayaan service quality dari inisiatif pimpinan
Kepolisian dalam segala level untuk memotivasi, melatih, dan berharap agar tiap
anggota Kepolisian berlaku sebagaimana budaya service quality yang telah dibangun
tersebut. Dalam konteks ini, institusi Kepolisian yang ada diberbagai belahan
dunia lain yang berhasil sudah membuktikan bahwa keberhasilan mereka erat
kaitannya dengan adanya suatu program pelatihan yang ketat terhadap anggota dan
manajemen organisasi. Oleh karena itu, hal tersebut berlaku pula bagi
Kepolisian dimana sistem pelatihan yang penuh disiplin dan mengacu pada
pencapaian kepercayaan masyarakat harus ada dalam tubuh Kepolisian, dalam hal
ini dimensi dari responsive,
tuntas dan ketulusan (responsiveness,
assurance, and emphaty) yang muncul dari pelayanan Kepolisian akan dapat
ditingkatkan.
c. Eksternal marketing, mengacu kepada penyediaan
pelayanan sesuai spesifikasi yang diharapkan oleh masyarakat segi (delivery
service). Eksternal marketing
inilah yang berkait erat dengan implementasi Community Policing oleh Kepolisian dalam rangka meningkatkan
kepercayaan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia
C. Gronroos “A service quality Model and Its Marketing
Implication”, European Journal of Marketting, 1984, Kajian Grand Strategi
Kepolisian Menuju 2025, Lembaga Penyeldikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, hal 119. 2004.
http://www.jpnn.com/read/2013/11/07/199615/Polri-Dapat-Rapor-Merah-dari-Ombudsman-RI-
diakses tanggal 26 November pukul 10.02 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar