MERAK KHATULISTIWA ALA JAWA TIMUR
Dalam
pasal 32 UUD 1945 dinyatakan: "Pemerintah memajukan kebudayaan nasional
Indonesia." Ini berarti bahwa masalah kebudayaan nasional adalah masalah
kenegaraan, sehingga perlu ditangani secara sungguh-sungguh oleh seluruh
lapisan masyarakat Indonesia guna membentuk suatu kebudayaan nasional. Salah
satu wahana untuk memajukan kebudayaan nasional tersebut adalah melestarikan
warisan budaya bangsa yang dilaksanakan mulai dari hal terkecil dalam kehidupan
sehari-hari kita. Terkikisnya budaya warisan leluhur bangsa akibat rasa
nasionalisme yang semakin padam di kalangan masyarakat. Mereka lebih tertarik
pada kehidupan hedonis (kesenangan) dengan dunia orang lain. Kita bisa melihat
banyak pemuda yang tidak peduli dengan kondisi keterpurukan yang melanda bangsa
ini.
Seiring dengan
zaman dan budaya – budaya asing yang kian merajalela di Indonesia. Sebut saja
demam K-pop korea, demam Hollywood,`serta drama asing yang hanya mengajarkan
pada kita kehidupan duniawi saja. Budaya bangsa yang diakui oleh negara lain
sedangkan kita hanya diam terpaku meringis menahan rasa malu karena
ketidakberdayaan kita untuk membuktikan bahwa kita memilikinya. Jiwa dan rasa Nasionalisme yang tertanam
dalam diri bangsa Indonesia semakin luntur, Kondisi ini tidak lepas dari
fenomena global yang berkembang pesat, ketidaksiapan dan kemampuan mental dalam
menghadapi ancaman globalisme dan neoliberalisme serta di dukung oleh rasa
individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian mahasiswa dengan budaya asli
Indonesia. Tingginya tingkat pengadopsian budaya asing yang melanda
masyarakat Indonesia dewasa ini juga disebabkan oleh masih kurangnya informasi,
pemahaman, dan penghayatan terhadap nilai-nilai budayanya sendiri menjadi
sebuah keniscayaan.
Rasa
apatis yang menggerogoti pemikiran kita mengenai nasionalisme, bisa kita cegah
dengan terus mengupayakan destinasi terbaik tentang potensi pariwisata di
daerah kita sendiri. Mengapa? Karena hal tersebut merupakan bagian dari rasa
tanggung jawab kita untuk melaksanakan amanat pasal 32 UUD 1945 seperti penulis
utarakan di atas tadi. Penulis berkeyakinan dengan sedikit perubahan mengenai
hal tersebut, Indonesia pasti menjadi surga pariwisata bagi para pelancong
turis domestik maupun mancanegara. Sebut saja provinsi Jawa Timur yang
merupakan provinsi yang strategis mengingat letak geografis nya yang berada
pada keadaan menguntungkan.
Jawa
Timur merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang potensial, hampir disetiap
Kabupaten/Kota yang memiliki daerah tujuan wisata yang menarik. Daerah tujuan
wisata di Jawa Timur meliputi wisata budaya dan wisata alam. Wisata budaya berupa
peninggalan peninggalan situs candi-candi yang paling terkenal di Jawa Timur
adalah peningggalan-peninggalan kerajaan Majapahit yang saat ini banyak
terdapat di daerah Trowulan Kabupaten Mojokerto, Karapan Sapi di Madura.
Sedangkan wisata alam di Jawa Timur yang paling banyak dikunjungi adalah :
Gunung Bromo di Kabupaten Pasuruan, Hutan Wisata Suaka Alam Taman Nasional
Baluran di Kabupaten Banyuwangi. Monumen bersejarah antara lain, Tugu Pahlawan
di Surabaya, dan Hotel Majapahit di Surabaya.
Candi
Panataran adalah sebuah candi berlatar belakang Hindu (Siwaitis) yang terletak
di Jawa Timur. Candi ini persisnya terletak di lereng barat daya gunung Kelud
di sebelah utara Blitar. Kompleks candi ini merupakan yang terbesar di Jawa
Timur. Karapan sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi
yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Pada perlombaan ini, sepasang sapi
yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan
pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasanganpasangan
sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan
dapat berlangsung sekitar sepuluh sampai lima belas detik. Beberapa kota di
Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap
tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di kota
Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden. Kerapan sapi didahului
dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan
diiringi gamelan Madura yang dinamakan saronen. Babak pertama adalah penentuan
kelompok menang dan kelompok kalah. Babak kedua adalah penentuan juara kelompok
kalah, sedang babak ketiga adalah penentuan juara kelompok menang. Piala
Bergilir Presiden hanya diberikan pada juara kelompok menang.
Taman
Nasional Bromo-Semeru merupakan satu-satunya kawasan konservasi di Indonesia
yang memiliki keunikan berupa laut pasir seluas 5.250 hektar, yang berada pada
ketinggian 2.392 m dari permukaan laut. Pegunungan Bromo-Semeru, merupakan
pegunungan yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa
Timur. Kawasan wisata ini menjanjikan sebuah keindahan yang tak bisa anda temui
di tempat lain. Dari puncak gunung berapi yang masih aktif ini, anda bisa
menikmati hamparan lautan pasir seluas 10 km persegi, dan menyaksikan kemegahan
gunung Semeru yang menjulang menembus awan. Selain menyaksikan keindahan
panorama yang ditawarkan oleh Bromo-Semeru, apabila Anda datang di waktu yang
tepat, maka Anda dapat menyaksikan Upacara Kesodo, yang diadakan oleh
masyarakat Tengger. Upacara ini biasanya dimulai pada saat tengah malam hingga
dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kesodo
[ke-sepuluh] menurut penanggalan Jawa. Upacara Kesodo merupakan upacara untuk
memohon panen yang berlimpah atau meminta tolak bala dan kesembuhan atas
berbagai penyakit, yaitu dengan cara mempersembahkan sesaji dengan
melemparkannya ke kawah Gunung Bromo.
Taman Nasional Baluran dengan luas 25.000 Ha
wilayah daratan dan 3.750 Ha wilayah perairan terletak di antara 114° 18' -
114° 27' Bujur Timur dan 7° 45' - 7° 57' Lintang Selatan. Daerah ini terletak
di ujung Timur pulau Jawa. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Madura,
sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan sungai
Bajulmati dan sebelah Barat berbatasan dengan sungai Kelokoran. Iklimnya
bertipe Monsoon yang dipengaruhi oleh angin Timur yang kering. Curah hujan
berkisar antara 900 - 1600 mm/tahun, dengan bulan kering per tahun rata-rata 9
bulan. Antara bulan Agustus s/d Desember bertiup angin cukup kencang dari arah
Selatan. Pada bagian tengah kawasan ini terdapat Gunung Baluran yang sudah
tidak aktif lagi. Tinggi dinding kawahnya bervariasi antara 900-1.247 m dan
membatasi kaldera yang cukup luas. Kawasan perairan memiliki keanekaragaman
hayati dan ekosistem perairan yang perlu dilestarikan guna mendukung strategi
konservasi.
Tugu
Pahlawan, Tragedi 10 Nopember 1945 dan sejarah-sejarah perjuangan lainnya
membuat Surabaya dikenal dengan sebutan ‘Kota Pahlawan’. Alasan tersebutlah
yang menjadi dasar dibangunnya tugu pahlawan. Walaupun banyak patung-patung
pahlawan lain di Surabaya, namun tugu pahlawan merupakan yang paling dikenal.
Tugu Pahlawan berbentuk seperti roket yang menjulang tinggi yang terletak di
Taman Kebonrojo di seberang kantor Gubernur di pusat kota Surabaya. Tugu
tersebut tidaklah terlalu dekoratif, tidak pula besar, namun kesederhanaannya
yang memang disengaja oleh perancangnya menunjukkan karakter yang rendah hati
dan menjauhkan kesan angkuh. Monumen ini menjadi pusat tempat peringatan hari
pahlawan 10 Nopember dimana kota Surabaya mengenang para pahlawan yang telah
gugur mempertahankan kemerdekaan. Industri Kerajinan Kulit di Tanggulangin
berdiri sejak tahun 1976. Selain memproduksi tas dan koper juga sepatu, ikat
pinggang, dompet, dll. Tas dan koper hasil kerajinan tersebut selain dipasarkan
di dalam negeri, juga diekspor ke luar negeri antara lain Jepang, Arab Saudi
dan Eropa. Tak lupa industri Kerajinan kulit khas Jalan Sawo Magetan yang
kualiitas produk lebih unggul karena proses produksinya yang hand made dan terdapat pabrik pengolahan
kulit terbesar di Jawa Timur. Tak mengehrankan apabila Jawa Timur merupakan
daerah pemasok kerajinan kulit terbesar di Indonesia.
Hotel
Majapahit terletak di Jalan Tunjungan, pernah dikenal dengan nama LMS, Orange
Hotel, Yamato Hotel, Hoteru hotel dan merupakan pusat kegiatan Eropa dan
Belanda dalam rangka mengembalikan Surabaya ke kekuasaan Belanda. Pada tanggal
19 September 1945 yang terkenal dengan insiden bendera, pejuang-pejuang
Surabaya merobek warna biru pada bendera Belanda sehingga menjadi merah putih,
bendera Indonesia. Insiden ini amat memicu kemarahan Belanda. Jembatan merah
yang terletak di utara Surabaya merupakan tempat berlangsungnya pertempuran
terdahsyat yang pernah terjadi di pulau Jawa. Pertempuran Surabaya bermula pada
tanggal 10 Nopember 1945, kurang dari tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan
dan di tempat inilah Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh. Dekat jembatan ini
terletak Kampung Cina yang membuat arsitektur di sekitar jembatan kental dengan
arsitektur dan konstruksi bernuansa Cina dan merupakan tempat bisnis dan
perdagangan yang ramai. Kya-kya merupakan pusat jajanan malam terbesar di kota
Surabaya yang terletak di Kembang Jepun (Kampung Cina) yang hanya buka di malam
hari karena pada siang hari lokasi tersebut merupakan pusat kegiatan
perdagangan yang ramai.
Museum
Sampoerna menawarkan pengalaman yang unik bagi pengunjung. Mulai cerita
mengenai keluarga Sampoerna hingga melihat secara dekat produksi pelintingan
rokok, bahkan pengunjung dapat mencoba melinting rokok Dji Sam Soe sendiri.
Pengunjung dapat menjadi bagian dari 3.900 orang wanita yang bekerja di pabrik
ini, melinting rokok dengan peralatan tradisional. Mereka dapat melakukannya
dengan kecepatan 325 batang rokok per jamnya. Dengan sentuhan art deco, unsur kreativitas dan sentuhan
sejarah, Kafe Sampoerna menawarkan pengalaman kuliner yang unik. Campuran
lukisan, kaca jendela patri dan ukiran panel kayu jati yang antik dengan disain
yang modern, Kafe Sampoerna dapat memberikan pengalaman yang sukar untuk
dilupakan. Beraneka ragam pilihan makanan ala western maupun Asia tersedia. Pada malam-malam tertentu, penampilan
live music akan menemani suasana
makan anda.
Terbukti
memang mengapa penulis menjuluki Jawa Timur sebagai Merak Khatulistiwa. Karena
provinsi Jawa Timur mempunyai keunikan serta keberagaman budaya dari berbagai
etnik dan suku. Terlebih lagi Jawa Timur tidak hanya menonjol dari segi
pariwisata nya namun juga merupakan sentra industri terbesar kedua di
Indonesia. Merak di sini menunjukkan bahwa provinsi Jawa Timur memberikan warna
yang tak ternilai harga nya terhadap kemajuan Indonesia, sedangkan arti Khatulistiwa
di sini penulis berpendapat bahwa mengenai Sejarah Provinsi Jawa
Timur merupakan saksi masa Kejayaan Majapahit. Dulunya kejayaan kerajaan di
Jawa Tengah menurun sejak abad ke-10. Perannya kemudian digantikan oleh
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur. Kerajaan ini menguasai seluruh
kepulauan Indonesia, Semenanjung Melayu, dan sebagian wilayah Filipina selama
ratusan tahun. Sukses membina hubungan dagang dengan Cina, Kamboja, Siam,
Burma, dan Vietnam, selama masa pemerintahan Raja Airlangga, masyarakat Jawa
Timur dan Bali berhasil menciptakan hubungan dagang dengan pulau-pulau di
Nusantara dan mengembangkan kebudayaan dan kesenian bercorak Hindu hingga
puncaknya dari karya sastra hingga corak candi yang indah.
Mengenai Transportasi Provinsi Jawa Timur
terhubung ke seluruh Pulau Jawa melalui jalan darat, kereta api regular, dan
transportasi udara antara Surabaya dan kota-kota besar lainnya di Indonesia
termasuk Bali yang hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam. Masyarakat dan Budaya Masyarakat desa di
Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan
persahabatan dan teritorial.
Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) Jatim, jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Jawa Timur melalui pintu masuk Juanda pada Februari 2013 sebanyak 16.718
orang atau turun 0,9% dibanding Januari. Namun, secara kumulatif jumlah
wisatawan mancanegara pada Januari – Februari mencapai 33.589 orang atau naik
17,89% dibanding dengan periode yang sama tahun lalu. Menurut BPS, sebagian besar
wisatawan mancanegara pada Februari berkebangsaan Malaysia yakni sebanyak 4.324
orang atau naik 12,08% dari Januari 3.858 orang.
Diikuti kebangsaan Singapura sebanyak 1.557 orang atau 40,78% dari
1.106 orang dan China sebanyak 951 orang atau turun 2,46% dari 975 orang pada
Januari. Dibanding
dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, jumlah wisman Jawa Timur pada
Februari tahun ini naik 17,89%. Sementara wisatawan mancanegara berkebangsaan Taiwan pada Februari
2013 sebanyak 756 orang atau naik 20,77% dibanding Januari. Sedangkan
wisatawan asal Jepang naik 5,52% dari 543 orang pada Januari menjadi 573 orang
pada Februari. Menurut
kontribusinya, selama Februari 2013 wisatawan berkebangsaan Malaysia berperan
25,86%, kebangsaan Singapura 9,31%, kebangsaan China dan Taiwan masing-masing
5,67% dan 4,52%, dan kebangsaan Jepang 3,43% terhadap jumlah wisatawan
mancanegara yang masuk Juanda, dengan kontribusi kelimanya sebesar 48,81%.
Berdasarkan paparan mengenai keistimewaan Provinsi Jawa
Timur di atas, penulis berharap ke depannya masyarakat sadar dan patut bangga
akan keistimewaan Indonesia. Mampu berkontribusi penuh demi kemajuan bangsa,
mampu memelihara dan menjaga keistimewaan tersebut. Sehingga ke depannya
Indonesia tetaplah Indonesia bukan menjadi Indonesia sebagai Negara Boneka
masyarakat dunia.
THINK
GLOBALLY, ACT LOCALLY
Think globally, act
locally menjadi sikap kunci dalam hal ini. Berpikir
secara global dan bersikap secara lokal akan dapat menjadi sikap yang
mendamaikan ketiganya. Tanpa berpikir secara global yang dibarengi dengan
kesadaran akan kearifan lokal, desentralisasi bakal sulit memberikan solusi
atas ketidakadilan pusat-daerah.
Setiap daerah tentu mempunyai potensi dan keunggulan masing-masing. Potensi dan keunggulan itulah yang harus dikembangkan untuk "memerdekakan" masyarakat (lokal). Ini mutlak mengingat persaingan antardaerah semakin bebas. Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai cita-cita kemerdekaan kini berada di tangan masing-masing daerah dalam mengelola segala potensinya.
Setiap daerah tentu mempunyai potensi dan keunggulan masing-masing. Potensi dan keunggulan itulah yang harus dikembangkan untuk "memerdekakan" masyarakat (lokal). Ini mutlak mengingat persaingan antardaerah semakin bebas. Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai cita-cita kemerdekaan kini berada di tangan masing-masing daerah dalam mengelola segala potensinya.
Perlu kita ketahui terlebih dahulu siapa kah yang termasuk
Putra Daerah tersebut? Menurut Eep Saefullah Fathan dalam
satu tulisannya, ia membagi putra daerah menjadi 4 kategori: genealogis,
politik, ekonomi, dan sosiologis.
Pertama,
“putra daerah genealogis,” yakni mereka yang sekadar memiliki kaitan darah
dengan daerah itu tetapi tidak menetap dan di situ. Putra daerah genealogis
terbelah lagi ke dalam dua kategori: Mereka yang kebetulan dilahirkan di daerah
bersangkutan dari (salah satu atau kedua) orang tua yang juga berasal daerah
tersebut, dan mereka yang tidak dilahirkan di daerah tersebut tapi memiliki
orang tua yang berasal dari daerah bersangkutan.
Kedua,
“putra daerah politik”, yakni putra daerah genealogis yang memiliki kaitan
politik dengan daerah itu. Misalnya: Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari
daerah tertentu yang sebelumnya tak punya kiprah politik dan ekonomi di daerah
tersebut atau Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat yang oleh partainya
ditempatkan sebagai kandidat dari daerah yang memiliki kaitan genealogis
dengannya.
Ketiga,
“putra daerah ekonomi”, yakni putra daerah genealogis yang karena kapasitas
ekonominya kemudian memiliki kaitan dengan daerah asalnya melalui kegiatan
investasi atau jaringan bisnis di daerah asalnya. Dalam konteks sistem politik
dan ekonomi Indonesia, putra daerah politik dan ekonomi ini biasanya hanya
berhubungan dengan daerah asalnya secara pragmatis belaka.
Mereka
membutuhkan daerah lebih banyak sebagai basis pemenuhan kepentingan politik dan
ekonomi mereka sendiri. Tentu saja, sebaliknya, daerah itupun sedikit banyak
bisa memperoleh keuntungan politik dan ekonomi dari mereka.
Keempat,
“putra daerah sosiologis”, yakni mereka yang bukan saja memiliki keterkaitan
genealogis dengan daerah asalnya tetapi juga hidup, tumbuh dan besar serta
berinteraksi dengan masyarakat di daerah itu. Mereka sungguh-sungguh menjadi
bagian sosiologis dari masyarakat daerahnya.
Dari
empat kategori sederhana diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa walaupun
sama-sama putra daerah, namun tidak semua memiliki sebuah motif yang sama
terhadap daerahnya itu sendiri. Ada yang memberdayakan daerah untuk
menguntungkan dirinya sendiri, ada pula yang menguntungkan kedua belah pihak:
dirinya dan daerahnya sendiri. Putra daerah turut berperan untuk menentukan
arah perkembangan daerah tempat mereka berada.
Ada
banyak wacana dan rencana yang digulirkan secara makro untuk mengarahkan
pembangunan Indonesia menjadi lebih baik. Namun semua hal itu tidak akan bisa
dilepaskan dari suksesnya pembangunan daerah-daerah didalamnya. Mustahil
Indonesia bisa maju, jika daerah-daerah didalamnya saja masih belum terurus
dengan baik.
Peran
putra-putra daerah tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Pembangunan mental
dan pikiran putra daerah harus dipersiapkan secara matang dan sistematis baik
itu oleh keluarga maupun pemerintah daerah itu sendiri agar mampu menjadi
bagian sosiologis masyarakat sekitarnya. Adanya sebuah program pembangunan
sumber daya manusia yang baik, dapat menjadikan putra daerah sebagai aset
strategis tuan rumah di daerahnya sendiri.
Kita
mungkin sudah terbiasa dengan fenomena putra daerah cemerlang bermigrasi dan
bersekolah tinggi diluar daerahnya. Sebagian besar dari mereka berdalih ingin
mendapatkan penghidupan dan pendidikan yang lebih layak. Namun yang terjadi di
lapangan tidaklah semulus seperti apa yang diharapkan. Kenyataannya ada yang
sukses serta akhirnya “nyaman” ditempat barunya dan ada juga yang gagal serta
akhirnya menjadi beban bagi daerah barunya. Ini merupakan realita nyata yang
terjadi di Indonesia. Untuk memutus rantai permasalahan ini, perlu ada program
dari pemerintah untuk memberdayakan putra daerah yang potensial dan bisa
berkomitmen untuk kembali untuk membangun daerahnya.
India,
Cina, dan Jepang merupakan salah satu negara yang sukses melakukan hal ini.
Pemerintah tiga negeri itu melakukan sebuah terobosan untuk mengirimkan
pemuda-pemuda mereka yang potensial ke negara-negara maju (Amerika dan Eropa)
untuk mencari ilmu dan membangun komitmen mereka untuk kembali ke daerah
asalnya. Alhasil, kita
bisa melihat bahwa kualitas pemuda-pemuda yang potensial negara itu tidak kalah
hebatnya dengan kualitas pemuda-pemuda negara maju sana. Industri elektronik di
Beijing hampir sama hebatnya dengan industri elektronik yang ada di New York.
Industri software di Balangore hampir sama canggihnya dengan industry software
diSilicon Valley. Industri otomotif diToyotahampir sama briliannya dengan
industri otomotif di Jerman.
Pemuda putra daerah tentunya lebih mengerti akan potensi
daerahnya ketimbang orang luar. Di sini, peran putra daerah sangat dibutuhkan
untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Memang hal ini dapat diterima secara
logis sebagai hal yang benar, mengingat pemuda termasuk dalam level manusia
yang berumur produktif, dimana mereka menjadi poros utama dalam membangun
daerah. Jika digambarkan secara statistik, hingga kini komposisi penduduk
Indonesia masih berbentuk “piramida”, dimana jumlah pemudanya belum mencapai
titik ideal dibandingkan kaum usia non produktifnya. Mungkin inilah salah satu
faktor penghambat mengapa banyak daerah Indonesia yang masih belum bisa maju.
Padahal
penulis berkeyakinan sesuai ucapan dari Sang Proklamator kita Bapak Soekarno
bahwa “Berikan aku sepuluh pemuda yang cinta
akan tanah air Indonesia, maka aku akan menguncang dunia". Memang
hal ini dapat diterima secara logis sebagai hal yang benar, mengingat pemuda
termasuk dalam level manusia yang berumur produktif, dimana mereka menjadi
poros utama dalam membangun daerah. Jika digambarkan secara statistik, hingga
kini komposisi penduduk Indonesia masih berbentuk “piramida”, dimana jumlah
pemudanya belum mencapai titik ideal dibandingkan kaum usia non produktifnya.
Mungkin inilah salah satu faktor penghambat mengapa banyak daerah Indonesia
yang masih belum bisa maju. Solusi dari
permasalahan tersebut adalah pemberdayaan putra daerah
potensial secara efektif dan tepat sasaran, maka percepatan pembangunan daerah
pun dapat terlaksana dengan baik. Bukan tidak mungkin, putra daerah ini
nantinya juga pantas menjadi pilar-pilar nasional pembangun bangsa di masa depan.
Bukankah itu juga yang menjadi mimpi para founding
fathers dari
negara ini yang ber”bhineka tunggal ika” ini?
Setelah
bola reformasi bergulir, otonomi daerah diterapkan berdasarkan UU No.
22/1999 yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32/2004. Kebijakan otoda
diterapkan sebagai evaluasi atas sentralisasi pemerintahan Orde Baru yang
dinilai hanya memberikan kesejahteraan bagi pusat. Di era itu, di mana
sentralisasi menjadi skema penyelenggaraan pemerintahan, daerah cenderung
dijadikan lahan eksploitasi pusat [Jakarta]. Tak hanya eksploitasi sumber daya
ekonomi, seluruh sumber daya daerah ikut termarjinalisasi. Ketika ada
proyek pembangunan di daerah, sumber daya manusia lokal kerap hanya menjadi
penonton. Karena, tak hanya mesin yang didatangkan dari pusat, sumber daya
manusia pelaksana kebijakan dan segala bentuk proyek pembangunan juga dipasok
dari sana. Kalaupun ada SDM lokal, mereka kerap hanya dijadikan tenaga teknis.
Tak hanya itu, konstalasi perpolitikan daerah dikontrol ketat dan
detail oleh pusat yang berkarakter militeristik. Bahkan, sentralisasi politik
diperparah dengan dikembangkannya uniformintas supra-struktur dan infra-struktur politik.
Dengan kata lain, Orde Baru telah melakukan negaraisasi (state
formation) seluas-luasnya. Negaraisasi itu menisbikan eksistensi
politik lokal yang telah lama mengakar di masyarakat. Konsekuensi logisnya, partisipasi
politis masyarakat lokal pun terpasung.
Desentralisasi
ingin mendobrak itu semua. Kebijakan desentralisasi memberikan “kebebasan”
lebih kepada daerah untuk mengelola sumber daya ekonomi dan segala potensi
daerah, termasuk penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensi logisnya, peran
strategis putra daerah dalam pembangunan pun diutamakan. Tuntutan peran bagi
putra daerah otomatis kian signifikan. Yang jelas, kepedulian terhadap daerah erat kaitannya dengan
nasionalisme dalam konteks kekinian. Menurut Pratikno (2009), desentralisasi
menjadi pusaka ampuh integrasi nasional. Nasionalisme adalah modal penting kaum
muda dalam pengisian kemerdekaan. Sejarah bangsa ini merekam bagaimana ampuhnya
nasionalisme dijadikan senjata oleh para pemuda pendahulu kita yang juga kaum
terpelajar/cendekiawan/intelegensia
dalam merebut kedaulatan bangsa dari tangan penjajah dan menggulirkan bola
reformasi. Kini, era desentralisasi, pusaka nasionalisme yang masih tetap ampuh
itu kiranya dapat diwujudkan dalam kepedulian lebih terhadap darah asal.
Kini
kita dihadapkan pada beberapa tuntutan zaman. Beberapa tuntutan itu seolah
saling tarik ulur. Di satu sisi, kita dituntut untuk peka zaman oleh Gelombang
Ketiga perkembangan dunia, jika tidak mau ketinggalan kereta zaman.
Permasalahannya, sikap peka zaman itu kerap cenderung—entah disadari atau
tidak— menghantarkan, bahkan memaksa kita untuk tidak terlalu menggumuli
nasionalisme dengan intim. Dan, keasyikan intim dengan nasionalisme kerap
dinilai sebagai sikap kemandekan.
Di
sisi lain, kita dituntut untuk senantiasa mengutamakan nasionalisme, agar kita
senantiasa tidak ahistoris dalam mendefinisikan diri. Bahwa kita adalah orang
Indonesia dengan kultur agraris dan segala kebhinekaannya, pernah dijajah
beberapa negara, merdeka atas peran besar pemuda, terdiri dari komposisi
masyarakat multietnis dan religi, serta masih menderita penyakit akut korupsi.
Semua itu juga menuntut kita untuk berfikir dan bertindak secara nasional.
Selain dua sisi itu, kita juga dituntut untuk memilihara local wisdom [kearifan
lokal] sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya. Mengapa? Pertama, agar kita senantiasa mafhum akan jati
diri kita. Kedua, agar kearifan
lokal sebagai jati diri bangsa tetap terjaga. Ketiga, agar potensi-potensi lokal dapat dimanfaatkan
dengan maksimal sebagai modal pemberdayaan. Sisi terakhir ini, kalau tidak
disikapi dengan dewasa, kadang memang dapat memicu etnonasionalisme yang
berpotensi memicu konflik horizontal. Ketiga sisi itu seolah memang terasa kontroversial. Namun, ketika
disikapi dengan dewasa, ketiganya bahkan bisa saling mendukung. Think globally, act locally, penulis rasa menjadi sebuah sikap paling kompromis yang dapat mendamaikan
ketiganya itu. Berfikir
secara global dan bersikap secara lokal selanjutnya akan dapat mendukung
keberhasilan penerapan kebijakan desentralisasi. Bahkan, tanpa berfikir secara
global yang dibarengi dengan sadar akan kearifan lokal, desentralisasi tidak
akan dapat memberikan solusi atas ketidakadilan pusat dan daerah.
Setiap daerah tentunya mempunyai potensi dan keunggulan
masing-masing. Potensi dan keunggulan itu lah yang harus dikembangkan untuk
“memerdekakan” masyarakat (lokal). Ini mutlak mengingat persaingan antar daerah
kian bebas. Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai
cita-cita kemerdekaan kini berada di tangan masing-masing daerah dalam
mengelola segala potensinya. Pemuda putra daerah tentunya lebih mengerti akan
potensi daerahnya ketimbang orang luar. Di sini, peran putra dearah sangat
dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Lalu bagaimana kiprah mahasiswa
sebagai seorang pemimpin yang berjuang dalam pelestarian Budaya Bangsa khusus nya sebagai putra daerah?
Mahasiswa sebagai Agent of Information, diharapkan
mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis masyarakat baik dalam
lingkup kecil maupun secara luas. Dengan tataran ideal seperti itu mahasiswa
dapat mengambil peran kemasyarakatan yang lebih bermakna sebagai corong
penyuluh dan agen informasi bagi masyarakat. Contoh riil nya kita menjadi
guide tour dalam acara resmi
penyuluhan budaya di setiap kelurahan.
Mahasiswa
sebagai Inisiator of Change dimana
mahasiswa menjadi inisiatif atau pencetus perubahan itu sendiri yang tentunya
menjadi teladan ke arah yang lebih baik. Contoh riil nya di UNS sendiri
terdapat UKM universitas yakni BKKT (Badan Koordinasi Kesenian Tradisional)
yang berkontribusi dalam kegiatan pembelajaran dan pelestarian kesenian
tradisional Jawa. Kita sebagai mahasiswa bisa memberi penyuluhan serta ajakan
untuk bermain dan berlatih berkesenian entah itu dalam hal tari maupun musik.
Bidikan kita adalah para pemuda di lingkungan sekitar atau masyarakat luas
eks.Surakarta.
Mahasiswa putra daerah memang
sebagai harapan dan tumpuan dalam perbaikan dan kemajuan Bangsa Indonesia.
Percayalah, membantu menyukseskan orang lain adalah cara tercepat menuju
kesuksesan. Membantu memuliakan orang lain adalah cara tercepat menuju
kemuliaan. Membantu membahagiakan orang lain adalah cara tercepat menuju
kebahagiaan. Sungguh, ini adalah hukum kausalitas. Diharapkan kita tidak
terlena dengan duniawi saja, melainkan tetap berkontribusi penuh dalam menebar
benih perbaikan di masyarakat mengenai budaya asli Indonesia, tetap
mengedepankan rasa nasionalisme yang membara serta yang terpenting adalah
bangga mengakui bahwa kita mahasiswa yang sangat cinta akan tanah air
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar