RISKA EGA
WARDANI
Jenis dan banyaknya macam peradilan dan
lembaga peradilannya (pengadilan) tergantung pada sistem kekuasaan kehakiman (unity of jurisdiction) ataukah sistem dual/multi jurisdiction, atau mungkin
sistem kombinasi campuran. Dalam sebuah negara hukum (rule of law), dipersyaratkan bahwa kekuasaan kehakiman itu harus
merupakan kekuasaan yang bebas dan mandiri dari pengaruh dan campur tangan
kekuasaan lain sehingga mampu mewujudkan proses peradilan yang jujur dan tidak
memihak (Jimly Asshiddiqie, 2004: 30).
No.
|
Konstitusi
|
Pasal
|
Peraturan
Per-UU
|
Komentar
|
1.
|
Konstitusi
RIS/UUDS 1950
|
-
Mukadimah
-
Pasal 1 ayat 1
-
Pasal 13 dan 145 Konstitusi RIS
-
Pasal 13 dan 103 UUDS 1950
|
-
Era Sistem Politik Indonesia (SPI) Demokrasi Liberal Parlementer lebih
memungkinkan terwujudnya sistem peradilan yang mandiri, jujur dan tidak
memihak. Namun instabilitas politik yang berlarut-larut akibat sistem multi
partai yang tidak mampu mencapai konsensus yang diikuti dengan timbulnya
pemberontakan daerah menyebabkan berbagai masalah seperti kemiskinan, KKN
serta inflasi yang tidak dapat diatasi.
-
Pertikaian yang terjadi di bidang politik ternyata juga merembet di bidang
peradilan, dimana terjadi pertentangan hakim dan jaksa yang menyangkut
masalah prestise dan antara jaksa dengan polisi yang menyangkut pembagian
kekuasaan secara substantif. Kekuasaan kehakiman merosot dengan seiringnya
kemerosotan citra negara dalam masyarakat yg secara politis tidak stabil.
|
|
2.
|
Dekrit
Presiden 1959
|
-UU
Kekuasaan Kehakiman No. 19 tahun 1964
-UU
Mahkamah Agung No.13 tahun 1965
|
-Perubahan
SPI menjadi Demokrasi Terpimpin (1959-1967) setelah dekrit presiden 1959 dan
kemudian menjadi Demokrasi Pancasila (1967-1998) setelah munculnya G30S/PKI.
Dari sudut pandang gagasan dan tatanan tidaklah setegas Konstitusi RIS dan
UUDS 1950.
-Dimungkinkannya
campur tangan presiden/pemerintah terhadap proses peradilan demi alasan
revolusi.
|
|
3.
|
Orde
Baru
|
-UU
No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
-UU
No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
-UU
No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum
-UU
No. 5 tahun 1986 tentang PTUN
-UU
No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
|
-Melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
-Akan
tetapi dalam prakteknya selama lebih dari tiga dasawarsa orde baru telah
berubah menjadi rezim otoritarian birokratis dengan menampakkan wajah
hegemonik negara yang over dosis melalui aktualisasi cita negara
integralistik dan manipulasi asas kekeluargaan, sehingga mengaburkan dan
bahkan mengeliminasi gagasan negara hukum beserta asas kebebasan kekuasaan
kehakiman nya. Contoh: Pemusatan kekuasaan Soeharto oleh ABRI, Pembinaan para
hakim di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman), Posisi Kejaksaan yg belum
merupakan lembaga negara yang otonom di daerah (Mukhtie Fadjar, 2003:120-122).
|
|
4.
|
Orde
Baru
|
-Perubahan
Ketiga UUD 1945 Pasal 7 B
-
Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 24, 24A, 24B,24D
|
-Pasal
7B mengenai alasan dan tata cara pemberhentian presiden/wakil presiden karena
alasan pelanggaran hukum pidana berat dan peranan dari MK.
-
Pasal 24, 24A, 24B, 24D tentang kekuasaan kehakiman dengan adanya penegasan
sebagai kekuasaan yang merdeka, kehadiran MK dengan kompetensinya, tentang KY
dan tentang hak uji.
-Masih
meletakkan supremasi hukum di bawah supremasi politik yang ditunjukkan dalam
pengkaidahan mengenai kompetensi MK dan kaitannya dengan peran yg tetap
dominan di MPR dalam persoalan tersebut.
|
|
-Perubahan
Keempat UUD 1945 Pasal 24 ayat 1
|
Dalam kekuasaan
kehakiman dijelaskan dalam pasal 24 ayat 1: ” Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”
|
Perbedaan
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004
|
Undang-Undang
Nomor 48 tahun 2009
|
- UU No. 4 Tahun 2004 melalui pasal 1 menyebutkan “kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.”
-
Komentar:
Dasar kekuasaan kehakiman dalam Pasal 1 UU No. 4 Tahun
2004 adalah Pancasila saja tidak beserta UUD 1945. Memang kedudukan Pancasila
adalah sebagai Sumber dari segala Sumber Hukum atau pun cita dari Negara
Indonesia akan tetapi jika kekuasaan kehakiman hanya mendasarkan Pancasila
sebagai dasar kekuasaannya akan memiliki kekuasaan yang sangat besar.
Dikatakan memiliki kekuasaan yang sangat besar oleh karena dasar pelaksanaan
atau keberadaan kekuasaan kehakiman adalah Pancasila dan tidak termasuk dalam
hal ini UUD 1945, sehingga dikatakan inkonstitusional.
- Latar belakang
pembentukan UU No.4 Tahun 2004 dimana saat itu UUD 1945 sudah dalam tahap
amandemen yang ketiga (tanggal 18 Agustus 2002) sedangkan pembentukan UU NO.
4 Tahun 2004 pada tanggal 15 Januari 2004 maka pengaturan ini sangat
melanggar konstitusi. Selain itu pengaturan kekuasaan kehakiman yang demikian
akan membuat kepastian hukum menjadi kabur dan keadilan bersifat subyektif.
Di sisi lain, keadilan menjadi sangat subyektif karena hakim-lah yang akan
menilai mana yang benar dan salah.
|
-
UU No. 4 Tahun 2009 melalui pasal 1
yang menyatakan “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
- Komentar:
Dengan
perumusan ini Kekuasaan Kehakiman mendapatkan dasar yang benar karena
didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan ini, kekuasaan kehakiman adalah salah satu
kekuasaan negara yang merdeka dalam pengertian kekuasaan yang bebas dari
campur tangan kekuasaan yang lain untuk melakukan fungsi peradilan
Pada hakekatnya kekuasaan
kehakiman merupakan lembaga yang bersifat pasif dalam menangani perkara.
- Pasal 2 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009).
- Komentar:
Batasan atau
standar putusan keadilan dan kepastian hukum tidaklah terletak pada aspirasi
atau pendapat sekelompok orang atau tidak terletak pada rasa subyektif dari
hakim tetapi harus bercermin pada Pancasila dan UUD 1945. Jika dijabarkan
lebih lanjut perwujudan nilai-nilai Pancasila dalam Putusan Pengadilan itu
dapat diwujudkan seperti: Penggunaan Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” sesuai dengan Nilai Pancasila dari sila Pertama yang
memberikan dasar kehidupan serta pertanggung jawaban peradilan kepada Sang
Pencipta.
- Pasal 53 ayat (2)
UU No. 48 Tahun 2009
- Komentar:
Nilai persatuan
dari sila ke-3 Pancasila terwujud dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman
ketika hakim berkewajiban untuk menggali nilai-nilai dan rasa keadilan dari
masyarakat, dalam hal ini rasa kebanggaan dan penghargaan atas nilai-nilai
bangsa diakomodasikan dalam putusan hakim.
Hasilnya, setiap
keputusan hakim akan diterima dan dipahami sebagai pengakuan nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang telah hidup di masyarakat. Sedangkan nilai
Musyawarah untuk mufakat di gariskan dalam pasal 14 UU No. 48 Tahun 2009
mewajibkan proses pengambilan putusan secara permusyawaratan dan dilakukan
dengan kesepakatan bersama antara Majelis Hakim. Hal ini sangat selaras
dengan tujuan peradilan untuk menghindarkan subyektifitas dari hakim dalam
memutus perkara.
- Nilai keadilan sosial di dalam Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 ini tampak dalam ketentuan yang mengatur tentang
kewajiban pencantuman dasar hukum yang jelas dalam mengadili dan memutus
perkara (pasal 50 ayat (1), hak
akses dari masyarakat (pasal 52),
pengadilan tidak boleh membeda-bedakan orang (pasal 4), hakim harus menggali nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang ada di dalam masyarakat (pasal
5 ayat (1), pemberlakuan asas praesumptio of innocence (pasal 8 ayat (1) dan kejelasan
prosedur pengadilan lainnya.
- Perwujudan dari
pengaturan UUD 1945 tampak dalam pelaksanaan kekuasan kehakiman yang
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dalam
lingkungan peradilan Umum, Peradilan Agama, peradilan militer, peradilan tata
usaha negara serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan pasal 18 UU No.48 Tahun 2009), serta kewenangan dari Mahkamah
Agung (pasal 20 UU No. 48 Tahun
2009) , Komisi Yudisial (pasal 40)
dan Mahkamah Konstitusi (pasal 29-37
UU No. 48 Tahun 2009).
|
DAFTAR
PUSTAKA
Ashiddiqie,Jimly.
2004. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press
Fadjar,Mukhtie.
2003. Reformasi Konstitusi. Malang:
In-Trans
Tidak ada komentar:
Posting Komentar