Jumat, 30 Januari 2015

ANALISIS KETENAGAKERJAAN

ANALISIS JURNAL NASIONAL
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK
DI SEKTOR INFORMAL”
(Studi Kasus Di Kota Kediri)
                                                           













Disusun untuk Nilai Tugas Mata Kuliah
Hukum Ketenagakerjaan Kompetensi Dasar 1 Kelas G

Oleh
Johan Pramudya Utama      NIM. E0010200
Novi Dharmawati                  NIM. E0010254        
Riska Ega Wardani              NIM. E0010308


Pengajar:
Rosita Candrakirana, S.H., M.H.



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012

KATA PENGANTAR
Pertama-tama, kami mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan tugas Hukum Ketenagakerjaan yang berjudul “ANALISIS JURNAL NASIONAL: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK DI SEKTOR INFORMAL” dapat kami selesaikan.
Tugas ini di susun untuk memenuhi  nilai tugas mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan Kompetensi Dasar 1 (KD 1) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun  dari berbagai pihak sebagai masukan di waktu yang akan datang.
Selesainya tugas ini tidaklah terlepas dari adanya bimbingan, bantuan dan petunjuk serta saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.
Demikian hal ini disampaikan secara tertulis, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.



Surakarta,  September 2012
      
         Penulis




DAFTAR ISI
                                                                                                            Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………                        i
KATA PENGANTAR ……………………………………………..                        ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………….                        iii

ANALISIS JURNAL NASIONAL “PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK DI SEKTOR
INFORMAL” (Studi Kasus Di Kota Kediri) ……………………….           1         
A.      Definisi Pekerja Anak dan Faktor Penyebab Terjadinya
Pekerja Anak …………………………………………………...            1
B.       Pekerja Anak Di Sektor Informal ……………………………...            3
C.       Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Kota Kediri ...            4
D.      Saran …………………………………………………………...            7
E.       Referensi ……………………………………………………….            9













ANALISIS JURNAL NASIONAL
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK
DI SEKTOR INFORMAL”
(Studi Kasus Di Kota Kediri)

A.      Definisi Pekerja Anak dan Faktor Penyebab Terjadinya Pekerja Anak
Anak adalah generasi yang akan menjadi penerus bangsa, sehingga mereka harus di persiapkan dan di arahkan sejak dini agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat jasmani dan rohani, maju, mandiri dan sejahtera menjadi
sumber daya yang berkualitas dan dapat mengahadapi tantangan di masa depan. Yang akan menjadi pilar utama pembangunan nasional, sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dan mendapatkan perlindungan secara sungguh-sungguh dari semua elemen masyarakat. Anak merupakan aset bangsa yang mempunyai posisi strategis dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di masa mendatang. Oleh karena itu, anak perlu perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik, mental, sosial secara utuh, serasi, selaras serta seimbang.  SDM yang berkualitas tidak dapat lahir secara alamiah, bila anak dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa perlindungan, maka mereka akan menjadi beban pembangunan karena akan menjadi generasi yang lemah, tidak produktif dan tidak kreatif, sedangkan jumlah mereka lebih dari sepertiga penduduk Indonesia. Salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas penduduk suatu negara adalah melalui  pendidikan. Namun kenyataanya tidak semua anak mendapatkan hak memperoleh
pendidikan yang baik. Masih banyak keluarga yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan anak, baik kebutuhan rohani, jasmani, sosial maupun ekonomi. Akibatnya, sebagian anak usia sekolah masuk dalam kegiatan ekonomi disebut pekerja anak untuk mendapatkan upah atau untuk membantu orang tua menambah penghasilan keluarga.
(http://file.upi.edu/Direktori/-FPIPS/ JUR PEND-GEOGRAFI-NANDI/Artikel-JurnaGEA.pdf-Pekerja-Anak-dan-Permasalahannya.pdf.)
Yang dimaksud dengan pekerja anak meliputi semua anak yang bekerja pada jenis pekerjaan yang, oleh karena hakikat dari pekerjaan tersebut atau oleh karena kondisi-kondisi yang menyertai atau melekat pada pekerjaan tersebut ketika pekerjaan tersebut dilakukan, membahayakan anak, melukai anak (secara jasmani, emosi dan atau seksual), mengeksploitasi anak, atau membuat anak tidak mengenyam pendidikan.
Yang dimaksud dengan pekerja anak bukanlah anak yang mengerjakan tugas kecil di sekitar rumah atau yang mengerjakan pekerjaan dalam jumlah sedikit sepulang sekolah. Pekerja anak juga tidak mencakup anak yang melakukan  pekerjaan yang wajar dilakukan untuk tingkat perkembangan anak seusianya dan yang memungkinkan si anak memperoleh keterampilan praktis dan mengembangkan tanggung jawab. Pekerja anak adalah semua anak yang bekerja pada pekerjaan yang merusak mereka dan karena itu harus dihentikan. Beberapa bentuk pekerjaan yang diketahui banyak dikerjakan oleh sejumlah besar pekerja anak (Organisasi Perburuhan Internasional, 2009 : 8) :
• Pekerjaan di bidang pertanian
• Pekerjaan rumah tangga
• Pekerjaan di tambang dan galian
• Pekerjaan dalam proses manufaktur
• Perbudakan dan kerja paksa
• Pekerjaan dalam perekonomian informal
Secara umum, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pekerja anak, antara lain :
• Kemiskinan
• Gagalnya sistem pendidikan
• Perekonomian informal
• Rendahnya biaya yang dikeluarkan untuk mempekerjakan anak
• Tidak adanya organisasi pekerja
• Adat dan sikap sosial




B.       Pekerja Anak Di Sektor Informal
Istilah sektor informal mulai dikenal dunia di awal tahun 1970’an dari suatu penelitian ILO di Ghana, Afrika. Sejak saat itu berbagai definisi dan pengertian dibuat orang. Pengertian yang popular dari pekerjaan informal pada awalnya adalah sederhana, yakni suatu pekerjaan yang sangat mudah dimasuki, sejak skala tanpa melamar, tanpa ijin, tanpa kontrak, tanpa formalitas apapun, menggunakan sumberdaya lokal, baik sebagai buruh ataupun usaha milik sendiri yang dikelola dan dikerjakan sendiri, ukuran mikro, teknologi seadanya, hingga yang yang padat karya, teknologi adaptip, dengan modal lumayan dan bangunan secukupnya. Mereka tidak terorganisir dan tak terlindungi hukum (Hesti, 2007 : 24-25).
Selanjutnya, pengelompokkan definisi formal dan informal menurut Hendri Saparini dan M. Chatib Basri dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa tenaga Kerja sektor informal adalah tenaga kerja yang bekerja pada segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak. Definisi lainnya adalah segala jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, tempat pekerjaan yang tidak terdapat keamanan kerja (job security), tempat bekerja yang tidak ada status permanen atas pekerjaan tersebut dan unit usaha atau lembaga yang tidak berbadan hukum. Sedangkan ciri-ciri kegiatan-kegiatan informal adalah mudah masuk, artinya setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini, bersandar pada sumber daya lokal, biasanya usaha milik keluarga, operasi skala kecil, padat karya, keterampilan diperoleh dari luar sistem formal sekolah dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif. Contoh dari jenis kegiatan sektor informal antara lain pedagang kaki lima (PKL), becak, penata parkir, pengamen dan anak jalanan, pedagang pasar, buruh tani dan lainnya.
Pekerjaan informal yang dilakukan anak-anak meliputi beragam kegiatan. Banyak kegiatan tersebut berlangsung di jalanan dan anak yang disuruh mengerjakannya hanya dibekali dengan perlengkapan minim, misalnya, pekerjaan mengangkut beban di tempat konstruksi dan di pembuatan batu bata. Beberapa jenis pekerjaan informal yang dilakukan anak-anak dapat dianggap sebagai pekerjaan mencari uang secara mandiri (self-employment), misalnya menyemir sepatu, mengemis, menarik becak, menjadi kernet angkutan kota, berjualan koran, menjadi tukang sampah, dan memulung. Pekerjaan informal lainnya berlangsung di rumah dan karena itu, kurang terlihat oleh umum.
Pekerja anak lebih umum dijumpai di perusahaan-perusahaan kecil yang tidak terdaftar di sektor informal daripada di tempat kerja yang lebih besar. Pengawas ketenagakerjaan jarang mengunjungi tempat-tempat kerja sekecil itu dan di sana tidak ada serikat pekerja/serikat buruh. Di mana ada perekonomian informal dalam skala yang besar, di situ terjadi pemanfaatan tenaga anak sebagai buruh dalam skala yang besar pula.
C.      Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Kota Kediri
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan bagi tiap-tiap warga negaranya, hal ini juga termasuk perlindungan terhadap hak anak yang juga merupakan hak asasi manusia. Hal ini juga sejalan dengan dianutnya konsep Welfare State oleh Indonesia yaitu konsep yang menghendaki kemakmuran/kesejahteraan bagi warga negaranya. Maka pemerintah dituntut untuk bersifat aktif dalam rangka mewujudkan tujuan dari konsep negara Welfare State tersebut, salah satunya dengan kebijakan-kebijakan yang dapat pemerintah wujudkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara tanpa diskriminasi.
Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum (rechtbetrekking) adalah interaksi antar subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban).
Upaya untuk mewujudkan pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak seseorang untuk memperoleh pekerjaan dan bekerja dilakukan pada tahun 2003, yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satu aspek yang diatur oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) ini adalah menyangkut perlindungan hukum terhadap pe-ngupahan, dan kesejahteraan pekerja anak, yang dicantumkan di dalam ketentuan Pasal 68 sampai dengan ketentuan Pasal 75 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 68 menentukan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Filosofi larangan anak untuk bekerja atau mempekerjakan anak sebagaimana diatur di dalam UU Ketenagakerjaan ini sebenarnya erat kaitannya dengan upaya melindungi hak asasi anak, yang juga dijamin perlidungannya dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Ketentuan yang melarang mempekerjakan anak sebagaimana telah diatur di dalam keten-tuan Pasal 68 UU Ketenagakerjaan, sejalan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menetukan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masya rakat dan negara. Selanjutnya dalam ayat (2) mengatur mengenai hak anak sebagai hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Oleh karena itu, secara filosofis larangan mempekerjakan anak ini semata-mata dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak demi pengembangan harkat dan martabatnya dalam rangka mempersiapkan masa depannya.
Anak yang dipekerjakan haruslah diberikan perlindungan yang khusus dari pemerintah. Karena keadaan anak masih lemah baik secara fisik, mental maupun sosial. Seorang anak yang terpaksa bekerja adalah bentuk penelantaran hak anak, karena pada saat bersamaan akan terjadi pengabaian hak yang harus diterima mereka. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan, bermain, akses kesehatan dan lain-lain. Keadaan ini menjadikan pekerja anak masuk kategori yang memerlukan Perlindungan Khusus (Children In Need Of Special Protection) yang menuntut penanganan serius dari orangtua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait serta pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Perlindungan Khusus menurut Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak yaitu Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan anak, anak korban kekerasan fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
(UU Perlindungan Anak)
Perlindungan hukum pekerja anak juga diwujudkan dalam bentuk pembatasan jenis-jenis atau bentuk-bentuk pekerjaan yang dilarang untuk dikerjakan anak.  Hal ini dapat dilihat di dalam Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan yang Dilarang Untuk Anak, dan juga Surat Keputusan Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-235/MEN/2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan Yang Membahayakan  Kesehatan,  Keselamatan Atau Moral Anak, yang pada prinsipnya melarang anak untuk bekerja pada jenis-jenis pekerjaan tertentu.
Perlindungan hukum terhadap anak, dalam ranah internasional, juga telah dilakukan melalui Konvensi  International Labour Organisation (ILO) Nomor 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum Untuk  Anak Yang Diperbolehkan Bekerja dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 khususnya ayat (1) dan ayat (3), usia minimum yang diperbolehkan untuk pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamat-an, atau moral anak harus diupayakan tidak bo-leh kurang dari 18 tahun dan usia untuk melakukan pekerjaan yang bersifat ringan yaitu 16 tahun. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 20 Tahun 1999.
Pada umumnya, pekerja anak di kota Kediri melakukan pekerjaannya dengan alasan karena keterpaksaan, yang disebabkan oleh himpitan eknomi keluarga. Orang tua mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, keinginan untuk tetap melanjutkan sekolah dengan terpaksa bekerja dengan paruh waktu, dengan maksud tidak terikat pada jam kerja, dan sewaktu dapat istirahat dapat meninggalkan pekerjaannya untuk kepentingan yang lain, misalnya sekolah.
Namun dalam kenyataannya, jam kerja yang melebihi 3 jam, dan upah yang rendah, serta pemotongan upah apabila pekerja anak tidak dapat menyelesaikan target pekerjaannya, jelas merupakan pelanggaran prinsip-prinsip  perlindungan hukum bagi pekerja anak, sebab menurut Pasal 69 ayat (2) seorang anak dapat dipekerjakan apabila tidak boleh melebihi 3 jam per harinya, serta menerima upah yang wajar.
Fakta-fakta demikian apabila dilihat dalam perspektif yuridis jelas tidak sesuai dan melanggar prinsip-prinsip perlindungan hukum terhadap anak, baik sisi hukum ketenagakerjaan, undang-undang kesejahteraan anak, undang-undang perlindungan anak, maupun  dalam perspektif internasional.
Dalam hal ini, Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan dan hukum pendampingnya tidak dapat berjalan sebagaimana harusnya ,seperti :
1.        Hukum Perdata, lebih diutamakannya hubungan perikatan antara pekerja dalam hal ini pekerja anak dengan pengusaha. Sehingga, fungsi pemerintah yang diwakili oleh DISNAKER hanya sebagai “controlling” dan tidak dapat melakukan intervensi ;
2.        Hukum Administrasi Negara, lemahnya koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan lembaga terkait seperti Disnaker, Dinas Sosial, Pemerintah Daerah setempat, serta ;
3.        Hukum Pidana, tidak ditegakannya asas legalitas yaitu berlakunya sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam UU No.13 Tahun 2003 serta tidak dibentuknya peraturan daerah yang demokratis karena telah mengesampingkan hak-hak pekerja, dalam hal ini pekerja anak.
D.      Saran
Secara umum dari pengaturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan khususnya yang mengatur mengenai pekerja anak dapat ditarik sebuah saran/rekomendasi yaitu seperti dilakukan langkah penegasan secara normatif yang lebih konkret mengenai batasan umur anak yang dapat diperbolehkan bekerja. Sesuai dengan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, bahwa :
1.      Pemerintah dan pihak-pihak terkait juga harus mendorong bagi peningkatan pengawasan dan penegakan peraturan perundangan  tentang  ketenagakerjaan, khususnya terkait dengan pekerja anak, sehingga resiko-resiko yang menimpa pekerja anak dapat dicegah dan ditanggulangi.
2.      Dibentuknya peraturan pemerintah yang demokratis oleh badan legislatif  yang mengatur pekerja anak dan perlindungan hukumnya, sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan, terutama dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi hak-hak pekerja anak.
E.       Referensi
Hesti R.Wijaya. 2007. “SEKTOR INFORMAL : Katup Pengaman dan Sang Penyelamat yang Terabaikan”. Jurnal Perburuhan. No. 8, September 2007 – Maret 2008. Universitas Brawijaya.
Organisasi Perburuhan Internasional. 2009. Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Pekerja Anak. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
http://file.upi.edu/Direktori/-FPIPS/ JUR PEND-GEOGRAFI NANDI/Artikel-JurnaGEA.pdf-Pekerja-Anak-dan-Permasalahannya.pdf. (24 September 2012 pukul 19.15 WIB)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar