Selasa, 06 Januari 2015

JUSTIFIKASI RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI ALTERNATIF PERLINDUNGAN HAK KORBAN KEJAHATAN DI INDONESIA (Studi Evaluatif-Preskriptif Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP)


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran Mahkamah Agung pada pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung-lah yang berperan maksimal dalam proses penegakkan hukum dan keadilan di negara ini. Dengan adanya peran tersebut pada tanggal 27 Februari 2012 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 02 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP yang bertujuan menyelenggarakan peradilan sehingga dapat tercipta penegakkan hukum dan keadilan di masyarakat.
Ada potensi dari Perma Nomor: 02 tahun 2012 ini kurang efektif untuk memperbaiki rasa keadilan pada pihak korban tindak pidana ringan tersebut. Terbukti di dalam Perma tidak memperhatikan pasal 64ayat (3) KUHP tentang perbuatan berlanjut atau terus menerus (perbarengan).
 Dari paparan kalimat di atas, hal tersebut menjadi acuan dasar penulis untuk memberikan kritikan tentang eksistensi Perma tersebut dengan mengulas beberapa teori ahli akan pentingnya keadilan bagi pihak korban, terlepas dalam KUHP di negara kita sendiri hal itu masih belum ada penjelasan yang kongkrit.
Pertama, korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateriil maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat: “to much attention has been paid to offenders and their rights,to neglect of the victims”.[1]
Kedua, Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi, sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil[2].
Rendahnya kedudukan korban dalam penanganan perkara pidana dikemukakan pula oleh Prassell yang menyatakan: “Victim was a forgotten figure in study of crime. Victims of assault, robbery, theft, and other offences were ignored while police, courts, and academicians concentrated on known violators[3].
Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu kejahatan[4].
Ketiga, Korban hanyalah pelengkap atau sebagian dari alat bukti, bukan pencari keadilan. Bahkan Geis berpendapat: “Tend to be treated like pieces of evidence than like human beings[5]. Perhatian kepada korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and respect for their dignity).[6] penjatuhan pidana lebih banyak.
Keempat, Menurut Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985, yang mana dalam salah satu rekomendasinya menyebutkan:
Offenders or third parties responsible for their behaviourshould, where appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of the victimization, the provision of services and the restoration of rights[7].
Menanggapi urgensi hak korban dalam kasus tindak pidana ringan tersebut penulis mendapati klausula yang mempersoalkan tentang mekanisme restorative justice sebagai alternative dalam pemenuhan hak korban karena sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi masyarakat. Hal itu diperkuat dengan data serta kasus sebagai berikut:
 Tabel 1. Jenis dan jumlah putusan serta penyelesaian Tindak Pidana Ringan (Tipiring) yang diterima Bapas Purwokerto tahun 2002-2008.
No
Jenis Putusan
Jumlah Putusan
Prosentase Putusan (%)
1.
Pidana Bersyarat
42
6,86
2.
Pidana sesuai dengan perbuatan, Pidana pendidikan paksa ke Negara
543
85,45
3.
Kembali ke Orang Tua
1
0,17
4.
Kekeluargaan atau perdamaian atau non-litigasi yang disaksikan oleh Bapas dan kepolisian
60
7,52

 Jumlah            
646
100%
Sumber: Dokumen di Bapas Purwokerto yang diolah dari tahun 2002-2008[8]
Kesimpulan dari tabel di atas bahwa upaya non-litigasi telah menempati posisi kedua, masyarakat lebih menginginkan pemulihan kerugian atas suatu tindak kejahatan dengan cara damai antar kedua belah pihak. Dengan harapan antara pelaku dan korban sama-sama mendapatkan hak dan kewajiban nya dalam ranah peradilan (Integrated Justice).
Meski dirasa Eksistensi penerapan Perma Nomor: 02 tahun 2012 telah menjamin keadilan di masyarakat, namun dalam realitanya masyarakat masih haus akan rasa keadilan khususnya penerapan criminal justice system yang ada selama ini. Dalam kasusnya pada akhir tahun 2009, terdapat kasus di mana Basar Suyanto (40) dan Kholil (51) warga Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kediri. Mereka telah mengakui bersama-sama mencuri semangka di kebun milik Marwan Susanto dengan dalih untuk menghilangkan rasa haus. Menurut pasal 363 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan Jaksa Penuntut Umum Dwianto Viantiska dengan ancaman 9 tahun penjara. Namun Hakim memvonis mereka dengan penjara 2 bulan 10 hari. Hal tersebut memang meringankan kedua pelaku, namun kerugian yang di derita oleh Korban Marwan Susanto atas lahan yang di obrak-abrik, buah semangka yang dicuri. Belum lagi kerugian immateriil atas nama baik di lingkungan masyarakat yang di derita nya[9]. Intinya, korban yang seharusnya di lindungi dan dipulihkan atas kerugian yang di derita nya seakan-akan menjadi pihak yang ter marginalkan atas pemenuhan hak nya sebagai subyek equality before law.
Hal inilah yang mendorong kedepan konsep ”restorative justice Adapun tujuan hakiki yang ingin diwujudkan adalah terciptanya moral justice dan social justice dalam penegakan hukum selain mempertimbangkan legal justice. Berdasarkan fakta-fakta dan urgensi perhatian terhadap hak korban serta mekanisme restorative justice dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan inilah, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam sebuah karya tulis yang berjudul  ”Justifikasi Restorative Justice Sebagai Alternatif Perlindungan Hak Korban Kejahatan di Indonesia (Studi Evaluatif-Preskriptif Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP)”.



[1] Gilbert  Geis, “Victims and Witness Assistance Program”, dalam: Sanford H.Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, New York: The Free Press: A Division of Macmillan Inc.,1983:Volume 4, hlm 1600
[2] Chaerudin, Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Perspektif Vikimologi Dan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Grhalia Press, Juli 2004), hlm 47
[3] Frank R. Prassel, Criminal Law, Justice, and Society  (Santa Monica-California: Goodyear Publishing Company Inc.,1979), hlm 65
[4] Chaerudin, Syarif Fadillah, Op.cit, hlm 48
[5]Gilbert Geis, Loc.cit, halaman 1601
[6] Muladi, “HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, dalam : Muladi (ed), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005,  hlm 107
[8] Angkasa, Saryono Hanadi, Muhammad Budi Setyadi, “Model Peradilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Anak (Kajian tentang Praktik Mediasi Pelaku dan Korban dalam Proses Peradilan Anak di Wilayah Hukum Balai Permasyarakatan Purwokerto”, Jurnal Hukum, (vol.9 no.3 September 2009), hlm 9
[9] IGN Sawabi, “Pencuri Semangka Divonis 15 Hari Penjara”, http://regional.kompas.com/read/2009/12/16/13074643/pencuri.semangka.divonis.15.hari.penjara%20diakses%20tanggal%2028/01/12    (30 Maret 2012 pukul 14.50 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar