Senin, 26 Januari 2015

CALON LEGISLATIF PEREMPUAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mencermati pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menerangkan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Serta pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.  Kedudukan dan kesetaraan gender antara lelaki dan perempuan haruslah setara
Namun data yang penulis rangkum menunjukkan bahwa Indonesia berada di nomor 80 dari 156 negara yang ada di dalam Indeks Pembangunan Gender atau Gender Development Index (GDI) pada tahun 2007. Pada tahun 2009, angka ini merosot ke urutan 90, artinya perempuan di Indonesia masih belum menikmati hak dan standar yang sama dengan para laki-laki. Tiga indikator digunakan termasuk angka harapan hidup, yang diukur oleh angka harapan hidup ketika lahir; pencapaian pendidikan, yang diukur oleh gabungan antara kemampuan membaca di antara orang dewasa dan jumlah tahun rata-rata yang dihabiskan untuk bersekolah; serta standar hidup, yang diukur oleh pengeluaraan per kapita..
Peminggiran hak-hak perempuan terjadi karena adanya salah satu masalah besar yaitu sistem gender yang sangat patriarkhis.. Di dalam kehidupan politik jumlah perempuan dan laki-laki dalam parlemen ataupun dalam pemerintahan secara umum dalam posisi yang belum equal, maka kepentingan perempuan akan banyak dipinggirkan. Dalam sejarah perpoltikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatannya di dunia poltik. Stigma-stigma bahwa permpuan selalu dalam posisi domestik, dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat memulai dalam berkiprah di dunia politik (Agnes Widanti, 2005: 78).
Menurut Biro Pusat Statistik pada tahun 2001 jumlah perempuan Indonesia sebanyak 101.628.816 orang atau sekitar 51 % dari jumlah penduduk Indonesia. Namun ironisnya jumlah perempuan yang ada dalam posisi-posisi strategis untuk pengambilan keputusan jumlahnya sangta minim. Pada setiap pemilu, jumlah perempuan yang terpilih berkisar antara 8-10%. Pendaftaran pencalonan dari masing-masing kekuatan sosial politik bisa mencerminkan lebih dari 10% caleg perempuan, tetapi pada kenyataan nya yang terpilih tidak lebih dari itu. Hal itu diperkuat dengan temuan data yang penulis lampirkan sebagai berikut:
Tabel 1
Perempuan dalam Lembaga-Lembaga Politik Formal di Indonesia
pada tahun 2002
Lembaga
Perempuan
Jumlah----------------%
Laki-laki
Jumlah------------------%
MPR
18 ------------------- 9,2%
117 ---------------- 90,8%
DPR
44 ------------------- 8,8%
455----------------- 91,2%
MA
7 -------------------- 14,8%
40 -------------------85,2%
BPK
0 --------------------- -0%
7---------------------100%
DPA
2 --------------------- 4,4%
43 -------------------95,6%
KPU
2 ---------------------18,1%
9----------------------81,9%
Gubernur
0 --------------------- -0%
30---------------------100%
Walikota/Bupati
5 -----------------------1,5%
331-------------------98,5%
Eselon IV & III
1,883--------------- --7,0%
25.110-----------------93%
Hakim
536 ------------------16,2 %
2775------------------83,8%
PTUN
35 ----------------- -23,4%
150-------------------76,6%
Sumber: Data dirumuskan oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum CETRO, 2001
Data di atas menunjukkan betapa timpangnya peran perempuan dalam jabatan-jabatan publik. Oleh karena itu sangatlah wajar ketika keputusan-keputusan yang dibuat sangat maskulin dan kurang berperspektif gender. Perempuan tidak banyak terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Padahal keputusan yang dihasilkan seringkali sangat bias gender, tidak memperhatikan kepentingan kaum perempuan, tidak membuat perempuan semakin berkembang. Sebaliknya, lebih banyak membuat perempuan menenggelamkan diri pada sektor-sektor yang sangat tidak strategis. Dalam jangka panjang, hal ini mengakibatkan posisi perempuan berada pada posisi marginal.
Laporan perkembangan PBB tahun 1995 yang menganalisis gender dan pembangunan di 174 negara menyatakan bahwa: “Meskipun benar bahwa tidak ada hubungan nyata yang terbentuk antara tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik dan kontribusi mereka terhadap kemajuan perempuan, namun 30% keanggotaan dalam lembaga-lembaga politik dianggap sebagai jumlah kritis yang dapat membantu perempuan untuk memberikan pengaruh yang berarti dalam politik” (Ratnawati, 2004: 303).
Dengan demikian pada 11 Maret 2003, Undang-undang No.12 tahun 2003 pasal 65 ayat (1) tentang pemilu mengenai kuota perempuan disahkan, yang menyatakan bahwa “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Ini merupakan langkah awal perjuangan politik perempuan yang mendapat dukungan formal untuk berkiprah di bidang politik. keterlibatan perempuan dalam bidang politik kembali mendapatkan payung hukum dengan dikeluarkannya Undang-undang Pemilu No.10 tahun 2008, yaitu pada pasal 8 ayat 1 butir (d) dinyatakan bahwa
Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”.

Pasal tersebut menyatakan bahwa adanya suatu keharusan bagi partai politik untuk dapat menyertakan sedikitnya 30% kaum perempuan dalam kepengurusan partai. Undang-Undang tersebut merupakan titik kulminasi dari perjuangan panjang kaum perempuan untuk masuk ke dalam jalur pengambil keputusan di parlemen. Berdasarkan fakta-fakta dan urgensi pentingnya partisipasi kaum perempuan dalam pengambilan keputusan di parlemen, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalm sebuah makalah yang berjudul “Kuota 30% bagi Calon Legislatif Perempuan Demi Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan”

BAB III
KERANGKA TEORITIS
1.      UUD 1945 Hasil Amandemen
Pasal 27 ayat (1) menentukan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan peerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28 D ayat (3) menentukan bahwa: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Pasal 28 H ayat (2) menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
2.      UU no. 68 tahun 1958 (Hak Politik Perempuan)
Pasal 1 menetapkan bahwa: “Wanita mempunyai hak untuk memilih dalam semua pemilihan atas dasar yang sama dengan pria, tanpa diskriminasi”. Pasal 2 bahwa: “Wanita mempunyai hak untuk dipilih dalam semua “publicly elected bodies”  yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional, atas dasar yang sama dengan pria, tanpa diskriminasi apapun. Pasal 3 bahwa: “Wanita mempunyai hak untuk duduk dalam jabatan pemerintahan dan melaksanakan semua fungsi pemerintahan, tanpa diskriminasi apa pun, sesuai dengan perundang-undangan nasional.
3.      UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 23 ayat (1) bahwa: “Setiap orang bebas memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Pasal 43 ayat (1) bahwa: “Setiap warga negara berhak;
·         Dipilh dan memilih dalam pemilihan umum
·         Berdasarkan persamaan hak
Pasal 43 ayat (2) menentukan bahwa: Setiap warga negara berhak:
·         turut serta dalam pemerintahan, dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilih nya dengan bebas.
Pasal 46 bahwa: “Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”.
4.      UU no.31 tahun 2002 tentang Partai Politik
Pasal 7e menentukan bahwa “partai politik berfungsi sebagai sarana Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender”.
5.      UU no.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Pasal 65 ayat (1) bahwa: “Setiap Partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurang nya 30%”.
6.      UU no. 7 tahun 1984 (Konvensi Perempuan)
Pasal 7 bahwa: “Negara peserta wajib menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan publik, khususnya menjamin bagi wanita atas dasar persamaan dengan pria” untuk:
·         Memilih dan dipilih.
·         Berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalm pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat.
7.      Committee on the Elimination of Discrimination Against Women-CEDAW) dalam Komite no.23 sidang ke-16 tahun 1997 tentang perempuan dalam kehidupan politik dan publik
·         Menjamin adanya kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menduduki jabatan publik yang didasarkan atas pemilihan (publicly elected positions)
·         Perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah, menduduki jabatan dalam pemerintahan, dan menikmati manfaat yang sama dari hasil menggunakan kesempatan itu.
Kebahagiaan sejati haruslah dicari dalam kebebasan individu yang merupakan produk dari hak-hak manusia yang suci, tidak dapat dicabut dan kodrati. Sasaran setiap asosiasi politik adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tak dapat dicabut. Hak-hak tersebut adalah kebebasan (liberty), harta (property), keamanan (safety) dan perlawanan terhadap penindasan (resistance to oppresion) (Mahsyur Effendi, 2005:41). Maka dari itu pentingnya keterlibatan perempuan dalam dunia politik memang diperlukan demi tercapainya penyetaraan gender.

8.      Patriarki
Dalam pencapaian tujuan dan  partisipasi yang dapat menciptakan kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan akan memberikan keseimbangan yang lebih tepat mencerminkan komposisi masyarakat dan diperlukan untuk memperkuat dan memajukan fungsi demokrasi yang sejati dalam suatu negara. Dalam hal ini, peran kaum perempuan dalam bidang politik masih sangat kurang. Kendala utama disebabkan oleh mendominasinya peran laki-laki dari pada perempuan dalam hal kekuasaan atau yang disebut dengan patriarki. Budaya patriarki di kalangan masyarakat telah mengakar dan mendominasi dalam berbagai kehidupan.
9.      Feminisme
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan yang dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya, dengan lahirnya era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood (Susan Blackburn, 2007:65).
Kata feminisme berasal dari bahasa Perancis yang pertama kali digunakan pada tahun 1880-an, untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Hubertine Auclort adalah pendiri perjuangan politik perempuan yang pertama di Perancis, dalam salah satu publikasinya menggunakan kata feminisme dan femeniste. Sejak itulah feminisme tersebar diseluruh Eropa dan sampai AS, melalui New York pada tahun 1906. Gerakan feminisme di New York diwarnai oleh perjuangan menuntut hak-hak perempuan sebagai warga negara, hak perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Gerakan feminisme adalah sebuah gerakan pembebasan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam masyarakat. Adapun gerakan feminisme ini lebih memusatkan perhatian kepada “masalah perempuan” yang mengasumsikan bahwa munculnya permasalahan ketidakmampuan kaum perempuan untuk bersaing dengan laki-laki tetapi pada dasarnya perempuan adalah makhluk rasional yang memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Feminisme berdasar pada asumsi bahwa gender merupakan konstruksi sosial yang didominasi oleh pemahaman yang bias laki-laki dan menindas perempuan. Feminisme secara umum menantang asumsi dasar masyarakat dan mencari alternatif pemahaman yang lebih membebaskan, yaitu pemahaman yang meletakkan wanita dan pria dalam posisi yang seimbang. Feminisme secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal. Feminisme liberal merupakan dasar pergerakan perempuan pada tahun 1960-an hingga 1970-an yang didasarkan atas paham demokrasi liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi semua individu. Feminisme liberal berkaitan terutama dengan citra publik dan hak asasi perempuan. Berbeda dengan Feminisme liberal, feminisme radikal melihat persoalan tidak sebatas pada hak yang bersifat publik, mereka mempersoalkan dasar struktur masyarakat yang menurut mereka patriarkis. Oleh karena itu, jika feminisme liberal beranggapan bahwa masalah gender dapat diatasi dengan distribusi hak secara adil, maka bagi feminisme radikal hal ini tidak menyelesaikan persoalan.
Para feminis menganggap hukum yang baik adalah hukum yang berpihak kepada perempuan dan tentunya siapa saja yang secara sosial di lemahkan untuk kemudian melawan penindasan tersebut.
Hukum yang diyakini netral dan obyektif oleh teori Positivisme Hukum sebenarnya tidak mungkin ada. Sebab disadari atau tidak berbagai hukum tersebut dibuat dalam perspektif patriarki dan lebih melindungi pria daripada perempuan. Justru membenarkan ketidaksetraan pria dan perempuan.
Teori hukum feminis bergerak dari anggapan tentang hukum sebagai sistem peraturan, menjadi hukum sebagai sistem pengetahuan. Hanya melalui cara ini hukum dapat menampung berbagai kebenaran pengetahuan tentang pengalaman dan identitas diri. Dengan demikian, teori hukum yang berspektif feminis adalah teori hukum yang memungkinkan setiap perempuan dan setiap orang yang potensial menjadi korban membentuk identitasnya sendiri, dan bahkan melakukan perlawanan balik terhadap berbagai upaya yang hendak menindasnya. Dan hanya teori hukum seperti inilah yang sesuai dengan metode “peningkatan kesadaran” (consciousness raising) yang selama ini telah menjadi metode feminis (Sulistyowati Irianto, 2006:26).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar