Senin, 12 Januari 2015

KASUS PEMBAJAKAN HAYATI (BIOPIRACY) TANAMAN TRADISIONAL INDONESIA OLEH SHISHEIDO TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM VARIETAS BARU TANAMAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Perkembangan pesat di bidang ekonomi, sosial, dan tekhnologi telah mengakibatkan masalah pangan menjadi masalah yang berdimensi global, dimana masalah pangan tidak hanya tertuju  kepada produk pangan yang dapat dijadikan komoditi yang berpotensial meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara, akan tetapi juga tertuju kepada sumber penghasil pangan itu sendiri yang dapat direkayasa seperti terciptanya varietas-varietas baru tanaman yang dapat menghasilkan produk-produk unggulan. Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), Varietas Unggul merupakan salah satu tekhnologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian[1].
            Kemampuan untuk mengahasilkan varietas tanaman yang dapat dijadikan bibit unggul sangat diperlukan, karena tanaman merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas hasil pertanian. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan varietas yang unggul antara lain varietas tanaman yang digunakan telah bertekhnologi tinggi, relatif murah, dan tidak mencemari lingkungan. Melalui penggunaan tanaman yang unggul diharapkan proses produksi menjadi lebih efisien, lebih produktivitas dan menghasilkan bahan pangan yang bermutu tinggi.
            Varietas tanaman yang biasanya diperoleh melalui proses pemuliaan tanaman yang menemukan penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, yang memerlukan pencurahan pikiran, tenaga, waktu, dan dana yang besar. Sulitnya proses pemuliaan tanaman mengharuskan adanya suatu penghargaan atas hasil kerja keras para pihak pemulia, yaitu dengan adanya pemberian jaminan perlindungan hukum yang jelas dan tegas. Dengan adanya kepastian hukum yang jelas akan mendorong para pemulia untuk lebih giat dalam melakukan penelitian dalam rangka menghasilkan lebih banyak lagi varietas tanaman yang baru dan bersifat unggul.
            Pada saat ini, di seluruh dunia sedang berkembang isu pembajakan hayati serta pembajakan kekayaan intelektual (Biopiracy and intellectual property). Masalah pembajakan ini terjadi di negara-negara yang kaya akan keanekaragaman sumber hayati yang umumnya adalah negara Berkembang (developing countries) termasuk Indonesia yang dikenal dengan negara “mega biodiversity”. Dalam perkembangannya praktik biopiracy ini tidaklah berhenti pada berpindahnya sumber hayati suatu negara secara ilegal ke wilayah lain semata. Ia masih menimbulkan efek berikutnya, yang terkadang justru berimplikasi lebih fundamental bagi kepemilikan hak-hak kekayaan Intelektual terutaman hak paten.
            Seperti kasus Perusahaan Kosmetik Shisheido Jepang  yang mengklaim  sembilan hak paten atas tanaman tradisional Indonesia yang bernomor registrasi JP 10316541 dengan subyek paten tanaman tardisional yang kesemuanya merupakan bahan anti penuaan, perawatan kulit dan kepala[2].
            Fakta demikian jelas merugikan negara yang mnejadi korban Biopiracy. Selain harus kehilangan sebagian kekayaan hayatinya, negara bersangkutan juga menjadi tidak bebas lagi menggunakan aplikasi sumber hayati sesuai dengan invensi yang dipatenkan bioprospector. Padahal konvensi tentang keanekaragaman hayati (Convention on biological diversity)  telah secara jelas menyatakan bahwa setiap negara berdaulat terhadap sumber daya alam yang dimilikinya[3].
            Berdasarkan paparan di atas, mengenai kasus Shiseido dan pembajakan Hayati Biopiracy  tanaman tradisional Indonesia maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam suatu makalah yang berjudul “Kasus Pembajakan Hayati (Biopiracy) Tanaman Tradisional Indonesia Oleh Shisheido Terkait Dengan Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman”.




[1] Rein E. Senewe dan Janes B. Alfons, “Kajian Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah Pada Sentra Produksi Padi di Seram Bagian Barat Provinsi Maluku”, Jurnal Budidaya Pertanian, vol.7 no.2 (Desember, 2011), halaman 2
[2] Andriana Krisnawati,Gazalba Saleh, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman Dalam Perspektif Hak Paten dan Hak Pemulia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 89
[3] M. Zulfa Aulia, “Langkah-Langkah Hukum Dalam Rangka Mencegah Terjadinya Paten Atas Invensi Hasil Biopiracy”, Jurnal Hukum Respublica, vol.6, no.2 (Februari,2007), halaman  2

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan:
1.      Hak Paten Atas Invensi yang Berasal dari Praktik Biopiracy yang Dilakukan Shisheido terhadap Tanaman Tradisional Indonesia
*      Sejak tahun 1995, perusahaan kosmetik Shisheido dari Jepang telah melakukan pembajakan hayati dengan mengajukan 51 permohonan paten tanaman obat dan rempah asli Indonesia namun paten tersebut dibatalkan dengan alasan bahwa pihak Shisheido menyadari bahwa tanaman hayati Indonesia yang termasuk dalam permohonan patennya ternyata telah menjadi bahan baku obat dan kosmetika tradisional sejak zaman dahulu yang dikenal luas sebagai jamu. kasus tersebut terjadi karena belum terbentuknya sistem perlindungan hukum bagi pengetahuan tradisional masyarakat (traditional knowledge) dan ketidakpahaman sebagian masyarakat Indonesia terhadap sistem Paten, terutama dalam membedakan antara produk dan proses yang dilindungi paten.
*      Tindakan biopiracy merupakan tindakan yang bertentangan dengan Undang-Undang, sebab ia dilakukan dengan cara membajak atau mencuri keanekaragaman hayati negara lain. Di Indonesia, ia secara tegas diatur dalam UU No. 5 tahun 1990, UU no.5 tahun 1994, UU no.18 tahun 2002 dan PP no.41 tahun 2006. Pada dasarnya kegiatan biopiracy menimbulkan dua kemungkinan. Pada discovery, bioprospector hanya sekedar menemukan memindahkan aplikasi yang telah ada pada masyarakat lain dan bioprospector  mencuri keanekaragaman hayati yang sama sekali belum dikelola di negara tersebut.
*      Invensi yang dilarang untuk dipatenkan adalah jika pengumuman dan penggunaan invensi itu bertentangan dengan undang-undang. Moralitas agama, ketertiban umum dan kesusilaan. Pada Kasus pembajakan sumber hayati Shisheido Jepang di atas, pendaftaran patennya memang kemudian dibatalkan oleh kantor paten setempat, karena di Indonesia telah menjadi pengetahuan tradisional (traditional knowledge) maka unsur kebaruan di sini tidak terpenuhi. Temuan yang didaftarkan Shisheido di sini bukanlah invensi melainkan Discovery.
*      Upaya pencegahan terhadap paten Biopiracy ke dalam bentuk langkah-langkah hukum penting dilakukan, setidaknya disebabkan dua alasan:
Pertama, Biopiracy adalah tindakan yang ilegal, karenanya sangat ironi jika invensi yang dihasilkannya ternyata dapat diberikan perlindungan paten.
Kedua, adanya perlindungan paten terhadap invensi hasil biopiracy berdampak pada munculnya kepemilikan hak eksklusif atas penggunaan invensi itu, sehingga warga negara yang sumber hayati nya dibajak itu tidal lagi dapat memanfaatkannya, jika pemanfaatan itu sebagaimana invensi yang telah mendapatkan paten.
*      Adanya hak eksklusif bagi pemegang hak perlindungan mempunyai konsekuensi bahwa orang lain tidak dapat melakukan kegiatan apapun yang bersifat komersil terhadap varietas tanaman yang telah dilindungi, tanpa adanya persetujuan dari pemegang hak pemulia.
*      Dasar Hukum Perlindungan Varietas Tanaman:
- Tahun 1961 negara-negara di dunia menyepakati adanya konvensi Internasional tentang Varietas Tanaman yang dikenal tentang UPOV (Union Internationale pour la protection des obtentions vegetale) termuat dalam International Convention for the Protection of New Varieties of Plants.
- Karena keikutsertaan Indonesia dalam GATT/WTO 1994 maka Indonesia wajib meratifikasi TRIPs khususnya dijelaskan pada pasal 27 ayat 3 huruf b, yang mengharuskan untuk memberikan perlindungan menyeluruh terhadap segala aspek PVT meskipun UU paten tahun 1997 telah mengizinkan pemberian perlindungan paten terhadap tanaman.
- UU no.05 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
- UU no.02 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
- Pasal 45 Peraturan Pemerintah tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman.
- UU no. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
*      Varietas tanaman yang dilindungi di Indonesia adalah varietas tanaman yang memenuhi syarat-syarat baru, stabil, unik, di beri nama. Jangka waktu perlindungan varietas tanaman di Indonesia dibagi menjadi 2 yaitu:
-          Jangka waktu 20 tahun untuk tanaman semusim
-          Jangka waktu 25 tahun untuk tanaman tahunan
*      Proses permohonan pendaftaran tidak dilakukan oleh kantor HAKI melainkan oleh kantor Perlindungan Varietas Tanaman, Departemen Pertanian.
*      Hak PVT berakhir karena:
- berakhirnya jangka waktu
- pembatalan
-pencabutan
2.      Langkah-langkah Hukum Alternatif yang Perlu Diupayakan Dalam Mencegah Paten Biopiracy:
*      Memperbaharui Aturan Hukum tentang Paten
*      Pelaksanaan Dokumentasi atas Tanaman dan Pengetahuan Tradisional
*      Mekanisme Benefit Sharing yang tepat
*      Memberdayakan LSM sebagai Representasi Masyarakat Lokal dengan Dukungan Lembaga Internasional semisal WIPO.
*      Pengetahuan tradisional dapat dilindungi dengan perundang-undangan sistem Sui Generis atau mandiri di luar HKI

B.     SARAN
*      Pemerintah melalui kantor PVT diharapkan dapat mensosialisasikan ketentuan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2000 terutama mengenai prosedur pendaftaran atau permohonan untuk mendapatkan hak perlindungan varietas tanaman yang dianggap masyarakat merepotkan dan memerlukan banyak waktu dan biaya. Hal itu dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat terutama petani miskin mengenai PVT.
*      Pemerintah diharapkan dapat mengadakan suatu pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum demi efisiensi pemahaman UU no.29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman sehingga ke depannya dapat membantu masyarakat dalam hal pendampingan hukum atau penyuluhan tentang PVT.
*      Perealisasian ketentuan-ketentuan hukum baik perdata maupun pidana di dalam ketentuan UU no.29 tahun 2000 tentang PVT guna pencegahan secara efektif pelanggaran PVT khususnya Biopiracy yang dilakukan oleh negara asing. Diwujudkan dengan kerjasama masyarakat dan LSM guna wajib lapor apabila hal itu terjadi.
*      Pelaksanaan Dokumentasi atas Tanaman dan Pengetahuan Tradisional dapat menjadi bukti kepemilikan sumber hayati dan pengetahuan tradisional, sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai dokumen pembanding prior art  terhadap setiap paten yang diberikan. Salah satu negara yang telah menerapkan metode ini adalah India. Dimana pemerintahnya telah membuat The Geographic Appellation
*      Memperbaharui Aturan Hukum tentang Paten
*      Mekanisme Benefit Sharing yang tepat
*      Memberdayakan LSM sebagai Representasi Masyarakat Lokal dengan Dukungan Lembaga Internasional semisal WIPO.
*      Pengetahuan tradisional dapat dilindungi dengan perundang-undangan sistem Sui Generis atau mandiri di luar HKI.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Andriana Krisnawati, Gazalba Saleh.2004.Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman Dalam Perspektif Hak Paten Dan Hak Pemulia.Jakarta:RajaGrafindo Persada
Budi Agus Riswandi, Syamsudin.2004.Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum.Jakarta:RajaGrafindo Persada
Ermansyah Djaja.2009.Hukum Hak Kekayaan Intelektual.Jakarta:Sinar Grafika
OK Saidin.2004.Aspek Hukum Kekayaan Intelektual.Jakarta:RajaGrafindo Persada
Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo.2003.Hak Kekayaan Intelektual.Bandung:Alumni
Jurnal:
M. Zulfa Aulia, “Langkah-Langkah Hukum Dalam Rangka Mencegah Terjadinya Paten Atas Invensi Hasil Biopiracy”, Jurnal Hukum Respublica, vol.6, no.2 (Februari,2007)
Rein E. Senewe dan Janes B. Alfons, “Kajian Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah Pada Sentra Produksi Padi di Seram Bagian Barat Provinsi Maluku”, Jurnal Budidaya Pertanian, vol.7 no.2 (Desember, 2011)
Internet:
http://en.wikipedia.org/wiki/Shiseido diakses tanggal 23 Mei 2012 pukul 09.00 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar