Jumat, 09 Januari 2015

PENGERTIAN PARLEMEN DI MASA LALU DAN MASA SEKARANG

A.    PENGERTIAN PARLEMEN DI MASA LALU DAN MASA SEKARANG
 Secara harfiah kata “parliament” sebenarnya berasal dari kata Perancis “parler” yang berarti berbicara (to Speak). Di masa lalu parlemen berfungsi mengkomunikasikan tuntutan dan keluhan-keluhan dari berbagai kalangan masyarakat  kepada pihak pemerintah (Parlement parle au governement). Parlemen berkembang sebagai alat bagi masyarakat dalam melakukan pengendalian sosial (Social Control) terhadap kekuasaan. Tetapi dalam sistem modern sekarang ini, parlemen berubah menjadi alat dalam komunikasi dan sosialisasi politik kepada masyarakat melalui perdebatan-perdebatan terbuka (public debate) yang melibatkan keahlian para legislator (parlement parle au peuple).
B.     TUGAS POKOK LEMBAGA PARLEMEN
1.      Mengambil inisiatif atas upaya pembuatan Undang-Undang
      Diadakan perumusan mengenai tugas-tugas pembuatan Undang-Undang (legislatif) dan tugas-tugas pelaksanaan Undang-Undang itu (eksekutif) ke dalam dua kelompok pelembagaan yang menjalankan peranan yang berbeda. Hal itu di dasarkan pada doktrin “separation of power” dan “division of power.
2.      Wewenang Mengubah (Amandemen) RUU
Secara aktual, parlemen berwenang mengadakan perubahan, mengajukan penolakan, dan memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-Undang yang pada umumnya diajukan oleh pihak Eksekutif (pemerintah). Bahkan di masa Presiden Charles de Gaulle, baik dalam rumusan konstitusi maupun dalam praktek, angka perbandingan usulan Undang-Undang (Propositions de loi) dengan proyek Undang-Undang (projets de loi) itu, lebih menurun lagi. Pada tahun 1972, misalnya tercatat ada kurang lebih 4000 RUU yang diajukan ke persidangan Majelis Nasional (National Assembly). Hanya ada dua RUU saja yang diajukan secara murni dan mandiri atas inisiatif anggota parlemen. Selebihnya sebanyak 95% sepenuhnya datang dari inisiatif pihak pemerintah.
Hak untuk mengubah RUU yang diajukan oleh pemerintah jauh lebih penting, lebih praktis, realistis, dan lebih mangkus (efektif) dibandingkan dengan hak mereka untuk berinisiatif membuat RUU sendiri, sehingga memungkinkan mereka mengadakan amandemen-amandemen yang diperlukan dalam rangka menjamin kepentinagn rakyat banyak.
3.      Mengembangkan Debat Kebijaksanaan Secara Terbuka
Perdebatan-perdebatan parlemen merupakan alat (tools) yang efektif dalam komunikasi politik dan merupakan wahana (means) dalam melakukan pengawasan (control) terhadap  pihak eksekutif.
4.      Pengawasan terhadap Pemerintahan dan Pembelanjaan Negara
Seperti yang dikatakan oleh George B. Galloway, “not legislation but control of administration is becoming the primari function of the modern Congress”. Parlemen dapat dirumuskan melalui 4R, yaitu “Review, Revise, Reject, and Ratify”. Artinya pelaksanaan tugas lembaga parlemen itu menyangkut kegiatan menilai, mengubah, menolak, atau mengesahkan RUU yang diajukan kepadanya oleh lembaga eksekutif.
C.    FUNGSI PARLEMEN
1.      Fungsi Pengawasan, 2.Fungsi Legislasi, 3.Fungsi Budget
D.    STRUKTUR PARLEMEN di INDONESIA
1.      One Cameral System
Di dalam rangka melaksanakan demokrasi dilakukan oleh satu lembaga perwakilan rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat dalam rangka untuk kepentingan kelompok atau politik di dalam negara.
2.      Bicameral System
Dalam rangka melaksanakan demokrasi dilakukan oleh dua lembaga perwakilan rakyat yang dapat dipilih langsung maupun tidak langsung.
Contoh: -Inggris dalam mengambil keputusan ada perwakilan bangsawan dan institusi tertentu. Yaitu: House of Commons, House of Lords yang dipengaruhi oleh latar belakang sejarah.
-Amerika Serikat dianut dua lembaga perwakilan yaitu perwakilan-perwakilan Legislatif (House of Representative) yang dipilih langsung oleh rakyat. Senate tidak dipilh langsung, tetapi secara bertingkat, lembaga perwakilan yang mewakili setiap bagian. Hal itu dilatar belakangi oleh kompromi antara negara bagian yang berpenduduk banyak dan sedikit.
            Pembentukan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD. Namun tidak tergambar konsep dua kamar. Bukan anggota yang menjadi unsur, tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Kalau anggota yang menjadi unsur, MPR adalah badan yang berdiri sendiri, diluar DPR dan DPD.
            Namanya tetap MPR, jadi MPR tidak lagi menjadi suatu lingkungan jabatan yang memiliki lingkungan wewenang sendiri, maka wewenang baru melekat pada wewenang DPR dan DPD.
Premis Mayor”
DPR              Kontrol                PARLEMEN
                      Legislatif                                            

DPD              Kontrol                 BUKAN PARLEMEN
                      Legislatif
                                      

                                PSEUDO
Premis Minor”
Jadi sistem parlemen di Indonesia bukan Bicameral namun Multilateral. Hal itu membuat tugas dan wewenang
 DPR:
·         penentuan pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik, bukan DPD.
·         Mengenai tugas meminta pertanggungjawaban terhadap Kepala Pemerintahan (impeachment)
DPD:
·         Ikut menentukan penentuan vonisnya dalam persidangan MPR.
·         Menjamin perlindungan terhadap hak dan kekayaan masyarakat dari
Pembebanan yang dilakukan oleh negara (mewakili lapisan masyarakat bawah)
·         DPD bukan badan legislatif penuh, hanya berwenang mengajukan dan membahas RUU di bidang tertentu saja yang disebut secara enumeratif dalam UUD.
·         Dan pembentukan UU hanya ada pada DPR dan Pemerintah 
MPR: -MPR tetap merupakan lingkungan jabatan sendiri dan wewenang sendiri di luar wewenang DPR dan DPD.
Konklusi:
Jadi rumusan baru UUD yang memperkenalkan sistem parlemen “Trikameral” tidak mencerminkan gagasan mengikutsertakan daerah dalam penyelenggaraan seluruh praktik dan pengelolaan negara. Sesuatu yang ganjil ditinjau dari konsep dua kamar dengan adanya kewenangan yang demikian itu, maka dapat dipahami bahwa MPR itu adalah lembaga yang berdiri sendiri disamping DPR dan DPD. Maka Hemat saya lembaga DPD sebaiknya dihapuskan saja mengingat hal itu menjadikan pemborosan APBN negara dengan tugas dan wewenangnya hanya sebagian.
3.      Multilateral (Tricameral) System
Format baru parlemen 3 kamar yaitu MPR,DPR,DPD
a.       MPR
Setelah perubahan keempat UUD 1945 sistem yang dianut adalah trikalisme: Pertama susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan utusan golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Kedua tidak lagi menjadi lembaga Supreme Body yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol. Ketiga prinsip Separation of Power antara fungsi legislatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat 1 juncto pasal 20 ayat 1 dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas dengan pasal 20 ayat 5 perubahan kedua UUD 1945. Bahwa kekuasaan membentuk UU berada di tangan MPR, meskipun Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif tetap diberi haknya untuk mengajukan suatu rancangan UU sehingga UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip Supremasi Parlemen dan Sistem Pembagian Kekuasaan oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga di bawahnya.
Keempat  pasal 6A ayat 1 perubahan ketiga UUD 1945, dengan pemilu dari rakyat pertanggung jawaban Presiden tidak lagi ke MPR tapi ke rakyat. MPR (DPR dan DPD) = Presiden dan wakil = MA dan MK. Namun tetap berdiri sendiri pasal 8 ayat (2), pasal 2 ayat (1). Dan menurut pasal 3 ayat (3) pasal 7A dan 7B (mengubah dan menetapkan UUD) oleh pasal 3 ayat (1) pasal 37 UUD 1945
b.      DPD
DPD hanya memberikan masukan pertimbangan, usul, saran sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR. Lembaga tersebut bisa menjadi strong becameralism atau bahkan soft becameralism. Sesuai pasal 22 D ayat 1-ayat 3 –mengajukan RUU tertentu kepada DPR, -Ikut membahas RUU tertentu, -memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU APBN dan RUU tertentu. –Dapat melakukan pengawasan atas pelaksannaan UU tertentu. Ironisnya pengisian jabatan keanggotaan DPD pasal 22 C ayat (1) sama halnya dengan 1/3 dari DPR. Dan peserta pemilu untuk menjadi anggota DPD adalah perorangan sedangkan untuk DPR adalah partai politik.
c.       DPR
Pasal 20 ayat 1 dan ayat 4 intinya UUD 1945 pasca Perubahan keempat fungsi legislatif itu berpusat di tangan DPR.
·         Lembaga legislasi
·         Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dalam rapat paripurna DPR.
·         RUU resmi sah----UU wajib untuk diundangkan.
·         RUU dibahas bersama untuk mendapat persetujuan antara DPR dan Presiden di persidangan DPR. Posisi Presiden berimbang dengan posisi DPR. (Proses pembahasan materi RUU, posisi presiden /pemerintah lemah karena harus berhadapan dengan DPR sebagai satu keastuan institusi) namun Presiden bisa memveto dengan cara menolak memberi persetujuan atas sesuatu materi atau keseluruhan UU yang bersangkutan.
·         RUU datang dari presiden maka DPR dapat menolak sebagian atau seluruhnya RUU tersebut. Pengambilan putusan oleh DPR (sebagian/seluruh) materi diputuskan dengan pemungutan suara dalam rapat paripurna DPR. Presiden tidak “voting rights”------DPR yang kuat dan berada di atas Presiden. Dan apabila RUU itu tidak disetujui DPR maka harus dikeluarkan dari RUU tersebut-----a contrario tidak diajukan untuk diatur dalam UU lain dalam persidangan DPR waktu itu.
·         RUU akan resmi mengikat umum apabila ada dua ketentuan yaitu: 1. Faktor pengesahan oleh presiden dengan cara menandatangani makalah UU  2. Faktor tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan keputusan atas RUU dalam rapat paripurna DPR.
·         Jadi DPR (Pengesahan secara materiil) melalui pengambilan putusan akhir dalam rapat paripurna sedangkan Presiden (pengesahan secara formil) pasal 20 (4) UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA:
Asshiddiqie, Jimly. 2006a. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM.Jakarta: Konstitusi Press
                                  .2006b. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta:Konstitusi Press

Huda,Ni’matul.2005. Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta: Raja Grafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar