Jumat, 09 Januari 2015

REVITALISASI KESEJAHTERAAN KAUM DIFFERENT ABILITY MELALUI PENGUATAN PERATURAN DAERAH SERTA PEMBENTUKAN KOMISI AKSESIBILITAS (Studi Kasus Perusahaan Kulit Magetan, Jawa Timur)

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Difabel atau people with different ability merupakan istilah yangdigunakan untuk penyandang cacatfisik atau masyarakat dengankebutuhan khusus.Permasalahan penyandang cacat atau yang sering dikenal dengan istilah disabilitas merupakan permasalahan sosial yang sampai kini tidak kunjung usai.Masalah penyandang cacat yang paling kompleks ialah mengenai kesempatan dan hak untuk bekerja dan mendapatkan pekerjaan yang layak.Hingga saat iniPemerintah hanya mendesak kalangan dunia usaha untuk memberikan kesempatan kerja yang lebih luas lagi kepada para penyandang difabel, sesuai dengan ketentuan perundangan dan regulasi pendukung lainnya, tanpa terjun langsung mengatasi permasalahan ini.
Saat ini ada sekitar 22 juta orang penyandang disabilitas di Tanah Air dengan mayoritas diantaranya berada pada usia kerja.Data Kementerian Sosial pada 2010 menyebutkan jumlah penyandang disabilitas mencapai 11.580.117 orang. Namun peluang kerja bagi para penyandang difabel sangat terbatas, bahkan diperkirakan tidak sampai 50% dari jumlah total penyandang disabilitas yang bekerja secara formal.
Pada 2011, menurut Siswadi, Ketua Umum Persatuan Penyandang Cacat Indonesia, jumlah penyandang cacat di Indonesia berdasarkan data Depkes RI mencapai 3,11% dari populasi penduduk atau sekitar 6,7 juta jiwa.Organisasi Kesehatan Dunia PBB dengan persyaratan lebih ketat, jumlah penyandang cacatdi Indonesia mencapai 10 juta jiwa (http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=487863&pop=1&page=0,diakses pada hari Kamis tanggal 20Februari 2013 pukul 03.00 WIB).
Dari hasil survey di 24 provinsi tercatat ada sebanyak 1.235.320 penyandang cacat, yang terdiri dari 687.020 penyandang cacat laki-laki dan 548.300 penyandang cacat perempuan. Sebagian besar dari mereka hanya berpendidikan tidak sekolah/tidak tamat SD sebesar 59,9 persen, berpendidikan SD 28,1 persen. Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar dari mereka tidak mempunyai keterampilan, sebanyak 1.099.007 orang (89 persen).Dengan pendidikan yang rendah dan ketiadaan keterampilan, membuat mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Ada sebanyak 921.036 orang penyandang cacat yang tidak bekerja (74,6 persen).
Padahal Para difabel juga merupakan warga negara Republik Indonesia yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijamin untuk memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan warga negara lainnya (Suharto, Edi, Penerapan Kebijakan Publik bagi Masyarakat dengan Kebutuhan Khusus, Pengalaman Kementerian Sosial, disampaikan pada diskusi terbatas Pusat Kajian Manajemen Pelayanan LAN RI di Hotel Sahira Bogor, 9-10 Oktober 2010).Komitmen tersebut tertuang dan diamanatkan dalam UUD 1945, Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28 D Ayat 2.
            Selama ini, kebijakan-kebijakan yang menyangkut aksesibilitas para penyandang cacat (disabled persons) di tempat-tempat pelayanan umum di kota -kota besar di Indonesia, tampaknya sebagianbesar masih sebatas wacana. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) serta dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998, khususnya pasal 1 (ayat 1) dengantegas dinyatakan bahwa, sebagaimana warga masyarakat lainnya, penyandang cacat “ berhak mempunyai kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban dalam berperan dan berintegrasi secara total sesuai dengan kemampuannya dalam segala aspek kehidupan dan penghidupannya”. Serta Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2 mengenai aksesibilitas fisik dan non fisik bagi penyandang difabel.(Anonim, 2004:37).
Dalam penerapan kebijakan mengenai kesejahteraan khususnya aksesibilitas penyandang cacat tersebut pemerintah Daerah telah berupaya untuk melaksanakan amanat sesuai kewenangan nya berdasar Undang-Undang tentang Otonomi Daerah Nomor 32 tahun 2004 dalam suatu Peraturan Daerah, contoh di Provinsi Yogyakarta khususnya Pemerintah Kabupaten Sleman telah menerbitkan Perda Nomor 11 tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan Difabel, di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, khususnya di Kota Surakarta, telah lama menerapkan Perda No. 8 tahun 1988 tentang Bangunan di Kotamadya Surakarta yang antara lain mempersyaratkan aksesibilitas untuk masyarakat difabel, di Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung nomor 10 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat (Ferry Firdaus, Fajar Iswahyudi, “Jurnal Analisa”, Aksesibilitas Dalam Pelayanan Publik Untuk Masyarakat Dengan Kebutuhan Khusus, Vol. 6, No. 3 tahun 2010 hal 4-6).
Namun kenyataan itu berbeda dengan realita yang terjadi di lapangan bahwa baik pihak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota maupun Organisasi Sosial Penyandang Cacat khususnya di Jawa Timur, banyak yang belum memahami “policy” yang baru tentang penyandang cacat, sehingga sampai saat ini belum nampak adanya realisasi dari Undang-Undang No. 4/1997 dan PP No. 43 /1998; baik berupa PERDA maupun dalam bentuk penerapannya pada prasarana/sarana bangunan umum di daerah, Dinas yang paling kompeten dalam masalah aksesibilitas pada setiap bangunan umum yaitu Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) dan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) di tiap Kabupaten/Kota; ada yang belum mengetahui keberadaan Undang-Undang No.4/1997 dan PP No.43/1998 sehingga penanganan Pemerintah terhadap kesejahteraan dan kesetaraan kehidupan khususnya aksesibilitas kaum difabel dirasa kurang maksimal (IB. Wirawan, “Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik”, Aksesibilitas Penyandang Cacat Di Jawa Timur, Vol.20, No.1 tahun 2008 hal 8-9).
Mencermati permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik menelaah lebih lanjut persoalan tersebut dalam sebuah gagasan yang berjudul “Revitalisasi  Kesejahteraan  Kaum Different Ability Melalui Penguatan Peraturan Daerah Serta Pembentukan Komisi Aksesibilitas (Studi Kasus Perusahaan Kulit Magetan, Jawa Timur)”


BAB IV
PENUTUP


A.    Simpulan
Dari analisis pembahasan dan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Perlindungan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, perlindungan terhadap penyandang cacat ini pengaturannya juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, disebutkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

B.     Saran
Segi Masyarakat :
Pemberdayaan Komunitas Penyandang Cacat melalui Rehabilitasi Sumber Daya Masyarakat. Masyarakat harus aktif melakukan pendekatan Persuasif sehingga keberadaan penyandang cacat layak berada di tengah masyarakat (W.E Tinambunan, “Jurnal Teroka Riau”, Pemberdayaan Penyandang Cacat Melalui Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (RBM), Vol.VIII, No.2 Maret 2008, hal.58).
·         Turut aktif memasyarakatkan peraturan perundangan untuk penyandang cacat terutama bagi kelompok masyarakat yang potensial.
·         Mendorong masyarakat pengusaha semakin terbuka untuk menerima tenaga kerja penyandang cacat.
·         Menjadi penghubung atau mediator bagi kepentingan penyandang cacat di satu pihak.
Segi Pemerintah :
·         Sesuai era Otonomi Daerah, Gubernur/Bupati/Walikota di setiap daerah wajib memiliki kebijakan dalam bentuk peraturan Daerah dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan. Contoh: di Provinsi Yogyakarta khususnya Pemerintah Kabupaten Sleman telah menerbitkan Perda Nomor 11 tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan Diffable. di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, khususnya di Kota Surakarta, telah lama menerapkan Perda No. 8 tahun 1988 tentang Bangunan di Kotamadya Surakarta yang antara lain mempersyaratkan aksesibilitas untuk masyarakat difabel, di Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung nomor 10 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
·         Pemerintah hendaknya dapat membuat kebijakan dengan Penyaluran Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tepat sasaran yakni melalui Advokasi.
·         Dinas/Badan Kesejahteraan Sosial Provinsi/Kabupaten/Kota dapat membentuk dan mengembangkan Organisasi Penyandang Cacat----dengan mengalokasikan anggarannya yang lebih spesifik terhadap pengentasan Penyandang Cacat untuk Pemberian Pelatihan dan Penyaluran Tenaga Kerja atau memberikan modal untuk usaha mandiri. Contoh: Di Kabupaten Kediri ada 11 kegiatan dengan alokasi dana sebesar Rp 515.000.000,00. (Dina Primasari, “Jurnal Ilmu Manajemen”, REVITALISASI, Vol.1, No.1 Juni 2012 hal 13)
·         Revitalisasi Penguatan Peraturan Daerah Melalui Pembentukan Komisi Aksesibilitas Difabel Di Bawah Dinsosnakertrans Guna Terjaminnya Kesejahteraan Kaum Different Ability

 DAFTAR PUSTAKA

1.        Buku
Abdul Khakim.2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Anonim, Masalah Sosial di Indonesia: Kondisi dan Solusi (Jakarta: Pusat PenelitianPermasalahan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI, 2004)
Lalu Husni. 2010. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Tjepy F. Aloewie. 2000. Kesetaraan dan Kesempatan Kerja Bagi Tenaga Kerja Penyandang Cacat. Makalah disampaikan pada Temu Konsultasi Penanganan Penyandang Cacat Bagi Orsos.Yayasan dan LBK di wilayah DKI Jakarta.
Zainal Asikin,Amirudin. 2012. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

2.        Jurnal
Dina Primasari, “Jurnal Ilmu Manajemen”, REVITALISASI, Vol.1, No.1 Juni 2012 hal 13.
Ferry Firdaus, Fajar Iswahyudi, “Jurnal Analisa”, Aksesibilitas Dalam Pelayanan Publik Untuk Masyarakat Dengan Kebutuhan Khusus, Vol. 6, No. 3 tahun 2010 hal 4-6.
IB.Wirawan, “Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik”, Aksesibilitas Penyandang Cacat Di Jawa Timur, Vol.20, No.1 tahun 2008 hal 8-9
Saru Arifin, “Jurnal Fenomena”, Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Diffabel (Studi Kasus Di Kabupaten Bantul, Yogyakarta), Vol.6, No.1-Maret-2008, hal 6-7.
W.E Tinambunan, “Jurnal Teroka Riau”, Pemberdayaan Penyandang Cacat Melalui Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (RBM), Vol.VIII, No.2 Maret 2008, hal.58.

3.        Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

4.        Internet
http://www.bisnis.com/articles/lapangan-kerja-penyandang-cacat-harus-diberi-kesempatan-lebih-luas(diakses pada hari Kamis tanggal 20 Februari 2013 Pukul 03.18 WIB).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar