Jumat, 09 Januari 2015

HUKUM PERJANJIAN

3 CONTOH PERJANJIAN BERNAMA
1. Perjanjian Jual Beli

A.      Pengertian Jual Beli
Perjanjian jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain  bersedia untuk membayar harga yang telah diperjanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata)
B.       Unsur - Unsur Perjanjian Jual Beli
a. adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli
b. adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga
c. adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli.
C.       Objek Perjanjian Jual Beli
Obyek dari perjanjian jual beli adalah barang-barang tertentu yang dapat ditentukan wujud dan jumlahnya serta tidak dilarang menurut hukum yang berlaku untuk diperjualbelikan. Perjanjian jual beli telah sah mengikat apabila kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meski barang tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayarkan (Pasal 1458 KUHPerdata)
D.      Kewajiban di dalam Perjanjian Jual Beli
1)   Kewajiban Penjual
Bagi pihak penjual terdapat dua kewajiban utama dalam perjanjian jual beli, diantaranya yaitu :
a.    Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang (barang bergerak, barang tetap maupun barang tak bertubuh atau piutang atau penagihan atau claim) yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada pembeli.
b.    Menanggung tenteram atas barang tersebut. Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan pihak ke tiga.
2)   Kewajiban Pembeli
Kewajiban pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana dietapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran maka si pembeli harus memmbayar ditempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus dilakukan (pasal 1514 KUHPerdata)
E.       Risiko dalam Perjanjian Jual Beli
Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak. Dengan demikian maka persoalan tentang risiko itu merupakan buntut dari persoalan tentang keadan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat diduga. Mengenai risiko dalam jual beli dalam KUHPerdara disebutkan ada tiga peraturan yang terkait akan hal itu, yaitu :
a.    Mengenai barang tertentu (pasal 1460 KUHPerdata)
b.    Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (pasal 1461 KUHPerdata)
c.    Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (pasal 1462 KUHPerdata)
Namun perlu diingat bahwa selama belum dilever mengenai barang dari macam apa saja, resikonya masih harus dipikul oleh penjual, yang masih merupakan pemilik sampai pada saat barang itu secara yuridis diserahkan kepada pembeli.
F.        Jual Beli dengan Hak Membeli Kembali
Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual (recht van wederinkoop, right to repurchase) diterbitkan dari suatu perjanjian dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya yang telah dijual, dengan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya disertai semua biaya yang telah dikeluarkan oleh si pembeli untuk menyelenggarakan pembelian serta penyerahannya, begitu pula biaya-biaya yang perlu untuk pembetulan-pembetulan dan pengeluaran-pengeluaran yang menyebabkan barang yang dijual bertambah harganya. (pasal 1519 dan 1532 KUHPerdata)
G.      Jual Beli Piutang dan Hak - Hak Tak Berwujud
Penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat padanya seperti penanggungan , hak istimewa dan hak hipotek. Barangsiapa menjual suatu piutang atau suatu hak yang tak berwujud lainnya, harus menanggung hak-hak itu benar ada pada waktu diserahkan biar pun penjualan dilakukan tanpa janji penanggungan. Ia tidak bertanggung jawab atas kemampuan debitur kecuali jika ia mengikatkan dirinya untuk itu, tetapi dalam hak demikian pun ia hanya bertanggung jawab untuk jumlah harga pembelian yang telah diterimanya. Ia telah berjanji untuk menanggung cukup mampunya debitur, maka janji ini harus diartikan sebagai janji mengenai kemampuannya pada waktu itu, dan bukan mengenai keadaan di kemudian hari kecuali jika dengan tegas dijanjikan sebaliknya.
Barangsiapa menjual suatu warisan tanpa memberi keterangan tentang barang demi barang, tidaklah menanggung apa-apa selain kedudukannya sebagai ahli waris. Jika ia menikmati hasil suatu barang atau telah menerima suatu jumlah sebesar suatu piutang yang termasuk warisan tersebut, ataupun telah menjual beberapa barang dari harta peninggalan itu maka ia diwajibkan untuk menggantinya jika tidak dengan tegas diperjanjikan lain. Sebaliknya, pembeli diwajibkan mengganti kepada penjual itu segala sesuatu yang oleh orang itu telah dikeluarkan untuk membayar utang-utang dan orang yang memegang suatu piutang terhadap warisan itu, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Bila sebelum penyerahan suatu piutang yang telah dijual, debitur membayar utangnya kepada penjual, maka hal itu cukup untuk membebaskan debitur.

2. Perjanjian Sewa Menyewa

A.      Pengertian sewa menyewa
Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kenikmatan dari sesuatu barang kepada pihak lain selama waktu tertentu, dan dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak yang terakhir itu (Pasal 1548 KUH Perdata).
Definisi lainnya menyebutkan bahwa perjanjian sewa-menyewa adalah "persetujuan untuk pemakaian sementara suatu benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, dengan pembayaran suatu harga tertentu." (Algra, dkk., 1983: 199)
Pada dasarnya sewa menyewa dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan sewa menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu juga karena barang yang disewakan dipindahtangankan. Di sini berlaku asas bahwa jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa.
B.       Unsur-unsur perjanjian sewa-menyewa
1.    adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa,
2.    adanya konsensus antara kedua belah pihak,
3.    adanya objek sewa-menyewa, yaitu barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak,
4.    adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk menyerahkan kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu benda, dan
5.    adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran kepada pihak yang menyewakan.





C.       Subjek dan Objek Sewa-Menyewa
Pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa adalah pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak penyewa, sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan.
Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa-menyewa adalah barang dan harga. Dengan syarat barang yang disewakan adalah barang yang halal, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban, dan kesusilaan.
D.      Kewajiban di dalam Perjanjian Sewa Menyewa
1)        Kewajiban pihak yang menyewakan, antara lain :
a.    Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa
b.    Memelihara barang yangdisewakan sedemikian hingga itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.
c.    Memberikan keapada si penyewa kenkmatan tenteram dari barang yang diseakan selama berlangsungnya persewaan.
2)        Kewajiban penyewa, antara lain :
a.    Memakai barang yang disewa sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian sewanya.
b.    Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut pejanjian.
E.       Risiko dalam Perjanjian Sewa Menyewa
Menurut pasal 1553 KUHPerdata, jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih menurut keadaan, apakah ia akan meminta bahkan pembatalan persetujuan sewa tetapi tidak dalam satu hari dari kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi.



F.        Bentuk dan Substansi Perjanjian Sewa Menyewa
Di dalam KUHPerdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu, perjanjian sewa menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan. Dalam perjanjian sewa menyewa bangunan, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian itu telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau Notaris. Akan tetapi, yang paling dominan dalam menentukan substansi kontrak adalah dari pihak yang menyewakan, sehingga pihak penyewa berada pada pihak yang lemah. Dengan demikian, semua persyaratan yang diajukan oleh pihak yang menyewakan tinggal disetujui atau tidak oleh pihak penyewa.




















3. Perjanjian Tukar Menukar

A.   Perjanjian Tukar Menukar
Perjanjian tukar menukar adalah "Suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai suatu ganti barang lainnya." (Pasal 1451 KUH Perdata)
Algra mengartikan perjanjian tukar-menukar adalah "Suatu perjanjian di mana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan benda kepada satu sama lain." (Algra, dkk. 1983: 487). Definisi ini terlalu singkat, karena yang ditonjolkan adalah saling memberikan benda antara satu sama lain. Akan tetapi menurut hemat penulis, perjanjian tukar-menukar adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang ditukar. Barang yang ditukar oleh para pihak, dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Penyerahan barang bergerak cukup penyerahan nyata, sedangkan barang tidak bergerak menggunakan penyerahan secara yuridis formal.
B.   Unsur-unsur perjanjian tukar menukar
a. adanya subjek hukum,
b. adanya kesepakatan subjek hukum,
c. adanya objek, yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak, dan
d. masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar
     menukar.
C.   Subjek dan Objek dalam Perjanjian Tukar Menukar
Subjek hukum dalam perjanjian tukar menukar adalah pihak pertama dan pihak kedua. Sedangkan yang dapat menjadi objek tukar-menukar adalah semua barang, baik barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak (Pasal 1542 KUH Perdata). Dengan syarat barang yang menjadi objek tukar-menukar tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika barang yang telah ditukarkannya  ternyata membuktikan bahwa barang yang ditukarnya bukan pernilik barang tersebut, maka pihak lain tidak dapat memaksakan untuk menyerahkan barang yang telah ia janjikan dari pihak sendiri, melainkan mengembalikan barang yang ia telah terimanya (Pasal 1543 KUHPerdata).
Pihak yang telah melepaskan barang yang diterima dalam perjanjian tukar-menukar maka ia dapat memilih, apakah ia akan menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga dari pihak lawannya atau menuntut pengembalian barang yang telah ia berikan (Pasal 1544 KUHPerdata). Tuntutan itu hanya dilakukan terhadap satu alternatif yang dipaparkan di atas, yaitu menuntut biaya, rugi, dan bunga atau pengembalian barang. Jadi, pihak yang menyerahkan barang tidak dapat menuntut kedua alternatif tersebut di atas.
D.   Hak dan Kewajiban dalam perjanjian Tukar-menukar
Pihak pertama dan pihak kedua, masing-masing berkewajiban untuk menyerahkan barang yang ditukar sedangkan haknya menerima barang yang ditukar.
E.    Risiko dalam perjanjian Tukar-menukar
Jika barang yang menjadi objek tukar-menukar musnah di luar kesalahan salah satu pihak maka perjanjian tukar-menukar itu menjadi gugur. Pihak yang telah menyerahkan barang dapat menuntut kembali barang yang telah diserahkannya (Pasal 1545 KUH Perdata).
Pasal-pasal yang mengatur tentang tukar-menukar sangat sedikit, jika dibandingkan dengan perjanjian jual beli. Namun, di dalam ketentuan mengenai tukar-menukar disebutkan bahwa ketentuan tentang jual beli berlaku bagi perjanjian tukar-menukar.






Daftar Pustaka

HS, Salim. 2009 "Hukum Kontrak - Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak". Depok : Sinar Grafika

Internet :
http://www.indolawcenter.com/. 24 Oktober 2011. 16.12 WIB























Tidak ada komentar:

Posting Komentar