Senin, 26 Januari 2015

KEWENANGAN KECAMATAN JEBRES DALAM STRUKTUR PEMERINTAHAN DAERAH SURAKARTA DALAM UPAYA PENGOPTIMALAN OTONOMI DAERAH


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Kecamatan Jebres yang terletak di Kota Surakarta adalah sebuah instansi pemerintahan yang berfungsi memberikan layanan kepada masyarakat khususnya masyarakat yang berada di daerah Kecamatan Jebres dengan wilayah kerja meliputi 11 Kelurahan  dengan luas wilayah 12,58 km², kepadatan penduduk sebesar 11.019 per km². kecamatan Jebres yang terletak di bagian utara kota surakarta. Wilayah kecamatan ini berbukit-bukit dan hampir semua pemakaman di kota Surakarta terletak di kecamatan ini. Kecamatan Jebres adalah tempat berlokasinya Kraton Kasunanan Surakarta, kampus Universitas Sebelas Maret, Stasiun Solo Jebres dan Stasiun Solo-Kota, Perumnas Mojosongo, Taman Wisata Jurug, Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, serta Terminal Bus Tirtonadi. Di Jebres juga berlokasi berbagai kegiatan industri.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah berlaku, maka terjadi perubahan terhadap sistem pemerintah nasional. Perubahan sistem pemerintahan nasional tersebut terlihat pada asas pemerintahan. Dengan pemberlakuan Undang-Undang tersebut maka terjadi suatu perubahan
asas yang semula bersifat sentralisasi menjadi asas yang bersifat desentralisasi. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Fungsi utama pemerintah daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yakni sebagai pelayan masyarakat. Berdasarkan peradigma tersebut aparat pemerintah daerah khususnya aparat pemerintah kecamatan dituntut untuk dapat memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat.
Penjelasan undang-undang tersebut selaras dengan tuntutan rakyat yang menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan berwibawa serta berwawasan pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi pada kenyataannya masih terdapat kantor kecamatan yang kurang memperhatikan bagaimana memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada karakter birokrasi perangkat kecamatan yang belum sesuai harapan di wilayahnya. Sejalan dengan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai mana di sebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah merupakan perwujudan pertanggung jawaban sabagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah merupakan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Pembenahan dalam penyelenggaraan pemerintah yang berorientasi pada fungsi pelayanan masyarakat, hendaknya di titik beratkan pada pemerintah kecamatan. Karena kecamatan merupakan pusat pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan harus dilakukan, terutama bagaimana menumbuhkan dan meningkatkan kinerja aparat kantor kecamatan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang mau tidak mau harus berupaya meningkatkan kemampuan kerjanya semaksimal mungkin, karena pelaksanan tugas pelayanan oleh pemerintah kecamatan sangat tergantung pada kinerja aparatnya. Sedangkan masyarakat hanya dapat menilai kinerja kantor kecamatan dari kualitas pelayanan yang di terimanya.
Sehubungan dengan jumlah aparat kantor kacamatan yang kurang memadai atau tidak sebanding dengan volume/beban kerja yang diterima, terutama dalam hal pelayanan kepada masyarakat, maka perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan kinerja aparat kantor kecamatan terhadap pelayanan kepada masyarakat demi tercapainya pelayanan yang baik dari kantor kecamatan. Kinerja merupakan terjemahan dari performance, yang diartikan sebagai perbuatan, pelaksanaan pekerjaan, prestasi kerja, pelaksanaan pekerjaan berdaya guna.”performance is defined as the record of outcomes produced on a spesific job function or activity during a spesific time period”. Arti kinerja didefinisikan sebagai catatan mengenai outcomes yang dihasilkan dari suatu aktivitas tertentu, selama kurun waktu tertentu” (Bemadian, jhon dan Joyje E.A Russel, dikutip oleh Sedamaryanti,2001:4). Sedangkan kinerja (performace) dalam arti yang sederhana adalah prestasi kerja (Sadu Wasistiono,2002:45). Sementara itu menurut Rue dan Byars (1981:375) mendefinisikan kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil atau ”The degree of accomplishment” Hal ini menunjukan bahwa kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi.
Kinerja aparat kantor kecamatan yang cukup tinggi diharapkan dapat mewujudkan suatu efektifitas dalam penyelenggaraan pemerintah kecamatan sebagai bentuk kesiapan aparat kantor kecamatan dalam menghadapi perubahan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Pelayanan dalam Kamus Bahasa Indonesia (1996:571) berasal dari kata layan yang berarti membantu (mengurus) apa-apa yang diperlukan seseorang. Sedangkan kata pelayanan mempunyai arti perihal atau melayani. Menurut Moenir (1998:17).
”Pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung” Kemudian menurut Eko Supriyanto dan Sri Sugiyanti (2001:9) pelayanan adalah upaya untuk membantu menyiapkan, atau mengurus keperluan orang lain. Belum jelas apabila belum ada yang memuat tentang proses itu sendiri, untuk menerangkan lebih lanjut mengenai proses itu sendiri menurut Fred Luthans (1973:188): ”Any action which is performed by management to achieve organizational objective” Di sini pengertian proses terbatas dalam kegiatan management dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Jadi pelayanan disini adalah rangkaian organisasi manajemen. Peningkatan kualitas pelayanan yang menjadi tuntutan masyarakat harus di penuhi oleh aparat kecamatan sebagai penyelenggara pemerintah di kecamatan. Karena pada dasarnya menerima pelayanan yang memuaskan dari aparat pemerintah merupakan hak yang dimiliki setiap warga masyarakat. Dengan pelayanan yang diterima tersebut maka diharapkan masyarakat akan berpartisipasi aktif dalam mendukung tugas-tugas aparat pemerintah, sehingga terjadi keseimbangan antara hak yang ditetapkan oleh masyarakat dan kewajiban yang harus dijalankan sebagai warga negara. Pelayanan yang diberikan tanpa memandang status, pangkat, dan golongan dari suatu masyarakat. Pada saat yang sama masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pelayanan tersebut dengan landasan yang bersifat umum dalam bentuk pedoman tata laksana pelayanan umum.
Melalui keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum, pemerintah mengatur tata cara pelaksanaan tugas dan fungsi pelayanan di tingkat kecamatan. Khusus diKecamatan Jebres pemberian pelayanan masyarakat memerlukan perhatian yang serius dan tanggung jawab moral yang tinggi. Hal itu merupakan tantangan tersendiri bagi aparatur pemerintah, khususnya yang bertugas dikantor kecamatan Jebres untuk selalu memperlihatkan kinerja yang optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan realitas seperti itu, maka mereka harus berprilaku sebagai aparat yang bersih dan berwibawa, menegakkan disiplin dan penuh keihklasan dalam melayani masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan kecamatan
Dalam dimensi historis dan dinamikanya, kelembagaan kecamatan mengalami perubahan (institutional change) yang secara multilinear sejajar dengan perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat, khususnya perubahan pada tata pemerintahan daerah. Perspektif sosiologi memandang perubahan kelembagaan tersebut sebagai suatu proses pelembagaan (institutionalization) atau pembaruan kelembagaan sosial. Kebanyakan aksi masyarakat atas perubahan kelembahan terjadi secara spontan, bukan sebagai rencana yang disadari (ArgandoƱa, 2004). Dalam konteks reformasi di Indonesia perubahan tersebut erat kaitannya dengan perubahan tata pemerintahan daerah, mulai dari peraturan perundangan masa kolonial, UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999, hingga UU Nomor 32 Tahun 2004. Perubahan pada aspek regulasi tersebut dimaknai sebagai perubahan tataran sistem norma dan nilai serta proses pembentuk pola perilaku aktor dan masyarakat yang secara bersama-sama (co-evolution) diikuti dengan perubahan proses pengorganisasian kecamatan sehingga membentuk badan atau organisasi kecamatan yang sesuai dengan perubahan pada aspek regulasi tersebut di atas. Merujuk pada Carney and Gedajlevic (2002), perubahan bersama antara kelembagaan dan organisasi kecamatan dimaknai sebagai suatu Institutional and Organizational Co-evolution. Pada konteks itu evolusi bersama antara kelembagaan dan organisasi kecamatan dapat dikonstruksikan suatu perubahan yang terjadi pada kecamatan, yakni organisasi kecamatan akan beradaptasi terhadap perubahan pranata sosial (sistem norma dan nilai) dari traditional-local institutions (endogenous) dan formal-local institutions (exogenous); merespon dan bersinergi membentuk sesuai dengan kondisi traditional & formal intitutions, bentuk organisasi kecamatan yang baru tersebut merupakan sinergi dari pertukaran sistem norma dan nilai (asimilasi dan akulturasi) traditional & formal institutions. Perubahan kelembagaan kecamatan tersebut secara teoretik tidak hanya disebabkan oleh faktor regulasi. Selain faktor tersebut, struktur sosial masyarakat—termasdi dalamnya perubahan dan dinamika ekonomi mikro dan makro, dan faktor kultural—merupakan faktor-faktor yang dapat mempercepat atau memperlambat bahkan menjadi buffer, evolusi bersama kelembagaan dan organisasi kecamatan. 
Bentuk-bentuk kelembagaan kecamatan yang dikonstruksikan sebagai hasil dari proses evolusi bersama antara kelembagaan dan organisasi kecamatan (perubahan kelembagaan kecamatan) pada setiap periode akan menunjukkan kekhasan dengan pilarpilar penopang kelembagaan kecamatan seperti dijelaskan oleh Scott (cultural cognitif, normative dan regulative). Oleh karena itu, dengan kekhasan pilar-pilar penopang kelembagaan kecamatan akan berimplikasi sampai sejauhmana kelembagaan kecamatan mampu menjadi sebuah sistem organisasi dan kontrol sumberdaya.

Kewenangan dan Pemberdayaan Camat
UU Nomor 32 Tahun 2004 dinilai tidak memberi cukup ruang bagi camat untuk menjalankan peran yang diharapkan publik. Peran camat ditentukan oleh bagaimana bupati atau walikota mendelegasikan kewenangan kepada camat. Masalahnya, di hampir semua daerah di Indonesia camat belum mendapatkan delegasi kewenangan dari bupati atau wali kota secara maksimal.

Pemerintah daerah cenderung mengedepankan logika sektoral dan belum mampu memberdayakan kecamatan dalam logika kewilayahan. Sebagian besar kewenangan lebih banyak dimiliki instansi sektoral. Hal ini diperparah dengan tidak mudahnya membuka kesediaan instansi sektoral untuk berbagi kewenangan dengan kecamatan karena terkait dengan pembagian sumber daya. 

Secara filosofis kecamatan yang dipimpin oleh camat perlu diperkuat dan diberdayakan dari aspek sarana-prasarana, sistem adminitrasi, keuangan dan kewenangan bidang pemerintahan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sebagai ciri pemerintahan kewilayahan yang memegang posisi strategis dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/walikota. (Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Jan—Apr 2009, hlm. 53-58 Volume 16, Nomor 1, ISSN 0854-3844 Peran Camat di Era Otonomi Daerah Moh. Ilham A. Hamudy).

Kedudukan Kecamatan
Kecamatan menurut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.”Wilayah kecamatan adalah lingkungan kerja perangkat Pemerintah Wilayah Kecamatan dalam menyelenggarakan pelaksanaan pemerintahan umum. Pemerintah Wilayah Kecamatan adalah Kepala Wilayah yang disebut dengan Camat beserta perangkat lainnya dalam menyelenggarakan pemerintahan umum di Wilayah Kecamatan. Kecamatan adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah wilayah Kecamatan yang meliputi beberapa Desa/Kelurahan.”
Kedudukan Kecamatan dalam Bab IV Pasal 14 UU No. 22 Tahun 1999
(1)   Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat.
(2)   Camat berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota.
Sementara menurut Undang-undang 32 Tahun 2004 .Kecamatan merupakan “wilayah kerja camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten/Kota” (Pasal 126 ayat (1)) dan Camat menerima pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah (kewenangan delegatif). Camat juga melaksanakan tugas umum pemerintahan (kewenangan atributif) (Pasal 126 ayat (1) dan (2) UU 32/2004). Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah (Pasal 126 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004).

Perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, kemudian dilanjutkan pada UU Nomor 32 Tahun 2004. Perubahannya mencakup mengenai kedudukan kecamatan menjadi perangkat daerah kabupaten/kota, dan camat menjadi pelaksana sebagian urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Bupati/ Walikota. Di dalam Pasal 120 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, “Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan Kelurahan”.
Pasal tersebut menunjukkan adanya dua perubahan penting yaitu:
a)      Kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan dan dipersepsikan merupakan wilayah kekuasaan kecamatan.  Dengan paradigma baru, Kecamatan merupakan suatu wilayah kerja atau areal tempat Camat bekerja.
b)      Camat adalah perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dan bukan lagi penguasa tunggal yang berfungsi sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan akan tetapi merupakan pelaksana sebagian wewenang yang dilimpahkan Bupati/Walikota.
Posisi sebagai perangkat daerah membuat camat baru memiliki kewenangan jika ada pelimpahan dari walikota sebagai atasan (lihat pasal 15 Ayat 2). Dengan demikian, pendelegasian kewenangan dari walikota kepada camat menggunakan landasan hukum Peraturan Walikota. (Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2010, hlm. 160-169 Volume 17, Nomor 2 Analisis Pemberdayaan Peran dan Fungsi Camat Akmal Khairi  ISSN 0854-3844)
Mekanisme pengangkatan camat
Camat atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan (Pasal 1 ayat (9) PP No 19 Tahun 2008).

Persyaratan Camat
Camat sebagaimana dimaksud di atas diangkat oleh Bupati/Walikota atau asal sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 126 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004).
Pengangkatan camat dalam PP No. 19 Tahun 2008 Bab VI Pasal 24

“Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pengetahuan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 meliputi(Pasal 25):
a)      Menguasai bidang ilmu pengetahuan dibuktikan dengan ijazah diplomasi/sarjana pemerintahan;
b)      Pernah bertugas di desa, kelurahan, kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun.
Apabila tidak memenuhi persyaratan, maka dalam Pasal 26 ditentukan:
(1)   Pegawai negeri sipil yang akan diangkat menjadi Camat dan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib mengikuti pendidikan teknis pemerintah yang dibuktikan dengan sertifikat.
(2)   Pelaksanaan pendidikan teknis pemerintahan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Meneteri Dalam Negeri.

Tugas camat
Sebagaimana diketahui Camat adalah Kepala Wilayah menurut Pasal 77 UU No. 5 Tahun 1974.  Kecamatan merupakan hasil pembagian wilayah Kabupaten dan Kotamadya(Pasal 72 ayat (3)).  Dalam menjalankan tugasnya, Kecamatan bertanggungjawab kepada Kepala Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan (Pasal 78 butir a).
Camat mempunyai kedudukan sebagai Kepala Wilayah yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan di Tingkat Kecamatan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur melaului Bupati/Walikotamadya atau Walikota yang bersangkutan.  Dalam hal ditetapkan pejabat Pembantu Bupati/Walikotamadaya, Camat dalam menjalankan tugasnya berada di bawah koordinasi Pembantu Bupati/Walikotamadya. (Rudini. 1993. Sistem dan Mekanisme Penyelenggaraan Pemerintah di Daerah. Jakarta: Percetakan Negara RI).

Wewenang, tugas dan kewajiban Kepala Wilayah adalah (Pasal 81 UU No.5 Tahun 1974):
a)      membina ketentraman dan ketertiban di wilayahnya sesuai dengan kebijaksanaan
b)      ketentraman dan ketertiban yang ditetapkan oleh Pemerintah;
c)      melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan ideologi, Negara dan politik dalam negeri serta pembinaan kesatuan Bangsa sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah;
d)     menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan-kegiatan Instansi-instansi Vertikal dan antara Instansi-instansi Vertikal dengan Dinas-Dinas Daerah, baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar-besarnya;
e)      membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Daerah;
f)       mengusahakan secara terus menerus agar segala peraturan perundang-undangan dan Peraturan Daerah dijalankan oleh Instansi-instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah;
g)      melaksanakan segala tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kepadanya;
h)      melaksanakan segala tugas pemerintah yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu Instansi lainnya.

Menurut UU No. 22 Tahun 1999 kecamatan adalah perangkat Daerah kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin camat yang menerima pelimpahan wewenang dari Bupati/Walikota.

Menurut UU No 32 Tahun 2004 Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah (Pasal 126 ayat (2)).  Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah (Pasal 126 ayat (2)). Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi (Pasal 126 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 15 ayat (1) PP No 19 Tahun 2008):
a)      Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat
b)      Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum.
c)      Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan.
d)     Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
e)      Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintah di tingkat kecamatan.
f)       Membina penyelenggaraan pemerintah desa dan/atau kelurahan.
g)      Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintah desa atau kelurahan.
Tugas Camat selanjutnya adalah  Camat melaksanakan kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek:
a)      Perizinan
b)      Rekomendasi
c)      Koordinasi
d)     Pembinaan
e)      Pengawasan
f)       Fasilitasi
g)      Penetapan
h)      Penyelenggaran, dan
i)        Kewenangan lain yang dilimpahkan. (Pasal 15 ayat (2))
Pelaksanaan kewenangan camat sebagaimana yang dimaksud ayat (2) menunjuk penyelenggaraan urusan pemerintahan pada lingkup kecamatan sesuai peraturan perundang-undangan. (Pasal 15 ayat (3))
Pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota kepada Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan eksternalitas dan efisiensi (Pasal 15 ayat (4))
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan Bupati/Walikota berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini. Pasal 15 ayat (5).

Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan menyebutkan bahwa Camat mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota atau Walikotamadya/Bupati Administrasi di Provinsi DKI Jakarta, sesuai karakteristik wilayah, kebutuhan daerah dan tugas pemerintahan lainnya berdasarkan paraturan perundang-undangan.
 Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, Kecamatan merupakan perangkat Kabupaten/Kota Administratif, serta mendapatkan pelimpahan kewenangan langsung dari Gubernur.  Hal ini terkait dengan status Kabupaten dan Kota di wilayah DKI yang hanya merupakan “wilayah administratif belaka”, sehingga tidak memiliki kewenangan desentralisasi yang dapat dilimpahkan kepada Camat dan Lurah. 

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, camat dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota Perangkat kecamatan sebagaimana  dimaksud dalam ayat (5) bertanggungjawab kepada camat (Pasal 126 ayat (6)).  Pelasanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota dengan berpedoman pada peraturan pemerintah. (Pasal 126 ayat (7)). (Jimly Asshiddiqie.2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta.Konstitusi Pers. h.273-274.

Kewenangan camat
Hak, wewenang dan kewajiban Camat (UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa):
1.      Mengolah dan meneruskan kepada Bupati/Walikotamadya atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, pertanggungjawaban pelaksanaan hak, wewenang dan kewajiban Kepala Desa dalam melaksanakan pimpinan Desa (pasal 10 ayat (2)).
2.      Memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas usul Kepala Desa tentang pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Desa (pasal 15 ayat (2)).
3.      Atas nama Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II melaksanakan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Urusan pada Sekretaris Daerah atas usul Kepala Desa (pasal 15 ayat (4)).
4.      Atas nama Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II melaksanakan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Dusun atas Kepala Desa (pasal 16 ayat (3)).
5.      Mengolah dan meneruskan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, pertanggungjawaban pelaksanaan hak, wewenang dan kewajiban Kepala Kelurahan dan pimpinan pemerintahan Kelurahan (pasal 27).
6.      Mengatur kerja sama dan menyelesaikan perselisihan antar Desa, Kelurahan dan antara Desa dengan Kelurahan dalam Wilayahnya (pasal 32).
7.      Mengatur hal-hal yang belum diatur dan segala sesuatu yang timbul sebagai akibat pelaksanaan Undang-undang tentang Pemerintahan Desa, sepanjang hak, wewenang dan kewajiban untuk itu berdasar peraturan perundang-undangan diserahkan kepada Camat (pasal 38).

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara eksplisit memberikan kewenangan otonomi kepada DaerahKabupaten dan Daerah  Kota didasarkan pada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab.  Dengan rumusan tersebut, maka kepada Daerah diberi peran dan tanggungjawab yang lebih besar untuk memberdayakan pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat di Daerah. Melalui undang-undang tersebut, simpul-simpul kebijakan telah bergeser dari Pusat dan Propinsi ke Kabupaten/Kota dengan asumsi bahwa pelayanan publik, pembangunan dan pemberdayaan dapat diselenggarakan lebih efektif dan efisien.

Pengaturan kewenangan camat tergantung pada pelimpahan wewenang dari Bupati / Walikota sesuai perundang-undangan yang berlaku.  Sesuai pasal 11 Undang-undang nomor 22 tahun 1999, pelimpahan kewenangan dimaksud meliputi :
a)      Mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal 9, (pasal 7 berisi kewenangan daerah yang dikecualikan dari kewenangan pemerintah pusat dan Pasal 9 berisi kewenangan propinsi sebagai daerah otonom dan wilayah administrasi).
b)      Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,pertanian,perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
c)      Dalam penjelasan pasal 11 disebutkan : khusus kewenangan Daerah Kota disesuaikan dengan kebutuhan perkotaan, antara lain, pemadam kebakaran, kebersihan, pertamanan dan tata kota.

Dengan UU No 5 Tahun 1974, Camat diberikan kewenangan atributif sebagai Kepala Wilayah.  Menurut Pasal 1 huruf (j) UU Nomor 5 Tahun 1974, yang dimaksud dengan urusan pemerintahan umum adalah : “urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu Instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga Daerah”. Urusan pemerintahan umum ini diselenggarakan oleh setiap kepala wilayah pada setiap tingkatan - sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam rangka melaksanakan asas dekonsentrasi.
Pemerintahan sebagai kewenangan atributif mencakup tiga jenis kewenangan yakni kewenangan melakukan koordinasi yang meliputi lima bidang kegiatan, kewenangan melakukan pembinaan serta kewenangan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Kewenangan koordinasi dan pembinaan merupakan bentuk pelayanan secara tidak langsung (indirect services).  Sedangkan kewenangan pemberian pelayanan kepada masyarakat dikategorikan sebagai pelayanan secara langsung (direct services).

Kewenangan atributif merupakan kewenangan yang melekat pada kecamatan karena adanya ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu; atau kewenangan pangkal yang diberikan oleh peraturan yang membentuk kecamatan; atau kewenangan tradisional yang telah dimiliki oleh kecamatan semenjak sebelum berlakunya UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004.

kewenangan ini tidak dapat dijalankan secara parsial, namun harus utuh (100 persen) tanpa membedakan tipologi, kemampuan atau kebutuhan organisasi. Kewenangan atributif dapat dikatakan pula sebagai Kewenangan Generik.

Dengan UU No 22 Tahun 1999 ini kewenangan atributif hilang dan pada Camat hanya diberikan kewenangan delegatif.  Sebagian kewenangan pemerintahan yang dapat dilimpahkan oleh Walikota kepada Camat, yakni pada bidang :
(1).pemerintahan
(2). ekonomi dan pembangunan
(3). pendidikan dan kesehatan
(4). sosial
(5). pertanahan

Kewenangan delegatif adalah kewenangan tambahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota kepada Camat dalam rangka penyelenggaraan tugas/fungsi desentralisasi. Pelimpahan kewenangan delegatif ini dilakukan atas dasar pertimbangan kemampuan kecamatan, kebutuhan obyektif penduduk kecamatan, atau karena alasan efisiensi pelayanan publik. Oleh karena itu, luas / besaran kewenangan delegatif ini berbeda antara kecamatan yang satu dengan yang lain. Kewenangan delegatif dapat dikatakan pula sebagai Kewenangan Kondisional.

Meskipun demikian perlu dipahami bahwa walaupun kebutuhan kewenangan berbeda untuk setiap tipologi kecamatan, namun sumber perolehan kewenangan tadi tetap, yakni kewenangan kabupaten/kota  Kegiatan pada masing-masing bidang, baik jumlah, jenis maupun kewenangan lainnya dapat dilimpahkan ke kecamatan sesuai dengan : kondisi, spesifikasi, karakteristik, dan kebutuhan masing-masing kecamatan dan kemampuan daerah.


Dari ketentuan di atas, sebenarnya pola pelimpahan kewenangan dari Bupati/ Walikota kepada Camat memiliki dua pola, yakni :
a)      Pola I  
seragam untuk semua kecamatan
b)      Pola II
seragam untuk kewenangan tertentu yang bersifat umum ditambah dengan kewenangan spesifik yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan penduduknya.

Diberikannya kewenangan atributif bersama-sama kewenangan delegatif kepada Camat menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 sebenarnya merupakan koreksi terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999. Pada masa UU tersebut, Camat hanya memiliki kewenangan delegatif dari Bupati/Walikota tanpa disertai kewenangan atributif.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan camat meliputi 5 (lima) bidang kewenangan pemerintahan yaitu :
1. bidang pemerintahan;
2. bidang pembangunan dan ekonomi;
3. bidang pendidikan dan kesehatan;
4. bidang sosial dan kesejahteraan;
5. bidang pertanahan.

Di samping urusan pemerintahan tersebut di atas yang dapat menjadi isi kewenangan dan menjadi tugas Camat, juga terdapat penyelenggaraan tugas umum pemerintahan sebagaimana diatur pada Pasal 126 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004.
Penjabaran lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang Camat, ditetapkan dalam Pasal 15 ayat (1) PP Nomor 19 Tahun 2008. Selanjutnya pada Pasal 15 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2008 ditambahkan rambu-rambu kewenangan yang perlu didelegasikan oleh Bupati/ Walikota kepada Camat untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.
PP Nomor 19 Tahun 2008 mengatur secara lebih rinci mengenai tugas dan wewenang Camat, baik untuk kewenangan yang bersifat atributif maupun pedoman untuk kewenangan yang bersifat delegatif. Untuk kewenangan delegatif disusun berdasarkan kriteria EKSTERNALITAS DAN EFISIENSI. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Camat diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota (Uraian lebih lanjut mengenai tugas pokok dan fungsi serta kewenangan Camat diatur tersendiri dalam Pelatihan Praktek Implementasi Kewenangan Camat dan Tupoksi Camat).
Susunan dan Bagan Organisasi Kecamatan
Pada Pasal 126 ayat (5) dan (6) UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Camat dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah kabupaten/kota. Perangkat kecamatan bertanggung jawab kepada Camat.
Selanjutnya menurut Pasal 14 Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004, susunan organisasi kecamatan terdiri dari Camat, Sekretaris, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) seksi, serta kelompok jabatan fungsional. Khusus untuk organisasi kecamatan di Provinsi DKI Jakarta, Camat dibantu oleh seorang Wakil Camat.

Susunan organisasi kecamatan terdiri dari :
a)      Camat;
b)      Sekretaris Kecamatan;
c)      Seksi Pemerintahan;
d)     Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum;
e)      Seksi lain dalam lingkungan kecamatan yang nomenklaturnya disesuaikan dengan spesifikasi dan karakteristik wilayah kecamatan sesuai kebutuhan daerah;
f)       Kelompok jabatan fungsional.

Sekretariat kecamatan dipimpin oleh seorang sekretaris yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Camat. Sekretaris Kecamatan mempunyai tugas membantu Camat dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan dan memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh perangkat/ aparatur kecamatan.
Seksi yang wajib ada pada susunan setiap organisasi kecamatan sebagaimana Pasal 7 Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004 adalah :
1.      Seksi Pemerintahan, mempunyai tugas membantu Camat dalam menyiapkan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan urusan pemerintahan.
2.      Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum, mempunyai tugas membantu Camat dalam menyiapkan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan urusan ketenteraman dan ketertiban umum.


Seksi yang wajib ada pada susunan setiap organisasi kecamatan sebagaimana Pasal 7 Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004 adalah :
1.      Organisasi kecamatan terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima) seksi, dan sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian.
2.      Seksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a)      seksi tata pemerintahan;
b)      seksi pemberdayaan masyarakat dan desa; dan
c)      seksi ketenteraman dan ketertiban umum.
3.      Pedoman organisasi kecamatan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Kelompok jabatan fungsional yang ada di kecamatan biasanya merupakan “kepanjangan tangan” dari Dinas dan Lemtekda Kabupaten/Kota maupun instansi vertikal yang bertugas dalam lingkungan kecamatan bersangkutan seperti PLKB (Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana), PPL Pertanian (Petugas Penyuluh Lapangan), Petugas/Mantri Statistik, dsb.

Adapun nomenklatur dan tugas masing-masing seksi ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati/Walikota sesuai kebutuhan berdasarkan beban tugas dan urusan pemerintahan yang diselenggarakan kecamatan. Dimungkinkan dibentuknya jabatan fungsional sesuai kebutuhan. Penempatan jabatan fungsional dalam susunan organisasi kecamatan menyesuaikan dengan peraturan perundang -undangan yang berlaku.

STRUKTUR ORGANISASI KECAMATAN
MENURUT KEPMENDAGRI NOMOR 158 TAHUN 2004
---  Hubungan Koordinasi dan Fasilitasi
__  Hubungan Operasional




Sedangkan menurut Pasal 23 PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, susunan organisasi Kecamatan diatur sebagai berikut :
1)      Organisasi kecamatan terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima) seksi, dan sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian.
2)      Seksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. seksi tata pemerintahan;
b. seksi pemberdayaan masyarakat dan desa; dan
c. seksi ketenteraman dan ketertiban umum.
3)      Pedoman organisasi kecamatan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Hubungan Kerja
       I.            Kecamatan Dengan Perangkat daerah Kabupaten/Kota
Pasal 14 Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004 mengatur hubungan kerja kecamatan dengan perangkat daerah Kabupaten/Kota atau perangkat Kotamadya/ Kabupaten Administrasi di Provinsi DKI Jakarta yang bersifat koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional.
Menurut Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) PP Nomor 19 Tahun 2008, Camat melakukan koordinasi dengan kecamatan di sekitarnya. Selain itu, Camat juga mengoordinasikan unit kerja di wilayah kerja kecamatan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk meningkatkan kinerja kecamatan. Selanjutnya Camat juga melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di kecamatan.
Pada Pasal 28 ayat (1) PP Nomor 19 Tahun 2008 dikemukakan bahwa hubungan kerja kecamatan dengan perangkat daerah kabupaten/kota bersifat koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional. Sedangkan hubungan kerja kecamatan dengan swasta, lembaga swadaya masyarakat, partai politik, dan organisasi kemasyarakatan lainnya di wilayah kerja kecamatan bersifat koordinasi dan fasilitasi.
Instansi daerah otonom (Kabupaten/Kota) yang biasanya ada di kecamatan antara lain:
a)      Unit Pelaksana Teknis Dinas seperti Puskesmas, Terminal, Pasar, Sekolah Negeri dan lain sebagainya;
b)      Cabang dinas daerah, seperti Cabang Dinas Pendidikan, Cabang Dinas PU dan lain sebagainya, meskipun seharusnya menurut PP Nomor 8 Tahun 2003 keberadaannya sudah dihapus.
     II.            Kecamatan dengan Instansi Vertikal

Hubungan kerja kecamatan dengan instansi vertikal di wilayah kerjanya bersifat koordinasi. Hal tersebut diatur secara tegas pada Pasal 28 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa : “Hubungan kerja kecamatan dengan instansi vertikal di wilayah kerjanya bersifat koordinasi teknis fungsional”.
Ada beberapa instansi vertikal yang ada di kecamatan antara lain :
a) Komando Rayon Militer (Koramil);
b) Kantor Polisi Sektor (Polsek);
c) Mantri Statistik;
d) Kantor Urusan Agama (KUA).
Keberadaan Camat sampai saat ini masih diposisikan sebagai koordinator Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan), meskipun Camat bukan lagi kepala wilayah. Hanya saja kedudukan sebagai koordinator tidak sekuat pada saat Camat berposisi sebagai kepala wilayah.
   III.            Kecamatan dengan Pemerintahan Desa
Hubungan kerja kecamatan dengan pemerintahan desa bersifat koordinasi dan fasilitasi. Hubungan Camat dengan Kepala Desa juga mengalami perubahan yang sangat berarti. Apabila pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 dan UU Nomor 5 Tahun 1979, hubungannya bersifat hierarkhis, sekarang hubungannya bersifat koordinasi, pembinaan dan fasilitasi.
  IV.            Kecamatan dengan Kelurahan
Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, pada UU Nomor 32 Tahun 2004, hubungan Camat dengan Lurah bersifat koordinatif (lihat juga PP Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan). Hubungan ini terjadi karena delegasi kewenangan yang dijalankan oleh Lurah berasal dari Bupati/Walikota, sehingga Lurahpun bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Prinsip yang digunakan adalah bahwa mekanisme pertanggungjawaban mengikuti mekanisme pendelegasian kewenangan.
Dalam konteks UU Nomor 22 Tahun 1999, hubungan pembinaan Camat kepada Lurah sudah merupakan kewajiban yang melekat pada dirinya, mengingat Lurah adalah bawahan Camat. Hal tersebut nampak dari bunyi Pasal 67 ayat (5) UU Nomor 22 Tahun 1999 bahwa : “Lurah bertanggung jawab kepada Camat”. Di dalam pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 159 Tahun 2004 disebutkan bahwa : “Kelurahan dipimpin oleh Lurah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Camat”. Dengan demikian hubungan antara Camat dengan Lurah bersifat subordinatif.

Selanjutnya di dalam Pasal 8 Kepmendagri Nomor 159 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Camat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Di dalam Pasal 3 Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 159 Tahun 2004 dikemukakan pula bahwa : “Lurah mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Camat sesuai karakteristik wilayah dan kebutuhan Daerah serta melaksanakan tugas pemerintahan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kepmendagri ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 67 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 1999. Mengingat kewenangan yang dijalankan oleh Camat berasal dari pendelegasian kewenangan Bupati/Walikota, maka apabila Camat mau membuat Keputusan Camat mengenai pelimpahan sebagian kewenangan Camat kepada Lurah, maka Camat perlu berkonsultasi terlebih dahulu dengan Bupati/Walikota, kecuali hal tersebut telah diatur secara eksplisit di dalam Keputusan Bupati/Walikota mengenai pelimpahan sebagian kewenangan kepada Camat.


Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, di dalam Pasal 127 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 dikemukakan bahwa : “Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah”. Artinya Kelurahan bukan perangkat kecamatan seperti pada UU sebelumnya. Pada Pasal 127 ayat (2) selanjutnya dikemukakan bahwa : “Kelurahan dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota “. Konsekuensi logis dari ayat tersebut, di dalam menjalankan tugasnya Lurah tidak lagi bertanggung jawab kepada Camat, melainkan kepada Bupati/Walikota melalui Camat.

Gambar di atas menunjukkan bahwa Camat dan Lurah masing-masing memperoleh delegasi kewenangan langsung dari Bupati/Walikota, karena Bupati/ Walikota adalah administrator yang menentukan “Apa” (what), yang dilengkapi kewenangan dan sumber-sumber manajerial yang memadai. Camat tidak lagi dapat mendelegasikan sebagian kewenangannya, karena hubungan antara Camat dengan Lurah tidak lagi bersifat hirarkhis, melainkan bersifat koordinatif (lihat PP Nomor 73 Tahun 2005). Tetapi berdasarkan kewenangan atributif yang diberikan kepadanya, Camat dapat melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan kelurahan.
                                                                                                   

Dalam upaya pemberdayaan pemerintah kecamatan untuk mempercepat otonomi daerah, PP 8 tahun 2003, kecamatan seharusnya memiliki tugas membantu Bupati /Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan dalam wilayah kecamatan serta melaksanakan tugas pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas perangkat daerah dan atau instansi lainnya. Untuk penyelenggaran tugas ini, kecamatan mempunyai fungsi :
a)      Pengkoordinasian peneyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan
b)      Penyelenggaraan kegiatan pembinaan ideologi negara dan kesatuan bangsa
c)      Penyelenggaraan pelayanan masyarakat
d)     Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
e)      Penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan umum dan keagrariaan
f)       Penyelenggaraan kegiatan pembinaan pemerintahan desa
g)      Pembinaan kelurahan
h)      Pembinaan ketentraman dan ketertiban wilayah
i)        Pelaksanaan koordinasi operaional Unit Pelaksana Teknis Dinas Kabupaten / Kota
j)        Penyelenggaraan kegiatan pembinaan pembangunan dan pengembangan partisipasi masyarakat
k)      Penyusunan program, pembinaan administrasi, ketatausahaan dan rumah tangga.

PEMBERDAYAAN PERAN DAN FUNGSI CAMAT
Pemberdayaan peran dan fungsi camat sendiri mengacu pada tiga konsep, yaitu konsep pemberdayaan,politik, dan kelembagaan.

Pemberdayaan meliputi dua bagian, Pertama,pendelegasian kewenangan dari walikota sebagai pemilik  kewenangan kepada camat yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kewenangan dari walikota kepada camat agar menjadi lebih berdaya (Morgen dan Bookman, 1988; Prijono dan Pranarka, 1996). Kedua, Pengertian itu berkaitan dengan tindakan camat untuk melakukan kontrol internal, mengembangkan kapasitas, serta kebebasan dalam memecahkan masalah yang berada dalam ruang lingkup tugasnya (diskresi). Wujud kongkrit dari stimulasi itu adalah pendidikan dan pelatihan kepada camat dan aparat kecamatan.

Subkonsep pertama dari pemberdayaan yaitu kewenangan, yang menekankan pada seberapa besar kewenangan yang didelegasikan oleh walikota kepada camat. Semakin besar kewenangan yang didelegasikan maka pemberdayaan camat semakin optimal. Sub konsep kewenangan memiliki dua indikator yaitu, pendelegasian wewenang dan tingkat improvisasi (diskresi) camat.

Konsep politik yang berkaitan dengan pemberdayaan peran dan fungsi camat adalah pembagian atau alokasi.  Alokasi membahas subjek (siapa), objek (apa), waktu (kapan), dan cara (bagaimana) memperoleh kekuasaan tersebut. Alokasi kekuasaan dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu budaya politik dan struktur politik.

Struktur politik lokal terdiri dari para elit yang terlibat dalam pemberdayaan peran dan fungsi camat.  Namun dalam pemberdayaan peran dan fungsi camat, yang paling banyak terlibat adalah lembaga resmi yaitu eksekutif dan legislatif. Hal ini dikarenakan oleh organisasi kecamatan berada di dalam struktur organisasi Pemerintahan Kota sehingga pengaruh kedua lembaga tersebut paling dominan. Kedudukan camat berada di bawah walikota. Posisi ini menunjukkan bahwa camat menerima dan bertanggungjawab langsung kepada walikota. Camat dan organisasi kecamatan berada dalam ranah eksekutif bukan legislatif sehingga tidak memungkinkan DPRD sebagai lembaga politik lokal berhubungan langsung dengan camat. Jika ada anggota DPRD yang ingin berkomunikasi secara langsung (resmi) dengan camat harus mendapat persetujuan dari walikota.

Kemudian pihak yang berkepentingan terhadap pemberdayaan peran dan fungsi camat adalah birokrasi. Birokrasi yang dimaksud pada bagian ini adalah sekretaris daerah serta perangkat daerah Kota. Politik dalam birokrasi berkaitan dengandistribusi kekuasaan antar aktor yang berada dalam organisasi pemerintahan. Peran birokrasi dalam kegiatan pemerintahan sangat penting karena birokrasi merupakan eksekutor kebijakan yang telah ditetapkan oleh walikota. Pelimpahan wewenang tersebut seringkali berbenturan dengan kepentingan birokrasi yang terlibat dalam proses pelimpahan kewenangan. Pemberdayaan peran dan fungsi camat tidak didukung oleh sebagian aparat birokrasi dikarenakan oleh dua hal, yaitu (1) kurang memiliki pemahaman mengenai pelimpahan kewenangan serta manfaatnya; (2) merasa dirugikan jika sebagian kewenangannya dilimpahkan kepada camat karena akan mengurangi fasilitas yang mengiringi kewenangan tersebut. Budaya politik berhubungan dengan orientasi, sikap, serta perilaku elit politik dan birokrasi terhadap peran dan fungsi camat.

Elit politik yang terlibat adalah anggota DPRD dan walikota. Anggota DPRD Kota Depok lebih berorientasi pada peningkatan pelayananan kepada masyarakat.  Walikota menginginkan agar camat mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Orientasi walikota yang lebih cenderung kepada peraturan dan formalitas menujukkan bahwa walikota belum sepenuhnya memahami pemberdayaan peran dan fungsi camat. Walikota tidak menyadari bahwa pemberdayaan camat bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemerintahan. Dukungan walikota yang belum optimal terhadap pemberdayaan camat membuat camat tidak memiliki tugas-tugas yang strategis.
Ruttan dan Hayami menekankan bahwa kelembagaan merupakan seperangkat aturan yang ada dalam suatu kelompok/organisasi yang diarahkan untuk mencapai tujuan anggota kelompok atau organisasi tersebut. Sebelumnya, lembaga kecamatan merupakan bagian dari organisasi pemerintah pusat (UU Nomor 5 Tahun 1974), namun setelah diterapkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 lembaga kecamatan merupakan bagian dari organisasi pemerintahan kota.

Camat pada masa sekarang merupakan bagian dari perangkat daerah. Organisasi kecamatan berada di bawah walikota dan wakil walikota. Hal ini dikarenakan organisasi kecamatan merupakan bagian dari organisasi perangkat daerah. Posisi ini membuat organisasi kecamatan berada pada level yang sama dengan unit-unit kerja Pemerintah Kota. Pada struktur pemerintahan daerah, sekretaris daerah menjadi penghubung antara camat dan walikota. Sekretaris daerah merupakan bawahan walikota yang bertugas mengkoordinasi unit-unit pemerintahan daerah. Masalah utama dalam hubungan antara kecamatan dan unit kerja lainnya yang ada di Pemerintahan Kota adalah koordinasi. Kelemahan koordinasi akan membuat pelaksanaan kewenangan saling tumpang tindih serta saling lempar tanggungjawab antara kecamatan dengan unit kerja lainnya. Pada situasi seperti itu, pemerintah tidak dapat mencapai target yang telah ditetapkan.

DPRD dan organisasi kecamatan tidak memiliki garis yang langsung menghubungkan antara keduanya, artinya tidak ada hubungan langsung antara DPRD dan organisasi kecamatan.Camat dapat berhubungan dengananggota DPRD maupun sebaliknya, dengan persetujuan walikota sebagai atasan camat.

Selain dinas, ada unit kerja yang dapat mengurangi peran dan fungsi camat yaitu Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) yang merupakan badan pelayanan satu atap di tingkat kota. Sumber daya merupakan sesuatu yang penting untuk menunjang pemberdayaan peran dan fungsi camat. Camat tidak akan dapat melaksanakan tugasnya tanpa didukung oleh sumber daya yang memadai.  Sumber daya yang diteliti menyangkut tiga komponen yaitu kapabilitas sumber daya manusia (SDM), peralatan dan perlengkapan, serta anggaran. (Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2010, Analisis Pemberdayaan Peran dan Fungsi Camat.Akmal Khairi..hlm. 160-169 Volume 17, Nomor 2 ISSN 0854-3844).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar