Senin, 12 Januari 2015

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HAM TERHADAP PENGANGKATAN ANAK (ADOPTIE) WNI OLEH WNA DALAM MEMEPEROLEH KEJELASAN STATUS HUKUM MELALUI PENCATATAN PENGANGKATAN ANAK

PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W) yang kita warisi dari pemerintah Hindia Belanda tidak mengenal peraturan mengenai lembaga pengangkatan anak. Hanya bagi golongan Tionghoa yang diadakan pengaturannya secra tertulis di dalam Staatsblaad tahun 1917 no.129. Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia tidak membuat peraturan mengenai adopsi. Hal ini dapat dimengerti sebab dalam B.W Netderland yang belum dirubah (sebelum Perang dunia II), materi tersebut tidak diatur dan berdasarkan asas Konkordansi KUH Perdata Indonesia tidak pula mengenalnya. Baru pada tahun 1956 Nederland memasukkan ketentuan-ketentuan adopsi dalm B.W. Tetapi oleh karena antara Nederland dan Indonesia tidak lagi terdapat hubungan Konstitusionil maka tidak ada lagi penyesuaian Kuh Perdata Indonesia dengan B.W Nederland.
Setelah Perang dunia II. Pemerintah Hindia Belanda, sesuai pula dengan poltik hukumnya devide et impera membuat peraturan tertulis mengenai pengangkatan anak khusus Tionghoa yang tidak berlaku bagi golongan Indonesia Asli. Oleh karena peraturan tersebut berasal dari negara asing, mak ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal yang bersangkutan sejak semula adalah tidak sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyrakat Indonesia dan kini bahkan seluruh perangkat peraturan dalam Staatsblaad tahun 1917 no.129 sudah tidak memadai karena tertinggal oleh perkembangan jaman. (Sudargo Gautama,1981:68)
Pada mulanya pengangkatan anak (adopsi) dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan atau marga, dalam suatu keluarga yang tidak mempunyai anak kandung. Disamping itu juga untuk mempertahankan ikatan perkawinan. Sehingga tidak terjadi perceraian. Tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Dengan permohonan  pengangkatan anak ada pihak-pihak yang menarik banyak keuntungan yang tidak pada tempatnya, dan kurangnya pengamatan lingkungan dapat mengakibatkan  lolosnya permohonan pengangkatan anak antar warga negara (domestic adoption) maupun pengangkatan anak oleh warga negara asing (inter country adoption) tanpa memperhatikan  aspek kesejahteraan anak. Dengan demikian perlu dikaji permasalahan proses pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing (WNA), Pengaruh pengangkatan anak Warga Negara Indonesia (WNI) oleh Warga negara Asing  (WNA) terhadap kewarganegaraan dan agama anak yang diangkat, dan hambatan yang dihadapi oleh Departemen Sosial dalm proses pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing dalm pemantauan keadaan anak yang diangkat dan jaminan hukumnya (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18779/urus-suratsuratnya-setahun-sidangnya-45-menit tanggal 19 Mei 2012 pukul 20.30 WIB)

Pada Agustus 2005, namanya banyak menghiasi pemberitaan media massa nasional menyusul terbongkarnya jaringan penjualan anak berkedok adopsi. Tristan Dowse yang bernama asli Erwin adalah salah satu korbannya, Joseph wrga negara Irlandia yang sudah 2 tahun menjadi ekspatriat Indonesia memiliki istri bernama Lala, asal Azerbaijan. Dia 'membuang' Tristan yang diadopsinya pada 2001 saat bocah itu masih 2 bulan, di Panti Asuhan Immanuel di Bogor setelah adopsi nya dilegalkan oleh Pemerintah Irlandia karena tujuan adopsi bagi kehamilan sang istri telah berhasil. pada 28 Juli 2005, Polda Metro Jaya berhasil membongkar sindikat penjualan bayi yang terjadi di wilayah Ciputat, Tangerang, Banten. Dari hasil pemeriksaan terhadap tersangka, Rosdiana dan Eretha, diketahui sedikitnya 80 balita telah dijual para tersangka ini. Termasuk Tristan Dowse ini senilai Rp.20.000.000,00.
Kondisi pengangkatan anak seperti kasus di atas memang telah menjadikan kekhawatiran bagi kesejahteraan anak Indonesia. Tercatat bahwa Indonesia termasuk pemasok terbesar dalam perdagangan anak di seluruh Asia Tenggara. Tak kurang dari 300.000 – 400.000 anak dari Indonesia diperdagangkan setiap tahun, baik dengan modus adopsi illegal maupun dipaksa bekerja sebagai pekerja seks komersial. Padahal Indonesia pada tanggal 3 Oktober 2007 mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan dimuat dalam lembaran Negara tahun 2007 no.123. Komitmen Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak di Indonesia ditindak lanjuti dengan disahkannya Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini bertujuan untuk dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak.
Perlunya perspektif Hak Asasi Manusia dalm hal pengangkatann anak warga Negara Indonesia (WNI) oleh warga negara Asing (WNA) tertuang dalam pasal 53 Undang-Undang RI no.39 tahun 1999 ayat (1) dan ayat (2) maka sudah kewajiban pemerintah, negara dan orang tua serta masyarakat untuk tidak menelantarkan dan wajib peduliu terhadap hak anak tersebut dengan berupaya melakukan legalitas status identitas anak dalm bentuk dokumen Kutipan akta kelahiran. Dengan adanya kepemilikan dokumen hukum tersebut seorang anak merasa dihargai harkat dan martabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. (Jean K.Matuankota.”Perlindungan Hukum Terhadap Anak Angkat”.Jurnal Sasi Vol.17 no.3 Juli-September 2011)
Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Perundang _ undangan mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak yang dilakukan melalui penetapan pengadilan sehingga besar kemungkinan kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi anak Warga Negara Indonesia (WNI) oleh WNA akan berlangsung dengan maksimal sesuai dengan tujuan asli adopsi tersebut.
Berdasarkan fakta-fakta dan urgensi pentingnya perlindungan hukum pengangkatan anak WNI oleh WNA tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalm sebuah makalah yang berjudul
 “Perlindungan Hukum Dalam Perspektif HAM terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) WNI oleh WNA Dalam Memperoleh Kejelasan Status Hukum Melalui Pencatatan Pengangkatan Anak”

B.     Rumusan Masalah
Guna memberikan fokus terhadap permasalahan yang hendak dikaji dalam makalah dimaksud, berikut adalah dua pokok pertanyaan yang coba digali oleh penulis:
1.      Bagaimana prosedur pengangkatan anak (Adoptie) WNI oleh WNA dalam memperoleh kejelasan status hukum anak tersebut?
2.      Bagaimana korelasi antara pengangkatan Anak (Adoptie) WNI oleh WNA dengan perspektif HAM bagi anak tersebut?

C.     Metode Penulisan
Metode peneltian yang digunakan dalam makalah ini adalah penelitian Yuridis Normatif yang berarti bahwa penelitian ini mengacu dan berbasis pada analisa norma hukum dengan tujuan untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya. Baik hukum dalam arti Law as it is written in the books (dalam bentuk perundang-undangan) maupun hukum dalam arti law as it is decided by judge trough judicial process (putusan-putusan pengadilan).
Penulis akan melakukan penelitian dengan melalui berbagai bahan kepustakaan. Dalam studi kepustakaan ini diharapakan agar dapat memberikan sudut pandang yang lebih luas mengenai adopsi atau pengangkatan anak di indonesia.
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian  ini adalah data sekunder dan data primer. Untuk data sekunder dapat diperoleh melalui studi pustaka (penelitian kepustakaan) yang bersumber dari:
a.       Bahan hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, yang berupaperaturan perundang-undangan yaitu:
1.      Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
2.      Undang-Undang nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Anak.
b.      Bahan hukum Sekunder adalah bahan-bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat menganalisis  serta memahami bahan hukum primer yaitu buku-buku, artikel ilmiah, makalah, jurnal dan laporan penelitian. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari:
1.      Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dengan judul Hukum Perdata Internasional Indonesia
2.      Prof.  Mr. Dr. Sudargo Gautama dengan judul Soal-soal Hukum Perdata Internasional
3.      Muderiz Zaini, SH dengan judul Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum.
4.      M.Budiarto dengan judul Penganagkatan Anak ditinjau dari Segi Hukum.
5.      Abdul Manan, M.Fauzan..2002.Pokok-Pokok Hukum Perdata.
c.       Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus
Sedangkan dalam pengolahan data maupun analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif. Dimana metode ini berlandaskan atas penafsiran empirik terhadap peristiwa yang terjadi dan berkembang di masyarakat metode ini juga menghasilkan data deskriptif dengan menggunakan pendekatan fenomologis yang berusaha memahami subyek dari segi pandang mereka sendiri. Dengan melakukan hal tersebut penulis berharap dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap peristiwa yang terjadi. Semua data yang telah dikumpulkan disusun kembali secara sistematis dan disajikan dalam bentuk makAlah yang kemudian diambil suatu kesimpulan.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    PENGERTIAN ADOPSI
Kata adopsi berasal dari perkataan ad (menambahakan) dan optare (memilih), (menginginkan), jadi adopsi berarti mengambil secara sukarela seorang anak dari orang lain sebagai anaknya sendiri.
They adopted him as their sole heir (mereka mengadopsi anak itu sebagai satu-satunya ahli waris mereka). Webster”s third New International Dictionary of the English Language.
Untuk memeberikan pengertian tentang adopsi, dapat membedakannya dari dua sudut pandangan, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi.
a.      Secara Etimologi
Adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda, atau “adopt” (adoption) bahasa Inggris yang berrati pengangkatan anak, mengangkat anak. Dalam bahasa Arab disebut “Tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”
Pengertian dalam bahasa Belanda menurut Kamus Hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. Jadi disni penekananya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung. Ini adalah pengertian secara Literlijk yaitu (adopsi) di masukkan ke dalam bahsa Indonesia berarti anak angkat atau mengangkat anak.
b.      Secara Terminologi
Para ahli mengenukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi (pengangkatan anak) yaitu antara lain:
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu”anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”. Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan:
“Adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat dari adospi yang demikian itu ialah bahwa anak yang diadopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orangtua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.
Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma S.H dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat;
“Anak angkat adalah orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga”.
Azas-azas Hukum adat, memberikan batasan sebagai berikut:
“Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri”.
Kemudian Dr. Mahmud Syaltut, seperti yang dikutip secara ringkas oleh Drs.Fachtur Rahman dalm bukunya Ilmu Waris, beliau membedakan dua macam ari anak angkat yaitu;
Pertama: penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.
Kedua: yakni yang dipahamkan dari perkataan ‘tabanni”: (mengangkat anak secara mutlak). Menurut syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya. Sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.
            Pengertian yang dikemukakan terakhir di atas tentang istilah anak angkat menurut pengertian Dr.Mahmud Syaltut yang lebih tepat untuk kultur Indonesia yang mayoritas penduduknya pemeluk Islam sebab disini tekanan pengangkatan anak adalah perlakukan sebgai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalm segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebgai anak nasabnya sendiri.
            Sedangkan pengertian yang kedua menurut Dr.Mahmud Syaltut tersebut persis dengan pengrtian adopsi menurut hukum Barat, yaitu dimana arahnya lebih menekankan kepada memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya dengan mendapatkan status dan fungsi yang sama persis dengan anak kandungnya sendiri. Pengertian kedua ini konsekuensinya sampai kepada hak untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya yang mengangkat dan larangan kawin dengan keluarganya, hal ini jelas bertentangan dengan hukum islam.
            Adopsi adalah suatu lembaga hukum yang terletak di bidang Hukum Perdata khususnya Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Lembaga adopsi ini berbeda-beda pada negara yang satu dibandingkan negara yang lain keanekaragaman ini menimbulkan persoalan Vorfrage (Persoalan Pendahuluan) dan Ampassung (Penyesuaian) dalam negara-negara yang bersangkutan.
            Di berbagai kebudayaan kuno, termasuk pula dari Negara Asia, maka adopsi ini sering dianggap sebagai suatu cara untuk melanjutkan keturunan, terutama dimana dikenal sistem pengabdian kepada leluhur (vooroundervering), seperti misalnya di Yunani, Romawi kuno, Jepang, Tiongkok dan lain-lain Negara Asia. Dalam sistem-sistem demikian maka yang dapat diangkat hanya anak laki-laki dan anak angkat itu dianggap sama seperti anak betul dari si pengangkat sendiri.
            Akan tetapi kita saksikan bahwa fungsi dari adopsi ini mengalami perubahan diberbagai negara lain. Bukan saja orang-orang yang boleh diangkat yang berubah hingga tidak hanya anak laki yang boleh di adopsi, tetapi anak-anak perempuan juga. Kita saksikan pula pergeseran dalam penilaian akibat-akibat suatu adopsi, tidak lagi demikian mendalam sehingga seratus persen dianggap sebagai anak sendiri melainkan terbatas misalnya kepada pemeliharaan dan pendidikan.
B.     TUJUAN ADOPSI
Menurut Mr.Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia ketika masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung telah menulis sebuah prasaran dalam kongres Ikatan Sarjana Hukum Indonesia ke-II seluruh Indonesia di Bandung yang kemudian dimuat dalam Majalah “Hukum dan Masyrakat” pada tahun 1960 dengan judul “Usaha Memperbaiki Hukum Warisan”. Dua hakekat kemungkinan adopsi tersebut adalah:
1.      Pengangkatan anak yang hanya bertujuan pemeliharaan belaka dari seseorang anak orang lain atau seperti yang terdapat dalam surat Keputusan tanggal 9 Mei 1769 dari gubernur Jendral, pengangkatan anak semata-mata hanya bertujuan memberikan pendidikan yang baik kepada anak yang diangkat itu, hal mana yang tidak dapat dibenarkan oleh gubernur Jendral tersebut karena dalam praktek menimbulkan permasalahan-permasalahan dan selisih-selisih pendapat sehubungan dengan pewarisan, maka untuk menghilangkan semua keresahan itulah Gubernur Jendral mengeluarkan Surat Keputusan tersebut.
2.      Penganagkatan anak yang bertujuan lebih baik daripada hanya memberikan pemeliharaan dan pendidikan yang baik kepada anak itu sebagaiamana dikehendaki oleh surat Keputusan Gubernur Jenderal tersebut menurut Wirjono Prodjodikoro pengangkatan anak demi untuk disamakan atau hampir disamakan dengan anak kandung yang telah ada atau sekiranya ada, tidak saja dalam pemeliharaan dan pendidikan saja tapi juga soal warisan.
                                
C.    ASPEK YURIDIS YANG MENGATUR TENTANG ADOPSI
Dalam bab II Staatsblaad tersebut diatur tentang pengangkatan anak yang berlaku khusus diperuntukkan bagi orang-orang golongan Tionghoasedangkan untuk golongan pribumi Indonesia belum ada peraturan yang mengaturnya.
Kemudian setelah zaman kemerdekaan yaitu pada tahun 1958 dikeluarkanlah Undang-Undang no.62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut, yang berkaitan dengan pengangkatan anak dimuat dalam pasal 2 Undang-Undang tersebut dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1958 no.113 tambahan Lembaran Negara n0.1647
Kemudian pada tahun 1978, dilakukanlah surat edaran Direktur Jendral Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman Nomor JHA 1/12 tanggal 24 Februari 1978. Surat Edaran tersebut mengatur tentang prosedur pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh orang asing.
Pada tahun 1979.,dikeluarkanlah Undang-Undang no.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam pasal 12 Undang-Undang tersebut ditentukan tentang motif pengangkatan anak yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak. Undang-Undang no.4 tahun 1979 itu imuat dalam Lembaga Negara tahun 1979 no.32 tambahan Lembaran Negara no.3143.
Pada tahun 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI no.6 tahun 1983. Surat edaran tersebut merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Mahkamah Agung RI no.2 tahun 1979 mengenai pengangkatan anak.
Kemudian pada tanggal 22 oktober 2002, dikeluarkanlah Undang-Undang no.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Undang-Undang no.23 tahun 2002 itu dimuat dalam lembaran negara tahun 2002 no.109.
Undang-undang ini menegaskan tentang hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan hukum dalma segala aspek. Undang-undang ini juga meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
·         Nondiskriminasi
·         Kepentingan yang terbaik bagi anak
·         Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan dan
·         Penghargaan terhadap pendapat anak
Dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah dicantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Meskipun demikian dipandang masih sangat diperlukan suatu Undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksannan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan Undnag-Undang perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dlam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Dalam pelaksanaan pengangkatan anak, kemudian pada tanggal 3 Oktober 2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah no.54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan anak. Peraturan Pemerintah no.54 tahun 2007 itu dimuat dalam lemabran negara tahun 2007 no.123.
            Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pelaksanaan pengangkatan anak yang berlaku secara nasional tanpa mengesampingkan hukum positiflainnya yaitu hukum adat dan hukum agama ini diharapkan terjadinya pengangkatan anak yang berujuan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik dari segala aspek kehidupan kepada anak. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan ank, berlakunya Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk menangani permasalahan-permasalahn yang terjadi terhadap anak. Peraturan Pemerintah ini berlaku sebagai salah satu bentuk tindak lanjut pemerintah terhadap perlindungan dan kesejahteraan anak.
D.    CONTOH ADOPSI DI DUNIA INTERNASIONAL
Adopsi ini mempunyai akibat hukum yang berbeda, ada yang mempunyai kekuatan hukum yang besar dan adapula yang agak lemah. Dalam sistem yang mempunyai akibat kuat kita saksikan bahwa hubungan hukum dengan ayah ibu biologis sama sekali menjadi terputus dan diganti oleh hubungan hukum antara seorang anak dan orang tua angkat.
·         NETHERLAND
Sebelum dapat dilangsungkan , pihak orang tua yang hendak mengadoptif sudah terlebih dahulu menjadi “wali”dari sang ank (pasal 344k sub f B.W)
·         INGGRIS
Pernah terjadi seorang warga negara Belanda  dengan istrinya yang bipatride (Belanda-Inggris) pernah ajukan permohonan adopsi di Netherland dari seorang ank perempuan Catherine yang terlebih dahulu (1934) sudah memperoleh status anak sah menurut hukum Inggris karena terhadapanya sudah dilakukan suatu “legal adoption”. Menurut Rechtbank Amsterdam telah diterima persamaan nilai ini, persamaan dalm intisari, satu dan yang lain oleh karena menurut sistem “legal adoption” ini teranglah bahwa pihak orang tua bersangkutan dilimpahkan dengan kekuasaan yan luas sebagai ibu-bapak pendidik dan pemelihara yang boleh disamakan dengan apa yang dinamakan perwalian dalam sistem perdata Belanda.
·         CEKOSLOWAKIA
Dalam catatan Kollewijn cara pemasrahan ini memang merupakan adopsi menurut hukum yang berlaku di Cekoslovakia. Bilamana halnya demikian, maka beliau condong untuk menerima bahwa, sesuai dengan pertimbangan hakim amsterdam dalam perkara adopsi Inggris tersebut di atas, dapat dipandang syarat perwalian menurut B.W terpenuhi adanya.
·         SINGAPURA
Berkenaan dengan adopsi ini menarik pula keputusan Kantongerecht Haarlem tahun 1960 mengenai permohonan supaya diangkat sebagai “wali” oleh suami istri Beland, yang telah mengadoptir seorang anak British subject di Singapura menurut hukum Singapura dengan bantuan pengawasan dari “The High Court of the Colony of Singapore”. Karena sudah ada perwalian atau “gezag” atas anak belum dewasa bersangkutan menurut hukum nasional yang berlaku baginya, maka tidak perlu untuk mengangkat wali lagi. Hakim berpendapat bahwa kesimpulan ini adalah sesuai dengan “Redelijke wetstoepassing”. Offerhaus melihat adanya “aanpassing” kepada hukum asing yang melalui jalan interpretasi peraturan hukum (wetsinterpretatie). Hal ini sesuai dengan perwalian menurut pasal 344 sub 7 B.W (Sudargo Gautam.1998:86)

DAFTAR PUSTAKA
Jurnal:
Jean K.Matuankota.”Perlindungan Hukum Terhadap Anak Angkat”.Jurnal Sasi Vol.17 no.3 Juli-September 2011
Buku:
Abdul Manan, M.Fauzan..2002.Pokok-Pokok Hukum Perdata.Jakarta:RajaGrafindo Persada
Sudargo Gautama.1981.Soal-Soal Aktual Hukum Perdata  Internasional.Jakarta:Bandung Alumni
Sudargo Gautama.1993.Hukum Perdata Internasional Indonesia.Jakarta:Bandung Alumni
Sudargo Gautama.1998.Hukum  Perdata Internasional Indonesia.Bandung:Bandung Alumni
Internet:
www.wikipedia.com diakses pada tanggal 19 Mei 2012 pukul 20.08 WIB



                                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar