Selasa, 06 Januari 2015

Mengkaji Progresifitas Pendidikan Tinggi Hukum dalam Menciptakan Penegak Hukum yang Bernalar Progresif (Telaah Kritis Terhadap Akar Pendidikan Aparat Penegak Hukum Di Indonesia)


BAB I
PENDAHULUAN


                               
A.      Latar Belakang Masalah
Fakultas hukum yang notabene merupakan pencetak sarjana hukum, semakin sulit berkelit dari tanggungjawab ketika para lulusannya justru terjerembab dalam berbagai perkara pidana di saat para alumnusnya tersebut memangku jabatan sebagai aparat penegak hukum. Mencermati beberapa kasus hukum yang akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia, misalnya kasus dugaan suap hakim Syarifudin sebesar Rp 250.000.000,- dari Puguh Wirawan, kurator PT Sky Camping Indonesia (SCI). Contoh lain, kasus dugaan penghilangan pasal oleh jaksa Cirus Sinaga, sehingga Gayus diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Padahal Gayus mengaku telah memberi uang sejumlah Rp5.000.000.000,- kepada oknum jaksa yang menangani kasusnya tersebut.
Menelaah berbagai macam kasus yang melibatkan para penegak hukum tersebut, secara langsung maupun tidak mencerminkan suramnya realitas penegakan hukum yang dipraktikkan para aparat yang tidak lain adalah alumnus lembaga pendidikan tinggi hukum. Sebagaimana diketahui, lahirnya seorang menjadi penegak hukum, tentu bermula dari pendidikan yang diperolehnya di bangku perkuliahan. Atas realitas demikian, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana entitas pendidikan tinggi hukum mengajarkan hukum bagi calon penegak hukum dimaksud? Menurut Satjipto Raharjo, [1] pendidikan tinggi hukum ternyata semakin bersifat teknologis dan menjauhi kodrat humanis dalam pembelajarannya. Pembelajaran hukum yang teknologis demikian lebih menekankan pada pembinaan ketrampilan profesi ketimbang bahasan akan keadilan dan kemanusiaan. Disebut teknologis, oleh karena pola pendidikan tinggi hukum hanya menekankan pada pengetahuan hukum dan cara-cara menggunakan hukum tersebut. Sebagai akibatnya aspek-aspek manusia dan kemanusiaan yang ada pada hukum menjadi kurang diperhatikan dan terdorong kebelakang.  Dalam konsepsi progresif Satjipto Rahardjo, hukum itu untuk manusia, bukan hukum untuk hukum. Sehingga hukum bersifat humanis, bukan hukum yang teknologis. Hukum yang teknologis hanya menjalankan undang-undang saja, sehingga yang didapat hanyalah kepastian hukum.
Atas tesis yang disampaikan Satjipto Rahardjo demikian, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh apakah benar optik yang digunakan dalam dunia pendidikan hukum saat ini hanya melulu bersifat teknologis yang berakhir dalam pengkajian preskriptif semata? Dengan optik preskriptif demikian, apakah benar hukum hanya dilihat sebagai suatu sarana yang harus dijalankan? Apakah lembaga pendidikan yang menggunakan optik preskriptif ini akan mengajarkan kepada mahasiswanya keterampilan tentang bagaimana menguasai sarana itu dan bagaimana pula menggunakannya, tanpa memedulikan aspek kemanusiaan? Apakah pendidikan hukum tidak mendidik mahasiswanya untuk benar-benar dan sistematis mengkaji hukum sebagai suatu sarana pengatur dalam masyarakat, melainkan hanya tentang bagaimana menjalankan hukum itu dengan benar? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang mengelitik daya kritis peneliti untuk mengkaji pendidikan tinggi hukum yang dikatakan mengajarkan keterampilan tukang atau craftsmanship[2].
Aspek interkoneksi pendidikan tinggi hukum terhadap pola tindak aparat penegak hukum dalam lapangan teknis penegakan hukum inilah yang coba peneliti gali dalam sebuah penelitian yang berjudul ‘Mengkaji Progresifitas Pendidikan Tinggi Hukum dalam menciptakan Penegak Hukum yang bernalar Progresif (Telaah Kritis Terhadap Akar Pendidikan Aparat Penegak Hukum di Indonesia)’.


[1] Muhammad Rustamaji,Dewi Gunawati Moot Court “Membedah Peradilan Pidana dalam kelas Pendidikan Hukum Progresif”, Surakarta, CV Mefi Caraka, 2011, Halm. 39
[2] Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009, hlm.31.


BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1.      Berdasarkan pengkajian terhadap alur sejarah pendidikan tinggi hukum yaitu, sejak rechtsschool pada 1924 sampai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi, tidak ditemukannya pendidikan hukum progresif.
2.      Karena tidak ditemukan pendidikan hukum progresif, maka akibatnya melahirkan aparat penegak hukum yang hanya sebagai ‘tukang’ atau craftsmanship yaitu hanya menjalankan Undang-Undang dan tidak memperhatikan aspek kemanusiaan sehingga terjadinya penurunan moralitas di dalamnya. Akhirnya muncul konsepsi ‘hukum Teknologis bukan hukum Humanis’ yang dalam realitanya aparat penegak hukum sendiri yang berwatak kapitalis yang acapkali terseret dalam kasus kriminalitas.

B.     Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dijabarkan, penulis mengemukakan saran sebagai berikut :
1.      Merealisasikan cara pembelajaran ‘psikologis’ oleh tenaga pendidik di pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Faktor psikologis tersebut antara lain komitmen, empati, dedikasi dan kejujuran. Fakultas hukum hendaknya menambahkan kata-kata “Pembelajaran untuk mencapai keadilan” dalam perkuliahannya.
2.      Kontinuitas pendidikan tinggi hukum menjadi komunitas yang progresif dan tidak memihak kepada status quo. Hendaknya selalu bersifat kritis dan kreatif, karena pendidikan memang merupakan institusi yang sangat diharapkan untuk memberikan pencerahan dan tuntunan terhadap bangsanya.
3.      Mulai mewujudkan gagasan tentang “pendidikan hukum berbasis manusia dan kemanusiaan” agar filsafat yang mendasari pendidikan hukum bergeser dari profesional menjadi promanusia.
4.      Para pengelola pendidikan tinggi hukum harus mendekonstruksi dan merekonstruksi pembelajaran yang selama ini berlangsung.
5.      Mahasiswa diberikan porsi yang lebih substansial terhadap diskusi daripada kuliah-kuliah konvensional belaka. Melalui serangkaian diskusi tersebut, agar perkara-perkara hukum dapat ditarik menjadi perkara-perkara manusia dan kemanusiaan dapat diwujudkan.
6.      Disediakan Laboratorium dalam konteks ini adalah tempat yang memungkinkan peserta didik untuk dapat melihat secara tuntas dan menganalisis obyek yang dipelajari secara benar dan jujur. Yaitu dengan mata ajar moot court yang terhimpun dalam mata kuliah keterampilan hukum.
7.      Pendidikan hukum konvensional yang berpusat pada dosen atau teacher center learning hendaknya ditinggalkan karena telah memasung mahasiswa dalam pengalaman belajarnya. Teknik pembelajaran yang lebih tepat sesuai dengan perkembangan adalah menekankan pada student center learning yang memainkan peranan penting pada mahasiswa dalam proses belajar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar