Jumat, 30 Januari 2015

MAHASISWA VS POLITIK PRAKTIS

Mahasiswa vs Politik Praktis

Jika ditanya tentang kelompok manusia yang berpengaruh besar pada perubahan bangsa, yang mempunyai idealisme kuat untuk membela masyarakat, bangsa dan negara maka jawabannya adalah Mahasiswa. Jika ditanya kelompok manusia mana yang mempunyai intelektual tinggi dan sebagai penggerak arah paradigma bangsa maka jawabannya juga adalah mahasiswa. Mahasiswa merupakan kaum intelektual yang selalu haus akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, oleh karenanya mereka selalu berfikir kritis, sistematis,radikal dan universal dalam menghadapi permasalahan yang ada. wajar jika kita sering melihat para insan akademis itu menggelar aksi menentang kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan konstitusi dan kepentingan rakyat.
Berangkat dari pemahaman diatas maka Hariman Siregar, seorang tokoh pergerakan mahasiswa di Indonesia yang mempunyai pemikiran bahwa gerakan mahasiswa adalah merupakan pilar ke-5 demokrasi setelah eksekutif, legislatif, yudikatif dan media massa yakni institusi pers dan lain sebagainya yang juga sekaligus sebagai pembentuk opini masyarakat atau public opinion. Hal ini didasarkan pula oleh realitas sejarah yang menunjukkan bahwa pergerakan mahasiswalah yang menjadi benteng terakhir proses demokrasi di negara Indonesia selama ini.
Mahasiswa dan nilai idealisme terhadap pembangunan bangsa
Jika kita tengok ke belakang, ketika kondisi ketidaksinkronan pelaku demokrasi dengan arah dan tujuan hakiki demokrasi bangsa seperti halnya pergerakan angkatan tahun 1928 pada peristiwa sumpah pemuda yang menghantarkan semangat kemerdekaan,  angkatan tahun 1966 yang berhasil menghancurkan komunisme dan rezim orde lama, serta angkatan tahun 1998 yang menggulingkan rezim orde baru, sehingga dengan tidak berlebihan bisa dikatakan mahasiswa-lah sebagai ujung tombak perubahan bangsa ini.
Nilai-nilai idealisme mahasiswa inilah yang searah dengan pergerakan bangsa indonesia yakni mengedepankan kepentingan rakyat diatas kepentingan lain sehingga tidak salah ketika ada kebijakan pemerintah yang terkesan tidak “pro rakyat” maka akan ada aksi turun ke jalan oleh mahasiswa sebagai bentuk ketidakpuasan dan penolakan atas kebijakan tersebut atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
Semangat idealisme dan profesionalitas mahasiswa juga menjadi kekuatan besar dan momok yang menakutkan bagi para pengambil kebijakan di negeri ini sehingga dalam proses pembuatan kebijakan, pemerintah selalu berfikir matang dan selalu mempertimbangkan aspek kepentingan masyarakat. Nilai idealisme ini yang kemudian menjadikan mahasiswa sebagai aktor pengontrol kebijakan.
Fenomena politik praktis terhadap mahasiswa.
Kita semua tentu tahu, bahwa faktor penggerak dan “ruh” demokrasi adalah proses politik yang juga outputnya adalah kepentingan politik itu sendiri. Namun realita yang terjadi sering kita saksikan, aksi politik praktis di negeri ini seakan menunjukan bahwa politik bangsa kita sudah mengarah pada politik pragmatis murni dimana kepentingan partai dan elit-lah yang diutamakan juga tidak kalah penting yakni kepentingan kekuasaan.
Sebagaimana dijelaskan di awal, mahasiswa sebagai kelompok penentu paradigma publik pada era reformasi ini menjadi sasaran empuk bagi para aktor politik praktis untuk melibatkan mahasiswa dalam mencapai tujuan politiknya.
Fenomena yang sudah sangat klasik ketika berbicara masalah mahasiswa sebagai pelaksana politik etis yang ditunggangi oleh politik praktis dari golongan yang mempunyai kekuasaan. Kong kali kong atau dengan kata lain“bargaining position” antara mahasiswa dan praktisi politik atau partai tertentu sering diaanggap sebagai pemanfaatan para politikus tersebut untuk mengejar kekuasaan. Berbeda dengan era orde baru, memang mahasiswa terkekang oleh kekuasaan yang diktator. Namun saat ini dimana demokrasi diagungkan, semua seakan leluasa berpendapat, tak terkecuali mahasiswa yang sering mengkritik para penguasa. 
Politik memang terkesan kotor di mata kebanyakan orang. Bisa dibilang, untuk bisa menggerakan mobilitas suatu sistem baik di skala makro maupun mikro harus mendapatkan suatu kekuasaan. Kekuasaan yang didewakan terkadang menimbulkan perilaku yang keluar dari nilai dan tatanan norma yang ada dalam masyarakat.



Butuh netralitas mahasiswa.
Bangsa Indonesia dan tentunya sistem perpolitikannya mempunyai tujuan hakiki nan mulia yakni menciptakan bangsa yang melindungi segenap bangsa, mencerdaskan bangsa serta mencapai kesejahteraan rakyat seperti yang tertuang dalam amanat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga untuk menjaga tujuan baik tadi muncul-lah idealisme murni dari mahasiswa sebagai social control dan agent of change untuk mengimbangi kekuasaan yang cenderung berorientasi pada kepentingan tertentu yang menyimpang.
Kenyataannya, dalam sejarah keberhasilan pergerakan mahasiswa sebagai benteng terakhir demokrasi, tidak tercatat keterkaitan mereka dengan politik praktis. Keberhasilan gerakan mahasiswa justru ketika mereka berada di luar lingkaran politik praktis yang meniscayakan kompromi dan kepentingan sesaat. Dengan beradanya gerakan mahasiswa di luar politik praktis, maka akan secara leluasa melakukan kritik dan pengawalan.
Sejatinya, politik bukanlah suatu entitas yang haram, namun jika mahasiswa terlibat didalamnya, maka akan berpotensi membusukkan karakter idealismenya. Mahasiswa memang idealnya tidak boleh terlibat secara aktif dalam politik praktis, namun merekalah yang harus menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap politik praktis tersebut. Salah satu syarat yang mutlak adalah dengan memposisikan diri menjadi pihak yang netral dan tidak memihak pada apapun dan siapapun. Itulah ciri mahasiswa ideal dan berkarakter yang dicita-citakan dan dinantikan bangsa indonesia.
Persoalannya, dalam praktiknya politik praktis hanya dimainkan di tingkat rendah dan hanya untuk mencari kemenangan semata. Tanpa prioritas dan tanpa arah, seperti tujuan selanjutnya apa setelah memenangkan politik. Hal itu akan menumbuhkan loyalitas sempit yang merongrong profesionalisme dan idealisme aparat pemerintahan, meningkatkan risiko terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan bahkan korupsi," tandasnya. Untuk itu, Boediono menegaskan aparat pemerintahan harus bersih dari politik praktis. Politik praktis yang masuk ke dalam jajaran birokrasi bakal menyebabkan orientasi dan loyalitas aparat menjadi kacau. Ditambahkan, politik aparatur birokrasi hanya satu yakni politik kepentingan umum dan politik kepentingan negara. Kondisi serupa diharapkan dipahami pula saat berhadapan dengan kepentingan bisnis. "Politisasi dan komersialisasi aparat birokrasi dan jabatan birokrasi harus kita tolak dan kita tangkal


Tidak ada komentar:

Posting Komentar