Jumat, 09 Januari 2015

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP SECARA LITIGASI MAUPUN NON LITIGASI SERTA TINJAUAN GUGATAN CLASS ACTION DAN LEGAL STANDING DI PERADILAN INDONESIA DALAM KASUS

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP SECARA LITIGASI MAUPUN NON LITIGASI SERTA TINJAUAN GUGATAN CLASS ACTION DAN LEGAL STANDING DI PERADILAN INDONESIA DALAM KASUS
A.    PENGERTIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan.Sengketa lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus”sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan: “Dispute. A conflict or controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a rlght, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa Inggrisnya pun beragam: “dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”, “conflict intervention”.[1]
Dalam suatu sengketa, termasuk sengketa lingkungan, tidak hanya berdurasi”perselisihan para pihak ansich, tetapi perselisihan yang diiringi adanya “tuntutan” (claim). Tuntutan adalah atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik). Dengan demikian, rumusan Pasal 1 angka 19 UUPLH yang hanya mengartikan sengketa lingkungan sekedar “perselisihan antara dua pihak atau lebih…” tanpa mencantumkan “claim”terasa kurang lengkap dan tidak merepresentasikan secara utuh keberadaan suatu sengketa. Siapakah sesungguhnya para pihak yang berkonfiik dalam sengketa lingkungan? Atau, siapakah subyek sengketa lingkungan itu dan apa pula yang disengketakan (objek sengketa lingkungan)?
Membaca keseluruhan naskah yuridis UUPLH, tampaknya tidak satu Pasal pun yang memberikan jawaban “otentik-stipulatif” atas pertanyaan tersebut. Namun, melalui metode penafsiran [“interpretatie (methode)]” dapat di tentukan subyek sengketa lingkungan, yakni: “para pihak yang berselisih”. Meski disadari bahwa dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (“sustalnable development”) yang paling penting adalah:“how to prevent dispute, not how to settle dispute” sesuai dengan adagium: “prevention Is better than cure”, dan pepatah yang tidak tersangkal kebenarannya: “an ounce of prevention is worth a pound of cure”.[2]
Namun, bukan berarti hukum (UUPLH) harus mengesampingkan sengketa lingkungan tanpa penyelesaian. Sebagai kenyataan yang senantiasa terjadi dan menggejala, sengketa lingkungan membutuhkan penyelesaian yuridis untuk melindungi kepentingan korban pencemaran-perusakan lingkungan sekaligus menyelamatkan lingkungan melalui pendekatan hukum.
B.     TINJAUAN GUGATAN CLASS ACTION dan LEGAL STANDING di PERADILAN INDONESIA
Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk kepada hukum.
Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”.
Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum.[3] Dalam perkembangan sejarah perlindungan hukum di Indonesia, khusus mengenai perlindungan hukum melalui gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) sedang hangat-hangatnya dibicarakan baik dalam kalangan akademi, maupun di kalangan penasehat hukum, lembaga swadaya masyarakat dan di kalangan badan peradilan sendiri.
Oleh karena baru mengenal konsep gugatan perwakilan (class actions), maka masih banyak kalangan praktisi hukum memberikan pengertian gugatan perwakilan (class actions) identik atau sama dengan pengertian hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) pada hal pengertian gugatan perwakilan (class actions) berbeda dengan pengertian gugatan organisasi (legal standing). Perbedaan yang prinsipil antara gugatan perwakilan (class actions) dengan hak gugat organisasi (legal standing) antara lain: dalam gugatan perwakilan (class actions) adalah :
1. Seluruh anggota kelas (class representatives dan class members) sama-sama langsung mengalami atau menderita suatu kerugian.
2. Tuntutannya dapat berupa ganti kerugian berupa uang (monetary damage) dan/atau tuntutan pencegahan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang sifatnya deklaratif.
Sedangkan dalam hak gugatan organisasi (legal standing), adalah :
  1. Oganisasi tersebut tidak mengalami kerugian langsung, kerugian dalam konteks gugatan organisasi (legal standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat publik.
  2. Tuntutan organisasi (legal standing) tidak dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali ganti kerugian yang telah dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang bersifatdeklaratif.

Secara materiel hukum nasional telah mengatur gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi (legal standing/ius standi), namun hukum acara yang ditunjuk sebagai hukum formil yang mempertahankan hukum materieal tersebut belum diatur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar