Kamis, 29 Januari 2015

HAPA

1.      Dalam proses peradilan agama dimungkinkan adanya “intervensi” di samping para pihak yang bersengketa
Jawab:
Ada 2 jenis yakni voeging dan tussenkomst, pihak ketiga tersebut harus berkepentingan, artinya kepentingannya akan terganggu jika ia tidak mencampuri proses atau dengan mencampuri proses maka ia akan mendapatkan hak-hak nya. Segala sesuatu nya bisa lebih cepat dan sinkron dan akan terhindarkan kemungkinan putusan Pengadilan yang saling bertentangan.
 Permohonan untuk intervensi dari pihak ketiga harus diajukan kepada majelis hakim yang sedang memeriksa perkara yang bersangkutan, pada waktu penggugat dan tergugat sedang jawab berjawab, sebelum tahap pembuktian. Yang dinamakan Gugatan insidental, penggugat dan tergugat semula, tetap sebagai tergugat dan penggugat dalam gugatan pokok, sedangkan pemohon di situ disebut sebagai intervenient, yang kini menjadi penggugat insidental.
2.      Peran penting “provisi” untuk menghindarkan mudhorot yang timbul akibat perceraian
Jawab:
            Putusan takdim/provisional adalah putusan sela yang mendahului putusan akhir. Putusan demikian dapat diambil oleh pengadilan selama proses masih berlangsung sebelum putusan akhir tetapi hanya terbatas pada apa yang termasuk dalam wewenang pengadilan agama, diambil atas permohonan maupun atas pertimbangan Pengadilan mengenai izin untuk selama dalam proses tidak tinggal serumah, dan atas permintaan pihak:
Menentukan nafkah, atau menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan/ pendidikan anak atau untuk menjamin terpeliharanya harta benda perkawinan (baik harta bersama maupun harta asal masing-masing).
3.      Asas Pembuktian dalam HAPA
Jawab:
Audi et alteram partem adalah dalam memeriksa suatu perkara hakim harus memberikan perhatian, perlakuan, kesempatan, kedudukan yang sama dan seimbang antara pihak-pihak yang bersengketa. Pasal 5 UU nomor 48 tahun 2009.
Unnus Testis Nullus Testis
4.      Macam-macam kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti yang dikenal dalam HAPA
Jawab:
PASAL 164 HIR
a.       Surat
Sesuatu yang memuat tanda yang dapat dibaca dan yang menyatakan suatu buah pikiran. Oleh karena dimaksudkan untuk membuktikan, maka akta harus ditandatangani. Surat-surat sebagai alat bukti tertulis terbagi kepada “akta” dan “selain akta”. Akta terbagi menjadi akta otentik” dan “akta bukan otentik” atau “akta di bawah tangan”
Mengenai kekuatan pembuktian atas akta otentik yakni di pasal 165 HIR (R.Bg) bahwa akta otentik menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak daripadanya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan sahaya.  Dibuat untuk kepentingan pembuktian suatu peristiwa. Isi akta tersebut dipandang sebagai hal yang benar dan patut dipercaya terutama tentang pihak-pihak yang namanya tercantum di dalam akta bahwa benar-benar sudah menerangkan dan benar pula apa yang sudah diterangkan. Kebenaran akta bukanlah suatu hal yang mutlak, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. 3 macam pembuktian yakni formil, materiil dan keluar
Mengenai kekuatan pembuktian akta di bawah tangan bahwa dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan tanpa minta bantuan pegawai umum. Dalam akta yang demikian apabila dipakai untuk membuktikan terdapat kemungkinan tulisan atau tandatangan yang tercantum diakui atau disangkal kebenarannya. Apabila akta di bawah tangan diakui kebenarannya oleh para pihak yang bersangkutan, maka mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik yakni sebagai bukti yang sempurna, tidak memerlukan lagi bukti-bukti yang lain. Sebaliknya apabila akta di bawah tangan disangkal oleh salah satu pihak, maka berdasarkan ketentuan pasal 1878 KUHPer, hakim harus memerintahkan supaya dari tulisan atau tandatangan tersebut diperiksa di muka pengadilan, hal itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa-apa, sebab akan diragukan kebenarannya. Kedudukannya sebagai bukti permulaan.
b.      Saksi
Kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bersangkutan, bukan salah satu pihak yang berperkara. Kekuatan pembuktian nya bebas.
c.       Persangkaan
Bukti sementara dan bersifat alat bukti tidak langsung, bukan alat bukti yang berdiri sendiri. Kesimpulan yang ditarik oleh hakim atau UU ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata kearah peristiwa lain yang belum terang keadaannya. Karena melalui perantaraan alat bukti itulah, maka persangkaan-persangkaan disebut sebagai bukti tidak langsung. Berbeda dengan persangkaan UU, pada persangkaan yang diatrik oleh hakim merupakan alat bukti bebas, oleh karenanya persangkaan-persangkaan macam ini diserahkan pertimbangan dan kewaspadaan nya kepada hakim. Dalam melaksanakan persangkaan-persangkaan hakim sewaktu menarik kesimpulan tidak boleh memperhatikan persangkaan lain, di sini yang penting hakim itu teliti dan tertentu, serta sesuai satu dengan yang lain nya (pasal 1922 KUHPer)

d.      Pengakuan
Pengakuan dapat diberikan di dalam maupun di luar persidangan, tertulis maupun lisan, membenarkan seluruh maupun sebagian. Dalam pasal 176 H.I.R itu menunjukkan bahwa pengakuan yang diberi tergugat terdapat tiga macam: yakni pengakuan yang sesungguhnya, pengakuan dengan kwalifikasi, pengakuan dengan klausula. Kekuatan pembuktian pengakuan di dalam persidangan adalah sempurna dan menentukan bahwa jelas dalam suatu perkara pengakuan dapat dilakukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya menjadi bukti yang kuat untuk mengalahkan pihak yang bersangkutan, dilakukan di hadapan hakim di dalam persidangan.
e.       Sumpah
Sumpah Supletoir/pelengkap ada bukti permulaan atau alat bukti lain, diperintahkan oleh hakim, tidak dapat dikembalikan oleh lawan, kekuatan pembuktiannya sempurna. Sumpah ini dimaksudkan untuk melengkapi pembuktian dalam suatu perkar. Berhubung sangat menetukan dalam menyelesaikan perkara, maka sumpah pelengkap sebagai alat bukti yang sempurna.
Sumpah Decisoir
Sama sekali tidak ada bukti lain, dibebakan oleh salah satu pihak kepada pihak lawan, dapat dikembalikan, kekuatan pembuktiannya menentukan.
ALAT BUKTI LAIN
f.       Pemeriksaan Setempat
Latar belakang timbulnya pemeriksaan setempat adalah sehubungan dengan sulitnya pihak berperkara membawa objek sengketa atau barang sengketa ke muka persidangan untuk diperlihatkan kepada hakim. Untuk barang bergerak, tidaklah sulit pihak berperkara membawanya ke muka persidangan, tetapi untuk barang tidak bergerak tidak mungkin dapat diperlihatkan di persidangan. Berhubung pemeriksaan setempat tidak ada pengaturan nya dalam UU, tetapi hal tersebut dalam praktek di pengadilan dijadiakn alat bukti, maka kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim yakni bebas.
g.      Pengetahuan Hakim
Pengetahuan yang diperoleh hakim selama pemeriksaan sidang. Di luar persidangan termasuk pengetahuan akan tetapi merupakan pengetahuan hakim secara pribadi, bukan karena jabatannya. Tidak dapat diangkat sebagai bukti dalam pertimbangan putusan. Seangkan yang diperoleh dari persidangan yakni akta perkawinan, saksi yang tidak membubuhkan tanda tangan nya.
Jadi dalam pengetahuan hakim penekanannya terletak pada pa yang telah dilihat oleh hakim. Pada pemeriksaan setempat yang dilihat hakim terbatas kepada barang sengketa saja, sedangkan pada pengetahuan hakim lebih luas dari itu karena diperoleh selama dalam persidangan. Maka kekuatan pembuktian nya diserahkan kepada hakim.
h.      Bukti saksi ahli
Hakim menggunakan keterangan ahli agar memperoleh keterangan yang lebih mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu. Dasar hukum 154 HIR/181 RBg/215 RV, hakim atau para pihak dapat mengajukan saksi ahli. Kekuatan pembuktiannya bebas.







DAFTAR PUSTAKA
Andi Tahir Hamid, 1994.Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidang nya.Jakarta:Sinar Grafika
Gatot Supramono,1993.Hukum Pembuktian Di Peradilan Agama.Bandung:Penerbit Alumni
Roihan A.Rasyid, 1990.Hukum Acara Peradilan Agama.Jakarta:RajawaliPers
Yahya Harahap, 2005.Hukum Perdata.Jakarta:Sinar Grafika


Tidak ada komentar:

Posting Komentar