Jumat, 09 Januari 2015

RESUME HUKUM PAJAK

PERADILAN ADMINISTRASI DI BIDANG PAJAK

Hukum pajak dapat dibedakan menjadi:
1.        Hukum administrasi
Hukum administrasi umumnya berupa sanksi administrasi, baik berupa bunga, denda, tambahan pokok pajak, maupun kenaikan dan dijatuhkan oleh fiskus. Hukum administrasi umumnya berkaitan dengan masalah-masalah ketidaktaatan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban, seperti tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT tetapi tidak benar dan tidak lengkap, yang dikarenakan alpa, dan lain-lain.
2.        Hukum pidana
Hukum pidana dapat berupa denda pidana maupun hukuman penjara dan dijatuhkan oleh hakim. Hukum pidana umumnya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan, seperti sengaja tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, dan lain-lain.

A.      UNSUR-UNSUR PERADILAN
Unsur-unsur yang diperlukan supaya dapat dikatakan adanya suatu peradilan (biasa) adalah:
a.         Adanya suatu hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan;
b.        Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit;
c.         Adanya sekurang-kurangnya dua pihak;
d.        Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.
Agar suatu peradilan dapat merupakan suatu peradilan administrasi, maka di samping unsur-unsur tersebut di atas dipenuhi, harus ada unsur-unsur lainnya, yakni:
a.         Bahwa salah satu pihak yang berselisih harus administrasi yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya;
b.        Diberlakukannya "Hukum Publik" atau Hukum Administrasi terhadap persoalan yang diajukan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka terhadap persoalan onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan penguasa yang melanggar hukum) tidak termasuk wewenang Peradilan Administrasi karena hakim menerapkan ketentuan hukum perdata dan bukan ketentuan hukum publik.
Unsur-unsur yang menentukan bahwa suatu perselisihan termasuk wewenang peradilan Administrasi Pajak ialah sifat dan pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya. Di sini yang menjadi pihak ialah pemerintah, khusus dalam kualitasnya sebagai pemungut pajak (fiskus) dan pihak lain adalah rakyat selaku wajib pajak.
Peradilan administrasi pajak yaitu peradilan yang menyelesaikan semua macam dan semua bentuk perselisihan mengenai pajak-pajak. Sebagaimana diketahui bahwa peradilan adminis­trasi dapat dibagi atas:
1.        Peradilan Administrasi Murni; dan
2.        Peradilan Administrasi tak Murni

Peradilan administrasi murni
Peradilan administrasi murni adalah peradilan yang melibatkan tiga pihak, yaitu Wajib Pajak Fiskus, dan Hakim yang mengadili. Wajib Pajak dan Fiskus adalah pihak yang bersengketa, sedangkan Hakim atau Majelis Hakim adalah pihak yang akan memutuskan sengketa tersebut.
Contoh peradilan administrasi dapat dilihat dalam yang diatur dalam pengajuan banding yang diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.


Peradilan Administrasi Tidak Murni
Peradilan administrasi ini disebut peradilan administrasi tidak murni karena dalam peradilan administrasi ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu pihak Pajak dan pihak fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang bersangkutan.
Contoh peradilan administrasi tidak murni dapat dilihat dalam pengajuan keberatan yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 Undang-undang No. 6 lahun 1983 sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Wajib Pajak mengajukan keberatan (doleansi) karena adanya perselisihan mengenai besarnya jumiah utang pajak, karenanya ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu:
1.        Terhadap surat keberatan yang masuk harus diambil keputusan.
2.        Pihak yang rnengambil keputusan adalah aparatur pajak (Dirjen Pajak, Kakanwil Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan kewenangan masing-masing) yang disebut sebagai hakim doleansi.
Rochmat Soemitro dalam disertasinya yang berjudul "Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak" memasukan peradilan doleansi ke dalam kategori peradilan semu atau peradilan kuasi.
Peradilan Administrasi Murni : ialah suatu peradilan administrasi yang memenuhi syarat-syarat seperti yang diuraikan di atas yang menyerupai peradilan yang dilakukan oleh pcngadilan biasa. Ciri-ciri yang khas untuk suatu pcradilan yang murni ialah adanya suatu hubungan segi tiga antara para pihak dan badan ataii pejabat yang mengadili. Badan atau pejabat yang mengadili perkara ini merupakan badan atau pejabat "tertentu" atau "terpisah".
Tertentu artinya bahwa badan atau pejabat itu ditentukan oleh undang-undang atau peraturan lain yang mempunyai tingkatan sama dengan suatu undang-undang dan diberi wewe­nang untuk mengadili perselisihan administrasi, seperti peradilan pajak clitingkat banding yang dilakukan oleh Badcin Penyelesaian Scngketa Pajak.
Terpisah artinya bahwa badan atau pejabat yang melakukan peradilan itu tidak merupakan bagian dari salah satu pihak atau termasuk di bawah pengaruh salah satu pihak sehingga badan atau pejabat yang mengadili perkara itu berada di atas para pihak. Peradilan Administrasi Tidak Murni : ialah per­adilan yang tidak sepenuhnya memenuhi syarat-syarat peradilan administrasi murni seperti tersebut di atas, umpamanya karena tidak nyata terdapat perselisihan, atau karena mengadakan peradilan termasuk peradilan administrasi tidak murni adalah peradilan atau penyelesaian perselisihan pajak atas "keberatan" yang diajukan wajib pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan oleh kepala inspeksi pajak berkenaan dengan besarnya jumlah pajak yang harus dilunasi oleh wajib pajak yang bersangkutan. Dalam penyelesaian keberatan tersebut, maka yang berwenang untuk memutuskan adalah Direktur Jenderal Pajak. Antara pihak Direktur Jenderal Pajak dengan pihak atau pejabat yang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak yang dibantah oleh wajib pajak sebenarnya termasuk dalam bagian salah satu pihak atau termasuk pengaruh salah satu pihak, sehingga peradilan ini lazim disebut Peradilan Semu.

B.       PEMASUKAN SURAT KEBERATAN
Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini WP dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak rnelalui KPP di mana Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar.
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu:
a.         Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
b.        Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
c.         Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
d.        Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
e.         Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga
Pihak yang dapat mengajukan keberatan adalah:
a.         Bagi WP Badan oleh Pengurus
b.        Bagi WP Orang Pribadi oleh WP yang bersangkutan
c.         Pihak yang dipotong/dipungut oleh pihak ketiga
d.        Kuasa yang ditunjuk oleh mereka pada butir a s.d c di atas dengan surat kuasa khusus untuk pengajuan keberatan
Syarat-syarat mengajukan keberatan:
a.         Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat WP terdaftar.
b.        Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut, perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan.
c.         Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan sebelum surat keberatan disampaikan.
d.        Jika Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguhkan sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan surat keputusan keberatan.
e.         Jika Wajib Pajak mengajukan banding atas putusan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguhkan sampai dengan satu bulan sejak tanggal penertan surat keputusan banding.
f.         Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak.


Jangka waktu pengajuan keberatan:
a.         Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal pengiriman SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
b.        Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal pengiriman SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
c.         Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan pos tercatat), maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal pengiriman SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
Hal-hal yang Dapat Dimintakan Oleh Wajib Pajak Dalam Hal Pengajuan Keberatan
Untuk keperluan pengajuan keberatan, WP dapat meminta penjelasan/keterangan tambahan dan kepala KPP wajib memberikan penjelasan secara tertulis tentang hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi atau pemotongan, atau penumgutan pajak.
Keputusan atas surat keberatan
a.         Kepala KPP atau Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Jenderal Pajak harus sudah memberikan keputusan atas surat keberatan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan Kepala KPP atau Kepala Kantor Wilayah atau Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap diterima.
b.        WP yang mengajukan keberatan tetapi tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan maka Kepala KPP akan memberikan jawaban tertulis dengan surat biasa (bukan surat keputusan penolakan) selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak jangka waktu pengajuan keberatan berakhir. Apabila surat keberatan diajukan setelah batas waktu pengajuan, maka jawaban akan diberikan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak surat keberatan tersebut diterima.
c.         Sebelum surat keputusan diterbitkan, WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
d.        Keputusan keberatan dapat berupa dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, ditolak, dan menambah jumlah pajak. Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, maka WP dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

Sanksi Administrasi
a.         Jika keberatan ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
b.        Dalam Hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi yang dimaksud di atas tidak dikenakan.
c.         Jika permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Surat Keberatan ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak, misalnya Pajak Penghasilan tahun pajak 1985 dan 1986. Keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Penghasilan tahun 1985 dan tahun 1986 tersebut, harus diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak terscbut harus diajukan dua buah Surat Keberatan.
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak atau SKP sebagaimana ditentukan dalam pasal 25 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan maksud supaya wajib pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberat­an beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak, karena keadaan di luar kekuasaan wajib pajak (force majeure), maka tenggang waktu selama waktu tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Tanda bukti/resi penerimaan surat keberatan diberikan oleh pejabat Direktur Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
Tanda bukti/resi penerimaan tersebut oleh wajib pajak dapat juga digunakan sebagai alat kontrol baginya untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas bulan itu berakhir, mengingat oleh karena dalam jangka waktu dua belas bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, maka Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.
Pengajuan Surat Keberatan itu tidak menghalangi aparatur pajak untuk melakukan tindakan penagihan. Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar wajib pajak dengan dalih mengajukan keberatan, tidak melakukan kewajibannya untuk membayar pajak yang telah ditetapkan, atau wajib pajak berusaha melakukan penghindaran pajak pada saat mengajukan keberatan.

C.      ISI SURAT KEBERATAN
Undang-undang Pajak menentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi tentang isi Surat Keberatan. Meskipun undang-undang tidak memberikan perincian secara tersurat, namun kalau diteliti lebih jauh maka tampak tersirat 5 (lima) hal yang merupakan syarat minimum yaitu:
a.         Pernyataan bahwa wajib pajak merasa keberatan terhadap ketetapan pajak;
b.        Jenis Pajaknya;
c.         Tahun Pajak;
d.        Nomor Pokok Wajib Pajak;
e.         Nama dan tanda tangan wajib pajak;
Pada lazimnya Surat Keberatan itu memuat alasan-alasan mengapa seorang wajib pajak keberatan terhadap ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya. Namun alasan ini bukan merupakan syarat mutlak untuk sahnya Surat Keberatan. Meskipun demikian sebaiknya wajib pajak mengajukan alasan-alasan guna meyakinkan pejabat yang akan memberikan keputusan atas keberatan itu.
Surat Keberatan yang tidak disertai alasan adalah lemah, karena itu besar kemungkinannya bahwa keberatan itu ditolak. Alasan yang diberi undang-undang pajak terhadap wajib pajak yang ingin mengajukan keberatannya adalah berkisar pada Dasar-dasar pengenaan pajak yang telah ditetapkan oleh Kantor Pelayanan Pajak setempat. Sebagai contoh: Pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000. Berdasarkan ketentuan pasal 4 dari undang-undang ini maka penghasilan seseorang dapat dikelompokkan menjadi empat macam sumber penghasilan yang terdiri dari:
1.        Penghasilan dari pekerjaan;
2.        Penghasilan dari kegiatan usaha;
3.        Penghasilan dari modal, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak;
4.        Penghasilan lain-lain.
Keempat penghasilan di atas menjadi obyek pengenaan pajak penghasilan bagi wajib pajak tertentu. Wajib pajak sebelum ditetapkan pajaknya berkewajiban untuk memasukkan Surat Pemberitahuan.
Dalam surat pemberitahuan tersebut wajib pajak berkewajib­an memasukkan seluruh jenis sumber penghasilannya. Akan tetapi karena ketidakjujuran wajib pajak, hal ini tidak dilakukan. Dalam hal demikian fiskus tidak terikat dengan Surat Pemberi­tahuan itu, dan fiskus berwenang melakukan penilaian atas Surat Pemberitahuan tersebut. Wewenang untuk mengadakan penilaian ini berarti Direktorat Pajak (fiskus) dapat menyimpang dari surat pemberitahuan wajib pajak. Penyimpangan ini berarti dasar pengenaan pajak ditetapkan secara sepihak oleh Direktorat Pajak dan tidak didasarkan atas surat pemberitahuan dari wajib pajak. Pengenaan pajak secara sepihak yang dilakukan oleh Direktorat Pajak dapat digunakan oleh wajib pajak sebagai alasan keberatan. Dan bila wajib pajak rnengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak maka ketidakbenaran penetapan pajak secara sepihak tadi harus dibuktikan oleh wajib pajak.
Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikannya, maka Surat Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak Kewenangan penyelesaiannya dalam tingkat pertama diberikan pada Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan keputusannya.

D.      KEPUTUSAN ATAS SURAT KEBERATAN
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan wajib pajak dapat berupa:
1.        Menerima seluruhnya atau sebagian;
2.        Menolak seluruhnya keberatan.
Bila Surat Keberatan itu diterima/dikabulkan seluruhnya, maka tidak perlu diberikan alasan, cukup dinyatakan didalamnya bahwa keberatan si pemohon dapat diterima dan karena itu pajak dikurangkan.
Bila Surat Keberatan itu ditolak seluruhnya, berarti wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak secara jabatan yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Penolakan keberatan ini dapat berakibat bahwa jumlah utang pajak ada kemungkinannya bertambah, ataupun tetap jumlahnya.
            Wajib Pajak yang belum merasa puas terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya itu, dapat rnengajukan "banding" kepada Badan Penyelesaian Srngketa Pajak (BPSP) di Jakarta.
           
E.       BANDING KE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK (BPSP)
Bilamana Wajib Pajak tidak puas Surat Keberatannya yang ditolak oleh Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak masih diberi­kan kesempatan untuk memperoleh keadilan dengan cara rnengajukan "banding" pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) seperti halnya dengan Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang tempat kedudukannya hanya ada di Ibukota Ne­gara, maka BPSP untuk pertama kali dibentuk di Ibu kota Negara berdasarkan pasal 3 UU No. 17 Tahun 1997.
Sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 17 Tahun  1997, bahwa BPSP adalah Badan Peradilan Pajak yang mempunyai tugas memeriksa dan me-mutus sengketa pajak berupa:
a.         banding terhadap keputusan yang berwenang;
b.        gugatan terhadap pelaksana peraturan per Undang-undangan Perpajakan di bidang penagihan.
Pembentukan BPSP adalah perintah pasal 27 UU. No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000. Pasal 27 ini menegaskan bahwa Wajib Pajak dapat rnengajukan ban­ding hanya kepada Badan Peradilan Pajak. Keputusan Badan Peradilan Pajak ini adalah keputusan akhir dan bersifat tetap, dan keputusannya bukan keputusan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu keputusannya tidak bisa diajukan Kasasi maupun peninjauan kembali (herzening). BPSP tidak berpuncak pada Mahkamah Agung RI.
Banding
Dasar Hukum
Berdasarkan undang-undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Tugas  Pengadilan adalah memutuskan Sengketa Pajak.

F.       PERSIAPAN PERSIDANGAN
Setiap banding atau gugatan yang masuk ke BPSP akan diteliti terlebih dahulu oleh sekretaris BPSP. Penelitian itu menyangkut mengenai identitas para pihak, alamat mereka masing-masing dan jangka waktu pengajuan banding atau gugatan. Selanjutnya penelitian dilanjutkan mengenai segi-segi formal elementer seperti: apakah banding atau gugatan itu memang wewenang BPSP, apakah salinan Surat Keputusan yang dibanding atau digugat itu sudah dilampirkan. Kemudian hasil pene­litian tersebut dibuat laporan yang kemudian disampaikan ke­pada ketua BPSP untuk penetapan acara pemeriksaannya. Apabila Ketua BPSP berpendapat bahwa Surat Banding atau gugatan harus diperiksa melalui Acara Biasa maka ia menunjuk Majelis yang terdiri dari 1 (satu) Hakim Ketua Majelis dan 2 (dua) Hakim Anggota Majelis.
Sebelum persidangan dimulai, Sekertaris BPSP meminta surat uraian banding atau surat tanggapan atas surat banding atau surat gugatan kepada terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima surat ban­ding atau surat gugatan. Kepada terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima surat banding atau surat gugatan. Terbanding atau tergugat menyerahkan surat uraian banding atau surat tanggapan kepada BPSP dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirimi permintaan surat uraian banding atau surat tanggapan. Salinan uraian ban­ding atau surat tanggapan oleh BPSP dikirim kepada pemohon banding atau penggugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima. Pemohon banding atau penggugat dapat menyerahkan surat bantahan kepada BPSP dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima salinan surat uraian banding atau surat tanggapan.

G.      PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG
Menurut pasal 47 UU No. 17 Tahun 1997, Majelis Hakim sudah mulai bersidang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan se­jak langgal diterima surat banding atau surat gugatan. Sidang Pengadilan tertutup untuk umum. Tujuannya adalah untuk melindungi kerahasiaan pemohon banding atau penggugat. Pemeriksaan selanjutnya Hakim memberikan kesempatan kepada kedua pihak untuk mengajukan saksi-saksi sesuai ketentuan yang berlaku bagi saksi yang memenuhi syarat. Dalam persidang­an para pihak masing-masing mengajukan alat-alat bukti guna mendukung dalil-dalil mereka. Apabila semua yang diperlukan oleh Majelis dalam mengadili sengketa tersebut sudah dianggap cukup oleh Majelis Hukum maka sidang akan diakhiri dan ditutup oleh Ketua Majelis untuk dilanjutkan dengan rapat permusyawaratan guna mengambil putusan mengenai sengketa yang bersangkutan. Rapat permusyawaratan ini dipimpin oleh Hakim Ketua dan dihadiri oleh para anggota Majelis dan Sekretaris Sidang yang ikut bersidang. Putusan BPSP harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 84). Putusan BPSP berkepala "Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

H.      BENTUK PUTUSAN HUKUM
Di dalam pasal 79 ayat (1) ditentukan adanya 5 (lima) ben-tuk putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), yakni:
a.         menolak;
b.        mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
c.         menambah pajak yang harus dibayar;
d.        tidak dapat diterima;
e.         membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung.
Sebagai konsekuensi bahwa putusan BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi wajib pajak atau penanggung pajak dan putusan tidak dapat digugat ke Pengadilan Umum ke Peng­adilan Tata Usaha Negara (PTUN) maka putusan BPSP langsung dapat dilaksanakan, kecuali putusan dimaksud menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. Didalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) masih harus menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang diperlukan pembayar pajak untuk dapat memperoleh kelebihan pajak. Kelebihan pembayar­an pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan.
Salinan putusan BPSP dikirim kepada para pihak dengan surat oleh sekretaris dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal putusan BPSP diucapkan. Putusan BPSP harus dilaksa­nakan oleh Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterima putusan. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan BPSP dalam jangka waktu tersebut diatas dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.


KREDITUR LUAR NEGERI
VERSUS PERPAJAKAN

Kreditur Luar Negeri adalah suatu antisipasi terhadap perpajakan yang mendatang dan sudah barang tentu akan dibayar oleh generasi yang akan datang, dalam bentuk pembayaran pajak yang tertunda. Oleh karenanya kami menganggap perlu untuk membahas Kredit Luar Negeri ini dalam bab tersendiri.
Hampir seluruh negara sedang berkembang masih menggantungkan pada Kredit Luar Negeri sebagai faktor penunjang dalam mempercepat proses pembangunan ekonomi negara tersebut. Tampaknya Kredit Luar Negeri sebagai pilihan utama dalam mengejar ketinggalan mereka dalam bidang ekonomi, meskipun Kredit Luar Negeri bukanlah satu-satunya pilihan dalam memacu pembangunan karena masih ada jalan yang bisa ditempuh tanpa Kredit Luar Negeri seperti pembebanan pajak yang sangat memberatkan warganya untuk jangka waktu yang agak lama dan memaksa rakyat hidup dengan sangat hemat. Cara ini digunakan oleh negara sosialis seperti Rusia dalam tiga puluhan.
Sejak Pemerintahan Republik Indonesia mencanangkan Rencana Lima Tahun di bidang Ekonomi, maka Pemerintah menyadari bahwa jalan yang paling tepat dalam memacu pembangunan adalah bahwa pinjaman luar negeri mutlak dijadikan sebagai………..
Dan ini mudah menimbulkan persoalan terhadap eksistensi modal asing tersebut.
Yang penting bagi negara-negara yang menerima pinjaman atau kredit luar negeri adalah memanfaatkan secara produktif mungkini sehingga pinjaman itu dapat meningkatkan pendapatan nasional dan kesejahteraan rakyat, dan pinjaman itu diusahakan pelunasannya dalam waktu yang singkat, minimal dalam jangka waktu, yang paling sedikit sama dengan jangka waktu menurutnya nilai obyek-obyek yang dibiayai dengan pinjaman, dan tidak perlu terjadi semacam ketergantungan yang berlanjut, karena dapat membawa akibat berupa tekanan yang berat bagi generasi yang akan datang.


PERADILAN PIDANA PAJAK

A.           HUBUNGAN PAJAK DENGAN HUKUM P1DANA
Pajak termasuk Hukum Publik dan ini adalah sebagian dan tata tertib hukum yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyat/warganya mengenai hak dan kewajiban. Hukum Pajak dalam hubungannya dengan Hukum Perdata (KUHP) dapat terlihat dalam pasal 103 KUH Pidana yang berbunyi:
"Ketentuan dari delapan Bab yang pertama dari Buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan-peraturan lain, kecuali kalau ada undang-undang (Wet) atau ordonansi menentukan peraturan lain".
Ketentuan pasal 103 KUH Pidana ini menunjukkan bahwa yang dimuat dalam buku I KUHP, mulai dari Bab I s/d (pasal 1 s/ d 85), selain berlaku untuk hal-hal yang disebut dalam KUH Pidana, berlaku juga untuk menerangkan hal-hal yang disebut dalam undang-undang atau peraturan lain kecuali ditentukan lain. Perkataan undang-undang lain dalam pasal 103 KUHP ini, menunjukkan juga termasuk ketentuan-ketentuan yang dalam un­dang-undang pajak diancam baik sebagai kejahatan maupun pelanggaran yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dapat dipidana sesuai dengan KUH pidana. Ancaman pidana terhadap tindak pidana pajak dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan pada pasal 38, 39,40 dan 41. Tindak pidana di bidang pajak dapat dibedakan dalam:
a.         pelanggaran, dan
b.        kejahatan.
Pelanggaran ialah tindak pidana yang terjadi tidak dengan sengaja atau terjadi karena kealpaan atau kekhilapan seperti karena kealpaan tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) atau sudah mengisi SPT akan tetapi karena kealpaan sehingga isinya tidak benar atau tidak lengkap.
Sanksi yang diancam terhadap pelanggaran di bidang pajak lebih ringan daripada kejahatan. Untuk pelanggaran seperti yang disebut di atas dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun dan/atau denda setinggi-tingginya dua kali jumlah pajak yang terutang.
Kejahatan ialah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Wajib pajak tahu bahwa perbuatannya itu tidak sesuai bahkan bertentangan dengan undang-undang tetapi tetap dilakukan de­ngan maksud upaya membayar pajak lebih ringan, atau untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya, yang merugikan negara. Perbuatan-perbuatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan dalam hukum pajak ialah:
a.         Dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau menggunakan NPWP tanpa hak untuk maksud-maksud tertentu;
b.        Dengan sengaja menyampaikan surat pemberitahuan, sedangkan ia tahu bahwa surat pemberitahuan harus dikembalikan kepada Kantor Inspeksi Pajak yang bersangkutan setelah diisi sebagaimana mestinya dan ditandatangani;
c.         Dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan dengan mengisi secara tidak benar atau tidak lengkap, dengan mendapatkan keuntungan dari itu;
d.        Dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, catatan atau dokumen yang palsu atau dipalsukan dan dengan perbuatan itu mengelabui petugas pajak;
e.         Dengan sengaja tidak memperlihatkan dan/atau tidak mau meminjamkan pembukuan, catatan dan dokumen yang diperlukan oleh petugas pajak untuk menentukan jumlah pajak yang terutang sebenarnya;
f.         Dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut bagi orang atau badan yang ditunjuk oleh Undang-undang Pajak, seperti, ketentuan pasal 21, 22, 23 dan 26 Undang-undang Pajak Penghasilan.
Kejahatan tersebut di atas diancam dengan sanksi pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling tinggi empat kali jumlah pajak yang terutang. Kata "dan/atau" berarti bahwa Hakim mernpunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi kumulatif, artinya disamping sanksi penjara atau kurungan masih dapat juga dijatuhi hukuman denda, dengan mengingat batas maksimum yang ditentukan dalam undang-undang. Denda pidana berbeda dengan denda administratif. Denda administratif dijatuhkan oleh administrasi pajak, sedangkan denda pidana adalah wewenang Hukum Pidana. Wajib pajak yang dikenakan denda pidana oleh Hakim Pidana, masih terbuka kemungkinan untuk dikenakan denda administrasi oleh administrasi pajak. Namun ini adalah wewenang Menteri Keuangan apakah masih perlu atau tidak, Menteri Keuangan yang kewenangannya dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak dapat menganggap lebih bijaksana untuk tidak mengenakan denda administrasi dengan alasan bahwa wajib pajak sudah dipidana.
Ancaman sanksi pidana untuk tindak pidana kejahatan yang dilakukan dalam bidang perpajakan dilipatkan dua kali (200 %) apabila wajib pajak melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lew at waktu satu tahun terhitung sejak waktu pajak selesai menjalani pidana penjara.
Tindak pidana di bidang perpajakan mempunyai masa daluwarsa, jika telah lampau waktu sepuluh tahun dihitung sejak saat terutangnya pajak (pada akhir tahun). Berlainan dengan daluwarsa dari hak untuk menagih utang pajak seperti yang diatur dalam pasal 22 Undang-unclang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang daluwarsanya setelah lampau waktu lima tahun dihitung dari saat terutang pajak.

B.            SUBYEK TINDAK PIDANA PAJAK.
Subyek berarti siapa-siapa yang dapat dikenakan sanksi atas perbuatan yang dilakukan di bidang perpajakan. Dalam Undang-undang Pajak, disamping wajib pajak maka yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah pejabat pajak sendiri. Bila aparat pajak telah membocorkan rahasia jabatan, seperti memberitahukan penghasilan atau kekayaan seorang wajib pajak kepada pihak lain sehingga wajib pajak tersebut merasa dirugikan, maka ia dapat mengadukannya kepada yang berwajib. Pembocoran rahasia jabatan ini rnerupakan delik aduan (klacht delict) artinya baru akan diadakan penuntutan oleh Jaksa apabila ada pengaduan dari pihak wajib pajak yang merasa kerahasiaannya mengenai kekayaan maupun penghasilan dilanggar oleh pejabat pajak (fiskus). Ancaman pida­na bagi pelanggaran rahasia jabatan ini hukumannya paling lama satu tahun dan/atau denda uang paling tinggi Rp 4.000.000,-(empat juta rupiah).
Ancaman pidana bagi petugas/aparat pajak banyak diatur dalam KUH Pidana. Sebagai contoh dapat dikemukakan soal "penyuapan" kepada pejabat pajak sehingga merugikan negara.
Perbuatan demikian diancam pidana seperti yang diatur dalam pasal 209 KUHP. jo pasal 418 KUHP. Hal lain adalah soal "pemerasan" yang dilakukan oleh petugas pajak yang diancam pidana seperti yang diatur dalam pasal 423 KUHP. Juga mengenai pemalsuan materai dan pemalsuan surat Ketetapan Pajak diancam dengan pidana pasal 253 dan 263 KUHP.

C.           PENYIDIKAN
Pada pasal 44 Undang-undang Nomor Ketentuan Umum perpajakan ditegaskan bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberikan wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 pada pasal 6 ayat 1 (b) ditentukan "penyidikan adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang". Wewenang penyidik di bidang perpajakan adalah:
a.              Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
b.             Melakukan penelitian terhadap orang yang diduga mela­kukan tindak pidana di bidang perpajakan.
c.              Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perpa­jakan.
d.             Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perpajakan.
e.              Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyi­dikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Penyidikan sebagaimana yang diatur dalam pasal 44 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) harus memberitahukan dimulainya penyi­dikan dan penyampaian hasil penyidikannya kepada penuntut umum (JAKSA), sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara Pidana.
Penyidik di bidang pajak adalah pegawai yang khusus ditunjuk oleh Menteri Keuangan R.I. untuk melakukan tugas-tugas penyi­dikan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perpajak­an. Penyidikan pajak dapat mendatangi wajib pajak sepanjang untuk mengadakan pemeriksaan-pemeriksaan pembukuan/dokumen-dokumen. Penyidik harus bertugas aktif dan dapat meminta wajib pajak memberikan penjelasan-penjelasan dari bahan-bahan yang diketemukan para penyidik.
Tugas penyidik pajak merupakan tugas khusus di sektor bisnis karena mencari data yang memberi petunjuk apakah seseorang wajib pajak sudah membayar pajak secara penuh atau belum.
Penyidik dalam menjalankan tugasnya dapat melaksanakannya baik secara formal maupun secara informal. Penyidikan secara formal dilakukan melalui penelitian-penelitian pembukuan dan dokumen-dokumen, sedangkan penyidikan secara informal dilakukan dengan meneliti informasi-informasi yang masuk pada Kantor Pajak, termasuk informasi yang diberikan masyarakat dan mass media.
Sebaliknya para penyidik dapat dikenakan sanksi pidana jika diketahui melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam melaksanakan tugasnya.
Yang menjadi persoalan sekarang apakah penyidik petugas pajak memiliki wewenang seperti yang tercantum dalam pasal 7 KUHAP 1981 yakni apakah penyidik pajak dapat melakukan: penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Kewenangan menyidik pajak hanya terbatas pada wewenang yang terdapat pada pasal 44 tersebut di atas, sehingga penyidik pajak dibatasi tugasnya sebagaimana pada pasal 44 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Dengan berpedoman pada pasal 44 ayat 2 ini, maka penyi­dik pajak tidak boleh melakukan penahanan maupun penangkap­an terhadap wajib pajak.
Dalam Ilmu Hukum dikenal adanya prinsip lex specialis derogat lex generalis. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 ini berlaku sebagai hukum khusus menyampingkan hukum umum, dalam hal ini Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidik hanya diberikan wewenang untuk memasuki segala tempat untuk melakukan pemeriksaan dalam mencari data dan bukti-bukti tentang adanya tindak pidana.

D.           PENUNTUTAN
Penuntutan dilakukan oleh penuntut umum terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik pejabat pajak segera mempelajari berkas dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahu kepada penyidik apakah hasil penyidik itu sudah lengkap, Jaksa menentukan apakah perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan.
Penuntut umum melimpahkan perkara kepada pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaannya.
Surat dakwaan memuat data yang lengkap mengenai nama lengkap, tempat lahir, umur, jenis kelamin, kebangsaan, agama, tempat tinggal serta pekerjaan si tersangka, dan pula memberi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat dilakukan tindak pidana.
Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasehat hukumnya dan pula kepada penyidik pada saat yang bersamaan dengan pelimpahan perkara kepada pengadilan negeri.
Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya.
Perubahan surat dakwaan hanya dapat dilakukan satu kali saja, selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari sidang dimulai.
Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasehat hukumnya dan penyidik.

E.            PUTUSAN HAKIM
Perkara disidangkan dalam sidang, dan terdakwa dipanggil untuk hadir dalam sidang, demikian juga para saksi yang akan didengar dipanggil secara tertulis.
Sebelum memberi keterangan, para saksi wajib mengucapkan sumpah menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya.
Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa. Alat bukti yang diajukan oleh terdakwa atau pihak lain diperiksa, dan keterangan ahli bila perlu didengar.
Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya diputus bebas akan tetapi jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwa­kan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa segera sesudah putusan hakim pidana diucapkan, tentang segala sesuatu yang menjadi haknya terhadap putusan hakim tersebut. Hak-hak terdakwa (Pasal 196 KUHAP) adalah:
a.         Segera diterima;
b.        Segera ditolak;
c.         Minta waktu untuk mempelajari putusan sebelum menerima atau menolak;
d.        Minta penangguhan pelaksanaan untuk memungkinkan ter­dakwa mengajukan permohonan grasi;

DAFTAR PUSTAKA

Arinta, Kustadi. Sistem dan Peraturan Perpajakan Indonesia, Alumni Bandung,    1984.
Atmadja, Koesoemah, RDH. Pengantar Hukum Tula Usaha Negara, Alumni        Bandung, 1975.
Bohari. Pengantar Perpajakan. Ghalia Indonesia, Jakarta 1985.
Barnet, Richard J dan R.E. Muller, Global Reach, Terjemahan Drs. Setiawan         Abadi, MA, LP3S, Jakarta 1984.
Brotodihardjo, Santoso R. Pengantar llmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung 1981.
Djajadiningrat, Isa Sindian. Hukum Pajak Dan Keadilan, Eresco, Bandung 1965.
———, Makna Hukum Fiskal Formil, Sekolah Tinggi llmu Keuangan, Jakarta       1968.
Djojohadilususumo, Soemitro. Trilogi Pembangunan dan Ekonomi Pancasila,        IKPN RI, cetakan pertama, Februari, 1985.
Due, John F. Government Finance, Terjemahan Inskandarsyah dan Arief Yamin,   Yayasan Penerbit Universitas Indonesia 1968.
Eckstein, Otto. Public Finance, Terjemahan St. Dianjung, Bina Aksara, Jakarta      1981.
Gautama, Sudargo. Tafsiran  Undang-undang Pokok Agraria,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar