ANALISIS
JURNAL NASIONAL
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK
DI SEKTOR INFORMAL”
(Studi Kasus Di Kota
Kediri)
Disusun untuk Nilai Tugas Mata Kuliah
Hukum Ketenagakerjaan Kompetensi Dasar 1
Kelas G
Oleh
Johan Pramudya Utama NIM. E0010200
Novi Dharmawati NIM. E0010254
Riska Ega Wardani NIM. E0010308
Pengajar:
Rosita
Candrakirana, S.H., M.H.
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
KATA
PENGANTAR
Pertama-tama, kami mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penyusunan tugas Hukum Ketenagakerjaan yang berjudul “ANALISIS JURNAL
NASIONAL: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK DI SEKTOR
INFORMAL” dapat
kami selesaikan.
Tugas ini di
susun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan
Kompetensi Dasar 1 (KD 1) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kami menyadari
bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh karena
itu kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak sebagai masukan di waktu yang akan datang.
Selesainya tugas
ini tidaklah terlepas dari adanya bimbingan, bantuan dan petunjuk serta saran
dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.
Demikian hal ini
disampaikan secara tertulis, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Surakarta,
September 2012
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………… i
KATA PENGANTAR …………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………. iii
ANALISIS JURNAL NASIONAL “PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP PEKERJA
ANAK DI
SEKTOR
INFORMAL”
(Studi Kasus Di Kota Kediri) ………………………. 1
A.
Definisi Pekerja Anak dan Faktor Penyebab Terjadinya
Pekerja Anak …………………………………………………... 1
B.
Pekerja Anak Di Sektor Informal ……………………………... 3
C.
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Kota Kediri ... 4
D.
Saran …………………………………………………………... 7
E.
Referensi ………………………………………………………. 9
ANALISIS
JURNAL NASIONAL
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK
DI SEKTOR INFORMAL”
(Studi Kasus Di Kota
Kediri)
A. Definisi
Pekerja Anak dan Faktor Penyebab Terjadinya Pekerja Anak
Anak adalah generasi yang akan menjadi penerus bangsa, sehingga mereka
harus di persiapkan dan di arahkan sejak dini agar dapat tumbuh dan berkembang
menjadi anak yang sehat jasmani dan rohani, maju, mandiri dan sejahtera menjadi
sumber
daya yang berkualitas dan dapat mengahadapi tantangan di masa depan. Yang akan
menjadi pilar utama pembangunan nasional, sehingga perlu ditingkatkan
kualitasnya dan mendapatkan perlindungan secara sungguh-sungguh dari semua
elemen masyarakat. Anak merupakan aset bangsa yang mempunyai posisi strategis
dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di masa mendatang. Oleh karena
itu, anak perlu perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik, mental,
sosial secara utuh, serasi, selaras serta seimbang. SDM yang berkualitas tidak dapat lahir secara
alamiah, bila anak dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa perlindungan, maka
mereka akan menjadi beban pembangunan karena akan menjadi generasi yang lemah,
tidak produktif dan tidak kreatif, sedangkan jumlah mereka lebih dari sepertiga
penduduk Indonesia. Salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas penduduk
suatu negara adalah melalui pendidikan.
Namun kenyataanya tidak semua anak mendapatkan hak memperoleh
pendidikan
yang baik. Masih banyak keluarga yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
anak, baik kebutuhan rohani, jasmani, sosial maupun ekonomi. Akibatnya,
sebagian anak usia sekolah masuk dalam kegiatan ekonomi disebut pekerja anak
untuk mendapatkan upah atau untuk membantu orang tua menambah penghasilan
keluarga.
(http://file.upi.edu/Direktori/-FPIPS/
JUR
PEND-GEOGRAFI-NANDI/Artikel-JurnaGEA.pdf-Pekerja-Anak-dan-Permasalahannya.pdf.)
Yang dimaksud dengan pekerja anak meliputi semua anak yang bekerja pada
jenis pekerjaan yang, oleh karena hakikat dari pekerjaan tersebut atau oleh
karena kondisi-kondisi yang menyertai atau melekat pada pekerjaan tersebut
ketika pekerjaan tersebut dilakukan, membahayakan anak, melukai anak (secara
jasmani, emosi dan atau seksual), mengeksploitasi anak, atau membuat anak tidak
mengenyam pendidikan.
Yang dimaksud dengan pekerja anak bukanlah anak yang mengerjakan tugas
kecil di sekitar rumah atau yang mengerjakan pekerjaan dalam jumlah sedikit
sepulang sekolah. Pekerja anak juga tidak mencakup anak yang melakukan pekerjaan yang wajar dilakukan untuk tingkat
perkembangan anak seusianya dan yang memungkinkan si anak memperoleh
keterampilan praktis dan mengembangkan tanggung jawab. Pekerja anak adalah
semua anak yang bekerja pada pekerjaan yang merusak mereka dan karena itu harus
dihentikan. Beberapa bentuk pekerjaan yang diketahui banyak dikerjakan oleh
sejumlah besar pekerja anak (Organisasi Perburuhan Internasional, 2009 : 8) :
•
Pekerjaan di bidang pertanian
•
Pekerjaan rumah tangga
•
Pekerjaan di tambang dan galian
•
Pekerjaan dalam proses manufaktur
•
Perbudakan dan kerja paksa
•
Pekerjaan dalam perekonomian informal
Secara umum, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pekerja
anak, antara lain :
•
Kemiskinan
•
Gagalnya sistem pendidikan
•
Perekonomian informal
•
Rendahnya biaya yang dikeluarkan untuk mempekerjakan anak
• Tidak
adanya organisasi pekerja
• Adat
dan sikap sosial
B. Pekerja
Anak Di Sektor Informal
Istilah sektor informal mulai dikenal dunia di awal tahun 1970’an dari
suatu penelitian ILO di Ghana, Afrika. Sejak saat itu berbagai definisi dan
pengertian dibuat orang. Pengertian yang popular dari pekerjaan informal pada
awalnya adalah sederhana, yakni suatu pekerjaan yang sangat mudah dimasuki,
sejak skala tanpa melamar, tanpa ijin, tanpa kontrak, tanpa formalitas apapun,
menggunakan sumberdaya lokal, baik sebagai buruh ataupun usaha milik sendiri
yang dikelola dan dikerjakan sendiri, ukuran mikro, teknologi seadanya, hingga
yang yang padat karya, teknologi adaptip, dengan modal lumayan dan bangunan
secukupnya. Mereka tidak terorganisir dan tak terlindungi hukum (Hesti, 2007 :
24-25).
Selanjutnya, pengelompokkan definisi formal dan informal
menurut Hendri Saparini dan M. Chatib Basri dari Universitas Indonesia
menyebutkan bahwa tenaga Kerja sektor informal adalah tenaga kerja yang bekerja
pada segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha
tersebut tidak dikenakan pajak. Definisi
lainnya adalah segala jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap,
tempat pekerjaan yang tidak terdapat keamanan kerja (job security), tempat
bekerja yang tidak ada status permanen atas pekerjaan tersebut dan unit usaha
atau lembaga yang tidak berbadan hukum. Sedangkan ciri-ciri kegiatan-kegiatan informal
adalah mudah masuk, artinya setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha
informal ini, bersandar pada sumber daya lokal, biasanya usaha milik keluarga,
operasi skala kecil, padat karya, keterampilan diperoleh dari luar sistem
formal sekolah dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif. Contoh dari jenis
kegiatan sektor informal antara lain pedagang kaki lima (PKL), becak, penata
parkir, pengamen dan anak jalanan, pedagang pasar, buruh tani dan lainnya.
Pekerjaan informal yang dilakukan anak-anak meliputi beragam
kegiatan. Banyak kegiatan tersebut berlangsung di jalanan dan anak yang disuruh
mengerjakannya hanya dibekali dengan perlengkapan minim, misalnya, pekerjaan
mengangkut beban di tempat konstruksi dan di pembuatan batu bata. Beberapa
jenis pekerjaan informal yang dilakukan anak-anak dapat dianggap sebagai
pekerjaan mencari uang secara mandiri (self-employment),
misalnya menyemir sepatu, mengemis, menarik becak, menjadi kernet angkutan
kota, berjualan koran, menjadi tukang sampah, dan memulung. Pekerjaan informal
lainnya berlangsung di rumah dan karena itu, kurang terlihat oleh umum.
Pekerja anak lebih umum dijumpai di perusahaan-perusahaan
kecil yang tidak terdaftar di sektor informal daripada di tempat kerja yang
lebih besar. Pengawas ketenagakerjaan jarang mengunjungi tempat-tempat kerja
sekecil itu dan di sana tidak ada serikat pekerja/serikat buruh. Di mana ada
perekonomian informal dalam skala yang besar, di situ terjadi pemanfaatan tenaga
anak sebagai buruh dalam skala yang besar pula.
C. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Kota Kediri
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan bagi
tiap-tiap warga negaranya, hal ini juga termasuk perlindungan terhadap hak anak
yang juga merupakan hak asasi manusia. Hal ini juga sejalan dengan dianutnya
konsep Welfare State oleh Indonesia
yaitu konsep yang menghendaki kemakmuran/kesejahteraan bagi warga negaranya.
Maka pemerintah dituntut untuk bersifat aktif dalam rangka mewujudkan tujuan
dari konsep negara Welfare State
tersebut, salah satunya dengan kebijakan-kebijakan yang dapat pemerintah
wujudkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk
memberikan perlindungan hukum bagi warga negara tanpa diskriminasi.
Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk
tindakan atau perbuatan hukum
pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan
hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu
hubungan hukum. Hubungan hukum (rechtbetrekking)
adalah interaksi antar subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau
mempunyai akibat-akibat hukum (timbulnya hak dan
kewajiban).
Upaya untuk mewujudkan pemenuhan dan perlindungan hukum
terhadap hak seseorang untuk memperoleh pekerjaan dan bekerja dilakukan pada
tahun 2003, yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Salah satu aspek yang diatur oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) ini adalah menyangkut
perlindungan hukum terhadap pe-ngupahan, dan kesejahteraan pekerja anak, yang
dicantumkan di dalam ketentuan Pasal 68 sampai dengan ketentuan Pasal 75 UU
Ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 68 menentukan bahwa pengusaha dilarang
mempekerjakan anak. Filosofi larangan anak untuk bekerja atau mempekerjakan
anak sebagaimana diatur di dalam UU Ketenagakerjaan ini sebenarnya erat
kaitannya dengan upaya melindungi hak asasi anak, yang juga dijamin
perlidungannya dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
Ketentuan yang melarang mempekerjakan anak sebagaimana telah diatur di dalam
keten-tuan Pasal 68 UU Ketenagakerjaan, sejalan dengan ketentuan Pasal 52 ayat
(1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menetukan bahwa setiap
anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masya rakat dan negara.
Selanjutnya dalam ayat (2) mengatur mengenai hak anak sebagai hak asasi manusia
dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan
sejak dalam kandungan. Oleh karena itu, secara filosofis larangan mempekerjakan
anak ini semata-mata dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum
terhadap anak demi pengembangan harkat dan martabatnya dalam rangka
mempersiapkan masa depannya.
Anak yang dipekerjakan haruslah diberikan perlindungan
yang khusus dari pemerintah. Karena keadaan anak masih lemah baik secara fisik,
mental maupun sosial. Seorang anak yang terpaksa bekerja adalah bentuk
penelantaran hak anak, karena pada saat bersamaan akan terjadi pengabaian hak
yang harus diterima mereka. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan, bermain,
akses kesehatan dan lain-lain. Keadaan ini menjadikan pekerja anak masuk
kategori yang memerlukan Perlindungan Khusus (Children In Need Of Special Protection) yang menuntut penanganan
serius dari orangtua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait serta
pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Perlindungan Khusus menurut Pasal 1 butir 15
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak yaitu Perlindungan
yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi secara ekonomi
dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, anak
korban penculikan, penjualan, perdagangan anak, anak korban kekerasan fisik dan
atau mental, anak yang menyandang
cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
(UU
Perlindungan Anak)
Perlindungan hukum pekerja anak juga
diwujudkan dalam bentuk pembatasan jenis-jenis atau bentuk-bentuk pekerjaan
yang dilarang untuk dikerjakan anak. Hal
ini dapat dilihat di dalam Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang
Bentuk-bentuk Pekerjaan yang Dilarang Untuk Anak, dan juga Surat Keputusan Menteri
tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-235/MEN/2003 tentang Jenis-jenis
Pekerjaan Yang Membahayakan
Kesehatan, Keselamatan Atau Moral
Anak, yang pada prinsipnya melarang anak untuk bekerja pada jenis-jenis pekerjaan
tertentu.
Perlindungan hukum terhadap anak, dalam
ranah internasional, juga telah dilakukan melalui Konvensi International Labour Organisation (ILO) Nomor
138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum Untuk
Anak Yang Diperbolehkan Bekerja dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 khususnya
ayat (1) dan ayat (3), usia minimum yang diperbolehkan untuk
pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamat-an, atau moral anak
harus diupayakan tidak bo-leh kurang dari 18 tahun dan usia untuk melakukan
pekerjaan yang bersifat ringan yaitu 16 tahun. Konvensi ini telah diratifikasi
oleh Indonesia melalui UU No. 20 Tahun 1999.
Pada umumnya, pekerja anak di kota Kediri
melakukan pekerjaannya dengan alasan karena keterpaksaan, yang disebabkan oleh himpitan
eknomi keluarga. Orang tua mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya, keinginan untuk tetap melanjutkan sekolah dengan terpaksa bekerja
dengan paruh waktu, dengan maksud tidak terikat pada jam kerja, dan sewaktu
dapat istirahat dapat meninggalkan pekerjaannya untuk kepentingan yang lain,
misalnya sekolah.
Namun dalam kenyataannya, jam kerja yang
melebihi 3 jam, dan upah yang rendah, serta pemotongan upah apabila pekerja
anak tidak dapat menyelesaikan target pekerjaannya, jelas merupakan pelanggaran
prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi
pekerja anak, sebab menurut Pasal 69 ayat (2) seorang anak dapat dipekerjakan
apabila tidak boleh melebihi 3 jam per harinya, serta menerima upah yang wajar.
Fakta-fakta demikian apabila dilihat
dalam perspektif yuridis jelas tidak sesuai dan melanggar prinsip-prinsip
perlindungan hukum terhadap anak, baik sisi hukum ketenagakerjaan,
undang-undang kesejahteraan anak, undang-undang perlindungan anak, maupun dalam perspektif internasional.
Dalam hal ini, Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan dan hukum pendampingnya tidak dapat
berjalan sebagaimana harusnya ,seperti :
1.
Hukum Perdata, lebih diutamakannya hubungan perikatan
antara pekerja dalam hal ini pekerja anak dengan pengusaha. Sehingga, fungsi
pemerintah yang diwakili oleh DISNAKER hanya sebagai “controlling” dan tidak dapat melakukan intervensi ;
2.
Hukum Administrasi Negara, lemahnya koordinasi dan kerjasama
antara pemerintah dan lembaga terkait seperti Disnaker, Dinas Sosial,
Pemerintah Daerah setempat, serta ;
3.
Hukum Pidana, tidak ditegakannya asas legalitas yaitu
berlakunya sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar ketentuan-ketentuan
dalam UU No.13 Tahun 2003 serta tidak dibentuknya peraturan daerah yang
demokratis karena telah mengesampingkan hak-hak pekerja, dalam hal ini pekerja
anak.
D. Saran
Secara
umum dari pengaturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
khususnya yang mengatur mengenai pekerja anak dapat ditarik sebuah
saran/rekomendasi yaitu seperti dilakukan langkah penegasan secara normatif yang lebih konkret mengenai
batasan umur anak yang dapat diperbolehkan
bekerja. Sesuai dengan Pasal 75 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, bahwa :
1.
Pemerintah dan pihak-pihak terkait juga harus mendorong
bagi peningkatan pengawasan dan penegakan peraturan perundangan tentang
ketenagakerjaan, khususnya terkait dengan pekerja anak, sehingga
resiko-resiko yang menimpa pekerja anak dapat dicegah dan ditanggulangi.
2.
Dibentuknya peraturan pemerintah yang demokratis oleh badan
legislatif yang mengatur pekerja anak
dan perlindungan hukumnya, sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan,
terutama dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi hak-hak pekerja anak.
E. Referensi
Hesti R.Wijaya. 2007. “SEKTOR INFORMAL : Katup Pengaman dan Sang
Penyelamat yang Terabaikan”. Jurnal Perburuhan.
No. 8, September 2007 – Maret 2008. Universitas Brawijaya.
Organisasi Perburuhan Internasional.
2009. Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan
Pekerja Anak. Jakarta.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
http://file.upi.edu/Direktori/-FPIPS/ JUR
PEND-GEOGRAFI NANDI/Artikel-JurnaGEA.pdf-Pekerja-Anak-dan-Permasalahannya.pdf. (24 September 2012 pukul 19.15 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar