A.
JUDUL
PENDAPAT HUKUM MENGENAI
PENCAMPURADUKKAN WANPRESTASI DENGAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM SEHINGGA
MENYEBABKAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL
DALAM PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BANJARMASIN Nomor:09/PDT/2012/PT.BJM
B.
POSISI
KASUS
PUTUSAN
Nomor:09/PDT/2012/PT.BJM
Pembanding
VS Terbanding
(Pensiunan
PNS) (Wiraswasta,
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kotabaru, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Tanah Bumbu)
Nama dan alamatnya tidak
ada dalam putusan, yang diwakili
oleh
kuasanya)
1.
DR. MASDARI TASMIN,S.H.,M.H 1. DIMPANHUTAHAEAN,S.H
2.
MN.ASIKIN NGILE,.S.H
3.
IROSINA.,S.H
DUDUK PERKARA
Salinan Resmi Putusan PN Kotabaru
Tanggal 7 November 2011
nomor:06/Polt.G/2011/PN.Ktb
Dalam
Eksepsi:
·
Menolak eksepsi tergugat untuk
seluruhnya
Dalam
Pokok perkara:
·
Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat
diterima
·
Menghukum penggugat untuk membayar
ongkos perkara sebesar Rp. 1.176.900,00 (satu juta seratus tujuh puluh enam
ribu sembilan ratus rupiah)
Maka dari itu
Pembanding-Semula Penggugat, permohonan Banding tanggal 21 November 2011
sebagaimana.
Memori Banding tanggal
27 Desember 2011 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Kotabaru
tanggal 28 Desember 2011, Salinan terbanding-Tergugat 4 Januari 2011 Turut
Terbanding-turut tergugat I & II.
Kontra
Memori Banding tanggal 16 Januari 2012, Salinan Pembanding-Semula Penggugat
tanggal 31 Januari 2012.
POSISI
KASUS
Pembanding
–semula Tergugat dalam memori banding 27 desember 2011 keberatan atas putusan
PN Kotabaru tanggal 7 Novemebr 2011 nomor:06/PDT.G/2011/PN.Ktb
·
Alm. Suami pembanding –semula tergugat=
PENJUAL
Terbanding-semula
tergugat= PEMBELI
Sebidang tanah di Kabupaten Tanah
Bumbu seluas 1.600 meter persegi sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Provinsi
Km.168, Sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Karya Bersama, Sebelah Selatan
berbatan dengan Tanah, Sebelah Barat berbatasan dengan Kantor Polsek Satui.
Uang muka Rp.5000.000,00 dengan mencicil namun belum lunas si penjual sudah
meninggal dunia. Sedangkan pembayaran mencicil seperti pengakuan pembeli atau
terbanding semula tergugat kepada saksi hal itu tidak di benarkan.padahal tanah
tersebut sekarang dikuasai oleh terbanding-semula tergugat dimana di atas tanah
itu sudah berdiri bangunan warung makan, salon kecantikan dan toko ponsel.
·
Pembanding-semula penggugat tidak
mengetahui adanya jual-beli mengenai tanah obyek sengketa. Pembanding-semula penggugat
baru mendengar mengenai jual-beli tanah tersebut dari pengakuan terbanding-semula
tergugat.
·
Majelis Hakim di PN Pasal 1457 KUH
Perdata dan UUPA serta PP no.24 tahun 1997 tentang Pengalihan Hak atas Tanah.
·
Majelis Hakim di PN telah mengabaikan
keterangan ahli dari Badan Pertanahan-Sertifikat hak milik nomor (tidak
tercantum dalam putusan) penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur.
Terbanding-Semula
Tergugat di dalam Kontra Memori Banding 16 Januari 2012:
·
Pembanding menyampuradukkan anatara
perbuatan melawan hukum dengan wanprestasi---Obscuur Libel.
·
Majelis Hukum sudah benar maka
permohonan banding pembanding harus di tolak[1].
C.
DASAR
HUKUM
UUPA Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah
nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, menurut pasal 23 ayat 1 UUPA jo.
Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997, peralihan hak atas
tanah harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan harus
dibuktikan dengan akta pejabat. Namun Demikian jual-beli tanah secara adat
masih diakui sepanjang dilakukan secara tunai dan terang di hadapan pemuka adat
atau kepala Desa/Lurah setempat dengan dihadiri saksi-saksi.
Sebelum banding
·
Pasal 1457 KUH Perdata bab Kelima
tentang Jual-Beli, “jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang
satu mengikatkan diri nya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang
lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
·
Pasal 1458 KUH Perdata “Jual beli itu
dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya
orang-orang ini mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya,
meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”
·
Bagian Kedua pasal 1475 Penyerahan ialah
suatu pemindahan barangyang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si
pembeli[2].
Saat
banding
·
Pasal 1517 jika si pembeli tidak
membayar harga pembelian, si penjual dapat menuntut pembatalan pembelian,
meurut ketentuan-ketentuan pasal 1266 dan 1267[3]
D.
ISSUE
HUKUM
1.
Bagaimana kronologis gugatan yang
diajukan pembanding dapat dikatakan sebagai Obscuur
Libel?
2.
Bagaiamana implikasi gugatan Obscuur Libel terhadap gugatan yang
diajukan?
E.
PEMBAHASAN
Pengertian Pengadilan tingkat
banding
Menurut pasal 19 UU no.14 tahun 1970 sebagaiman
diubah dengan UU no.35 tahun 1999 dan sekarang berdasarkan pasala 21 ayat (1)
UU no.4 tahun 2004, semua putusan pengadilan pertama dapat diminta banding .
Pasal tersebut memperkenlakan adanya instansi pengadilan tingkat banding.
Selanjutnya pasal 6 UU No.2 tahun 1986 mengatur, yang bertindak sebagai
instansi pengadilan tingkat pengadilan adalah pengadilan tinggi, yang
berkedudukan di Ibukota Provinsi (P4 ayat 2). Kekuasaan PT sebagai pengadilan
tingkat banding menurut pasal 15 ayat (1) UU no.2 tahun 1986 bertugas dan
berwenang mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding atas segala
putusan yang dijatuhkan PN dalam tingkat pertama. Dengan demikian, fungsi dan
kewenangan PT sebagai pengadilan tingkat banding melakukan koreksi terhadap
putusan PN apabila terhadap putusan itu dimintakan banding oleh pihak yang
berperkara[4].
Pengadilan Tinggi dalam tahap banding ini akan
meneliti apakah pemeriksaan perkara tersebut telah dilakukan menurut cara yang
ditentukan oleh undang-undang dengan cukup teliti dan selanjutnya akan
diperiksa kembali apakah putusan sudah dijatuhkan oleh Hakim Pertama dalam PN
yang bersangkutan telah tepat dan benar atau putusan itu adalah sama sekali
atau kurang tepat. Apabila putusan tersebut dianggap sudah benar, maka putusan
pengadilan itu akan dikuatkan oleh putusan pengadilan tinggi yang bersangkutan.
Jika putusan pengadilan Negeri tersebut dianggap salah maka keputusan
Pengadilan Negeri itu dianggap salah, maka putusan PN itu akan dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi dengan memberikan keputusan sendiri, karena dianggap putusan
tersebut kurang tepat, sehingga putusan itu harus diperbaiki sebagaiman
mestinya[5].
Setelah pemeriksaan perkara selesai dilakukan,
majelis hakim banding segera menjatuhkan putusannya. Putusan pada tingkat
banding dapat berupa:
·
Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri
Putusan menguatkan
artinya apa yang tela diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri dianggap benar
dan tepat menurut rasa keadilan.
·
Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri
Putusan memperbaiki
artinya apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri dipandang
kurang tepat menurut rasa keadilan. Oleh karena itu, perlu diperbaiki.
·
Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri
Putusan membatalakan
artinya apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri dipandang
tidak benar dan tidak adil. Oleh karena itu, harus dibatalakan. Dalam hal ini,
pengadilan tinggi atau banding memberikan putusan sendiri. Dengan demikian,
dictum putusan banding tersebut berbunyi sebagai berikut[6].
1.
kronologis
gugatan yang diajukan pembanding dapat dikatakan sebagai Obscuur Libel.
Yang dimaksud dengan Obscuur libel, surat gugatan penggugat
tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk).
Disebut juga, formulasi gugatan yang tidak jelas. Padahal agar gugatan itu
dianggap memenuhi syarat formil, dalil gugatan harus terang dan jelas atau
tegas (duidelijk).
Sebenarnya jika bertitik tolak dari
ketentuan pasal 118 ayat (1), pasal 120 dan pasal 121 HIR, tidak terdapat
penegasan merumuskan gugatan secara jelas dan terang. Namun praktik peradilan,
memdomani pasal 8 Rv sebagai rujukan berdasarkan atas process doelmatigheid (demi kepentingan beracara).
Menurut pasal 8 Rv, pokok-pokok
gugatan disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu (een duidelijk en bepaalde conclusive). Berdasarkan ketentuan itu,
praktik peradilan mengembangkan penerapan eksepsi gugatan kabur atau gugatan
tidak jelas.
Wanprestasi atau ingkar janji (default) merupakan genus spesifik dari
perbuatan melawan hukum (onrechmatigheid
daad). Alasannya seorang debitur yang ingkar atau lalai memenuhi pembayaran
utang tepat pada waktunya, jelas telah melakukan pelanggaran atas hak kreditur.
Perbedaan prinsip antara keduanya:
1. Ditinjau
dari segi sumber hukum
Wanprestasi menurut
pasal 1243 KUH Perdata timbul dari persetujuan (agreement) yang berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata:
·
Harus ada lebih dahulu perjanjian antara
dua pihak, sesuai dengan yang digariskan pasal 1320 KUH Perdata.
·
Salah satu asas perjanjian menggariskan
bahwa apa yang telah disepakati harus dipenuhi atau promise must be kept.
·
Dengan demikian, wanprestasi terjadi
apabila debitur:
-
Tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan
sama sekali
-
Tidak memenuhi prestasi tepat waktu
-
Tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan
secara layak.
Selanjutnya
perbuatan melawan hukum (PMH) menurut pasal 1365 KUH Perdata, lahir akibat perbuatan
orang:
·
Yang merupakan perbuatan melanggar hukum
atau onrechtmatig (unlawful):
-bisa
dalam bentuk pelanggaran pidana atau factum
delictum atau
-dalam
bentuk pelanggaran maupun kesalahan perdata (law
of fort)
- dalam perbuatan tersebut seklaigus bertindih delik
pidana dan kesalahan perdata.
·
Dalam perbuatan bertindih secara
berbarengan maka pelakunya sekaligus dapat dituntut:
-
Hukuman pidana, atas pertanggungjawaban
pidana (crime liability)
-
Pertanggung jawaban perdata (civil liability[7].
2. Ditinjau
dari segi timbulnya hak menuntut
Dasar timbulnya hak
menuntut ganti rugi dalam wanprestasi ialah pasal 1243 KUH Perdata, pada
prinsipnya diperlukan proses ingebrekkestelling
atau pernyataan lalai atau in mora
stelling (interpellatio).
Namun proses tersebut
dapat disinkronkan dengan jalan mencantumkan klausul yang menegaskan bahwa
debitur langsung berada dalam keadaan wanprestasi tanpa memerlukan somasi lebih
dahulu. Akan tetapi kalau dalam perjanjian tidak ada klausul yang demikian, tetap
diperlukan proses pernyataan lalai (ingeberekkestelling).
Salah satu putusan klasik mengenai hal itu adalah putusan MA no.186 K/Sip/1959, yang mengatakan, meskipun dalam
perjanjian telah ditentukan secara tegas kapan pemenuhan perjanjian, namun
menurut hukum debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal
itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur. Lain halnya
dengan PMH, tidak diperlukan somasi, Kapan saja terjadi PMH Pihak yang
dirugikan langsung mendapat hak untuk menunutut ganti rugi.
3. Dari
segi tuntutan Ganti Rugi (compensation,
indemnification)
Tuntutan ganti rugi
dalam wanprestasi, bertitik tolak dari ketentuan berikut:
·
Pasal 1237 KUH Perdata mengatur jangka
waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut, yaitu terhitung sejak saat
terjadi kelalaian.
·
Pasal 1236 dan 1243 KUH perdata mengatur
tentang jenis dan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut, yang terdiri atas;
-
Kerugian yang dialami kreditur
-
Keuntungan yang akan diperoleh sekiranya
perjanjian dipenuhi
-
Dan ganti rugi bunga.
Sebaliknya
pasal 1365 KUH perdata sebagai dasar hukum PMH:
·
Tidak menyebut bagaiamana bentuk ganti
ruginya.
·
Juga tidak menyebutkan rincian ganti
rugi
·
Dengan demikian dapat dituntut:
-
Ganti rugi nyata (Actual loss) yang dapat diperhitungkan secara rinci, objektif dan
konkret yang disebut kerugian materiil.
-
Kerugian immteriil berupa ganti rugi
pemulihan kepada keadaan semula atau restoration
to original condition (herstel in de oorspronkelijk toestand, hestel in de
vorige toestand)
Dalam
praktik, patokan menentukan berpa besarnya ganti rugi PMH, ialah prinsip yang
digariskan pasal 1372 KUH Perdata, yang didasarkan pada penilaian kedudukan
sosial ekonomis kedua belah pihak atau bisa dipedomani putusan MA no.1226 K/Sip/1977 yang mengatakan bahwa soal besarnya
ganti rugi karena PMH, pada hakekatnya lebih cenderung merupakan soal kelayakan
dan kepatutan. Oleh karena itu, tidak dapat didekati dengan suatu ukuran yang
pasti. Begitu juga dalam putusan MA
no.842 K/Sip/1986, bahwa ganti rugi atas PMH berdasarkan pasal 1365 KUH
Perdata, tidak dirinci seperti halnya yang diatur pembuat Undang-Undang
mengenai wanprestasi.
Dalam merumuskan posita atau dalil
gugatan:
·
Tidak dibenarkan mencampuradukkan
wanprestasi dengan PMH dalam gugatan.
·
Dianggap keliru merumuskan dalil PMH
dalam gugatan jika yang terjadi, in
konkreto secara realistis adalah wanprestasi.
·
Atau tidak tepat jika gugatan
mendalilkan wanprestasi, sedang peristiwa hukum yang terjadi secara objektif
ialah PMH.
Sehingga dalam putusan nomor:
09/PDT/2012/PT.BJM, yang berkewajiban membayar sejumlah uang berposisi sebagai debitur (terbanding-semula
tergugat-Wiraswasta dan turut tergugat I&II) Sedangkan pihak yang berposisi
berhak menerima sejumlah uang adalah Kreditur
(pembanding-semula penggugat-PNS)
a. Karena
kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena
kelalaian [8]—debitur
lalai akan perjanjian yang telah dilakukan dengan kreditur bahwa jual-beli
dengan uang muka sebesar Rp 5000.000,00 dan pembyaran secara mencicil padahal
di perjanjian anatara keduanya tidak ada klausul seperti itu.
b. Pihak
debitur (terbanding-semula tergugat dan turut tergugat I&II) telah
menerbitkan sertifikat hak milik nomor (tidak dicantumkan di putusan) surat
ukur nomor 414/SDN/2001 tanggal 3 Novemebr 2001 dengan atas nama si debitur itu
sendiri yang tidak sesuai prosedur sehingga menimbulkan perbuatan melawan
hukum.
Maka dari itu Kreditur (pembanding-semula penggugat-PNS)melakukan upaya banding
di Pengadilan Tinggi Banjarmasin dengan menyampuradukkan posita atau dalil
gugatan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, seperti yang telah kita
ketahui hal itu tidak dibenarkan dalam peraturan Hukum acara Perdata di
Indonesia seperti yang penulis paparkan di atas.
2. implikasi gugatan Obscuur Libel
terhadap gugatan yang diajukan
Gugatan
harus dinyatakan tidak dapat diterima. Pendapat tersebut cenderung bersikap
formalistis. Barangkali secara kasuistik, dapat disetujui pendirian yang
ditegaskan dalam putusan MA no.2686
K/Pdt/1985. Menurut putusan tersebut, meskipun dalil gugatan yang
dikemukakan dalam gugatan adalah PMH, sedang peristiwa hukum yang sebenarnya
adalah wanprestasi, namun gugatan dianggap tidak obscuur libel, Apabila hakim menemukan kasus seperti itu, dia dapat
mempertimbangkan bahwa dalil gugatan itu dianggap wanprestasi.
Akan
tetapi ada juga putusan yang berpendirian lain,. Salah satu di antaranya Putusan MA n0.879 K/Pdt/1997. Antara
lain dijelaskan, penggabungan PMH dengan wanprestasi dalam satu gugatan,
melanggar tata tertib beracara atas alasan keduanya harus diselesaikan
tersendiri. Dalam posita, gugtan didasarkan pada perjanjian, namun dalam
petitum dituntut agar tergugat dinyatakan melakukan PMH, konstruksi gugatan
seperti itu mengandung kontradiksi, dan gugatan dikategorikan obscuur libel, sehingga tidak dapat
diterima[9].
F. KESIMPULAN
1. kronologis
gugatan yang diajukan pembanding dapat dikatakan sebagai Obscuur Libel dalam putusan
nomor: 09/PDT/2012/PT.BJM, yang
berkewajiban membayar sejumlah uang berposisi sebagai debitur (terbanding-semula tergugat-Wiraswasta dan turut tergugat
I&II) Sedangkan pihak yang berposisi berhak menerima sejumlah uang adalah Kreditur (pembanding-semula
penggugat-PNS)
·
Karena kesalahan debitur, baik dengan
sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian [10]—debitur
lalai akan perjanjian yang telah dilakukan dengan kreditur bahwa jual-beli
dengan uang muka sebesar Rp 5000.000,00 dan pembyaran secara mencicil padahal
di perjanjian anatara keduanya tidak ada klausul seperti itu.
·
Pihak debitur (terbanding-semula
tergugat dan turut tergugat I&II) telah menerbitkan sertifikat hak milik
nomor (tidak dicantumkan di putusan) surat ukur nomor 414/SDN/2001 tanggal 3
Novemebr 2001 dengan atas nama si debitur itu sendiri yang tidak sesuai
prosedur sehingga menimbulkan perbuatan melawan hukum.
Maka dari itu Kreditur (pembanding-semula penggugat-PNS)melakukan upaya banding
di Pengadilan Tinggi Banjarmasin dengan menCampurAdukkan posita atau dalil
gugatan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, seperti yang telah kita
ketahui hal itu tidak dibenarkan dalam peraturan Hukum acara Perdata di
Indonesia karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum berbeda ditinjau dari
sumber hukum nya, segi timbulnya hak untuk menuntut, segi tuntutan ganti rugi
nya.
2. Implikasi gugatan Obscuur Libel terhadap gugatan yang diajukan Gugatan harus
dinyatakan tidak dapat diterima dalam putusan
MA no.2686 K/Pdt/1985. Menurut putusan tersebut, meskipun dalil gugatan
yang dikemukakan dalam gugatan adalah PMH, sedang peristiwa hukum yang
sebenarnya adalah wanprestasi, namun gugatan dianggap tidak obscuur libel, Apabila hakim menemukan
kasus seperti itu, dia dapat mempertimbangkan bahwa dalil gugatan itu dianggap
wanprestasi sedangkan Putusan MA n0.879
K/Pdt/1997. Antara lain dijelaskan, penggabungan PMH dengan wanprestasi
dalam satu gugatan, melanggar tata tertib beracara atas alasan keduanya harus
diselesaikan tersendiri. Dalam posita, gugtan didasarkan pada perjanjian, namun
dalam petitum dituntut agar tergugat dinyatakan melakukan PMH, konstruksi
gugatan seperti itu mengandung kontradiksi, dan gugatan dikategorikan obscuur libel, sehingga tidak dapat
diterima.
G.
SARAN
1.
Sebaiknya
sebelum mengajukan gugatan para pihak khususnya pihak Pembanding menyiapkan
posita atau dalil gugatan yang lebih terperinci dan harus jelas sehingga tidak
menimbulkan Obscuur Libel sehingga
bisa memenuhi persyaratan formil.
2.
Pembanding wajib mendasarkan posita
antara dasar hukum dan kejelasan fakta peristiwa, diwujudkan dalam pembuktian
dalil di depan persidangan.
H.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU:
·
AbdulKadirMuhammad..2000.HukumPerdata Indonesia.Bandung:Citra
Aditya Bakti
·
Hari Sasangka,Ahmad Rifai.2005.Perbandingan HIR dengan RBG disertai dengan
Yurisprudensi MARI dan Kompilasi Peraturan Hukum Acara Perdata.Bandung:Mandar
Maju
·
M.Nur Rasaid.1996.Hukum Acara Perdata.Jakarta:Sinar Grafika
·
M.Yahya Harahap.2008.Hukum Acara Perdata.Jakarta:Sinar
Grafika
·
R.Subekti, R. Tjitrosudibio.2008.KUH Perdata Burgerlijk Wetboek, UUPA,UU
Perkawinan.Jakarta:Pradnya Paramitha
·
R.Subekti.2002.Hukum Acara Perdata.Bandung:Bina Cipta
YURISPRUDENSI:
·
Putusan MA no.2686 K/Pdt/1985.
·
Putusan MA n0.879 K/Pdt/1997
·
Putusan MA no.1226 K/Sip/1977
·
Putusan MA no.842 K/Sip/1986
·
Putusan MA no.186 K/Sip/1959
[1]
Pengadilan Tinggi,putusan
nomor:09/PDT/2012/PT.BJM,(Banjarmasin, 8 Maret 2012).
[2] R.Subekti, R.Tjitrosudibio, KUH Perdata Burgerlijk Wetboek, UUPA, UU
Perkawinan (Jakarta:Pradnya Paramitha, 2008) halaman 366-369.
[4] M.Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata,(Jakarta:Sinar
Grafika,2008),halaman 190.
[5] M.Nur
Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarata:Sinar
Grafika,1996),halaman 66.
[6]
Prof.Abdulkadir Muhammad,Hukum Acara
Perdata Indonesia, (Bandung:Citra Aditya Bakti,2008) halaman 196.
[7] M.Yahya
Harahap,Hukum Acara Perdata,(Jakarta:Sinar
Grafika,2008)halaman 454.
[8]
Prof.Abdulkadir Muhammad,Hukum Perdata
Indonesia (Bandung:Citra Aditya Bakti,2000) halaman 203
[9] Hari
Sasangka, Ahmad Rifai, Perbandingan HIR
dengan RBG disertai Yurisprudensi MARI dan Kompilasi Peraturan Hukum Acara
Perdata(Bandung:Mandar Maju,2005) halaman 40-41
[10]
Prof.Abdulkadir Muhammad,Hukum Perdata
Indonesia (Bandung:Citra Aditya Bakti,2000) halaman 203
Tidak ada komentar:
Posting Komentar