BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Fakultas hukum yang
notabene merupakan pencetak sarjana hukum, semakin sulit berkelit dari
tanggungjawab ketika para lulusannya justru terjerembab dalam berbagai perkara
pidana di saat para alumnusnya tersebut memangku jabatan sebagai aparat penegak
hukum. Mencermati beberapa kasus hukum yang akhir-akhir ini marak terjadi di
Indonesia, misalnya kasus dugaan suap hakim Syarifudin sebesar Rp 250.000.000,-
dari Puguh Wirawan, kurator PT Sky Camping Indonesia (SCI). Contoh lain, kasus dugaan
penghilangan pasal oleh jaksa Cirus Sinaga, sehingga Gayus diputus bebas oleh
Pengadilan Negeri Tangerang. Padahal Gayus mengaku telah memberi uang sejumlah Rp5.000.000.000,- kepada oknum jaksa yang menangani kasusnya tersebut.
Menelaah berbagai macam
kasus yang melibatkan para penegak hukum tersebut, secara langsung maupun tidak
mencerminkan suramnya realitas penegakan hukum yang dipraktikkan para aparat
yang tidak lain adalah alumnus lembaga pendidikan tinggi hukum. Sebagaimana
diketahui, lahirnya seorang menjadi penegak hukum, tentu bermula dari
pendidikan yang diperolehnya di bangku perkuliahan. Atas realitas demikian,
pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana entitas pendidikan tinggi
hukum mengajarkan hukum bagi calon penegak hukum dimaksud? Menurut Satjipto
Raharjo, [1]
pendidikan tinggi hukum ternyata semakin bersifat teknologis dan menjauhi
kodrat humanis dalam pembelajarannya. Pembelajaran hukum yang teknologis demikian
lebih menekankan pada pembinaan ketrampilan profesi ketimbang bahasan akan keadilan dan kemanusiaan. Disebut
teknologis, oleh karena pola pendidikan tinggi hukum hanya menekankan pada
pengetahuan hukum dan cara-cara menggunakan hukum tersebut. Sebagai akibatnya
aspek-aspek manusia dan kemanusiaan yang ada pada hukum menjadi kurang
diperhatikan dan terdorong kebelakang. Dalam konsepsi progresif Satjipto Rahardjo, hukum
itu untuk manusia, bukan hukum untuk hukum. Sehingga hukum bersifat humanis,
bukan hukum yang teknologis. Hukum yang teknologis hanya menjalankan
undang-undang saja, sehingga yang didapat hanyalah kepastian hukum.
Atas tesis yang
disampaikan Satjipto Rahardjo demikian, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih
jauh apakah benar optik yang digunakan dalam dunia pendidikan hukum saat ini
hanya melulu bersifat teknologis yang berakhir dalam pengkajian preskriptif
semata? Dengan optik preskriptif demikian, apakah benar hukum hanya dilihat
sebagai suatu sarana yang harus dijalankan? Apakah lembaga pendidikan yang
menggunakan optik preskriptif ini akan mengajarkan kepada mahasiswanya
keterampilan tentang bagaimana menguasai sarana itu dan bagaimana pula
menggunakannya, tanpa memedulikan aspek kemanusiaan? Apakah pendidikan hukum
tidak mendidik mahasiswanya untuk benar-benar dan sistematis mengkaji hukum
sebagai suatu sarana pengatur dalam masyarakat, melainkan hanya tentang
bagaimana menjalankan hukum itu dengan benar? Pertanyaan-pertanyaan semacam
inilah yang mengelitik daya kritis peneliti untuk mengkaji pendidikan tinggi
hukum yang dikatakan mengajarkan keterampilan tukang atau craftsmanship[2].
Aspek interkoneksi
pendidikan tinggi hukum terhadap pola tindak aparat penegak hukum dalam
lapangan teknis penegakan hukum inilah yang coba peneliti gali dalam sebuah
penelitian yang berjudul ‘Mengkaji Progresifitas Pendidikan Tinggi Hukum dalam
menciptakan Penegak Hukum yang bernalar Progresif (Telaah Kritis Terhadap Akar
Pendidikan Aparat Penegak Hukum di Indonesia)’.
[1] Muhammad Rustamaji,Dewi Gunawati
Moot Court “Membedah Peradilan Pidana dalam kelas Pendidikan Hukum
Progresif”, Surakarta, CV Mefi Caraka, 2011, Halm. 39
[2] Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia,
Yogyakarta, Genta Publishing, 2009, hlm.31.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
di atas, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan
pengkajian terhadap alur sejarah pendidikan tinggi hukum yaitu, sejak rechtsschool pada 1924 sampai Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 234/U/2000 tentang Pedoman
Pendirian Perguruan Tinggi, tidak ditemukannya pendidikan hukum progresif.
2. Karena
tidak ditemukan pendidikan hukum progresif, maka akibatnya melahirkan aparat
penegak hukum yang hanya sebagai ‘tukang’ atau craftsmanship yaitu hanya menjalankan Undang-Undang dan tidak
memperhatikan aspek kemanusiaan sehingga terjadinya penurunan moralitas di
dalamnya. Akhirnya muncul konsepsi ‘hukum Teknologis bukan hukum Humanis’ yang
dalam realitanya aparat penegak hukum sendiri yang berwatak kapitalis yang
acapkali terseret dalam kasus kriminalitas.
B.
Saran
Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan yang sudah dijabarkan, penulis mengemukakan saran
sebagai berikut :
1. Merealisasikan
cara pembelajaran ‘psikologis’ oleh tenaga pendidik di pendidikan tinggi hukum
di Indonesia. Faktor psikologis tersebut antara lain komitmen, empati, dedikasi
dan kejujuran. Fakultas hukum hendaknya menambahkan kata-kata “Pembelajaran
untuk mencapai keadilan” dalam perkuliahannya.
2. Kontinuitas
pendidikan tinggi hukum menjadi komunitas yang progresif dan tidak memihak
kepada status quo. Hendaknya selalu bersifat kritis dan kreatif, karena
pendidikan memang merupakan institusi yang sangat diharapkan untuk memberikan
pencerahan dan tuntunan terhadap bangsanya.
3. Mulai
mewujudkan gagasan tentang “pendidikan hukum berbasis manusia dan kemanusiaan”
agar filsafat yang mendasari pendidikan hukum bergeser dari profesional menjadi
promanusia.
4. Para
pengelola pendidikan tinggi hukum harus mendekonstruksi dan merekonstruksi
pembelajaran yang selama ini berlangsung.
5. Mahasiswa
diberikan porsi yang lebih substansial terhadap diskusi daripada kuliah-kuliah
konvensional belaka. Melalui serangkaian diskusi tersebut, agar perkara-perkara
hukum dapat ditarik menjadi perkara-perkara manusia dan kemanusiaan dapat
diwujudkan.
6. Disediakan
Laboratorium dalam konteks ini adalah tempat yang memungkinkan peserta didik
untuk dapat melihat secara tuntas dan menganalisis obyek yang dipelajari secara
benar dan jujur. Yaitu dengan mata ajar moot
court yang terhimpun dalam mata kuliah keterampilan hukum.
7. Pendidikan
hukum konvensional yang berpusat pada dosen atau teacher center learning hendaknya ditinggalkan karena telah
memasung mahasiswa dalam pengalaman belajarnya. Teknik pembelajaran yang lebih
tepat sesuai dengan perkembangan adalah menekankan pada student center learning yang memainkan peranan penting pada
mahasiswa dalam proses belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar