PERADILAN
ADMINISTRASI DI BIDANG PAJAK
Hukum pajak dapat dibedakan menjadi:
1.
Hukum administrasi
Hukum
administrasi umumnya berupa sanksi administrasi, baik berupa bunga, denda,
tambahan pokok pajak, maupun kenaikan dan dijatuhkan oleh fiskus. Hukum administrasi
umumnya berkaitan dengan masalah-masalah ketidaktaatan Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban, seperti tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
atau menyampaikan SPT tetapi tidak benar dan tidak lengkap, yang dikarenakan
alpa, dan lain-lain.
2.
Hukum pidana
Hukum pidana dapat berupa
denda pidana maupun hukuman penjara dan dijatuhkan oleh hakim. Hukum pidana
umumnya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
kejahatan, seperti sengaja tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP,
memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, dan lain-lain.
A.
UNSUR-UNSUR PERADILAN
Unsur-unsur yang diperlukan
supaya dapat dikatakan adanya suatu peradilan (biasa) adalah:
a.
Adanya suatu hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat
diterapkan pada suatu persoalan;
b.
Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit;
c.
Adanya sekurang-kurangnya dua pihak;
d.
Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan
perselisihan.
Agar suatu peradilan dapat merupakan suatu peradilan
administrasi, maka di samping unsur-unsur tersebut di atas dipenuhi, harus ada
unsur-unsur lainnya, yakni:
a.
Bahwa salah satu pihak yang berselisih harus administrasi yang
menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya;
b.
Diberlakukannya "Hukum Publik" atau Hukum
Administrasi terhadap persoalan yang diajukan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka terhadap persoalan onrechtmatige
overheidsdaad (perbuatan penguasa yang melanggar hukum) tidak termasuk wewenang
Peradilan Administrasi karena hakim menerapkan ketentuan hukum perdata dan
bukan ketentuan hukum publik.
Unsur-unsur yang menentukan
bahwa suatu perselisihan termasuk wewenang peradilan Administrasi Pajak ialah
sifat dan pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya. Di sini yang menjadi
pihak ialah pemerintah, khusus dalam kualitasnya sebagai pemungut pajak
(fiskus) dan pihak lain adalah rakyat selaku wajib pajak.
Peradilan administrasi pajak
yaitu peradilan yang menyelesaikan semua macam dan semua bentuk perselisihan
mengenai pajak-pajak. Sebagaimana diketahui bahwa peradilan administrasi dapat
dibagi atas:
1.
Peradilan Administrasi Murni; dan
2.
Peradilan Administrasi tak Murni
Peradilan
administrasi murni
Peradilan administrasi murni adalah peradilan yang melibatkan
tiga pihak, yaitu Wajib Pajak Fiskus, dan Hakim yang mengadili. Wajib Pajak dan
Fiskus adalah pihak yang bersengketa, sedangkan Hakim atau Majelis Hakim adalah
pihak yang akan memutuskan sengketa tersebut.
Contoh peradilan administrasi dapat dilihat dalam yang diatur
dalam pengajuan banding yang diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No. 6 Tahun
1983 sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-undang No. 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang No. 14 tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak.
Peradilan
Administrasi Tidak Murni
Peradilan administrasi ini disebut peradilan administrasi
tidak murni karena dalam peradilan administrasi ini hanya melibatkan dua pihak,
yaitu pihak Pajak dan pihak fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang
independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus menjadi pihak yang
mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang bersangkutan.
Contoh peradilan administrasi tidak murni dapat dilihat dalam
pengajuan keberatan yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 Undang-undang No. 6 lahun
1983 sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-undang No. 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Wajib Pajak mengajukan keberatan (doleansi) karena
adanya perselisihan mengenai besarnya jumiah utang pajak, karenanya ada dua hal
yang harus diperhatikan yaitu:
1.
Terhadap surat keberatan yang masuk harus diambil keputusan.
2.
Pihak yang rnengambil keputusan adalah aparatur pajak (Dirjen
Pajak, Kakanwil Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan kewenangan masing-masing)
yang disebut sebagai hakim doleansi.
Rochmat Soemitro dalam
disertasinya yang berjudul "Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum
Pajak" memasukan peradilan doleansi
ke dalam kategori peradilan semu atau peradilan kuasi.
Peradilan Administrasi Murni :
ialah
suatu peradilan administrasi yang memenuhi syarat-syarat seperti yang diuraikan
di atas yang menyerupai peradilan yang dilakukan oleh pcngadilan biasa.
Ciri-ciri yang khas untuk suatu pcradilan yang murni ialah adanya suatu hubungan
segi tiga antara para pihak dan badan ataii pejabat yang mengadili. Badan
atau pejabat yang mengadili perkara ini merupakan badan atau pejabat
"tertentu" atau "terpisah".
Tertentu artinya bahwa badan
atau pejabat itu ditentukan oleh undang-undang atau peraturan
lain yang mempunyai tingkatan sama dengan suatu undang-undang dan
diberi wewenang untuk mengadili perselisihan administrasi, seperti
peradilan pajak clitingkat banding yang dilakukan oleh Badcin Penyelesaian
Scngketa Pajak.
Terpisah artinya bahwa
badan atau pejabat yang melakukan peradilan itu tidak merupakan bagian dari
salah satu pihak atau termasuk di bawah pengaruh salah satu
pihak sehingga badan atau pejabat yang mengadili perkara itu berada di atas
para pihak. Peradilan Administrasi Tidak Murni : ialah peradilan yang tidak sepenuhnya memenuhi
syarat-syarat peradilan administrasi murni seperti tersebut di atas, umpamanya
karena tidak nyata terdapat perselisihan, atau karena mengadakan peradilan
termasuk peradilan administrasi tidak murni adalah peradilan atau penyelesaian
perselisihan pajak atas "keberatan" yang diajukan wajib pajak atas
suatu Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan oleh kepala inspeksi pajak berkenaan
dengan besarnya jumlah pajak yang harus dilunasi oleh wajib pajak yang
bersangkutan. Dalam penyelesaian keberatan tersebut, maka yang berwenang untuk
memutuskan adalah Direktur Jenderal Pajak. Antara pihak Direktur Jenderal Pajak
dengan pihak atau pejabat yang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak yang dibantah
oleh wajib pajak sebenarnya termasuk dalam bagian salah satu pihak atau
termasuk pengaruh salah satu pihak, sehingga peradilan ini lazim disebut
Peradilan Semu.
B.
PEMASUKAN
SURAT KEBERATAN
Dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi Wajib Pajak (WP)
merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya
atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini WP dapat mengajukan
keberatan kepada Dirjen Pajak rnelalui KPP di mana Wajib Pajak yang
bersangkutan terdaftar.
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu:
a.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
b.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
c.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
d.
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
e.
Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga
Pihak yang dapat mengajukan keberatan adalah:
a.
Bagi WP Badan oleh Pengurus
b.
Bagi WP Orang Pribadi oleh WP yang bersangkutan
c.
Pihak yang dipotong/dipungut oleh pihak ketiga
d.
Kuasa yang ditunjuk oleh mereka pada butir a s.d c di atas
dengan surat kuasa khusus untuk pengajuan keberatan
Syarat-syarat mengajukan keberatan:
a.
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
di tempat WP terdaftar.
b.
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut, atau jumlah rugi menurut, perhitungan Wajib Pajak dengan disertai
alasan yang menjadi dasar perhitungan.
c.
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat
ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar
paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan
sebelum surat keberatan disampaikan.
d.
Jika Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan
pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan
tertangguhkan sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan surat keputusan
keberatan.
e.
Jika Wajib Pajak mengajukan banding atas putusan keberatan,
jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan tertangguhkan sampai dengan satu bulan sejak tanggal
penertan surat keputusan banding.
f.
Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu
tahun/masa pajak.
Jangka waktu pengajuan keberatan:
a.
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak tanggal pengiriman SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, atau sejak tanggal
dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga kecuali Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya.
b.
Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke Kantor
Pelayanan Pajak, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal
pengiriman SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, atau sejak dilakukan
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor
Pelayanan Pajak.
c.
Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus
dengan pos tercatat), maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal
pengiriman SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, atau sejak dilakukan
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti
pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
Hal-hal yang Dapat Dimintakan Oleh Wajib Pajak Dalam Hal
Pengajuan Keberatan
Untuk keperluan pengajuan keberatan, WP dapat meminta
penjelasan/keterangan tambahan dan kepala KPP wajib memberikan penjelasan
secara tertulis tentang hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak,
penghitungan rugi atau pemotongan, atau penumgutan pajak.
Keputusan atas surat keberatan
a.
Kepala KPP atau Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Jenderal
Pajak harus sudah memberikan keputusan atas surat keberatan paling lambat 12
(dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima. Apabila dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan Kepala KPP atau Kepala Kantor Wilayah atau Direktur
Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keberatan yang diajukan oleh
Wajib Pajak dianggap diterima.
b.
WP yang mengajukan keberatan tetapi tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan maka Kepala KPP akan memberikan jawaban tertulis
dengan surat biasa (bukan surat keputusan penolakan) selambat-lambatnya 1
(satu) bulan sejak jangka waktu pengajuan keberatan berakhir. Apabila surat
keberatan diajukan setelah batas waktu pengajuan, maka jawaban akan diberikan
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak surat keberatan tersebut diterima.
c.
Sebelum surat keputusan diterbitkan, WP dapat menyampaikan
alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
d.
Keputusan keberatan dapat berupa dikabulkan seluruhnya,
dikabulkan sebagian, ditolak, dan menambah jumlah pajak. Apabila WP tidak atau
belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, maka WP dapat
mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
Sanksi Administrasi
a.
Jika keberatan ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.
b.
Dalam Hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi
administrasi yang dimaksud di atas tidak dikenakan.
c.
Jika permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian,
Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan banding dikurangi dengan pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Surat Keberatan ditujukan
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak,
misalnya Pajak Penghasilan tahun pajak 1985 dan 1986. Keberatan terhadap Surat
Ketetapan Pajak Penghasilan tahun 1985 dan tahun 1986 tersebut, harus diajukan
masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak terscbut
harus diajukan dua buah Surat Keberatan.
Batas waktu pengajuan surat
keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak atau SKP sebagaimana ditentukan dalam pasal 25 ayat 1
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
dengan maksud supaya wajib pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk
mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas
waktu tiga bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak, karena keadaan
di luar kekuasaan wajib pajak (force majeure), maka tenggang waktu
selama waktu tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Tanda bukti/resi penerimaan
surat keberatan diberikan oleh pejabat Direktur Jenderal Pajak yang ditunjuk
untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi
tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
Tanda bukti/resi penerimaan
tersebut oleh wajib pajak dapat juga digunakan sebagai alat kontrol baginya
untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas bulan itu berakhir,
mengingat oleh karena dalam jangka waktu dua belas bulan sejak tanggal Surat
Keberatan diterima, maka Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.
Pengajuan Surat Keberatan
itu tidak menghalangi aparatur pajak untuk melakukan tindakan penagihan.
Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar wajib pajak dengan dalih
mengajukan keberatan, tidak melakukan kewajibannya untuk membayar pajak
yang telah ditetapkan, atau wajib pajak berusaha melakukan penghindaran pajak
pada saat mengajukan keberatan.
C.
ISI SURAT KEBERATAN
Undang-undang Pajak
menentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi tentang isi Surat Keberatan.
Meskipun undang-undang tidak memberikan perincian secara tersurat, namun kalau
diteliti lebih jauh maka tampak tersirat 5 (lima) hal yang merupakan syarat
minimum yaitu:
a.
Pernyataan bahwa wajib pajak merasa keberatan terhadap ketetapan
pajak;
b.
Jenis Pajaknya;
c.
Tahun Pajak;
d.
Nomor Pokok Wajib Pajak;
e.
Nama dan tanda tangan wajib pajak;
Pada lazimnya Surat
Keberatan itu memuat alasan-alasan mengapa seorang wajib pajak keberatan
terhadap ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya. Namun alasan ini bukan
merupakan syarat mutlak untuk sahnya Surat Keberatan. Meskipun demikian
sebaiknya wajib pajak mengajukan alasan-alasan guna meyakinkan pejabat yang
akan memberikan keputusan atas keberatan itu.
Surat Keberatan yang tidak
disertai alasan adalah lemah, karena itu besar kemungkinannya bahwa keberatan
itu ditolak. Alasan yang diberi undang-undang pajak terhadap wajib pajak yang
ingin mengajukan keberatannya adalah berkisar pada Dasar-dasar pengenaan pajak
yang telah ditetapkan oleh Kantor Pelayanan Pajak setempat. Sebagai contoh:
Pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 17
Tahun 2000. Berdasarkan ketentuan pasal 4 dari undang-undang ini maka
penghasilan seseorang dapat dikelompokkan menjadi empat macam sumber
penghasilan yang terdiri dari:
1.
Penghasilan dari pekerjaan;
2.
Penghasilan dari kegiatan usaha;
3.
Penghasilan dari modal, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak;
4.
Penghasilan lain-lain.
Keempat penghasilan di atas menjadi obyek pengenaan pajak
penghasilan bagi wajib pajak tertentu. Wajib pajak sebelum ditetapkan pajaknya
berkewajiban untuk memasukkan Surat Pemberitahuan.
Dalam surat pemberitahuan
tersebut wajib pajak berkewajiban memasukkan seluruh jenis sumber
penghasilannya. Akan tetapi karena ketidakjujuran wajib pajak, hal ini tidak
dilakukan. Dalam hal demikian fiskus tidak terikat dengan Surat Pemberitahuan
itu, dan fiskus berwenang melakukan penilaian atas Surat Pemberitahuan
tersebut. Wewenang untuk mengadakan penilaian ini berarti Direktorat Pajak
(fiskus) dapat menyimpang dari surat pemberitahuan
wajib pajak. Penyimpangan ini berarti dasar pengenaan pajak ditetapkan secara
sepihak oleh Direktorat Pajak dan tidak didasarkan atas surat pemberitahuan
dari wajib pajak. Pengenaan pajak secara sepihak yang dilakukan oleh Direktorat
Pajak dapat digunakan oleh wajib pajak sebagai alasan keberatan. Dan bila wajib
pajak rnengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak maka ketidakbenaran
penetapan pajak secara sepihak tadi harus dibuktikan oleh wajib pajak.
Apabila wajib pajak tidak
dapat membuktikannya, maka Surat Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak
Kewenangan penyelesaiannya dalam tingkat pertama diberikan pada Direktur
Jenderal Pajak untuk memberikan keputusannya.
D.
KEPUTUSAN ATAS SURAT KEBERATAN
Keputusan Direktur Jenderal
Pajak atas keberatan wajib pajak dapat berupa:
1.
Menerima seluruhnya atau sebagian;
2.
Menolak seluruhnya keberatan.
Bila Surat Keberatan itu diterima/dikabulkan seluruhnya, maka
tidak perlu diberikan alasan, cukup dinyatakan didalamnya bahwa keberatan si
pemohon dapat diterima dan karena itu pajak dikurangkan.
Bila Surat Keberatan itu
ditolak seluruhnya, berarti wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran
ketetapan pajak secara jabatan yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak. Penolakan keberatan ini dapat berakibat bahwa jumlah utang pajak ada
kemungkinannya bertambah, ataupun tetap jumlahnya.
Wajib Pajak
yang belum merasa puas terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak mengenai keberatannya itu, dapat rnengajukan "banding"
kepada Badan Penyelesaian Srngketa Pajak (BPSP) di Jakarta.
E.
BANDING KE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK (BPSP)
Bilamana Wajib Pajak tidak
puas Surat Keberatannya yang ditolak oleh Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak
masih diberikan kesempatan untuk memperoleh keadilan dengan cara rnengajukan
"banding" pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) seperti
halnya dengan Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang tempat kedudukannya hanya
ada di Ibukota Negara, maka BPSP untuk pertama kali dibentuk di Ibu kota
Negara berdasarkan pasal 3 UU No. 17 Tahun 1997.
Sebagaimana ditegaskan dalam
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 17 Tahun
1997, bahwa BPSP adalah Badan Peradilan Pajak yang mempunyai tugas
memeriksa dan me-mutus sengketa pajak berupa:
a.
banding terhadap keputusan yang berwenang;
b.
gugatan terhadap pelaksana peraturan per Undang-undangan Perpajakan
di bidang penagihan.
Pembentukan BPSP
adalah perintah pasal 27 UU. No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000. Pasal 27
ini menegaskan bahwa Wajib Pajak dapat rnengajukan banding hanya kepada Badan
Peradilan Pajak. Keputusan Badan Peradilan Pajak ini adalah keputusan akhir dan
bersifat tetap, dan keputusannya bukan keputusan Tata Usaha Negara. Oleh karena
itu keputusannya tidak bisa diajukan Kasasi maupun peninjauan kembali
(herzening). BPSP tidak berpuncak pada Mahkamah Agung RI.
Banding
Dasar Hukum
Berdasarkan undang-undang No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari
keadilan terhadap Sengketa Pajak. Tugas
Pengadilan adalah memutuskan Sengketa Pajak.
F.
PERSIAPAN PERSIDANGAN
Setiap banding atau gugatan
yang masuk ke BPSP akan diteliti terlebih dahulu oleh sekretaris BPSP.
Penelitian itu menyangkut mengenai identitas para pihak, alamat mereka
masing-masing dan jangka waktu pengajuan banding atau gugatan. Selanjutnya
penelitian dilanjutkan mengenai segi-segi formal elementer seperti: apakah
banding atau gugatan itu memang wewenang BPSP, apakah salinan Surat Keputusan
yang dibanding atau digugat itu sudah dilampirkan. Kemudian hasil penelitian
tersebut dibuat laporan yang kemudian disampaikan kepada ketua BPSP untuk
penetapan acara pemeriksaannya. Apabila Ketua BPSP berpendapat bahwa Surat
Banding atau gugatan harus diperiksa melalui Acara Biasa maka ia
menunjuk Majelis yang terdiri dari 1 (satu) Hakim Ketua Majelis dan 2 (dua)
Hakim Anggota Majelis.
Sebelum persidangan dimulai,
Sekertaris BPSP meminta surat uraian banding atau surat tanggapan atas
surat banding atau surat gugatan kepada terbanding atau tergugat dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima surat banding atau surat
gugatan. Kepada terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari sejak tanggal diterima surat banding atau surat gugatan. Terbanding atau
tergugat menyerahkan surat uraian banding atau surat tanggapan kepada BPSP
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirimi permintaan surat
uraian banding atau surat tanggapan. Salinan uraian banding atau surat
tanggapan oleh BPSP dikirim kepada pemohon banding atau penggugat dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima. Pemohon banding atau
penggugat dapat menyerahkan surat bantahan kepada BPSP dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal diterima salinan surat uraian banding atau
surat tanggapan.
G.
PEMERIKSAAN DI
MUKA SIDANG
Menurut pasal 47 UU No. 17
Tahun 1997, Majelis Hakim sudah mulai bersidang dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak langgal diterima surat banding atau surat gugatan. Sidang Pengadilan
tertutup untuk umum. Tujuannya adalah untuk melindungi kerahasiaan pemohon
banding atau penggugat. Pemeriksaan selanjutnya Hakim memberikan kesempatan
kepada kedua pihak untuk mengajukan saksi-saksi sesuai ketentuan yang berlaku
bagi saksi yang memenuhi syarat. Dalam persidangan para pihak masing-masing
mengajukan alat-alat bukti guna mendukung dalil-dalil mereka. Apabila semua
yang diperlukan oleh Majelis dalam mengadili sengketa tersebut sudah dianggap
cukup oleh Majelis Hukum maka sidang akan diakhiri dan ditutup oleh Ketua
Majelis untuk dilanjutkan dengan rapat permusyawaratan guna mengambil putusan
mengenai sengketa yang bersangkutan. Rapat permusyawaratan ini dipimpin oleh
Hakim Ketua dan dihadiri oleh para anggota Majelis dan Sekretaris Sidang yang
ikut bersidang. Putusan BPSP harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
(pasal 84). Putusan BPSP berkepala "Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa".
H.
BENTUK PUTUSAN HUKUM
Di dalam pasal 79 ayat (1) ditentukan
adanya 5 (lima) ben-tuk putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP),
yakni:
a.
menolak;
b.
mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
c.
menambah pajak yang harus dibayar;
d.
tidak dapat diterima;
e.
membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung.
Sebagai konsekuensi bahwa
putusan BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi wajib pajak atau penanggung
pajak dan putusan tidak dapat digugat ke
Pengadilan Umum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maka putusan BPSP
langsung dapat dilaksanakan, kecuali putusan dimaksud menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak. Didalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) masih harus
menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang diperlukan pembayar
pajak untuk dapat memperoleh kelebihan pajak. Kelebihan pembayaran pajak
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
untuk selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan.
Salinan putusan BPSP dikirim
kepada para pihak dengan surat oleh sekretaris dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak tanggal putusan BPSP diucapkan. Putusan BPSP harus dilaksanakan
oleh Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak
tanggal diterima putusan. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan BPSP dalam
jangka waktu tersebut diatas dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
kepegawaian yang berlaku.
KREDITUR LUAR NEGERI
VERSUS PERPAJAKAN
Kreditur Luar Negeri adalah
suatu antisipasi terhadap perpajakan yang mendatang dan sudah barang tentu akan
dibayar oleh generasi yang akan datang, dalam bentuk pembayaran pajak yang
tertunda. Oleh karenanya kami menganggap perlu untuk membahas Kredit Luar
Negeri ini dalam bab tersendiri.
Hampir seluruh negara sedang
berkembang masih menggantungkan pada Kredit Luar Negeri sebagai faktor
penunjang dalam mempercepat proses pembangunan ekonomi negara tersebut.
Tampaknya Kredit Luar Negeri sebagai pilihan utama dalam mengejar ketinggalan
mereka dalam bidang ekonomi, meskipun Kredit Luar Negeri bukanlah satu-satunya
pilihan dalam memacu pembangunan karena masih ada jalan yang bisa ditempuh
tanpa Kredit Luar Negeri seperti pembebanan pajak yang sangat memberatkan
warganya untuk jangka waktu yang agak lama dan memaksa rakyat hidup dengan
sangat hemat. Cara ini digunakan oleh negara sosialis seperti Rusia dalam tiga
puluhan.
Sejak Pemerintahan Republik
Indonesia mencanangkan Rencana Lima Tahun di bidang Ekonomi, maka Pemerintah
menyadari bahwa jalan yang paling tepat dalam memacu pembangunan adalah bahwa
pinjaman luar negeri mutlak dijadikan sebagai………..
Dan ini mudah menimbulkan persoalan
terhadap eksistensi modal asing tersebut.
Yang penting bagi
negara-negara yang menerima pinjaman atau kredit luar negeri adalah
memanfaatkan secara produktif mungkini sehingga pinjaman itu dapat meningkatkan
pendapatan nasional dan kesejahteraan rakyat, dan pinjaman itu diusahakan pelunasannya
dalam waktu yang singkat, minimal dalam jangka waktu, yang paling sedikit sama
dengan jangka waktu menurutnya nilai obyek-obyek yang dibiayai dengan pinjaman,
dan tidak perlu terjadi semacam ketergantungan yang berlanjut, karena dapat membawa
akibat berupa tekanan yang berat bagi generasi yang akan datang.
PERADILAN PIDANA PAJAK
A.
HUBUNGAN PAJAK DENGAN HUKUM P1DANA
Pajak termasuk Hukum Publik
dan ini adalah sebagian dan tata tertib hukum yang mengatur hubungan hukum
antara penguasa dengan rakyat/warganya mengenai hak dan kewajiban. Hukum Pajak
dalam hubungannya dengan Hukum Perdata (KUHP) dapat terlihat dalam pasal 103
KUH Pidana yang berbunyi:
"Ketentuan dari delapan
Bab yang pertama dari Buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat
dihukum menurut peraturan-peraturan lain, kecuali kalau ada undang-undang (Wet)
atau ordonansi menentukan peraturan lain".
Ketentuan pasal 103 KUH Pidana ini menunjukkan bahwa yang
dimuat dalam buku I KUHP, mulai dari Bab I s/d (pasal 1 s/ d 85), selain
berlaku untuk hal-hal yang disebut dalam KUH Pidana, berlaku juga untuk
menerangkan hal-hal yang disebut dalam undang-undang atau peraturan lain
kecuali ditentukan lain. Perkataan undang-undang lain dalam pasal 103 KUHP ini,
menunjukkan juga termasuk ketentuan-ketentuan yang dalam undang-undang pajak
diancam baik sebagai kejahatan maupun pelanggaran yang terdapat dalam
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
dapat dipidana sesuai dengan KUH pidana. Ancaman pidana terhadap tindak pidana pajak dapat dilihat dalam
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan
pada pasal 38, 39,40 dan 41. Tindak pidana di bidang pajak dapat dibedakan
dalam:
a.
pelanggaran, dan
b.
kejahatan.
Pelanggaran ialah tindak pidana yang terjadi tidak dengan sengaja
atau terjadi karena kealpaan atau kekhilapan seperti karena kealpaan tidak
menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) atau sudah mengisi SPT akan tetapi
karena kealpaan sehingga isinya tidak benar atau tidak lengkap.
Sanksi yang diancam terhadap
pelanggaran di bidang pajak lebih ringan daripada kejahatan. Untuk pelanggaran
seperti yang disebut di atas dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama
satu tahun dan/atau denda setinggi-tingginya dua kali jumlah pajak
yang terutang.
Kejahatan ialah perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja. Wajib pajak tahu bahwa perbuatannya itu
tidak sesuai bahkan bertentangan dengan undang-undang tetapi tetap dilakukan dengan
maksud upaya membayar pajak lebih ringan, atau untuk memperoleh keuntungan bagi
dirinya, yang merugikan negara. Perbuatan-perbuatan yang diklasifikasikan
sebagai kejahatan dalam hukum pajak ialah:
a.
Dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau menggunakan NPWP tanpa hak untuk maksud-maksud
tertentu;
b.
Dengan sengaja menyampaikan surat pemberitahuan, sedangkan ia
tahu bahwa surat pemberitahuan harus dikembalikan kepada Kantor Inspeksi Pajak
yang bersangkutan setelah diisi sebagaimana mestinya dan ditandatangani;
c.
Dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan dengan
mengisi secara tidak benar atau tidak lengkap, dengan mendapatkan keuntungan
dari itu;
d.
Dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, catatan atau dokumen
yang palsu atau dipalsukan dan dengan perbuatan itu mengelabui petugas pajak;
e.
Dengan sengaja tidak memperlihatkan dan/atau tidak mau meminjamkan
pembukuan, catatan dan dokumen yang diperlukan oleh petugas pajak untuk
menentukan jumlah pajak yang terutang sebenarnya;
f.
Dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut bagi orang atau badan yang ditunjuk oleh Undang-undang Pajak, seperti,
ketentuan pasal 21, 22, 23 dan 26 Undang-undang Pajak Penghasilan.
Kejahatan tersebut di atas diancam dengan sanksi pidana
penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling tinggi empat kali jumlah
pajak yang terutang. Kata "dan/atau" berarti bahwa Hakim mernpunyai
wewenang untuk menjatuhkan sanksi kumulatif, artinya disamping sanksi
penjara atau kurungan masih dapat juga dijatuhi hukuman denda, dengan mengingat
batas maksimum yang ditentukan dalam undang-undang. Denda pidana berbeda dengan
denda administratif. Denda administratif dijatuhkan oleh administrasi pajak,
sedangkan denda pidana adalah wewenang Hukum Pidana. Wajib pajak yang dikenakan
denda pidana oleh Hakim Pidana, masih terbuka kemungkinan untuk dikenakan denda
administrasi oleh administrasi pajak. Namun ini adalah wewenang Menteri
Keuangan apakah masih perlu atau tidak, Menteri Keuangan yang kewenangannya
dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak dapat menganggap lebih bijaksana
untuk tidak mengenakan denda administrasi dengan alasan bahwa wajib pajak sudah
dipidana.
Ancaman sanksi pidana untuk
tindak pidana kejahatan yang dilakukan dalam bidang perpajakan dilipatkan dua
kali (200 %) apabila wajib pajak melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan sebelum lew at waktu satu tahun terhitung sejak waktu pajak selesai
menjalani pidana penjara.
Tindak pidana di bidang
perpajakan mempunyai masa daluwarsa, jika telah lampau waktu sepuluh tahun dihitung
sejak saat terutangnya pajak (pada
akhir tahun). Berlainan dengan daluwarsa dari hak untuk menagih utang pajak seperti
yang diatur dalam pasal 22 Undang-unclang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang daluwarsanya setelah lampau waktu lima
tahun dihitung dari saat terutang pajak.
B.
SUBYEK TINDAK PIDANA PAJAK.
Subyek berarti siapa-siapa yang dapat dikenakan sanksi
atas perbuatan yang dilakukan di bidang perpajakan. Dalam Undang-undang Pajak,
disamping wajib pajak maka yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah pejabat
pajak sendiri. Bila aparat pajak telah membocorkan rahasia jabatan, seperti
memberitahukan penghasilan atau kekayaan seorang wajib pajak kepada pihak lain
sehingga wajib pajak tersebut merasa dirugikan, maka ia dapat mengadukannya
kepada yang berwajib. Pembocoran rahasia jabatan ini rnerupakan delik aduan (klacht
delict) artinya baru akan diadakan penuntutan oleh Jaksa apabila ada
pengaduan dari pihak wajib pajak yang merasa kerahasiaannya mengenai kekayaan
maupun penghasilan dilanggar oleh pejabat pajak (fiskus). Ancaman pidana bagi
pelanggaran rahasia jabatan ini hukumannya paling lama satu tahun dan/atau
denda uang paling tinggi Rp 4.000.000,-(empat juta rupiah).
Ancaman pidana bagi petugas/aparat pajak banyak diatur
dalam KUH Pidana. Sebagai contoh dapat dikemukakan soal "penyuapan"
kepada pejabat pajak sehingga merugikan negara.
Perbuatan demikian diancam pidana seperti yang diatur
dalam pasal 209 KUHP. jo pasal 418 KUHP. Hal lain adalah soal
"pemerasan" yang dilakukan oleh petugas pajak yang diancam pidana
seperti yang diatur dalam pasal 423 KUHP. Juga mengenai pemalsuan materai dan
pemalsuan surat Ketetapan Pajak diancam dengan pidana pasal 253 dan 263 KUHP.
C.
PENYIDIKAN
Pada pasal 44
Undang-undang Nomor Ketentuan Umum perpajakan ditegaskan bahwa Pejabat Pegawai
Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberikan wewenang khusus
sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 pada pasal 6 ayat 1 (b) ditentukan
"penyidikan adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang". Wewenang penyidik di bidang
perpajakan adalah:
a.
Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
b.
Melakukan penelitian terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan.
c.
Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang perpajakan.
d.
Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen-dokumen
lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan yang dapat dijadikan bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang perpajakan.
e.
Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan.
Penyidikan sebagaimana yang
diatur dalam pasal 44 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan) harus memberitahukan dimulainya penyidikan dan
penyampaian hasil penyidikannya kepada penuntut umum (JAKSA), sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara Pidana.
Penyidik di bidang pajak
adalah pegawai yang khusus ditunjuk oleh Menteri Keuangan R.I. untuk melakukan
tugas-tugas penyidikan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perpajakan.
Penyidikan pajak dapat mendatangi wajib pajak sepanjang untuk mengadakan
pemeriksaan-pemeriksaan pembukuan/dokumen-dokumen. Penyidik harus bertugas
aktif dan dapat meminta wajib pajak memberikan penjelasan-penjelasan dari
bahan-bahan yang diketemukan para penyidik.
Tugas penyidik pajak
merupakan tugas khusus di sektor bisnis karena mencari data yang memberi petunjuk
apakah seseorang wajib pajak sudah membayar pajak secara penuh atau belum.
Penyidik dalam menjalankan
tugasnya dapat melaksanakannya baik secara formal maupun secara informal. Penyidikan
secara formal dilakukan melalui penelitian-penelitian pembukuan dan
dokumen-dokumen, sedangkan penyidikan secara informal dilakukan dengan
meneliti informasi-informasi yang masuk pada Kantor Pajak, termasuk informasi
yang diberikan masyarakat dan mass media.
Sebaliknya para penyidik
dapat dikenakan sanksi pidana jika diketahui melakukan pelanggaran-pelanggaran
dalam melaksanakan tugasnya.
Yang menjadi persoalan
sekarang apakah penyidik petugas pajak memiliki wewenang seperti yang tercantum
dalam pasal 7 KUHAP 1981 yakni apakah penyidik pajak dapat melakukan: penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Kewenangan menyidik pajak hanya
terbatas pada wewenang yang terdapat pada pasal 44 tersebut di atas, sehingga
penyidik pajak dibatasi tugasnya sebagaimana pada pasal 44 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Dengan berpedoman pada
pasal 44 ayat 2 ini, maka penyidik pajak tidak boleh melakukan penahanan
maupun penangkapan terhadap wajib pajak.
Dalam Ilmu Hukum dikenal
adanya prinsip lex specialis derogat lex generalis. Undang-undang Nomor 16
Tahun 2000 ini berlaku sebagai hukum khusus menyampingkan hukum umum, dalam hal
ini Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidik hanya diberikan wewenang untuk memasuki
segala tempat untuk melakukan pemeriksaan dalam mencari data dan bukti-bukti
tentang adanya tindak pidana.
D.
PENUNTUTAN
Penuntutan dilakukan oleh
penuntut umum terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana
dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang
mengadili.
Penuntut umum setelah
menerima hasil penyidikan dari penyidik pejabat pajak segera mempelajari berkas
dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahu kepada penyidik apakah hasil
penyidik itu sudah lengkap, Jaksa menentukan apakah perkara itu sudah memenuhi
persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan.
Penuntut umum melimpahkan
perkara kepada pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili
perkara tersebut disertai dengan surat dakwaannya.
Surat dakwaan memuat data
yang lengkap mengenai nama lengkap, tempat lahir, umur, jenis kelamin,
kebangsaan, agama, tempat tinggal serta pekerjaan si tersangka, dan pula
memberi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat dilakukan tindak pidana.
Turunan surat pelimpahan perkara
beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasehat
hukumnya dan pula kepada penyidik pada saat yang bersamaan dengan pelimpahan
perkara kepada pengadilan negeri.
Penuntut umum dapat mengubah
surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang baik dengan tujuan
untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya.
Perubahan surat dakwaan
hanya dapat dilakukan satu kali saja, selambat-lambatnya tujuh hari sebelum
hari sidang dimulai.
Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia
menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasehat hukumnya dan penyidik.
E.
PUTUSAN HAKIM
Perkara disidangkan dalam sidang, dan terdakwa
dipanggil untuk hadir dalam sidang, demikian juga para saksi yang akan didengar
dipanggil secara tertulis.
Sebelum memberi keterangan, para saksi wajib
mengucapkan sumpah menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya.
Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi
mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa. Alat bukti yang diajukan oleh
terdakwa atau pihak lain diperiksa, dan keterangan ahli bila perlu didengar.
Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya diputus bebas akan tetapi jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhkan pidana.
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada
terdakwa segera sesudah putusan hakim pidana diucapkan, tentang segala sesuatu
yang menjadi haknya terhadap putusan hakim tersebut. Hak-hak terdakwa (Pasal
196 KUHAP) adalah:
a.
Segera diterima;
b.
Segera ditolak;
c.
Minta waktu untuk mempelajari putusan sebelum menerima atau
menolak;
d.
Minta penangguhan pelaksanaan untuk memungkinkan terdakwa
mengajukan permohonan grasi;
DAFTAR PUSTAKA
Arinta, Kustadi. Sistem dan Peraturan Perpajakan
Indonesia, Alumni Bandung, 1984.
Atmadja, Koesoemah, RDH. Pengantar Hukum Tula Usaha Negara,
Alumni Bandung, 1975.
Bohari. Pengantar Perpajakan. Ghalia Indonesia,
Jakarta 1985.
Barnet, Richard J dan R.E. Muller, Global Reach, Terjemahan
Drs. Setiawan Abadi, MA, LP3S,
Jakarta 1984.
Brotodihardjo, Santoso R. Pengantar llmu Hukum Pajak, Eresco,
Bandung 1981.
Djajadiningrat, Isa Sindian. Hukum Pajak Dan Keadilan, Eresco,
Bandung 1965.
———, Makna Hukum Fiskal Formil, Sekolah Tinggi llmu Keuangan,
Jakarta 1968.
Djojohadilususumo, Soemitro. Trilogi Pembangunan dan Ekonomi
Pancasila, IKPN RI, cetakan
pertama, Februari, 1985.
Due, John F. Government Finance, Terjemahan
Inskandarsyah dan Arief Yamin, Yayasan
Penerbit Universitas Indonesia 1968.
Eckstein, Otto. Public Finance, Terjemahan St.
Dianjung, Bina Aksara, Jakarta 1981.
Gautama, Sudargo. Tafsiran
Undang-undang Pokok Agraria,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar