BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang Masalah
Kecamatan Jebres yang terletak di Kota Surakarta adalah sebuah instansi pemerintahan yang berfungsi memberikan
layanan kepada masyarakat khususnya masyarakat yang berada di daerah Kecamatan
Jebres dengan wilayah kerja meliputi 11 Kelurahan dengan luas wilayah 12,58 km², kepadatan penduduk sebesar 11.019 per km². kecamatan
Jebres yang terletak di bagian utara kota surakarta. Wilayah kecamatan ini
berbukit-bukit dan hampir semua pemakaman di kota Surakarta terletak di
kecamatan ini. Kecamatan Jebres adalah tempat berlokasinya Kraton Kasunanan Surakarta, kampus Universitas Sebelas Maret, Stasiun Solo Jebres dan Stasiun Solo-Kota, Perumnas Mojosongo,
Taman Wisata Jurug, Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, serta Terminal Bus Tirtonadi.
Di Jebres juga berlokasi berbagai kegiatan industri.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah berlaku, maka terjadi perubahan terhadap sistem pemerintah nasional. Perubahan sistem pemerintahan nasional tersebut terlihat pada asas pemerintahan. Dengan pemberlakuan Undang-Undang tersebut maka terjadi suatu perubahan asas yang semula bersifat sentralisasi menjadi asas yang bersifat desentralisasi. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Fungsi utama pemerintah daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yakni sebagai pelayan masyarakat. Berdasarkan peradigma tersebut aparat pemerintah daerah khususnya aparat pemerintah kecamatan dituntut untuk dapat memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat. Penjelasan undang-undang tersebut selaras dengan tuntutan rakyat yang menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan berwibawa serta berwawasan pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi pada kenyataannya masih terdapat kantor kecamatan yang kurang memperhatikan bagaimana memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada karakter birokrasi perangkat kecamatan yang belum sesuai harapan di wilayahnya. Sejalan dengan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai mana di sebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah merupakan perwujudan pertanggung jawaban sabagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah merupakan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Pembenahan dalam penyelenggaraan pemerintah yang berorientasi pada fungsi pelayanan masyarakat, hendaknya di titik beratkan pada pemerintah kecamatan. Karena kecamatan merupakan pusat pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan harus dilakukan, terutama bagaimana menumbuhkan dan meningkatkan kinerja aparat kantor kecamatan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang mau tidak mau harus berupaya meningkatkan kemampuan kerjanya semaksimal mungkin, karena pelaksanan tugas pelayanan oleh pemerintah kecamatan sangat tergantung pada kinerja aparatnya. Sedangkan masyarakat hanya dapat menilai kinerja kantor kecamatan dari kualitas pelayanan yang di terimanya.
Sehubungan dengan jumlah aparat kantor
kacamatan yang kurang memadai atau tidak sebanding dengan volume/beban kerja
yang diterima, terutama dalam hal pelayanan kepada masyarakat, maka perlu
dilakukan upaya-upaya peningkatan kinerja aparat kantor kecamatan terhadap
pelayanan kepada masyarakat demi tercapainya pelayanan yang baik dari kantor
kecamatan. Kinerja merupakan terjemahan dari
performance, yang diartikan sebagai perbuatan, pelaksanaan pekerjaan, prestasi
kerja, pelaksanaan pekerjaan berdaya guna.”performance is defined as the record
of outcomes produced on a spesific job function or activity during a spesific
time period”. Arti kinerja didefinisikan sebagai catatan mengenai outcomes yang
dihasilkan dari suatu aktivitas tertentu, selama kurun waktu tertentu”
(Bemadian, jhon dan Joyje E.A Russel, dikutip oleh Sedamaryanti,2001:4).
Sedangkan kinerja (performace) dalam arti yang sederhana adalah prestasi kerja
(Sadu Wasistiono,2002:45). Sementara itu menurut Rue dan Byars (1981:375)
mendefinisikan kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil atau ”The degree of
accomplishment” Hal ini menunjukan bahwa kinerja merupakan tingkat pencapaian
tujuan organisasi.
Kinerja aparat kantor kecamatan yang cukup tinggi diharapkan dapat mewujudkan suatu efektifitas dalam penyelenggaraan pemerintah kecamatan sebagai bentuk kesiapan aparat kantor kecamatan dalam menghadapi perubahan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Pelayanan dalam Kamus Bahasa Indonesia (1996:571) berasal dari kata layan yang berarti membantu (mengurus) apa-apa yang diperlukan seseorang. Sedangkan kata pelayanan mempunyai arti perihal atau melayani. Menurut Moenir (1998:17).
Kinerja aparat kantor kecamatan yang cukup tinggi diharapkan dapat mewujudkan suatu efektifitas dalam penyelenggaraan pemerintah kecamatan sebagai bentuk kesiapan aparat kantor kecamatan dalam menghadapi perubahan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Pelayanan dalam Kamus Bahasa Indonesia (1996:571) berasal dari kata layan yang berarti membantu (mengurus) apa-apa yang diperlukan seseorang. Sedangkan kata pelayanan mempunyai arti perihal atau melayani. Menurut Moenir (1998:17).
”Pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas
orang lain yang langsung” Kemudian menurut Eko Supriyanto dan Sri Sugiyanti
(2001:9) pelayanan adalah upaya untuk membantu menyiapkan, atau mengurus
keperluan orang lain. Belum jelas apabila belum ada yang memuat tentang proses
itu sendiri, untuk menerangkan lebih lanjut mengenai proses itu sendiri menurut
Fred Luthans (1973:188): ”Any action which is performed by management to
achieve organizational objective” Di sini pengertian proses terbatas dalam
kegiatan management dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Jadi pelayanan
disini adalah rangkaian organisasi manajemen. Peningkatan kualitas pelayanan
yang menjadi tuntutan masyarakat harus di penuhi oleh aparat kecamatan sebagai
penyelenggara pemerintah di kecamatan. Karena
pada dasarnya menerima pelayanan yang memuaskan dari aparat pemerintah
merupakan hak yang dimiliki setiap warga masyarakat. Dengan pelayanan yang
diterima tersebut maka diharapkan masyarakat akan berpartisipasi aktif dalam
mendukung tugas-tugas aparat pemerintah, sehingga terjadi keseimbangan antara
hak yang ditetapkan oleh masyarakat dan kewajiban yang harus dijalankan sebagai
warga negara. Pelayanan yang diberikan tanpa
memandang status, pangkat, dan golongan dari suatu masyarakat. Pada saat yang
sama masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pelayanan tersebut
dengan landasan yang bersifat umum dalam bentuk pedoman tata laksana pelayanan
umum.
Melalui keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum, pemerintah mengatur tata cara pelaksanaan tugas dan fungsi pelayanan di tingkat kecamatan. Khusus diKecamatan Jebres pemberian pelayanan masyarakat memerlukan perhatian yang serius dan tanggung jawab moral yang tinggi. Hal itu merupakan tantangan tersendiri bagi aparatur pemerintah, khususnya yang bertugas dikantor kecamatan Jebres untuk selalu memperlihatkan kinerja yang optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan realitas seperti itu, maka mereka harus berprilaku sebagai aparat yang bersih dan berwibawa, menegakkan disiplin dan penuh keihklasan dalam melayani masyarakat.
Melalui keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum, pemerintah mengatur tata cara pelaksanaan tugas dan fungsi pelayanan di tingkat kecamatan. Khusus diKecamatan Jebres pemberian pelayanan masyarakat memerlukan perhatian yang serius dan tanggung jawab moral yang tinggi. Hal itu merupakan tantangan tersendiri bagi aparatur pemerintah, khususnya yang bertugas dikantor kecamatan Jebres untuk selalu memperlihatkan kinerja yang optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan realitas seperti itu, maka mereka harus berprilaku sebagai aparat yang bersih dan berwibawa, menegakkan disiplin dan penuh keihklasan dalam melayani masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan
kecamatan
Dalam
dimensi historis dan dinamikanya, kelembagaan kecamatan mengalami perubahan (institutional
change) yang secara multilinear sejajar dengan perubahan
sosial
yang terjadi dalam masyarakat, khususnya perubahan pada tata pemerintahan
daerah. Perspektif sosiologi memandang perubahan kelembagaan tersebut sebagai
suatu proses pelembagaan (institutionalization) atau pembaruan
kelembagaan sosial. Kebanyakan aksi masyarakat atas perubahan kelembahan
terjadi secara spontan, bukan sebagai rencana yang disadari (ArgandoƱa, 2004).
Dalam konteks reformasi di Indonesia perubahan tersebut erat kaitannya dengan
perubahan tata pemerintahan daerah, mulai dari
peraturan perundangan masa kolonial, UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun
1999, hingga UU Nomor 32 Tahun 2004. Perubahan pada aspek regulasi
tersebut dimaknai sebagai perubahan tataran sistem norma dan nilai serta proses
pembentuk pola perilaku aktor dan masyarakat yang secara bersama-sama (co-evolution)
diikuti dengan perubahan proses pengorganisasian kecamatan sehingga membentuk
badan atau organisasi kecamatan yang sesuai dengan perubahan pada aspek
regulasi tersebut di atas. Merujuk pada Carney and Gedajlevic (2002), perubahan bersama antara kelembagaan dan organisasi
kecamatan dimaknai sebagai suatu Institutional and Organizational
Co-evolution. Pada konteks itu evolusi bersama antara kelembagaan
dan organisasi kecamatan dapat dikonstruksikan suatu perubahan yang terjadi
pada kecamatan, yakni organisasi kecamatan akan beradaptasi terhadap perubahan
pranata sosial (sistem norma dan nilai) dari traditional-local institutions (endogenous)
dan formal-local institutions (exogenous); merespon dan
bersinergi membentuk sesuai dengan kondisi traditional & formal
intitutions, bentuk organisasi kecamatan yang baru tersebut merupakan
sinergi dari pertukaran sistem norma dan nilai (asimilasi dan akulturasi) traditional
& formal institutions. Perubahan kelembagaan kecamatan tersebut secara
teoretik tidak hanya disebabkan oleh faktor regulasi. Selain faktor tersebut,
struktur sosial masyarakat—termasdi dalamnya perubahan dan dinamika ekonomi
mikro dan makro, dan faktor kultural—merupakan faktor-faktor yang dapat
mempercepat atau memperlambat bahkan menjadi buffer, evolusi bersama
kelembagaan dan organisasi kecamatan.
Bentuk-bentuk
kelembagaan kecamatan yang dikonstruksikan sebagai hasil dari proses evolusi
bersama antara kelembagaan dan organisasi kecamatan (perubahan kelembagaan
kecamatan) pada setiap periode akan menunjukkan kekhasan dengan pilarpilar
penopang kelembagaan kecamatan seperti dijelaskan oleh Scott (cultural
cognitif, normative dan regulative). Oleh karena itu, dengan kekhasan
pilar-pilar penopang kelembagaan kecamatan akan berimplikasi sampai sejauhmana
kelembagaan kecamatan mampu menjadi sebuah sistem organisasi dan kontrol
sumberdaya.
Kewenangan
dan Pemberdayaan Camat
UU Nomor 32 Tahun 2004 dinilai tidak memberi cukup ruang bagi
camat untuk menjalankan peran yang diharapkan publik. Peran camat ditentukan
oleh bagaimana bupati atau walikota mendelegasikan kewenangan kepada camat.
Masalahnya, di hampir semua daerah di Indonesia camat belum mendapatkan
delegasi kewenangan dari bupati atau wali kota secara maksimal.
Pemerintah
daerah cenderung mengedepankan logika sektoral dan
belum mampu memberdayakan kecamatan dalam logika kewilayahan. Sebagian
besar kewenangan lebih banyak dimiliki instansi sektoral. Hal ini diperparah dengan tidak mudahnya membuka
kesediaan instansi sektoral untuk berbagi kewenangan dengan kecamatan karena
terkait dengan pembagian sumber daya.
Secara
filosofis kecamatan yang dipimpin oleh camat perlu diperkuat dan diberdayakan
dari aspek sarana-prasarana, sistem adminitrasi, keuangan dan kewenangan bidang
pemerintahan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sebagai ciri
pemerintahan kewilayahan yang memegang posisi strategis dalam hubungan dengan
pelaksanaan kegiatan pemerintahan kabupaten/kota yang dipimpin oleh
bupati/walikota. (Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan
Organisasi, Jan—Apr 2009, hlm. 53-58 Volume 16, Nomor 1, ISSN 0854-3844 Peran Camat di Era Otonomi Daerah Moh. Ilham
A. Hamudy).
Kedudukan Kecamatan
Kecamatan
menurut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.”Wilayah
kecamatan adalah lingkungan kerja perangkat Pemerintah Wilayah Kecamatan dalam
menyelenggarakan pelaksanaan pemerintahan umum. Pemerintah Wilayah Kecamatan
adalah Kepala Wilayah yang disebut dengan Camat beserta perangkat lainnya dalam
menyelenggarakan pemerintahan umum di Wilayah Kecamatan. Kecamatan adalah
lingkungan kerja perangkat pemerintah wilayah Kecamatan yang meliputi beberapa
Desa/Kelurahan.”
Kedudukan Kecamatan dalam Bab IV Pasal 14 UU No. 22 Tahun 1999
(1)
Kecamatan merupakan perangkat daerah
kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah
kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat.
(2)
Camat berkedudukan di bawah dan
bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota.
Sementara
menurut Undang-undang 32 Tahun 2004
.Kecamatan merupakan “wilayah kerja camat sebagai perangkat Daerah
Kabupaten/Kota” (Pasal 126 ayat (1)) dan Camat menerima pelimpahan sebagian
wewenang Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah
(kewenangan delegatif). Camat juga melaksanakan tugas umum pemerintahan
(kewenangan atributif) (Pasal 126 ayat (1) dan (2) UU 32/2004). Kecamatan
dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah berpedoman pada
Peraturan Pemerintah (Pasal 126 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004).
Perubahan mendasar dalam penyelenggaraan
pemerintahan kecamatan sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999,
kemudian dilanjutkan pada UU Nomor 32 Tahun 2004. Perubahannya
mencakup mengenai kedudukan kecamatan menjadi perangkat daerah kabupaten/kota,
dan camat menjadi pelaksana sebagian urusan pemerintahan yang menjadi wewenang
Bupati/ Walikota. Di dalam Pasal 120 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004
dinyatakan bahwa, “Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat
daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan,
dan Kelurahan”.
Pasal
tersebut menunjukkan adanya dua perubahan penting yaitu:
a) Kecamatan
bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan dan dipersepsikan merupakan wilayah
kekuasaan kecamatan. Dengan paradigma
baru, Kecamatan merupakan suatu wilayah kerja atau areal tempat Camat bekerja.
b) Camat
adalah perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dan bukan lagi penguasa
tunggal yang berfungsi sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan akan tetapi merupakan pelaksana sebagian wewenang yang
dilimpahkan Bupati/Walikota.
Posisi
sebagai perangkat daerah membuat camat baru memiliki kewenangan jika ada
pelimpahan dari walikota sebagai atasan (lihat pasal 15 Ayat 2). Dengan
demikian, pendelegasian kewenangan dari walikota
kepada camat menggunakan landasan hukum Peraturan Walikota. (Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2010, hlm. 160-169 Volume 17, Nomor 2 Analisis
Pemberdayaan Peran dan Fungsi Camat Akmal Khairi ISSN 0854-3844)
Mekanisme pengangkatan camat
Camat
atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan
di wilayah kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan
kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan
otonomi daerah dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan (Pasal 1 ayat (9)
PP No 19 Tahun 2008).
Persyaratan Camat
Camat
sebagaimana dimaksud di atas diangkat oleh Bupati/Walikota atau asal sekretaris
daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang menguasai pengetahuan
teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (Pasal 126 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004).
Pengangkatan camat dalam PP No. 19 Tahun
2008 Bab VI Pasal 24
“Camat diangkat oleh Bupati/Walikota
atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang
menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.”
Pengetahuan
teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 meliputi(Pasal 25):
a) Menguasai
bidang ilmu pengetahuan dibuktikan dengan ijazah diplomasi/sarjana
pemerintahan;
b) Pernah
bertugas di desa, kelurahan, kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun.
Apabila
tidak memenuhi persyaratan, maka dalam Pasal 26 ditentukan:
(1) Pegawai
negeri sipil yang akan diangkat menjadi Camat dan tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib mengikuti pendidikan teknis
pemerintah yang dibuktikan dengan sertifikat.
(2) Pelaksanaan
pendidikan teknis pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Meneteri
Dalam Negeri.
Tugas camat
Sebagaimana
diketahui Camat adalah Kepala Wilayah menurut Pasal 77 UU No. 5 Tahun
1974. Kecamatan merupakan hasil
pembagian wilayah Kabupaten dan Kotamadya(Pasal 72 ayat (3)). Dalam menjalankan tugasnya, Kecamatan
bertanggungjawab kepada Kepala Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan
(Pasal 78 butir a).
Camat mempunyai kedudukan
sebagai Kepala Wilayah yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan di Tingkat
Kecamatan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur melaului
Bupati/Walikotamadya atau Walikota yang bersangkutan. Dalam hal ditetapkan pejabat Pembantu
Bupati/Walikotamadaya, Camat dalam menjalankan tugasnya berada di bawah
koordinasi Pembantu Bupati/Walikotamadya. (Rudini. 1993. Sistem dan Mekanisme
Penyelenggaraan Pemerintah di Daerah. Jakarta: Percetakan Negara RI).
Wewenang,
tugas dan kewajiban Kepala Wilayah adalah (Pasal 81 UU No.5 Tahun 1974):
a) membina
ketentraman dan ketertiban di wilayahnya sesuai dengan kebijaksanaan
b) ketentraman
dan ketertiban yang ditetapkan oleh Pemerintah;
c) melaksanakan
segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan ideologi, Negara dan politik
dalam negeri serta pembinaan kesatuan Bangsa sesuai dengan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Pemerintah;
d) menyelenggarakan
koordinasi atas kegiatan-kegiatan Instansi-instansi Vertikal dan antara
Instansi-instansi Vertikal dengan Dinas-Dinas Daerah, baik dalam perencanaan
maupun dalam pelaksanaan untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang
sebesar-besarnya;
e) membimbing
dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Daerah;
f) mengusahakan
secara terus menerus agar segala peraturan perundang-undangan dan Peraturan
Daerah dijalankan oleh Instansi-instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta
pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan yang
dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah;
g) melaksanakan
segala tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
diberikan kepadanya;
h) melaksanakan
segala tugas pemerintah yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu Instansi
lainnya.
Menurut
UU No. 22 Tahun 1999 kecamatan adalah perangkat Daerah kabupaten dan Daerah
Kota yang dipimpin camat yang menerima pelimpahan wewenang dari
Bupati/Walikota.
Menurut
UU No 32 Tahun 2004 Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda
berpedoman pada Peraturan Pemerintah (Pasal 126 ayat (2)). Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh sebagian
wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah
(Pasal 126 ayat (2)). Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) camat
juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi (Pasal 126 ayat (3) UU
No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 15 ayat (1) PP No 19 Tahun 2008):
a) Mengkoordinasikan
kegiatan pemberdayaan masyarakat
b) Mengkoordinasikan
upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum.
c) Mengkoordinasikan
penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan.
d) Mengkoordinasikan
pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
e) Mengkoordinasikan
penyelenggaraan kegiatan pemerintah di tingkat kecamatan.
f) Membina
penyelenggaraan pemerintah desa dan/atau kelurahan.
g) Melaksanakan
pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum
dapat dilaksanakan pemerintah desa atau kelurahan.
Tugas
Camat selanjutnya adalah Camat
melaksanakan kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota
untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek:
a) Perizinan
b) Rekomendasi
c) Koordinasi
d) Pembinaan
e) Pengawasan
f) Fasilitasi
g) Penetapan
h) Penyelenggaran,
dan
i)
Kewenangan lain yang dilimpahkan. (Pasal
15 ayat (2))
Pelaksanaan
kewenangan camat sebagaimana yang dimaksud ayat (2) menunjuk penyelenggaraan
urusan pemerintahan pada lingkup kecamatan sesuai peraturan perundang-undangan.
(Pasal 15 ayat (3))
Pelimpahan
sebagian wewenang bupati/walikota kepada Camat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan berdasarkan eksternalitas dan efisiensi (Pasal 15 ayat (4))
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan Bupati/Walikota berpedoman
pada Peraturan Pemerintah ini. Pasal 15 ayat (5).
Keputusan Menteri
Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi
Kecamatan menyebutkan bahwa Camat mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan
kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota atau
Walikotamadya/Bupati Administrasi di Provinsi DKI Jakarta, sesuai karakteristik
wilayah, kebutuhan daerah dan tugas pemerintahan lainnya berdasarkan paraturan
perundang-undangan.
Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, Kecamatan
merupakan perangkat Kabupaten/Kota Administratif, serta mendapatkan pelimpahan
kewenangan langsung dari Gubernur. Hal
ini terkait dengan status Kabupaten dan Kota di wilayah DKI yang hanya
merupakan “wilayah administratif belaka”, sehingga tidak memiliki kewenangan
desentralisasi yang dapat dilimpahkan kepada Camat dan Lurah.
Dalam
menjalankan tugas-tugasnya, camat dibantu oleh perangkat kecamatan dan
bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretariat Daerah
Kabupaten/Kota Perangkat kecamatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) bertanggungjawab kepada camat (Pasal 126 ayat
(6)). Pelasanaan ketentuan-ketentuan
tersebut di atas ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota dengan berpedoman
pada peraturan pemerintah. (Pasal 126 ayat (7)). (Jimly Asshiddiqie.2006. Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta.Konstitusi Pers.
h.273-274.
Kewenangan camat
Hak,
wewenang dan kewajiban Camat (UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa):
1. Mengolah
dan meneruskan kepada Bupati/Walikotamadya atas nama Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I, pertanggungjawaban pelaksanaan hak, wewenang dan kewajiban Kepala
Desa dalam melaksanakan pimpinan Desa (pasal 10 ayat (2)).
2. Memberikan
pertimbangan-pertimbangan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II
atas usul Kepala Desa tentang pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Desa
(pasal 15 ayat (2)).
3. Atas
nama Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II melaksanakan pengangkatan
dan pemberhentian Kepala Urusan pada Sekretaris Daerah atas usul Kepala Desa
(pasal 15 ayat (4)).
4. Atas
nama Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II melaksanakan pengangkatan
dan pemberhentian Kepala Dusun atas Kepala Desa (pasal 16 ayat (3)).
5. Mengolah
dan meneruskan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas nama
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, pertanggungjawaban pelaksanaan hak, wewenang
dan kewajiban Kepala Kelurahan dan pimpinan pemerintahan Kelurahan (pasal 27).
6. Mengatur
kerja sama dan menyelesaikan perselisihan antar Desa, Kelurahan dan antara Desa
dengan Kelurahan dalam Wilayahnya (pasal 32).
7. Mengatur
hal-hal yang belum diatur dan segala sesuatu yang timbul sebagai akibat
pelaksanaan Undang-undang tentang Pemerintahan Desa, sepanjang hak, wewenang
dan kewajiban untuk itu berdasar peraturan perundang-undangan diserahkan kepada
Camat (pasal 38).
Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara eksplisit memberikan
kewenangan otonomi kepada DaerahKabupaten dan Daerah Kota didasarkan pada asas desentralisasi saja
dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Dengan rumusan tersebut, maka kepada Daerah
diberi peran dan tanggungjawab yang lebih besar untuk memberdayakan
pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat di Daerah. Melalui undang-undang
tersebut, simpul-simpul kebijakan telah bergeser dari Pusat dan Propinsi ke Kabupaten/Kota
dengan asumsi bahwa pelayanan publik, pembangunan dan pemberdayaan dapat
diselenggarakan lebih efektif dan efisien.
Pengaturan
kewenangan camat tergantung pada pelimpahan wewenang dari Bupati / Walikota
sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai pasal 11 Undang-undang nomor 22 tahun 1999, pelimpahan kewenangan
dimaksud meliputi :
a) Mencakup
semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7
dan yang diatur dalam pasal 9, (pasal 7 berisi kewenangan daerah yang dikecualikan
dari kewenangan pemerintah pusat dan Pasal 9 berisi kewenangan propinsi sebagai
daerah otonom dan wilayah administrasi).
b) Bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan daerah Kota
meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan,pertanian,perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal,
lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
c) Dalam
penjelasan pasal 11 disebutkan : khusus kewenangan Daerah Kota disesuaikan
dengan kebutuhan perkotaan, antara lain, pemadam kebakaran, kebersihan,
pertamanan dan tata kota.
Dengan UU No 5
Tahun 1974, Camat diberikan kewenangan atributif sebagai Kepala Wilayah. Menurut Pasal 1 huruf (j) UU Nomor 5 Tahun
1974, yang dimaksud dengan urusan pemerintahan umum adalah : “urusan
pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik,
koordinasi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk
dalam tugas sesuatu Instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga Daerah”.
Urusan pemerintahan umum ini diselenggarakan oleh setiap kepala wilayah pada
setiap tingkatan - sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam rangka
melaksanakan asas dekonsentrasi.
Pemerintahan
sebagai kewenangan atributif mencakup tiga jenis kewenangan yakni kewenangan
melakukan koordinasi yang meliputi lima bidang kegiatan, kewenangan melakukan pembinaan serta kewenangan
melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Kewenangan koordinasi dan pembinaan
merupakan bentuk pelayanan secara tidak langsung (indirect services). Sedangkan kewenangan pemberian pelayanan
kepada masyarakat dikategorikan sebagai pelayanan secara langsung (direct
services).
Kewenangan atributif merupakan kewenangan yang
melekat pada kecamatan karena adanya ketentuan peraturan perundang-undangan
tertentu; atau kewenangan pangkal yang diberikan oleh peraturan yang membentuk
kecamatan; atau kewenangan tradisional yang telah dimiliki oleh kecamatan
semenjak sebelum berlakunya UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004.
kewenangan ini
tidak dapat dijalankan secara parsial, namun harus utuh (100 persen) tanpa
membedakan tipologi, kemampuan atau kebutuhan organisasi. Kewenangan atributif
dapat dikatakan pula sebagai Kewenangan Generik.
Dengan
UU No 22 Tahun 1999 ini kewenangan atributif hilang dan pada Camat hanya
diberikan kewenangan delegatif. Sebagian
kewenangan pemerintahan yang dapat dilimpahkan oleh Walikota kepada Camat,
yakni pada bidang :
(1).pemerintahan
(2). ekonomi dan
pembangunan
(3). pendidikan dan
kesehatan
(4). sosial
(5). pertanahan
Kewenangan delegatif
adalah kewenangan tambahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota kepada Camat
dalam rangka penyelenggaraan tugas/fungsi desentralisasi. Pelimpahan kewenangan
delegatif ini dilakukan atas dasar pertimbangan kemampuan kecamatan, kebutuhan
obyektif penduduk kecamatan, atau karena alasan efisiensi pelayanan publik.
Oleh karena itu, luas / besaran kewenangan delegatif ini berbeda antara
kecamatan yang satu dengan yang lain. Kewenangan delegatif dapat dikatakan pula
sebagai Kewenangan Kondisional.
Meskipun demikian perlu dipahami bahwa walaupun kebutuhan
kewenangan berbeda untuk setiap tipologi kecamatan, namun sumber perolehan
kewenangan tadi tetap, yakni kewenangan kabupaten/kota Kegiatan pada
masing-masing bidang, baik jumlah, jenis maupun kewenangan lainnya dapat
dilimpahkan ke kecamatan sesuai dengan : kondisi, spesifikasi, karakteristik,
dan kebutuhan masing-masing kecamatan dan kemampuan daerah.
Dari
ketentuan di atas, sebenarnya pola pelimpahan kewenangan dari Bupati/ Walikota
kepada Camat memiliki dua pola, yakni :
a) Pola
I
seragam untuk semua kecamatan
b) Pola
II
seragam untuk kewenangan tertentu yang
bersifat umum ditambah dengan kewenangan spesifik yang sesuai dengan
karakteristik wilayah dan penduduknya.
Diberikannya kewenangan atributif bersama-sama
kewenangan delegatif kepada Camat menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 sebenarnya
merupakan koreksi terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999. Pada masa UU tersebut, Camat
hanya memiliki kewenangan delegatif dari Bupati/Walikota tanpa disertai
kewenangan atributif.
Urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan camat meliputi 5 (lima) bidang kewenangan
pemerintahan yaitu :
1. bidang pemerintahan;
2. bidang pembangunan dan ekonomi;
3. bidang pendidikan dan kesehatan;
4. bidang sosial dan kesejahteraan;
5. bidang pertanahan.
Di
samping urusan pemerintahan tersebut di atas yang dapat menjadi isi kewenangan
dan menjadi tugas Camat, juga terdapat penyelenggaraan tugas umum pemerintahan
sebagaimana diatur pada Pasal 126 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004.
Penjabaran
lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang Camat, ditetapkan dalam Pasal 15 ayat
(1) PP Nomor 19 Tahun 2008. Selanjutnya pada Pasal 15 ayat (2) PP Nomor 19
Tahun 2008 ditambahkan rambu-rambu kewenangan yang perlu didelegasikan oleh
Bupati/ Walikota kepada Camat untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.
PP
Nomor 19 Tahun 2008 mengatur secara lebih rinci mengenai tugas dan wewenang
Camat, baik untuk kewenangan yang bersifat atributif maupun pedoman untuk
kewenangan yang bersifat delegatif. Untuk kewenangan delegatif disusun
berdasarkan kriteria EKSTERNALITAS DAN EFISIENSI. Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Camat diatur dengan Peraturan
Bupati/Walikota (Uraian lebih lanjut mengenai tugas pokok dan fungsi serta
kewenangan Camat diatur tersendiri dalam Pelatihan Praktek Implementasi
Kewenangan Camat dan Tupoksi Camat).
Susunan dan
Bagan Organisasi Kecamatan
Pada
Pasal 126 ayat (5) dan (6) UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Camat dalam
menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggung
jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah kabupaten/kota.
Perangkat kecamatan bertanggung jawab kepada Camat.
Selanjutnya
menurut Pasal 14 Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004, susunan organisasi kecamatan
terdiri dari Camat, Sekretaris, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) seksi, serta
kelompok jabatan fungsional. Khusus untuk organisasi kecamatan di Provinsi DKI
Jakarta, Camat dibantu oleh seorang Wakil Camat.
Susunan organisasi
kecamatan terdiri dari :
a)
Camat;
b)
Sekretaris Kecamatan;
c)
Seksi Pemerintahan;
d)
Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum;
e)
Seksi lain dalam lingkungan kecamatan yang
nomenklaturnya disesuaikan dengan spesifikasi dan karakteristik wilayah
kecamatan sesuai kebutuhan daerah;
f)
Kelompok jabatan fungsional.
Sekretariat
kecamatan dipimpin oleh seorang sekretaris yang berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Camat. Sekretaris Kecamatan mempunyai tugas membantu
Camat dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan dan memberikan
pelayanan administrasi kepada seluruh perangkat/ aparatur kecamatan.
Seksi yang wajib ada
pada susunan setiap organisasi kecamatan sebagaimana Pasal 7 Kepmendagri Nomor
158 Tahun 2004 adalah :
1. Seksi
Pemerintahan, mempunyai tugas membantu Camat dalam menyiapkan bahan perumusan
kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan urusan pemerintahan.
2. Seksi
Ketenteraman dan Ketertiban Umum, mempunyai tugas membantu Camat dalam
menyiapkan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan
urusan ketenteraman dan ketertiban umum.
Seksi yang wajib
ada pada susunan setiap organisasi kecamatan sebagaimana Pasal 7 Kepmendagri
Nomor 158 Tahun 2004 adalah :
1. Organisasi
kecamatan terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima) seksi, dan
sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian.
2. Seksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a) seksi
tata pemerintahan;
b) seksi
pemberdayaan masyarakat dan desa; dan
c) seksi
ketenteraman dan ketertiban umum.
3. Pedoman
organisasi kecamatan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah
mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendayagunaan aparatur negara.
Kelompok jabatan fungsional yang ada di kecamatan
biasanya merupakan “kepanjangan tangan” dari Dinas dan Lemtekda Kabupaten/Kota
maupun instansi vertikal yang bertugas dalam lingkungan kecamatan bersangkutan
seperti PLKB (Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana), PPL Pertanian (Petugas
Penyuluh Lapangan), Petugas/Mantri Statistik, dsb.
Adapun nomenklatur dan tugas
masing-masing seksi ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati/Walikota sesuai
kebutuhan berdasarkan beban tugas dan urusan pemerintahan yang diselenggarakan
kecamatan. Dimungkinkan dibentuknya jabatan fungsional sesuai kebutuhan.
Penempatan jabatan fungsional dalam susunan organisasi kecamatan menyesuaikan
dengan peraturan perundang -undangan yang berlaku.
STRUKTUR ORGANISASI KECAMATAN
MENURUT
KEPMENDAGRI NOMOR 158 TAHUN 2004
--- Hubungan Koordinasi dan Fasilitasi
__ Hubungan Operasional
Sedangkan menurut Pasal 23 PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan,
susunan organisasi Kecamatan diatur sebagai berikut :
1) Organisasi
kecamatan terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima) seksi, dan
sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian.
2) Seksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. seksi tata pemerintahan;
b. seksi pemberdayaan masyarakat dan desa; dan
c. seksi ketenteraman dan ketertiban umum.
3) Pedoman
organisasi kecamatan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah
mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendayagunaan aparatur negara.
Hubungan Kerja
I.
Kecamatan Dengan Perangkat daerah
Kabupaten/Kota
Pasal 14 Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004 mengatur hubungan kerja
kecamatan dengan perangkat daerah Kabupaten/Kota atau perangkat Kotamadya/
Kabupaten Administrasi di Provinsi DKI Jakarta yang bersifat koordinasi teknis
fungsional dan teknis operasional.
Menurut Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) PP Nomor 19 Tahun 2008,
Camat melakukan koordinasi dengan kecamatan di sekitarnya. Selain itu, Camat
juga mengoordinasikan unit kerja di wilayah kerja kecamatan dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk meningkatkan kinerja kecamatan.
Selanjutnya Camat juga melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat
daerah di lingkungan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan di kecamatan.
Pada Pasal 28 ayat (1) PP Nomor 19 Tahun 2008
dikemukakan bahwa hubungan kerja kecamatan dengan perangkat daerah
kabupaten/kota bersifat koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional.
Sedangkan hubungan kerja kecamatan dengan swasta, lembaga swadaya masyarakat,
partai politik, dan organisasi kemasyarakatan lainnya di wilayah kerja
kecamatan bersifat koordinasi dan fasilitasi.
Instansi daerah otonom (Kabupaten/Kota) yang biasanya ada di kecamatan
antara lain:
a)
Unit Pelaksana Teknis Dinas seperti Puskesmas,
Terminal, Pasar, Sekolah Negeri dan lain sebagainya;
b)
Cabang dinas daerah, seperti Cabang Dinas
Pendidikan, Cabang Dinas PU dan lain sebagainya, meskipun seharusnya menurut PP
Nomor 8 Tahun 2003 keberadaannya sudah dihapus.
II.
Kecamatan
dengan Instansi Vertikal
Hubungan kerja kecamatan dengan instansi vertikal di wilayah kerjanya
bersifat koordinasi. Hal tersebut diatur secara tegas pada Pasal 28 ayat (2) PP
Nomor 19 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa : “Hubungan kerja kecamatan dengan
instansi vertikal di wilayah kerjanya bersifat koordinasi teknis fungsional”.
Ada beberapa
instansi vertikal yang ada di kecamatan antara lain :
a) Komando Rayon
Militer (Koramil);
b) Kantor Polisi
Sektor (Polsek);
c) Mantri
Statistik;
d) Kantor Urusan Agama (KUA).
Keberadaan Camat sampai saat ini masih
diposisikan sebagai koordinator Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan),
meskipun Camat bukan lagi kepala wilayah. Hanya saja kedudukan sebagai
koordinator tidak sekuat pada saat Camat berposisi sebagai kepala wilayah.
III.
Kecamatan
dengan Pemerintahan Desa
Hubungan kerja kecamatan dengan pemerintahan desa bersifat koordinasi dan
fasilitasi. Hubungan Camat dengan Kepala Desa juga mengalami perubahan yang
sangat berarti. Apabila pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 dan UU Nomor 5 Tahun
1979, hubungannya bersifat hierarkhis, sekarang hubungannya bersifat
koordinasi, pembinaan dan fasilitasi.
IV.
Kecamatan
dengan Kelurahan
Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, pada UU Nomor 32 Tahun 2004,
hubungan Camat dengan Lurah bersifat koordinatif (lihat juga PP Nomor 73 Tahun
2005 tentang Kelurahan). Hubungan ini terjadi
karena delegasi kewenangan yang dijalankan oleh Lurah berasal dari
Bupati/Walikota, sehingga Lurahpun bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota
melalui Camat. Prinsip yang digunakan adalah bahwa mekanisme
pertanggungjawaban mengikuti mekanisme pendelegasian kewenangan.
Dalam konteks UU Nomor 22 Tahun 1999, hubungan pembinaan Camat kepada
Lurah sudah merupakan kewajiban yang melekat pada dirinya, mengingat Lurah
adalah bawahan Camat. Hal tersebut nampak dari bunyi Pasal 67 ayat (5) UU Nomor
22 Tahun 1999 bahwa : “Lurah bertanggung jawab kepada Camat”. Di dalam pasal 2
ayat (2) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 159 Tahun 2004 disebutkan bahwa :
“Kelurahan dipimpin oleh Lurah yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Camat”. Dengan demikian hubungan antara Camat dengan Lurah bersifat
subordinatif.
Selanjutnya di dalam Pasal 8 Kepmendagri Nomor 159 Tahun 2004 disebutkan
bahwa “Camat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan
fungsi Kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Di dalam Pasal 3 Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 159 Tahun 2004
dikemukakan pula bahwa : “Lurah mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan
kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Camat sesuai karakteristik
wilayah dan kebutuhan Daerah serta melaksanakan tugas pemerintahan lainnya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kepmendagri ini merupakan
penjabaran lebih lanjut dari Pasal 67 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 1999. Mengingat
kewenangan yang dijalankan oleh Camat berasal dari pendelegasian kewenangan
Bupati/Walikota, maka apabila Camat mau membuat Keputusan Camat mengenai
pelimpahan sebagian kewenangan Camat kepada Lurah, maka Camat perlu
berkonsultasi terlebih dahulu dengan Bupati/Walikota, kecuali hal tersebut
telah diatur secara eksplisit di dalam Keputusan Bupati/Walikota mengenai
pelimpahan sebagian kewenangan kepada Camat.
Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, di dalam Pasal 127 ayat (1) UU
Nomor 32 Tahun 2004 dikemukakan bahwa : “Kelurahan dibentuk di wilayah
kecamatan dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Artinya Kelurahan bukan perangkat kecamatan seperti pada UU sebelumnya. Pada
Pasal 127 ayat (2) selanjutnya dikemukakan bahwa : “Kelurahan dipimpin oleh
Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari
Bupati/Walikota “. Konsekuensi logis dari ayat tersebut, di dalam menjalankan
tugasnya Lurah tidak lagi bertanggung jawab kepada Camat, melainkan kepada
Bupati/Walikota melalui Camat.
Gambar di atas menunjukkan bahwa Camat dan Lurah masing-masing memperoleh
delegasi kewenangan langsung dari Bupati/Walikota, karena Bupati/ Walikota
adalah administrator yang menentukan “Apa” (what), yang dilengkapi kewenangan
dan sumber-sumber manajerial yang memadai. Camat
tidak lagi dapat mendelegasikan sebagian kewenangannya, karena hubungan antara
Camat dengan Lurah tidak lagi bersifat hirarkhis, melainkan bersifat
koordinatif (lihat PP Nomor 73 Tahun 2005). Tetapi berdasarkan
kewenangan atributif yang diberikan kepadanya, Camat dapat melakukan pembinaan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan kelurahan.
Dalam
upaya pemberdayaan pemerintah kecamatan untuk mempercepat otonomi daerah, PP 8
tahun 2003, kecamatan seharusnya memiliki tugas membantu Bupati /Walikota dalam
penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan dalam
wilayah kecamatan serta melaksanakan tugas pemerintahan lainnya yang tidak
termasuk dalam tugas perangkat daerah dan atau instansi lainnya. Untuk penyelenggaran
tugas ini, kecamatan mempunyai fungsi :
a) Pengkoordinasian
peneyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan
b) Penyelenggaraan
kegiatan pembinaan ideologi negara dan kesatuan bangsa
c) Penyelenggaraan
pelayanan masyarakat
d) Pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat
e) Penyelenggaraan
tugas-tugas pemerintahan umum dan keagrariaan
f) Penyelenggaraan
kegiatan pembinaan pemerintahan desa
g) Pembinaan
kelurahan
h) Pembinaan
ketentraman dan ketertiban wilayah
i)
Pelaksanaan koordinasi operaional Unit
Pelaksana Teknis Dinas Kabupaten / Kota
j)
Penyelenggaraan kegiatan pembinaan
pembangunan dan pengembangan partisipasi masyarakat
k) Penyusunan
program, pembinaan administrasi, ketatausahaan dan rumah tangga.
PEMBERDAYAAN PERAN DAN
FUNGSI CAMAT
Pemberdayaan peran dan fungsi camat sendiri mengacu pada tiga
konsep, yaitu konsep pemberdayaan,politik, dan kelembagaan.
Pemberdayaan
meliputi dua bagian, Pertama,pendelegasian kewenangan dari walikota
sebagai pemilik kewenangan kepada camat
yang menekankan pada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kewenangan dari walikota kepada camat agar menjadi lebih
berdaya (Morgen dan Bookman, 1988; Prijono dan Pranarka, 1996). Kedua,
Pengertian itu berkaitan dengan tindakan camat untuk melakukan kontrol
internal, mengembangkan kapasitas, serta kebebasan dalam memecahkan masalah yang
berada dalam ruang lingkup tugasnya (diskresi). Wujud kongkrit dari stimulasi
itu adalah pendidikan dan pelatihan kepada camat dan aparat kecamatan.
Subkonsep
pertama dari pemberdayaan yaitu kewenangan, yang menekankan pada seberapa besar
kewenangan yang didelegasikan oleh walikota kepada camat. Semakin besar
kewenangan yang didelegasikan maka pemberdayaan camat semakin optimal. Sub konsep
kewenangan memiliki dua indikator yaitu, pendelegasian wewenang dan tingkat
improvisasi (diskresi) camat.
Konsep
politik yang berkaitan dengan pemberdayaan peran dan fungsi camat adalah pembagian
atau alokasi. Alokasi membahas subjek
(siapa), objek (apa), waktu (kapan), dan cara (bagaimana) memperoleh kekuasaan
tersebut. Alokasi kekuasaan dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu budaya politik dan
struktur politik.
Struktur
politik lokal terdiri dari para elit yang terlibat dalam pemberdayaan peran dan
fungsi camat. Namun dalam pemberdayaan
peran dan fungsi camat, yang paling banyak terlibat adalah lembaga resmi yaitu
eksekutif dan legislatif. Hal ini dikarenakan oleh organisasi kecamatan berada
di dalam struktur organisasi Pemerintahan Kota sehingga pengaruh kedua lembaga
tersebut paling dominan. Kedudukan camat berada di bawah walikota. Posisi ini
menunjukkan bahwa camat menerima dan bertanggungjawab langsung kepada walikota.
Camat dan organisasi kecamatan berada dalam ranah
eksekutif bukan legislatif sehingga tidak memungkinkan DPRD sebagai lembaga
politik lokal berhubungan langsung dengan camat. Jika ada anggota DPRD yang
ingin berkomunikasi secara langsung (resmi) dengan camat harus mendapat
persetujuan dari walikota.
Kemudian
pihak yang berkepentingan terhadap pemberdayaan peran dan fungsi camat adalah birokrasi.
Birokrasi yang dimaksud pada bagian ini adalah sekretaris daerah serta perangkat
daerah Kota. Politik dalam birokrasi berkaitan dengandistribusi kekuasaan antar
aktor yang berada dalam organisasi pemerintahan. Peran birokrasi dalam kegiatan
pemerintahan sangat penting karena birokrasi merupakan eksekutor kebijakan yang
telah ditetapkan oleh walikota. Pelimpahan wewenang tersebut seringkali berbenturan
dengan kepentingan birokrasi yang terlibat dalam proses pelimpahan kewenangan. Pemberdayaan
peran dan fungsi camat tidak didukung oleh sebagian aparat birokrasi
dikarenakan oleh dua hal, yaitu (1) kurang memiliki pemahaman mengenai pelimpahan
kewenangan serta manfaatnya; (2) merasa dirugikan jika sebagian kewenangannya
dilimpahkan kepada camat karena akan mengurangi fasilitas yang mengiringi
kewenangan tersebut. Budaya politik berhubungan dengan orientasi, sikap, serta
perilaku elit politik dan birokrasi terhadap peran dan fungsi camat.
Elit
politik yang terlibat adalah anggota DPRD dan walikota. Anggota DPRD Kota Depok
lebih berorientasi pada peningkatan pelayananan kepada masyarakat. Walikota menginginkan agar camat mengikuti peraturan
yang telah ditetapkan. Orientasi walikota yang lebih cenderung kepada peraturan
dan formalitas menujukkan bahwa walikota belum sepenuhnya memahami pemberdayaan
peran dan fungsi camat. Walikota tidak menyadari bahwa pemberdayaan camat
bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemerintahan. Dukungan
walikota yang belum optimal terhadap pemberdayaan camat membuat camat tidak
memiliki tugas-tugas yang strategis.
Ruttan
dan Hayami menekankan bahwa kelembagaan merupakan seperangkat aturan yang ada
dalam suatu kelompok/organisasi yang diarahkan untuk mencapai tujuan anggota
kelompok atau organisasi tersebut. Sebelumnya, lembaga kecamatan merupakan bagian
dari organisasi pemerintah pusat (UU Nomor 5 Tahun 1974), namun setelah
diterapkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 lembaga kecamatan merupakan bagian dari
organisasi pemerintahan kota.
Camat pada masa sekarang merupakan bagian dari perangkat daerah.
Organisasi kecamatan berada di bawah walikota dan wakil walikota. Hal ini
dikarenakan organisasi kecamatan merupakan bagian dari organisasi perangkat
daerah.
Posisi ini membuat organisasi kecamatan berada pada level yang sama dengan
unit-unit kerja Pemerintah Kota. Pada struktur pemerintahan daerah, sekretaris
daerah menjadi penghubung antara camat dan walikota. Sekretaris daerah
merupakan bawahan walikota yang bertugas mengkoordinasi unit-unit pemerintahan
daerah. Masalah utama dalam hubungan antara kecamatan dan unit kerja lainnya
yang ada di Pemerintahan Kota adalah koordinasi. Kelemahan koordinasi akan membuat
pelaksanaan kewenangan saling tumpang tindih serta saling lempar tanggungjawab
antara kecamatan dengan unit kerja lainnya. Pada situasi seperti itu, pemerintah
tidak dapat mencapai target yang telah ditetapkan.
DPRD
dan organisasi kecamatan tidak memiliki garis yang langsung menghubungkan
antara keduanya, artinya tidak ada hubungan langsung antara DPRD dan organisasi
kecamatan.Camat dapat berhubungan dengananggota DPRD maupun sebaliknya, dengan persetujuan
walikota sebagai atasan camat.
Selain
dinas, ada unit kerja yang dapat mengurangi peran dan fungsi camat yaitu Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) yang merupakan badan pelayanan satu atap di
tingkat kota. Sumber daya merupakan sesuatu yang penting untuk menunjang
pemberdayaan peran dan fungsi camat. Camat tidak akan dapat melaksanakan
tugasnya tanpa didukung oleh sumber daya yang memadai. Sumber daya yang diteliti menyangkut tiga
komponen yaitu kapabilitas sumber daya manusia (SDM), peralatan dan
perlengkapan, serta anggaran. (Bisnis
& Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2010, Analisis Pemberdayaan Peran dan Fungsi
Camat.Akmal Khairi..hlm. 160-169 Volume 17, Nomor 2
ISSN 0854-3844).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar