A.
PENGERTIAN
PARLEMEN DI MASA LALU DAN MASA SEKARANG
Secara harfiah kata “parliament” sebenarnya berasal dari kata Perancis “parler” yang berarti berbicara (to Speak). Di masa lalu parlemen
berfungsi mengkomunikasikan tuntutan dan keluhan-keluhan dari berbagai kalangan
masyarakat kepada pihak pemerintah (Parlement parle au governement).
Parlemen berkembang sebagai alat bagi masyarakat dalam melakukan pengendalian
sosial (Social Control) terhadap
kekuasaan. Tetapi dalam sistem modern sekarang ini, parlemen berubah menjadi
alat dalam komunikasi dan sosialisasi politik kepada masyarakat melalui
perdebatan-perdebatan terbuka (public
debate) yang melibatkan keahlian para legislator (parlement parle au peuple).
B.
TUGAS
POKOK LEMBAGA PARLEMEN
1.
Mengambil
inisiatif atas upaya pembuatan Undang-Undang
Diadakan perumusan mengenai tugas-tugas pembuatan Undang-Undang
(legislatif) dan tugas-tugas pelaksanaan Undang-Undang itu (eksekutif) ke dalam
dua kelompok pelembagaan yang menjalankan peranan yang berbeda. Hal itu di dasarkan
pada doktrin “separation of power”
dan “division of power.
2.
Wewenang
Mengubah (Amandemen) RUU
Secara
aktual, parlemen berwenang mengadakan perubahan, mengajukan penolakan, dan
memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-Undang yang pada umumnya
diajukan oleh pihak Eksekutif (pemerintah). Bahkan di masa Presiden Charles de
Gaulle, baik dalam rumusan konstitusi
maupun dalam praktek, angka perbandingan usulan Undang-Undang (Propositions de loi) dengan proyek
Undang-Undang (projets de loi) itu,
lebih menurun lagi. Pada tahun 1972, misalnya tercatat ada kurang lebih 4000
RUU yang diajukan ke persidangan Majelis Nasional (National Assembly). Hanya ada dua RUU saja yang diajukan secara
murni dan mandiri atas inisiatif anggota parlemen. Selebihnya sebanyak 95%
sepenuhnya datang dari inisiatif pihak pemerintah.
Hak
untuk mengubah RUU yang diajukan oleh pemerintah jauh lebih penting, lebih
praktis, realistis, dan lebih mangkus (efektif) dibandingkan dengan hak mereka
untuk berinisiatif membuat RUU sendiri, sehingga memungkinkan mereka mengadakan
amandemen-amandemen yang diperlukan dalam rangka menjamin kepentinagn rakyat
banyak.
3.
Mengembangkan
Debat Kebijaksanaan Secara Terbuka
Perdebatan-perdebatan
parlemen merupakan alat (tools) yang
efektif dalam komunikasi politik dan merupakan wahana (means) dalam melakukan pengawasan (control) terhadap pihak
eksekutif.
4.
Pengawasan
terhadap Pemerintahan dan Pembelanjaan Negara
Seperti
yang dikatakan oleh George B. Galloway, “not
legislation but control of administration is becoming the primari function of
the modern Congress”. Parlemen dapat dirumuskan melalui 4R, yaitu “Review, Revise, Reject, and Ratify”.
Artinya pelaksanaan tugas lembaga parlemen itu menyangkut kegiatan menilai,
mengubah, menolak, atau mengesahkan RUU yang diajukan kepadanya oleh lembaga
eksekutif.
C.
FUNGSI
PARLEMEN
1.
Fungsi
Pengawasan, 2.Fungsi Legislasi, 3.Fungsi Budget
D.
STRUKTUR
PARLEMEN di INDONESIA
1.
One
Cameral System
Di
dalam rangka melaksanakan demokrasi dilakukan oleh satu lembaga perwakilan rakyat
yang dipilih langsung oleh rakyat dalam rangka untuk kepentingan kelompok atau
politik di dalam negara.
2.
Bicameral
System
Dalam
rangka melaksanakan demokrasi dilakukan oleh dua lembaga perwakilan rakyat yang
dapat dipilih langsung maupun tidak langsung.
Contoh:
-Inggris dalam mengambil keputusan ada perwakilan bangsawan dan
institusi tertentu. Yaitu: House of
Commons, House of Lords yang dipengaruhi oleh latar belakang sejarah.
-Amerika Serikat
dianut dua lembaga perwakilan yaitu perwakilan-perwakilan Legislatif (House of Representative) yang dipilih
langsung oleh rakyat. Senate tidak
dipilh langsung, tetapi secara bertingkat, lembaga perwakilan yang mewakili
setiap bagian. Hal itu dilatar belakangi oleh kompromi antara negara bagian
yang berpenduduk banyak dan sedikit.
Pembentukan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD.
Namun tidak tergambar konsep dua kamar. Bukan anggota yang menjadi unsur,
tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Kalau anggota yang menjadi unsur, MPR adalah
badan yang berdiri sendiri, diluar DPR dan DPD.
Namanya tetap MPR, jadi MPR tidak lagi menjadi suatu
lingkungan jabatan yang memiliki lingkungan wewenang sendiri, maka wewenang
baru melekat pada wewenang DPR dan DPD.
“Premis
Mayor”
DPR
Kontrol PARLEMEN
Legislatif
DPD
Kontrol
BUKAN PARLEMEN
Legislatif
PSEUDO
“Premis Minor”
Jadi sistem parlemen di
Indonesia bukan Bicameral namun Multilateral. Hal itu membuat tugas dan
wewenang
DPR:
·
penentuan pengangkatan dan pemberhentian
pejabat publik, bukan DPD.
·
Mengenai tugas meminta
pertanggungjawaban terhadap Kepala Pemerintahan (impeachment)
DPD:
·
Ikut menentukan penentuan vonisnya dalam
persidangan MPR.
·
Menjamin perlindungan terhadap hak dan
kekayaan masyarakat dari
Pembebanan yang
dilakukan oleh negara (mewakili lapisan masyarakat bawah)
·
DPD bukan badan legislatif penuh, hanya
berwenang mengajukan dan membahas RUU di bidang tertentu saja yang disebut
secara enumeratif dalam UUD.
·
Dan pembentukan UU hanya ada pada DPR
dan Pemerintah
MPR:
-MPR
tetap merupakan lingkungan jabatan sendiri dan wewenang sendiri di luar
wewenang DPR dan DPD.
Konklusi:
Jadi
rumusan baru UUD yang memperkenalkan sistem parlemen “Trikameral” tidak mencerminkan gagasan mengikutsertakan daerah
dalam penyelenggaraan seluruh praktik dan pengelolaan negara. Sesuatu yang
ganjil ditinjau dari konsep dua kamar dengan adanya kewenangan yang demikian
itu, maka dapat dipahami bahwa MPR itu adalah lembaga yang berdiri sendiri
disamping DPR dan DPD. Maka Hemat saya lembaga DPD sebaiknya dihapuskan saja
mengingat hal itu menjadikan pemborosan APBN negara dengan tugas dan
wewenangnya hanya sebagian.
3.
Multilateral
(Tricameral) System
Format baru parlemen 3 kamar yaitu
MPR,DPR,DPD
a. MPR
Setelah
perubahan keempat UUD 1945 sistem yang dianut adalah trikalisme: Pertama susunan keanggotaan MPR berubah
secara struktural karena dihapuskannya keberadaan utusan golongan yang
mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional
representation) dari unsur keanggotaan MPR. Kedua tidak lagi menjadi lembaga Supreme Body yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol. Ketiga prinsip Separation of Power antara fungsi legislatif dan eksekutif dalam
perubahan pasal 5 ayat 1 juncto pasal 20 ayat 1 dalam perubahan pertama UUD
1945 yang dipertegas dengan pasal 20 ayat 5 perubahan kedua UUD 1945. Bahwa
kekuasaan membentuk UU berada di tangan MPR, meskipun Presiden sebagai kepala
pemerintahan eksekutif tetap diberi haknya untuk mengajukan suatu rancangan UU
sehingga UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip Supremasi
Parlemen dan Sistem Pembagian Kekuasaan oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga
di bawahnya.
Keempat pasal 6A ayat 1
perubahan ketiga UUD 1945, dengan pemilu dari rakyat pertanggung jawaban
Presiden tidak lagi ke MPR tapi ke rakyat. MPR (DPR dan DPD) = Presiden dan
wakil = MA dan MK. Namun tetap berdiri sendiri pasal 8 ayat (2), pasal 2 ayat
(1). Dan menurut pasal 3 ayat (3) pasal 7A dan 7B (mengubah dan menetapkan UUD)
oleh pasal 3 ayat (1) pasal 37 UUD 1945
b. DPD
DPD
hanya memberikan masukan pertimbangan, usul, saran sedangkan yang berhak memutuskan
adalah DPR. Lembaga tersebut bisa menjadi strong
becameralism atau bahkan soft becameralism. Sesuai pasal 22 D ayat 1-ayat 3
–mengajukan RUU tertentu kepada DPR, -Ikut membahas RUU tertentu, -memberikan
pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU APBN dan RUU tertentu. –Dapat
melakukan pengawasan atas pelaksannaan UU tertentu. Ironisnya pengisian jabatan
keanggotaan DPD pasal 22 C ayat (1) sama halnya dengan 1/3 dari DPR. Dan peserta
pemilu untuk menjadi anggota DPD adalah perorangan sedangkan untuk DPR adalah
partai politik.
c.
DPR
Pasal
20 ayat 1 dan ayat 4 intinya UUD 1945 pasca Perubahan keempat fungsi legislatif
itu berpusat di tangan DPR.
·
Lembaga legislasi
·
Presiden mengesahkan RUU yang telah
disetujui bersama dalam rapat paripurna DPR.
·
RUU resmi sah----UU wajib untuk
diundangkan.
·
RUU dibahas bersama untuk mendapat
persetujuan antara DPR dan Presiden di persidangan DPR. Posisi Presiden
berimbang dengan posisi DPR. (Proses pembahasan materi RUU, posisi presiden
/pemerintah lemah karena harus berhadapan dengan DPR sebagai satu keastuan
institusi) namun Presiden bisa memveto dengan cara menolak memberi persetujuan
atas sesuatu materi atau keseluruhan UU yang bersangkutan.
·
RUU datang dari presiden maka DPR dapat
menolak sebagian atau seluruhnya RUU tersebut. Pengambilan putusan oleh DPR
(sebagian/seluruh) materi diputuskan dengan pemungutan suara dalam rapat
paripurna DPR. Presiden tidak “voting
rights”------DPR yang kuat dan berada di atas Presiden. Dan apabila RUU itu
tidak disetujui DPR maka harus dikeluarkan dari RUU tersebut-----a contrario tidak diajukan untuk diatur
dalam UU lain dalam persidangan DPR waktu itu.
·
RUU akan resmi mengikat umum apabila ada
dua ketentuan yaitu: 1. Faktor pengesahan oleh presiden dengan cara
menandatangani makalah UU 2. Faktor
tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan keputusan atas RUU dalam rapat
paripurna DPR.
·
Jadi DPR (Pengesahan secara materiil)
melalui pengambilan putusan akhir dalam rapat paripurna sedangkan Presiden
(pengesahan secara formil) pasal 20 (4) UUD 1945.
DAFTAR
PUSTAKA:
Asshiddiqie, Jimly.
2006a. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM.Jakarta: Konstitusi Press
.2006b. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta:Konstitusi Press
Huda,Ni’matul.2005. Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar