MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP SECARA LITIGASI MAUPUN NON
LITIGASI SERTA TINJAUAN GUGATAN CLASS ACTION DAN LEGAL STANDING DI PERADILAN
INDONESIA DALAM KASUS
A.
PENGERTIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan
antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya
pencemaran dan atau perusakan lingkungan.Sengketa lingkungan (“environmental
disputes”) merupakan “species” dari “genus”sengketa
yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara
leksikal diartikan: “Dispute. A conflict or controversy; a
confllct of claims or rights; an assertion of a rlght, claim, or demand on
oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian
sengketa” rujukan bahasa Inggrisnya pun beragam: “dispute
resolution”, “conflict management”, conflict
settlement”, “conflict intervention”.[1]
Dalam suatu sengketa, termasuk
sengketa lingkungan, tidak hanya berdurasi”perselisihan para pihak ansich,
tetapi perselisihan yang diiringi adanya “tuntutan” (claim). Tuntutan
adalah atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik). Dengan
demikian, rumusan Pasal 1 angka 19 UUPLH yang hanya mengartikan sengketa
lingkungan sekedar “perselisihan antara dua pihak atau lebih…”
tanpa mencantumkan “claim”terasa kurang lengkap dan tidak
merepresentasikan secara utuh keberadaan suatu sengketa. Siapakah sesungguhnya
para pihak yang berkonfiik dalam sengketa lingkungan? Atau, siapakah subyek
sengketa lingkungan itu dan apa pula yang disengketakan (objek sengketa
lingkungan)?
Membaca keseluruhan naskah yuridis
UUPLH, tampaknya tidak satu Pasal pun yang memberikan jawaban “otentik-stipulatif” atas
pertanyaan tersebut. Namun, melalui metode penafsiran [“interpretatie
(methode)]” dapat di tentukan subyek sengketa lingkungan, yakni: “para
pihak yang berselisih”. Meski disadari bahwa dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan (“sustalnable development”) yang
paling penting adalah:“how to prevent dispute, not how to settle
dispute” sesuai dengan adagium: “prevention Is better than
cure”, dan pepatah yang tidak tersangkal kebenarannya: “an
ounce of prevention is worth a pound of cure”.[2]
Namun, bukan berarti hukum (UUPLH)
harus mengesampingkan sengketa lingkungan tanpa penyelesaian.
Sebagai kenyataan yang senantiasa terjadi dan menggejala, sengketa lingkungan
membutuhkan penyelesaian yuridis untuk melindungi kepentingan korban
pencemaran-perusakan lingkungan sekaligus menyelamatkan lingkungan melalui
pendekatan hukum.
B. TINJAUAN GUGATAN CLASS ACTION dan LEGAL STANDING di
PERADILAN INDONESIA
Konsekuensi
suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara
dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum,
bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan
dan penguasa tunduk kepada hukum.
Salah satu
unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang
dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut
merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran
hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan
kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam
upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”.
Dalam hal
ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan
kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila
timbul sengketa atau pelanggaran hukum.[3] Dalam
perkembangan sejarah perlindungan hukum di Indonesia, khusus mengenai
perlindungan hukum melalui gugatan perwakilan (class actions) dan hak
gugat organisasi (legal standing/ius standi) sedang
hangat-hangatnya dibicarakan baik dalam kalangan akademi, maupun di kalangan
penasehat hukum, lembaga swadaya masyarakat dan di kalangan badan peradilan
sendiri.
Oleh karena
baru mengenal konsep gugatan perwakilan (class actions), maka masih
banyak kalangan praktisi hukum memberikan pengertian gugatan perwakilan (class
actions) identik atau sama dengan pengertian hak gugat organisasi (legal
standing/ius standi) pada hal pengertian gugatan perwakilan (class
actions) berbeda dengan pengertian gugatan organisasi (legal
standing). Perbedaan yang prinsipil antara gugatan perwakilan (class
actions) dengan hak gugat organisasi (legal standing) antara
lain: dalam gugatan perwakilan (class actions) adalah :
1. Seluruh anggota kelas (class
representatives dan class members) sama-sama langsung
mengalami atau menderita suatu kerugian.
2. Tuntutannya dapat berupa
ganti kerugian berupa uang (monetary damage) dan/atau tuntutan
pencegahan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk
melakukan
atau tidak melakukan sesuatu (injunction)
yang sifatnya deklaratif.
Sedangkan dalam hak gugatan
organisasi (legal standing), adalah :
- Oganisasi tersebut tidak mengalami kerugian
langsung, kerugian dalam konteks gugatan organisasi (legal
standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat
publik.
- Tuntutan organisasi (legal standing) tidak
dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali ganti kerugian yang telah
dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang
dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau
tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu (injunction) yang bersifatdeklaratif.
Secara materiel hukum nasional
telah mengatur gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat
organisasi (legal standing/ius standi), namun hukum acara yang ditunjuk
sebagai hukum formil yang mempertahankan hukum materieal tersebut belum diatur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar