BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan
pesat di bidang ekonomi, sosial, dan tekhnologi telah mengakibatkan masalah
pangan menjadi masalah yang berdimensi global, dimana masalah pangan tidak
hanya tertuju kepada produk pangan yang
dapat dijadikan komoditi yang berpotensial meningkatkan pendapatan masyarakat
dan negara, akan tetapi juga tertuju kepada sumber penghasil pangan itu sendiri
yang dapat direkayasa seperti terciptanya varietas-varietas baru tanaman yang
dapat menghasilkan produk-produk unggulan. Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), Varietas Unggul merupakan salah
satu tekhnologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas
produk pertanian[1].
Kemampuan untuk mengahasilkan
varietas tanaman yang dapat dijadikan bibit unggul sangat diperlukan, karena
tanaman merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas hasil
pertanian. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan varietas yang unggul
antara lain varietas tanaman yang digunakan telah bertekhnologi tinggi, relatif
murah, dan tidak mencemari lingkungan. Melalui penggunaan tanaman yang unggul
diharapkan proses produksi menjadi lebih efisien, lebih produktivitas dan
menghasilkan bahan pangan yang bermutu tinggi.
Varietas tanaman yang biasanya
diperoleh melalui proses pemuliaan tanaman yang menemukan penguasaan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, yang memerlukan pencurahan pikiran, tenaga, waktu,
dan dana yang besar. Sulitnya proses pemuliaan tanaman mengharuskan adanya
suatu penghargaan atas hasil kerja keras para pihak pemulia, yaitu dengan
adanya pemberian jaminan perlindungan hukum yang jelas dan tegas. Dengan adanya
kepastian hukum yang jelas akan mendorong para pemulia untuk lebih giat dalam
melakukan penelitian dalam rangka menghasilkan lebih banyak lagi varietas
tanaman yang baru dan bersifat unggul.
Pada saat ini, di seluruh dunia
sedang berkembang isu pembajakan hayati serta pembajakan kekayaan
intelektual (Biopiracy and intellectual property). Masalah
pembajakan ini terjadi di negara-negara yang kaya akan keanekaragaman sumber
hayati yang umumnya adalah negara Berkembang (developing countries) termasuk Indonesia yang dikenal dengan negara
“mega biodiversity”. Dalam
perkembangannya praktik biopiracy ini
tidaklah berhenti pada berpindahnya sumber hayati suatu negara secara ilegal ke
wilayah lain semata. Ia masih menimbulkan efek berikutnya, yang terkadang
justru berimplikasi lebih fundamental bagi kepemilikan hak-hak kekayaan
Intelektual terutaman hak paten.
Seperti kasus Perusahaan Kosmetik Shisheido Jepang yang mengklaim
sembilan hak paten atas tanaman tradisional Indonesia yang bernomor
registrasi JP 10316541 dengan subyek paten tanaman tardisional yang kesemuanya
merupakan bahan anti penuaan, perawatan kulit dan kepala[2].
Fakta demikian jelas merugikan negara
yang mnejadi korban Biopiracy. Selain
harus kehilangan sebagian kekayaan hayatinya, negara bersangkutan juga menjadi
tidak bebas lagi menggunakan aplikasi sumber hayati sesuai dengan invensi yang
dipatenkan bioprospector. Padahal
konvensi tentang keanekaragaman hayati (Convention
on biological diversity) telah
secara jelas menyatakan bahwa setiap negara berdaulat terhadap sumber daya alam
yang dimilikinya[3].
Berdasarkan paparan di atas,
mengenai kasus Shiseido dan pembajakan Hayati Biopiracy tanaman
tradisional Indonesia maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam
suatu makalah yang berjudul “Kasus
Pembajakan Hayati (Biopiracy) Tanaman Tradisional Indonesia Oleh Shisheido
Terkait Dengan Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman”.
[1] Rein E. Senewe dan Janes B.
Alfons, “Kajian Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah Pada Sentra
Produksi Padi di Seram Bagian Barat Provinsi Maluku”, Jurnal Budidaya Pertanian, vol.7 no.2 (Desember, 2011), halaman 2
[2] Andriana Krisnawati,Gazalba
Saleh, Perlindungan Hukum Varietas Baru
Tanaman Dalam Perspektif Hak Paten dan Hak Pemulia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), halaman 89
[3] M. Zulfa Aulia, “Langkah-Langkah
Hukum Dalam Rangka Mencegah Terjadinya Paten Atas Invensi Hasil Biopiracy”, Jurnal Hukum Respublica, vol.6, no.2
(Februari,2007), halaman 2
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan:
1.
Hak
Paten Atas Invensi yang Berasal dari Praktik Biopiracy yang Dilakukan Shisheido terhadap Tanaman Tradisional
Indonesia
Sejak tahun 1995, perusahaan kosmetik
Shisheido dari Jepang telah melakukan pembajakan hayati dengan mengajukan 51
permohonan paten tanaman obat dan rempah asli Indonesia namun paten tersebut
dibatalkan dengan alasan bahwa pihak Shisheido menyadari bahwa tanaman hayati
Indonesia yang termasuk dalam permohonan patennya ternyata telah menjadi bahan
baku obat dan kosmetika tradisional sejak zaman dahulu yang dikenal luas
sebagai jamu. kasus tersebut terjadi karena belum terbentuknya sistem
perlindungan hukum bagi pengetahuan tradisional masyarakat (traditional knowledge) dan ketidakpahaman
sebagian masyarakat Indonesia terhadap sistem Paten, terutama dalam membedakan
antara produk dan proses yang dilindungi paten.
Tindakan biopiracy merupakan tindakan
yang bertentangan dengan Undang-Undang, sebab ia dilakukan dengan cara membajak
atau mencuri keanekaragaman hayati negara lain. Di Indonesia, ia secara tegas
diatur dalam UU No. 5 tahun 1990, UU no.5 tahun 1994, UU no.18 tahun 2002 dan
PP no.41 tahun 2006. Pada dasarnya kegiatan biopiracy
menimbulkan dua kemungkinan. Pada discovery,
bioprospector hanya sekedar menemukan memindahkan aplikasi yang telah ada
pada masyarakat lain dan bioprospector mencuri keanekaragaman hayati yang sama
sekali belum dikelola di negara tersebut.
Invensi yang dilarang untuk dipatenkan
adalah jika pengumuman dan penggunaan
invensi itu bertentangan dengan undang-undang. Moralitas agama, ketertiban
umum dan kesusilaan. Pada Kasus pembajakan sumber hayati Shisheido Jepang di
atas, pendaftaran patennya memang kemudian dibatalkan oleh kantor paten setempat,
karena di Indonesia telah menjadi pengetahuan tradisional (traditional knowledge) maka unsur kebaruan di sini tidak terpenuhi.
Temuan yang didaftarkan Shisheido di sini bukanlah invensi melainkan Discovery.
Upaya pencegahan terhadap paten Biopiracy ke dalam bentuk
langkah-langkah hukum penting dilakukan, setidaknya disebabkan dua alasan:
Pertama,
Biopiracy adalah
tindakan yang ilegal, karenanya sangat ironi jika invensi yang dihasilkannya
ternyata dapat diberikan perlindungan paten.
Kedua, adanya
perlindungan paten terhadap invensi hasil biopiracy berdampak pada munculnya
kepemilikan hak eksklusif atas penggunaan invensi itu, sehingga warga negara
yang sumber hayati nya dibajak itu tidal lagi dapat memanfaatkannya, jika
pemanfaatan itu sebagaimana invensi yang telah mendapatkan paten.
Adanya hak eksklusif bagi pemegang hak
perlindungan mempunyai konsekuensi bahwa orang lain tidak dapat melakukan
kegiatan apapun yang bersifat komersil terhadap varietas tanaman yang telah
dilindungi, tanpa adanya persetujuan dari pemegang hak pemulia.
Dasar Hukum Perlindungan Varietas
Tanaman:
-
Tahun 1961 negara-negara di dunia menyepakati adanya konvensi Internasional
tentang Varietas Tanaman yang dikenal tentang UPOV (Union Internationale
pour la protection des obtentions vegetale) termuat dalam International Convention for the Protection of New
Varieties of Plants.
- Karena keikutsertaan Indonesia dalam GATT/WTO
1994 maka Indonesia wajib meratifikasi TRIPs khususnya dijelaskan pada pasal 27
ayat 3 huruf b, yang mengharuskan untuk memberikan perlindungan menyeluruh
terhadap segala aspek PVT meskipun UU paten tahun 1997 telah mengizinkan
pemberian perlindungan paten terhadap tanaman.
- UU no.05 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
- UU no.02 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman
- Pasal 45 Peraturan Pemerintah tahun 1995 tentang
Perbenihan Tanaman.
- UU no. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan
Varietas Tanaman.
Varietas
tanaman yang dilindungi di Indonesia adalah varietas tanaman yang memenuhi
syarat-syarat baru, stabil, unik, di beri nama. Jangka waktu perlindungan
varietas tanaman di Indonesia dibagi menjadi 2 yaitu:
-
Jangka waktu
20 tahun untuk tanaman semusim
-
Jangka waktu
25 tahun untuk tanaman tahunan
Proses
permohonan pendaftaran tidak dilakukan oleh kantor HAKI melainkan oleh kantor
Perlindungan Varietas Tanaman, Departemen Pertanian.
Hak PVT
berakhir karena:
- berakhirnya jangka waktu
- pembatalan
-pencabutan
2.
Langkah-langkah
Hukum Alternatif yang Perlu Diupayakan Dalam Mencegah Paten Biopiracy:
Memperbaharui Aturan Hukum tentang Paten
Pelaksanaan Dokumentasi atas Tanaman dan
Pengetahuan Tradisional
Mekanisme Benefit Sharing yang tepat
Memberdayakan LSM sebagai Representasi
Masyarakat Lokal dengan Dukungan Lembaga Internasional semisal WIPO.
Pengetahuan tradisional dapat dilindungi
dengan perundang-undangan sistem Sui Generis atau mandiri di luar HKI
B. SARAN
Pemerintah
melalui kantor PVT diharapkan dapat mensosialisasikan ketentuan Undang-Undang
Nomor 29 tahun 2000 terutama mengenai prosedur pendaftaran atau permohonan
untuk mendapatkan hak perlindungan varietas tanaman yang dianggap masyarakat
merepotkan dan memerlukan banyak waktu dan biaya. Hal itu dikarenakan minimnya
pengetahuan masyarakat terutama petani miskin mengenai PVT.
Pemerintah
diharapkan dapat mengadakan suatu pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum
demi efisiensi pemahaman UU no.29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman sehingga ke depannya dapat membantu masyarakat dalam hal pendampingan
hukum atau penyuluhan tentang PVT.
Perealisasian
ketentuan-ketentuan hukum baik perdata maupun pidana di dalam ketentuan UU
no.29 tahun 2000 tentang PVT guna pencegahan secara efektif pelanggaran PVT
khususnya Biopiracy yang dilakukan
oleh negara asing. Diwujudkan dengan kerjasama masyarakat dan LSM guna wajib
lapor apabila hal itu terjadi.
Pelaksanaan Dokumentasi atas Tanaman dan
Pengetahuan Tradisional dapat menjadi bukti kepemilikan sumber hayati
dan pengetahuan tradisional, sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai dokumen
pembanding prior art terhadap setiap paten yang diberikan. Salah
satu negara yang telah menerapkan metode ini adalah India. Dimana pemerintahnya
telah membuat The Geographic Appellation
Memperbaharui Aturan Hukum tentang Paten
Mekanisme Benefit Sharing yang tepat
Memberdayakan LSM sebagai Representasi
Masyarakat Lokal dengan Dukungan Lembaga Internasional semisal WIPO.
Pengetahuan tradisional dapat dilindungi
dengan perundang-undangan sistem Sui Generis atau mandiri di luar HKI.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Andriana
Krisnawati, Gazalba Saleh.2004.Perlindungan
Hukum Varietas Baru Tanaman Dalam Perspektif Hak Paten Dan Hak Pemulia.Jakarta:RajaGrafindo
Persada
Budi
Agus Riswandi, Syamsudin.2004.Hak
Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum.Jakarta:RajaGrafindo Persada
Ermansyah
Djaja.2009.Hukum Hak Kekayaan
Intelektual.Jakarta:Sinar Grafika
OK
Saidin.2004.Aspek Hukum Kekayaan
Intelektual.Jakarta:RajaGrafindo Persada
Tim
Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo.2003.Hak Kekayaan Intelektual.Bandung:Alumni
Jurnal:
M.
Zulfa Aulia, “Langkah-Langkah Hukum Dalam Rangka Mencegah Terjadinya Paten Atas
Invensi Hasil Biopiracy”, Jurnal Hukum
Respublica, vol.6, no.2 (Februari,2007)
Rein
E. Senewe dan Janes B. Alfons, “Kajian Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru
Padi Sawah Pada Sentra Produksi Padi di Seram Bagian Barat Provinsi Maluku”, Jurnal Budidaya Pertanian, vol.7 no.2
(Desember, 2011)
Internet:
http://en.wikipedia.org/wiki/Shiseido
diakses tanggal 23 Mei 2012 pukul 09.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar