1. Dalam
proses peradilan agama dimungkinkan adanya “intervensi” di samping para pihak
yang bersengketa
Jawab:
Ada 2 jenis yakni voeging dan tussenkomst, pihak
ketiga tersebut harus berkepentingan, artinya kepentingannya akan terganggu
jika ia tidak mencampuri proses atau dengan mencampuri proses maka ia akan
mendapatkan hak-hak nya. Segala sesuatu nya bisa lebih cepat dan sinkron dan
akan terhindarkan kemungkinan putusan Pengadilan yang saling bertentangan.
Permohonan
untuk intervensi dari pihak ketiga harus diajukan kepada majelis hakim yang
sedang memeriksa perkara yang bersangkutan, pada waktu penggugat dan tergugat
sedang jawab berjawab, sebelum tahap pembuktian. Yang dinamakan Gugatan
insidental, penggugat dan tergugat semula, tetap sebagai tergugat dan penggugat
dalam gugatan pokok, sedangkan pemohon di situ disebut sebagai intervenient, yang kini menjadi
penggugat insidental.
2. Peran
penting “provisi” untuk menghindarkan mudhorot yang timbul akibat perceraian
Jawab:
Putusan takdim/provisional adalah
putusan sela yang mendahului putusan akhir. Putusan demikian dapat diambil oleh
pengadilan selama proses masih berlangsung sebelum putusan akhir tetapi hanya
terbatas pada apa yang termasuk dalam wewenang pengadilan agama, diambil atas
permohonan maupun atas pertimbangan Pengadilan mengenai izin untuk selama dalam
proses tidak tinggal serumah, dan atas permintaan pihak:
Menentukan
nafkah, atau menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan/
pendidikan anak atau untuk menjamin terpeliharanya harta benda perkawinan (baik
harta bersama maupun harta asal masing-masing).
3.
Asas Pembuktian dalam HAPA
Jawab:
Audi
et alteram partem adalah dalam memeriksa suatu perkara hakim harus memberikan
perhatian, perlakuan, kesempatan, kedudukan yang sama dan seimbang antara
pihak-pihak yang bersengketa. Pasal 5 UU nomor 48 tahun 2009.
Unnus
Testis Nullus Testis
4. Macam-macam
kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti yang dikenal dalam HAPA
Jawab:
PASAL
164 HIR
a. Surat
Sesuatu yang memuat tanda yang dapat dibaca
dan yang menyatakan suatu buah pikiran. Oleh karena dimaksudkan untuk
membuktikan, maka akta harus ditandatangani. Surat-surat sebagai alat bukti
tertulis terbagi kepada “akta” dan “selain akta”. Akta terbagi menjadi akta
otentik” dan “akta bukan otentik” atau “akta di bawah tangan”
Mengenai kekuatan pembuktian atas akta
otentik yakni di pasal 165 HIR (R.Bg) bahwa akta otentik menjadi bukti yang
cukup bagi kedua belah pihak daripadanya tentang segala hal yang disebut di
dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan
sahaya. Dibuat untuk kepentingan
pembuktian suatu peristiwa. Isi akta tersebut dipandang sebagai hal yang benar
dan patut dipercaya terutama tentang pihak-pihak yang namanya tercantum di
dalam akta bahwa benar-benar sudah menerangkan dan benar pula apa yang sudah
diterangkan. Kebenaran akta bukanlah suatu hal yang mutlak, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya. 3 macam pembuktian yakni formil, materiil dan keluar
Mengenai kekuatan pembuktian akta di
bawah tangan bahwa dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan
tanpa minta bantuan pegawai umum. Dalam akta yang demikian apabila dipakai
untuk membuktikan terdapat kemungkinan tulisan atau tandatangan yang tercantum
diakui atau disangkal kebenarannya. Apabila akta di bawah tangan diakui
kebenarannya oleh para pihak yang bersangkutan, maka mempunyai kekuatan
pembuktian yang sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik yakni sebagai
bukti yang sempurna, tidak memerlukan lagi bukti-bukti yang lain. Sebaliknya
apabila akta di bawah tangan disangkal oleh salah satu pihak, maka berdasarkan
ketentuan pasal 1878 KUHPer, hakim harus memerintahkan supaya dari tulisan atau
tandatangan tersebut diperiksa di muka pengadilan, hal itu tidak mempunyai
kekuatan pembuktian apa-apa, sebab akan diragukan kebenarannya. Kedudukannya
sebagai bukti permulaan.
b. Saksi
Kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara
lisan dan pribadi oleh orang yang bersangkutan, bukan salah satu pihak yang
berperkara. Kekuatan pembuktian nya bebas.
c. Persangkaan
Bukti sementara dan bersifat alat bukti
tidak langsung, bukan alat bukti yang berdiri sendiri. Kesimpulan yang ditarik
oleh hakim atau UU ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata kearah
peristiwa lain yang belum terang keadaannya. Karena melalui perantaraan alat
bukti itulah, maka persangkaan-persangkaan disebut sebagai bukti tidak
langsung. Berbeda dengan persangkaan UU, pada persangkaan yang diatrik oleh
hakim merupakan alat bukti bebas, oleh karenanya persangkaan-persangkaan macam
ini diserahkan pertimbangan dan kewaspadaan nya kepada hakim. Dalam
melaksanakan persangkaan-persangkaan hakim sewaktu menarik kesimpulan tidak
boleh memperhatikan persangkaan lain, di sini yang penting hakim itu teliti dan
tertentu, serta sesuai satu dengan yang lain nya (pasal 1922 KUHPer)
d. Pengakuan
Pengakuan
dapat diberikan di dalam maupun di luar persidangan, tertulis maupun lisan,
membenarkan seluruh maupun sebagian. Dalam pasal 176 H.I.R itu menunjukkan
bahwa pengakuan yang diberi tergugat terdapat tiga macam: yakni pengakuan yang
sesungguhnya, pengakuan dengan kwalifikasi, pengakuan dengan klausula. Kekuatan
pembuktian pengakuan di dalam persidangan adalah sempurna dan menentukan bahwa
jelas dalam suatu perkara pengakuan dapat dilakukan oleh tergugat sendiri atau
kuasanya menjadi bukti yang kuat untuk mengalahkan pihak yang bersangkutan,
dilakukan di hadapan hakim di dalam persidangan.
e. Sumpah
Sumpah
Supletoir/pelengkap ada bukti permulaan atau alat bukti lain, diperintahkan
oleh hakim, tidak dapat dikembalikan oleh lawan, kekuatan pembuktiannya
sempurna. Sumpah ini dimaksudkan untuk melengkapi pembuktian dalam suatu
perkar. Berhubung sangat menetukan dalam menyelesaikan perkara, maka sumpah
pelengkap sebagai alat bukti yang sempurna.
Sumpah
Decisoir
Sama
sekali tidak ada bukti lain, dibebakan oleh salah satu pihak kepada pihak
lawan, dapat dikembalikan, kekuatan pembuktiannya menentukan.
ALAT
BUKTI LAIN
f. Pemeriksaan
Setempat
Latar
belakang timbulnya pemeriksaan setempat adalah sehubungan dengan sulitnya pihak
berperkara membawa objek sengketa atau barang sengketa ke muka persidangan
untuk diperlihatkan kepada hakim. Untuk barang bergerak, tidaklah sulit pihak
berperkara membawanya ke muka persidangan, tetapi untuk barang tidak bergerak
tidak mungkin dapat diperlihatkan di persidangan. Berhubung pemeriksaan
setempat tidak ada pengaturan nya dalam UU, tetapi hal tersebut dalam praktek
di pengadilan dijadiakn alat bukti, maka kekuatan pembuktiannya diserahkan
kepada hakim yakni bebas.
g. Pengetahuan
Hakim
Pengetahuan
yang diperoleh hakim selama pemeriksaan sidang. Di luar persidangan termasuk
pengetahuan akan tetapi merupakan pengetahuan hakim secara pribadi, bukan
karena jabatannya. Tidak dapat diangkat sebagai bukti dalam pertimbangan
putusan. Seangkan yang diperoleh dari persidangan yakni akta perkawinan, saksi
yang tidak membubuhkan tanda tangan nya.
Jadi
dalam pengetahuan hakim penekanannya terletak pada pa yang telah dilihat oleh
hakim. Pada pemeriksaan setempat yang dilihat hakim terbatas kepada barang
sengketa saja, sedangkan pada pengetahuan hakim lebih luas dari itu karena
diperoleh selama dalam persidangan. Maka kekuatan pembuktian nya diserahkan
kepada hakim.
h. Bukti
saksi ahli
Hakim
menggunakan keterangan ahli agar memperoleh keterangan yang lebih mendalam
tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu. Dasar hukum 154
HIR/181 RBg/215 RV, hakim atau para pihak dapat mengajukan saksi ahli. Kekuatan
pembuktiannya bebas.
DAFTAR
PUSTAKA
Andi Tahir Hamid, 1994.Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama
dan Bidang nya.Jakarta:Sinar Grafika
Gatot Supramono,1993.Hukum Pembuktian Di Peradilan Agama.Bandung:Penerbit
Alumni
Roihan A.Rasyid, 1990.Hukum Acara Peradilan Agama.Jakarta:RajawaliPers
Yahya Harahap, 2005.Hukum Perdata.Jakarta:Sinar Grafika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar