BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mencermati pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang
menerangkan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”. Serta pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Kedudukan dan kesetaraan gender antara lelaki
dan perempuan haruslah setara
Namun data yang penulis rangkum menunjukkan bahwa
Indonesia berada di nomor 80 dari 156 negara yang ada di dalam Indeks
Pembangunan Gender atau Gender Development Index (GDI) pada tahun 2007.
Pada tahun 2009, angka ini merosot ke urutan 90, artinya perempuan di Indonesia
masih belum menikmati hak dan standar yang sama dengan para laki-laki. Tiga
indikator digunakan termasuk angka harapan hidup, yang diukur oleh angka
harapan hidup ketika lahir; pencapaian pendidikan, yang diukur oleh gabungan
antara kemampuan membaca di antara orang dewasa dan jumlah tahun rata-rata yang
dihabiskan untuk bersekolah; serta standar hidup, yang diukur oleh pengeluaraan
per kapita..
Peminggiran hak-hak perempuan terjadi karena adanya
salah satu masalah besar yaitu sistem gender yang sangat patriarkhis.. Di dalam
kehidupan politik jumlah perempuan dan laki-laki dalam parlemen ataupun dalam
pemerintahan secara umum dalam posisi yang belum equal, maka kepentingan perempuan akan banyak dipinggirkan. Dalam
sejarah perpoltikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya perempuan
memang dipandang terlambat dalam keterlibatannya di dunia poltik. Stigma-stigma
bahwa permpuan selalu dalam posisi domestik, dianggap sebagai salah satu hal
yang mengakibatkan perempuan terlambat memulai dalam berkiprah di dunia politik
(Agnes Widanti, 2005: 78).
Menurut Biro Pusat Statistik pada tahun 2001 jumlah
perempuan Indonesia sebanyak 101.628.816 orang atau sekitar 51 % dari jumlah
penduduk Indonesia. Namun ironisnya jumlah perempuan yang ada dalam
posisi-posisi strategis untuk pengambilan keputusan jumlahnya sangta minim.
Pada setiap pemilu, jumlah perempuan yang terpilih berkisar antara 8-10%.
Pendaftaran pencalonan dari masing-masing kekuatan sosial politik bisa
mencerminkan lebih dari 10% caleg perempuan, tetapi pada kenyataan nya yang
terpilih tidak lebih dari itu. Hal itu diperkuat dengan temuan data yang
penulis lampirkan sebagai berikut:
Tabel
1
Perempuan
dalam Lembaga-Lembaga Politik Formal di Indonesia
pada
tahun 2002
Lembaga
|
Perempuan
Jumlah----------------%
|
Laki-laki
Jumlah------------------%
|
MPR
|
18
------------------- 9,2%
|
117
---------------- 90,8%
|
DPR
|
44
------------------- 8,8%
|
455-----------------
91,2%
|
MA
|
7
-------------------- 14,8%
|
40
-------------------85,2%
|
BPK
|
0
--------------------- -0%
|
7---------------------100%
|
DPA
|
2
--------------------- 4,4%
|
43
-------------------95,6%
|
KPU
|
2
---------------------18,1%
|
9----------------------81,9%
|
Gubernur
|
0
--------------------- -0%
|
30---------------------100%
|
Walikota/Bupati
|
5
-----------------------1,5%
|
331-------------------98,5%
|
Eselon
IV & III
|
1,883---------------
--7,0%
|
25.110-----------------93%
|
Hakim
|
536
------------------16,2 %
|
2775------------------83,8%
|
PTUN
|
35
----------------- -23,4%
|
150-------------------76,6%
|
Sumber:
Data dirumuskan oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum CETRO, 2001
Data di atas menunjukkan betapa timpangnya peran
perempuan dalam jabatan-jabatan publik. Oleh karena itu sangatlah wajar ketika
keputusan-keputusan yang dibuat sangat maskulin dan kurang berperspektif
gender. Perempuan tidak banyak terlibat dalam proses pembuatan keputusan.
Padahal keputusan yang dihasilkan seringkali sangat bias gender, tidak
memperhatikan kepentingan kaum perempuan, tidak membuat perempuan semakin berkembang.
Sebaliknya, lebih banyak membuat perempuan menenggelamkan diri pada
sektor-sektor yang sangat tidak strategis. Dalam jangka panjang, hal ini
mengakibatkan posisi perempuan berada pada posisi marginal.
Laporan perkembangan PBB tahun 1995 yang menganalisis
gender dan pembangunan di 174 negara menyatakan bahwa: “Meskipun benar bahwa
tidak ada hubungan nyata yang terbentuk antara tingkat partisipasi perempuan
dalam lembaga-lembaga politik dan kontribusi mereka terhadap kemajuan
perempuan, namun 30% keanggotaan dalam lembaga-lembaga politik dianggap sebagai
jumlah kritis yang dapat membantu perempuan untuk memberikan pengaruh yang
berarti dalam politik” (Ratnawati, 2004:
303).
Dengan demikian pada 11 Maret 2003, Undang-undang
No.12 tahun 2003 pasal 65 ayat (1) tentang pemilu mengenai kuota perempuan
disahkan, yang menyatakan bahwa “Setiap partai politik peserta pemilu dapat
mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk
setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%”. Ini merupakan langkah awal perjuangan politik
perempuan yang mendapat dukungan formal untuk berkiprah di bidang politik.
keterlibatan perempuan dalam bidang politik kembali mendapatkan payung hukum
dengan dikeluarkannya Undang-undang Pemilu No.10 tahun 2008, yaitu pada pasal 8
ayat 1 butir (d) dinyatakan bahwa
“Partai
politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan
sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik
tingkat pusat”.
Pasal
tersebut menyatakan bahwa adanya suatu keharusan bagi partai politik untuk
dapat menyertakan sedikitnya 30% kaum perempuan dalam kepengurusan partai.
Undang-Undang tersebut merupakan titik kulminasi dari perjuangan panjang kaum
perempuan untuk masuk ke dalam jalur pengambil keputusan di parlemen.
Berdasarkan fakta-fakta dan urgensi pentingnya partisipasi kaum perempuan dalam
pengambilan keputusan di parlemen, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut
dalm sebuah makalah yang berjudul “Kuota
30% bagi Calon Legislatif Perempuan Demi Menuju Hukum yang Berperspektif
Kesetaraan dan Keadilan”
BAB III
KERANGKA TEORITIS
1.
UUD
1945 Hasil Amandemen
Pasal
27 ayat (1) menentukan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung tinggi hukum dan peerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal
28 D ayat (3) menentukan bahwa: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Pasal
28 H ayat (2) menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
2.
UU
no. 68 tahun 1958 (Hak Politik Perempuan)
Pasal
1 menetapkan bahwa: “Wanita mempunyai hak untuk memilih dalam semua pemilihan atas dasar yang sama dengan pria,
tanpa diskriminasi”. Pasal 2 bahwa: “Wanita mempunyai hak untuk dipilih dalam
semua “publicly elected bodies” yang
dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional, atas dasar yang
sama dengan pria, tanpa diskriminasi apapun. Pasal 3 bahwa: “Wanita mempunyai
hak untuk duduk dalam jabatan pemerintahan dan melaksanakan semua fungsi
pemerintahan, tanpa diskriminasi apa pun, sesuai dengan perundang-undangan
nasional.
3.
UU
no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal
23 ayat (1) bahwa: “Setiap orang bebas
memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Pasal 43 ayat (1) bahwa: “Setiap
warga negara berhak;
·
Dipilh
dan memilih dalam pemilihan umum
·
Berdasarkan persamaan hak
Pasal
43 ayat (2) menentukan bahwa: Setiap warga negara berhak:
·
turut serta dalam pemerintahan, dengan
langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilih nya dengan bebas.
Pasal
46 bahwa: “Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang
eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan
yang ditentukan”.
4.
UU
no.31 tahun 2002 tentang Partai Politik
Pasal
7e menentukan bahwa “partai politik berfungsi sebagai sarana Rekrutmen politik
dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender”.
5.
UU
no.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Pasal
65 ayat (1) bahwa: “Setiap Partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah
Pemilihan dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurang nya 30%”.
6.
UU
no. 7 tahun 1984 (Konvensi Perempuan)
Pasal
7 bahwa: “Negara peserta wajib menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam
kehidupan politik dan publik, khususnya menjamin bagi wanita atas dasar
persamaan dengan pria” untuk:
·
Memilih
dan dipilih.
·
Berpartisipasi
dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalm
pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi
pemerintahan di semua tingkat.
7.
Committee on the Elimination of
Discrimination Against Women-CEDAW) dalam Komite no.23
sidang ke-16 tahun 1997 tentang perempuan dalam kehidupan politik dan publik
·
Menjamin adanya kesempatan yang sama
bagi perempuan dan laki-laki untuk menduduki jabatan publik yang didasarkan
atas pemilihan (publicly elected
positions)
·
Perempuan
mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi
dalam perumusan kebijakan pemerintah, menduduki jabatan dalam pemerintahan, dan
menikmati manfaat yang sama dari hasil menggunakan kesempatan itu.
Kebahagiaan
sejati haruslah dicari dalam kebebasan individu yang merupakan produk dari
hak-hak manusia yang suci, tidak dapat dicabut dan kodrati. Sasaran setiap
asosiasi politik adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tak dapat
dicabut. Hak-hak tersebut adalah kebebasan (liberty),
harta (property), keamanan (safety) dan perlawanan terhadap
penindasan (resistance to oppresion) (Mahsyur Effendi, 2005:41). Maka dari
itu pentingnya keterlibatan perempuan dalam dunia politik memang diperlukan
demi tercapainya penyetaraan gender.
8. Patriarki
Dalam pencapaian tujuan dan partisipasi yang dapat menciptakan kesetaraan
dan keadilan antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan akan
memberikan keseimbangan yang lebih tepat mencerminkan komposisi masyarakat dan
diperlukan untuk memperkuat dan memajukan fungsi demokrasi yang sejati dalam
suatu negara. Dalam hal ini, peran kaum perempuan dalam bidang politik masih
sangat kurang. Kendala utama disebabkan oleh mendominasinya peran laki-laki
dari pada perempuan dalam hal kekuasaan atau yang disebut dengan patriarki.
Budaya patriarki di kalangan masyarakat telah mengakar dan mendominasi dalam
berbagai kehidupan.
9. Feminisme
Feminisme adalah sebuah
gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak
dengan pria. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan yang dapat dilacak dalam
sejarah kelahirannya, dengan lahirnya era pencerahan di Eropa yang dipelopori
oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.
Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg,
sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19
feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para
perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa
memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood (Susan Blackburn, 2007:65).
Kata feminisme berasal dari
bahasa Perancis yang pertama kali digunakan pada tahun 1880-an, untuk
menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Hubertine Auclort adalah
pendiri perjuangan politik perempuan yang pertama di Perancis, dalam salah satu
publikasinya menggunakan kata feminisme dan femeniste. Sejak itulah
feminisme tersebar diseluruh Eropa dan sampai AS, melalui New York pada tahun
1906. Gerakan feminisme di New York diwarnai oleh perjuangan menuntut hak-hak
perempuan sebagai warga negara, hak perempuan di bidang sosial, politik, dan
ekonomi.
Gerakan feminisme adalah
sebuah gerakan pembebasan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam masyarakat.
Adapun gerakan feminisme ini lebih memusatkan perhatian kepada “masalah
perempuan” yang mengasumsikan bahwa munculnya permasalahan ketidakmampuan kaum
perempuan untuk bersaing dengan laki-laki tetapi pada dasarnya perempuan
adalah makhluk rasional yang memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, sehingga
harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Gerakan feminisme
sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada
dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk mengakhiri
penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Feminisme berdasar pada asumsi
bahwa gender merupakan konstruksi sosial yang didominasi oleh pemahaman yang
bias laki-laki dan menindas perempuan. Feminisme secara umum menantang asumsi
dasar masyarakat dan mencari alternatif pemahaman yang lebih membebaskan, yaitu
pemahaman yang meletakkan wanita dan pria dalam posisi yang seimbang. Feminisme
secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu feminisme
liberal dan feminisme radikal. Feminisme liberal merupakan dasar pergerakan
perempuan pada tahun 1960-an hingga 1970-an yang didasarkan atas paham
demokrasi liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan
hak bagi semua individu. Feminisme liberal berkaitan terutama dengan citra
publik dan hak asasi perempuan. Berbeda dengan Feminisme liberal, feminisme
radikal melihat persoalan tidak sebatas pada hak yang bersifat publik, mereka
mempersoalkan dasar struktur masyarakat yang menurut mereka patriarkis. Oleh
karena itu, jika feminisme liberal beranggapan bahwa masalah gender dapat
diatasi dengan distribusi hak secara adil, maka bagi feminisme radikal hal ini
tidak menyelesaikan persoalan.
Para feminis menganggap hukum yang baik adalah hukum
yang berpihak kepada perempuan dan tentunya siapa saja yang secara sosial di
lemahkan untuk kemudian melawan penindasan tersebut.
Hukum
yang diyakini netral dan obyektif oleh teori Positivisme Hukum sebenarnya tidak
mungkin ada. Sebab disadari atau tidak berbagai hukum tersebut dibuat dalam
perspektif patriarki dan lebih melindungi pria daripada perempuan. Justru
membenarkan ketidaksetraan pria dan perempuan.
Teori hukum feminis bergerak dari
anggapan tentang hukum sebagai sistem peraturan, menjadi hukum sebagai sistem
pengetahuan. Hanya melalui cara ini hukum dapat menampung berbagai kebenaran
pengetahuan tentang pengalaman dan identitas diri. Dengan demikian, teori hukum
yang berspektif feminis adalah teori hukum yang memungkinkan setiap perempuan
dan setiap orang yang potensial menjadi korban membentuk identitasnya sendiri,
dan bahkan melakukan perlawanan balik terhadap berbagai upaya yang hendak
menindasnya. Dan hanya teori hukum seperti inilah yang sesuai dengan metode
“peningkatan kesadaran” (consciousness
raising) yang selama ini telah menjadi metode feminis (Sulistyowati Irianto, 2006:26).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar