BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Difabel atau people
with different ability merupakan istilah yangdigunakan untuk penyandang
cacatfisik atau masyarakat dengankebutuhan khusus.Permasalahan penyandang cacat atau yang sering
dikenal dengan istilah disabilitas merupakan permasalahan sosial yang sampai
kini tidak kunjung usai.Masalah penyandang cacat yang paling kompleks ialah
mengenai kesempatan dan hak untuk bekerja dan mendapatkan pekerjaan yang
layak.Hingga saat iniPemerintah hanya mendesak kalangan dunia
usaha untuk memberikan kesempatan kerja yang lebih luas lagi kepada para
penyandang difabel, sesuai dengan ketentuan perundangan
dan regulasi pendukung lainnya, tanpa terjun langsung mengatasi permasalahan ini.
Saat ini ada sekitar
22 juta orang penyandang disabilitas di Tanah Air dengan mayoritas diantaranya
berada pada usia kerja.Data Kementerian Sosial pada 2010 menyebutkan jumlah
penyandang disabilitas mencapai 11.580.117 orang. Namun peluang kerja bagi para
penyandang difabel sangat terbatas, bahkan diperkirakan tidak sampai 50% dari
jumlah total penyandang disabilitas yang bekerja secara formal.
Pada 2011, menurut
Siswadi, Ketua Umum Persatuan Penyandang Cacat Indonesia, jumlah penyandang
cacat di Indonesia berdasarkan data Depkes RI mencapai 3,11% dari populasi
penduduk atau sekitar 6,7 juta jiwa.Organisasi Kesehatan Dunia PBB dengan
persyaratan lebih ketat, jumlah penyandang cacatdi Indonesia mencapai 10 juta
jiwa (http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=487863&pop=1&page=0,diakses
pada hari Kamis tanggal 20Februari 2013 pukul 03.00 WIB).
Dari hasil survey di
24 provinsi tercatat ada sebanyak 1.235.320 penyandang cacat, yang terdiri dari
687.020 penyandang cacat laki-laki dan 548.300 penyandang cacat perempuan.
Sebagian besar dari mereka hanya berpendidikan tidak sekolah/tidak tamat SD
sebesar 59,9 persen, berpendidikan SD 28,1 persen. Yang lebih memprihatinkan,
sebagian besar dari mereka tidak mempunyai keterampilan, sebanyak 1.099.007
orang (89 persen).Dengan pendidikan yang rendah dan ketiadaan keterampilan,
membuat mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Ada sebanyak 921.036 orang
penyandang cacat yang tidak bekerja (74,6 persen).
Padahal Para
difabel juga merupakan warga negara Republik Indonesia yang dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dijamin untuk memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang
sama dengan warga negara lainnya (Suharto,
Edi, Penerapan Kebijakan Publik bagi Masyarakat dengan Kebutuhan Khusus,
Pengalaman Kementerian Sosial, disampaikan pada diskusi terbatas Pusat Kajian
Manajemen Pelayanan LAN RI di Hotel Sahira Bogor, 9-10 Oktober 2010).Komitmen
tersebut tertuang dan
diamanatkan dalam UUD 1945, Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28 D Ayat 2.
Selama
ini, kebijakan-kebijakan yang menyangkut aksesibilitas para penyandang cacat (disabled persons) di
tempat-tempat pelayanan umum di kota -kota besar di Indonesia, tampaknya
sebagianbesar masih sebatas wacana. Di
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) serta dalam Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 1998, khususnya pasal 1 (ayat 1) dengantegas dinyatakan bahwa,
sebagaimana warga masyarakat lainnya, penyandang cacat “ berhak mempunyai kesamaan kedudukan, hak dan
kewajiban dalam berperan dan berintegrasi secara total sesuai dengan
kemampuannya dalam segala aspek kehidupan dan penghidupannya”. Serta Pasal 11 ayat 1 dan
ayat 2 mengenai aksesibilitas fisik dan non fisik bagi penyandang difabel.(Anonim, 2004:37).
Dalam penerapan kebijakan mengenai kesejahteraan khususnya aksesibilitas
penyandang cacat tersebut pemerintah Daerah telah berupaya untuk melaksanakan
amanat sesuai kewenangan nya berdasar Undang-Undang tentang Otonomi Daerah
Nomor 32 tahun 2004 dalam suatu Peraturan Daerah, contoh di
Provinsi Yogyakarta khususnya Pemerintah Kabupaten Sleman telah menerbitkan
Perda Nomor 11 tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas Pada Bangunan Umum dan
Lingkungan Difabel, di Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah, khususnya di Kota Surakarta, telah lama menerapkan Perda No. 8
tahun 1988 tentang Bangunan di Kotamadya Surakarta yang antara lain mempersyaratkan
aksesibilitas untuk masyarakat difabel, di Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung nomor 10 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pelayanan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat (Ferry Firdaus, Fajar
Iswahyudi, “Jurnal Analisa”, Aksesibilitas
Dalam Pelayanan Publik Untuk Masyarakat Dengan Kebutuhan Khusus, Vol. 6,
No. 3 tahun 2010 hal 4-6).
Namun kenyataan
itu berbeda dengan realita yang terjadi di lapangan bahwa baik pihak Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota maupun Organisasi Sosial Penyandang Cacat khususnya di
Jawa Timur, banyak yang belum memahami “policy” yang baru tentang
penyandang cacat, sehingga sampai saat ini belum nampak adanya realisasi dari
Undang-Undang No. 4/1997 dan PP No. 43 /1998; baik berupa PERDA maupun dalam
bentuk penerapannya pada prasarana/sarana bangunan umum di daerah, Dinas yang
paling kompeten dalam masalah aksesibilitas pada setiap bangunan umum yaitu
Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) dan Dinas Pekerjaan Umum
(DPU) di tiap Kabupaten/Kota; ada yang belum mengetahui keberadaan Undang-Undang
No.4/1997 dan PP No.43/1998 sehingga penanganan Pemerintah terhadap
kesejahteraan dan kesetaraan kehidupan khususnya aksesibilitas kaum difabel
dirasa kurang maksimal (IB. Wirawan,
“Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik”, Aksesibilitas
Penyandang Cacat Di Jawa Timur, Vol.20, No.1 tahun 2008 hal 8-9).
Mencermati
permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik menelaah lebih
lanjut persoalan tersebut dalam sebuah gagasan yang berjudul “Revitalisasi Kesejahteraan
Kaum Different Ability Melalui
Penguatan Peraturan Daerah Serta Pembentukan Komisi Aksesibilitas (Studi Kasus Perusahaan Kulit Magetan,
Jawa Timur)”
BAB
IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari
analisis pembahasan dan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, dapat
disimpulkan bahwa dalam
Pasal 67 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang menyatakan bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang
cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya. Perlindungan dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, perlindungan terhadap penyandang
cacat ini pengaturannya juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat, disebutkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1997 yang menyatakan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan
kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.
B.
Saran
Segi
Masyarakat :
Pemberdayaan Komunitas Penyandang Cacat
melalui Rehabilitasi Sumber Daya Masyarakat. Masyarakat harus aktif melakukan
pendekatan Persuasif sehingga keberadaan penyandang cacat layak berada di
tengah masyarakat (W.E Tinambunan,
“Jurnal Teroka Riau”, Pemberdayaan
Penyandang Cacat Melalui Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (RBM), Vol.VIII,
No.2 Maret 2008, hal.58).
·
Turut aktif
memasyarakatkan peraturan perundangan untuk penyandang cacat terutama bagi
kelompok masyarakat yang potensial.
·
Mendorong masyarakat
pengusaha semakin terbuka untuk menerima tenaga kerja penyandang cacat.
·
Menjadi penghubung atau
mediator bagi kepentingan penyandang cacat di satu pihak.
Segi
Pemerintah :
·
Sesuai era Otonomi
Daerah, Gubernur/Bupati/Walikota di setiap daerah wajib memiliki kebijakan
dalam bentuk peraturan Daerah dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan. Contoh: di
Provinsi Yogyakarta khususnya Pemerintah Kabupaten Sleman telah menerbitkan
Perda Nomor 11 tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas Pada Bangunan Umum dan
Lingkungan Diffable. di Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah, khususnya di Kota Surakarta, telah lama menerapkan Perda
No. 8 tahun 1988 tentang Bangunan di Kotamadya Surakarta yang antara lain
mempersyaratkan aksesibilitas untuk masyarakat difabel, di Pemerintah Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung nomor 10 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan Dan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
·
Pemerintah hendaknya
dapat membuat kebijakan dengan Penyaluran Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tepat
sasaran yakni melalui Advokasi.
·
Dinas/Badan
Kesejahteraan Sosial Provinsi/Kabupaten/Kota dapat membentuk dan mengembangkan
Organisasi Penyandang Cacat----dengan mengalokasikan anggarannya yang lebih
spesifik terhadap pengentasan Penyandang Cacat untuk Pemberian Pelatihan dan
Penyaluran Tenaga Kerja atau memberikan modal untuk usaha mandiri. Contoh: Di
Kabupaten Kediri ada 11 kegiatan dengan alokasi dana sebesar Rp 515.000.000,00.
(Dina Primasari, “Jurnal Ilmu
Manajemen”, REVITALISASI, Vol.1, No.1
Juni 2012 hal 13)
·
Revitalisasi Penguatan
Peraturan Daerah Melalui Pembentukan Komisi Aksesibilitas Difabel Di Bawah
Dinsosnakertrans Guna Terjaminnya Kesejahteraan Kaum Different Ability
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Buku
Abdul Khakim.2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Anonim, Masalah Sosial di Indonesia: Kondisi dan Solusi (Jakarta:
Pusat PenelitianPermasalahan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI, 2004)
Lalu Husni. 2010. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Edisi Revisi.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Peter Mahmud
Marzuki. 2005. Penelitian Hukum.
Jakarta: Kencana Prenada
Tjepy F. Aloewie. 2000. Kesetaraan dan Kesempatan Kerja Bagi Tenaga
Kerja Penyandang Cacat. Makalah disampaikan pada Temu Konsultasi Penanganan
Penyandang Cacat Bagi Orsos.Yayasan dan LBK di wilayah DKI Jakarta.
Zainal
Asikin,Amirudin. 2012. Pengantar Metode
Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
2.
Jurnal
Dina Primasari, “Jurnal Ilmu
Manajemen”, REVITALISASI, Vol.1, No.1
Juni 2012 hal 13.
Ferry Firdaus, Fajar Iswahyudi,
“Jurnal Analisa”, Aksesibilitas Dalam
Pelayanan Publik Untuk Masyarakat Dengan Kebutuhan Khusus, Vol. 6, No. 3
tahun 2010 hal 4-6.
IB.Wirawan, “Jurnal
Masyarakat Kebudayaan dan Politik”, Aksesibilitas
Penyandang Cacat Di Jawa Timur, Vol.20, No.1 tahun 2008 hal 8-9
Saru Arifin, “Jurnal Fenomena”, Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi
Diffabel (Studi Kasus Di Kabupaten Bantul, Yogyakarta), Vol.6, No.1-Maret-2008,
hal 6-7.
W.E Tinambunan, “Jurnal Teroka
Riau”, Pemberdayaan Penyandang Cacat
Melalui Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (RBM), Vol.VIII, No.2 Maret
2008, hal.58.
3.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik.
4.
Internet
http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=487863&pop=1&page=0
(diakses pada tanggal 20 Februari 2013
Pukul 03.00 WIB).
http://www.bisnis.com/articles/lapangan-kerja-penyandang-cacat-harus-diberi-kesempatan-lebih-luas(diakses
pada hari Kamis tanggal 20 Februari 2013
Pukul 03.18 WIB).
http://regional.kompas.com/read/2011/12/08/13414346/Perda.Difabel.Masih.Ompong, (diakses
tanggal 20 Februari 2013 pukul 09.00 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar