BAB
III
PEMBAHASAN
1.
TIMBULNYA PRIVATISASI
BUMN DALAM KASUS KEPEMILIKAN SAHAM TELKOM DAN INDOSAT
Dalam
kasus STT/Temasek.STT atau Singapore Technologies Telemedia menjual 40,8 persen
sahamnya di PT Indosat ke Qatar Telecom (Qtel) dengan harga jauh dari saat
membelinya tahun 2002. Kita seolah (terlambat) disadarkan bahwa pemerintah
Megawati waktu itu menjual terlalu murah, hanya Rp 5,62 triliun untuk 41,94
persen saham Indosat ke STT dengan alasan sedang butuh uang untuk menambal
APBN. Mendapat dividen sekitar 1,5 miliar dollar AS selama mengelola PT Indosat
selain menyisakan 1,14 persen saham, STT juga untung hampir dua kali lipat
dengan penjualan senilai 1,8 miliar dollar AS atau Rp 16,56 triliun (kurs Rp
9.200 per dollar AS).
Kelompok
Temasek, selain mempunyai PT Indosat, juga memiliki 35 persen saham PT
Telkomsel, yang sebagian didapat dari hengkangnya Koninklijke PTT—Post Telefoon
en Telegraf—Nederland (KPN), ditambah penjualan saham Telkom untuk menaikkan
kepemilikan saham Singapore Telecom (SingTel), anak usaha Temasek. Dari semua
unit usaha telekomunikasi di Singapura atau di luar, Telkomsel menyumbang
jumlah pelanggan yang paling besar, yakni 55 juta berbanding sekitar 2,5 juta
pelanggan Sing.
Indonesia memang merupakan negara yang luas tapi sayangnya pemikiran kita
tak seluas negara kita,lihat saja Telkomsel dan indosat merupakan perusahaan besar yang di miliki oleh negara kita,
namun apa yang terjadi pada dua perusahaan ini mereka
malah menjualkannya pada negera-negara asing,yang membuat negara kita semakin miskin dan meningkatnya
pengangguran seandainya
kedua perusahaan ini tidak di jual, dua perusahaan ini bisa menambah pendapatan negara kita,
karena kenapa di lihat dari segi penduduknya indonesia
murupakan salah satu negara yang penduduknya sangat banyak dan semuanya
menggunakan handphone selular baik itu yang kaya maupun yang miskin dan harga pulsanya pun sangat mahal misalnya saja pulsa
yang 5
ribu rupiah Rp6000 rupiah, dan ini merupakan harga yang sangat mahal kalau kita
bandingkan dengan Malasia, Singapore, Brunei
Darussalam, bahkan hampir
bisa
di katakan pulsa di negara mereka tidak berharga.
Sungguh ironis apa yang telah di lakukan oleh bangsa kita
ini sehingga menjurumuskan kita ke dalam keterperosotan yang semakin dalam.
Privatisasi merupakan
kebijakan yang diambil pemerintah untuk mendapatkan devisa bagi negara dengan
menjual sebagian saham milik aset milik negara ke pihak lain. Kebijakan yang
diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 ini diambil dari usulan yang
diberikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk menstabilkan kondisi keuangan dan
meningkatkan devisa atau penerimaan negara. Kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah ini harus mendapat persetujuan dari DPR RI.
Oleh karena itu
kebijakan privatisasi merupakan salah satu kebijakan ekonomi politik Indonesia
yang diharapkan dapat membawa manfaat yang besar bagi Indonesia. Dalam kasus
privatisasi PT Indosat Tbk dan PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) yang
mendapat persetujuan DPR RI adalah penjualan sebagian saham PT Indosat Tbk dan
PT Telkomsel Tbk kepada pihak luar. Sebesar 35 persen saham Telkomsel dibeli
oleh Singapore Telecom (Singtel) dan sebagian saham Indosat yaitu sebesar 41,94
persen saham dibeli oleh Singapore Technologies Telemedia (STT). Akan tetapi
dalam kenyataannya kedua perusahaan Singapore yang telah membeli saham PT
Telkomsel Tbk dan PT Indosat Tbk adalah perusahaan-perusahaan yang ada dibawah
satu perusahaan induk yaitu Temasek Holding Group Ltd Singapura. Sehingga
secara tidak langsung Temasek Holding Group Ltd Singapura yang memegang lebih
dari sepertiga saham memiliki kewenangan untuk mempengaruhi kebijaksanaan,
strategi dan profit dari PT Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk.
Indosat
Tbk dan PT Telkomsel Tbk merupakan provider telekomunikasi terbesar di
Indonesia. Kedua perusahaan tersebut memiliki cakupan pasar sekitar 80 persen
dibandingkan dengan provider telekomunikasi yang lain sehingga bisa dikatakan
bahwa kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan vital karena berhubungan
langsung dengan hajat hidup orang banyak. Bila mengacu pada pasal 33 ayat 2,
kepemilikan saham yang begitu besar ini jelas akan mengurangi peran pemerintah
dalam mengalokasikan sumber daya publik pada masyarakat karena semakin besar
pemegang saham membeli saham suatu perusahaan, maka akan semakin besar pula
intervensi yang dapat ia lakukan dalam menentukan kebijakan perusahaan
tersebut.
2.
KEPEMILIKAN
SAHAM TELKOM DAN INDOSAT TERKAIT PASAL
33 UUD 1945 TENTANG PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL HAJAT HIDUP
ORANG BANYAK
a.
Pasal
33 UUD 1945
Pasal 33 UUD 1945 tersebut berbunyi (1) Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, (2)
Cabang-cabnag produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara, (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, (4) Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, (5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Membaca
UUD 1945 pasal 33 ini, peran penting negara sangat diperlukan secara dominan.
Dengan tidak menjalankan pasal 33, terbukti telah berdampak terhadap hak-hak
rakyat yang telah hilang.
Terdapat
beberapa poin yang harus dicerna oleh pemerintah terkait konstitusi
tersebut. Pertama, bentuk dan sistem ekonomi yang mesti dijalankan
berdasarkan asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan yang disebutkan dalam
konstitusi tersebut merupakan pola asli Indonesia yang diambil dari nilai dan
budaya bangsa Indonesia. Pola liberalis justru sangat bertentangan dengan
karakter dan nilai budaya bangsa. Tengok saja, perusahaan-perusahaan besar yang
berdiri hanya menguntungkan segilintir orang maka kesenjangan ekonomi pun
terjadi. Kedua, alat produksi dan pabrik-pabrik yang menyangkut hajat
hidup orang banyak mesti dikuasai oleh negara, diantaranya pabrik tekstil,
baja, nikel, timah, besi, gula, pabrik lainnya, dan perkebunan. Ketiga,
negara harus menguasai sumber daya alam, terutama di tingkat hulu. Menguasai
berarti pengelolaan harus dipegang oleh negara tanpa melibatkan pihak asing.
Pengelolan pada sektor ini jangan sampai diserahkan kepada pihak swasta, baik
nasional maupun asing.
b.
Privatisasi tentang kepemilikan
Saham Telkom dan Indosat
Bahwa apabila privatisasi tidak dilaksanakan, maka
kepemilikan BUMN tetap di tangan pemerintah. Dengan demikian segala keuntungan
maupun kerugian sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Pemerintah saat krisis
moneter tahun 1997,1998 berargumentasi bahwa devisit anggaran harus ditutup
dengan sumber lain, bukan dari hasil penjualan BUMN. Mereka memprediksi bahwa
defisit APBN juga akan terjadi pada tahun-tahun mendatang. Apabila BUMN dijual
setiap tahun untuk menutup defisit APBN, suatu ketika BUMN akan habis terjual
dan defisit APBN pada tahun-tahun mendatang tetap akan terjadi.
Kontroversi privatisasi BUMN juga timbul dari
pengertian privatisasi dalam Pasal 1 (12) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
Tentang BUMN yang menyebutkan: “Privatisasi adalah penjualan saham Persero,
baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan
kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat,
serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat”.
Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa privatisasi yaitu
pernjualan saham sebagian dan seluruhnya.
Kata seluruhnya inilah yang mengandung kontroversi bagi masayarakat
karena apabila dijual saham Telkom dan Indosat seluruhnya kepemilikan
pemerintah terhadap BUMN tersebut sudah hilang beralih menjadi milik swasta
yakni PT. Temasek Singapore dan beralih namanya bukan BUMN lagi tetapi
perusahaan swasta sehingga ditakutkan pelayan publik ke masyarakat akan
ditinggalkan apabila dikelola oleh pihak swasta dan apabila diprivatisasi
hendaknya hanya sebagian maksimal 49% dan pemerintah harus tetap sebagai
pemegang saham mayoritas agar aset BUMN tidak hilang dan beralih ke swasta dan
BUMN sebagai pelayan publik tetap diperankan oleh pemerintah Indonesia.
Sementara itu, pemerintah sendiri terdesak untuk
melakukan privatisasi guna menutup defisit anggaran APBN. Defisit anggaran
selain ditutup melalui utang luar negeri juga ditutup melalui hasil privatisasi
dan setoran BPPN. Dengan demikian, seolah-olah privatisasi hanya memenuhi
tujuan jangka pendek (menutup defisit anggaran) dan bukan untuk maksimalisasi
nilai dalam jangka panjang.
Jika pemerintah sudah mengambil langkah kebijakan
melakukan privatisasi terhadap kepemilikan saham Telkom dan Indosat, secara
teknis keterlibatan negara di bidang industri strategis juga sudah tidak ada
lagi dan pemerintah hanya mengawasi melalui aturan main serta etika usaha yang
dibuat.
Sebagaimana metode privatisasi Telkom dan Indosat
dilakukan dengan IPO dan strategis sales, maka yang membeli saham-saham baik
sedikit ataupun banyak adalah investor di pasar modal apabila privatisasi
dilakukan dengan cara IPO, dan investor tunggal apabila privatisasi menggunakan
metode strategic sales. Investor di pasar modal maupun investor tunggal
bisa berasal dari dalam negeri atau dari luar negeri. Realnya saja sekarang
Saham Telkom telah di beli SingTel sebanyak 35% sedangkan saham Indosat telah
dibeli STT sebanyak 39,96%.
Jadi tidak mungkin privatisasi Telkom dan Indosat akan
menciptakan kepemilikan masyarakat, sebab kehidupan masyarakat sudah sangat
sulit dengan mahalnya harga-harga barang pokok, pendidikan, dan kesehatan,
bagaimana bisa mereka dapat berinvestasi di pasar modal. Apalagi hingga akhir
tahun 2007 investor asing menguasai 60% pasar modal Indonesia sehingga
memprivatisasi BUMN melalui IPO jatuhnya ke asing juga. Sedangkan investor
lokal, mereka ini juga kebanyakan para kapitalis yang hanya mengejar laba,
apalagi konglomerat-konglomerat yang dulu membangkrutkan Indonesia sudah banyak
yang comeback.
c. Privatisasi Telkom dan Indosat
terkait Pasal 33 UUD 1945
Sementara itu, langkah-langkah kebijakan privatisasi
di Indonesia selaras dengan sebuah dokumen milik Bank Dunia yang berjudul Legal
Guidelines for Privatization Programs. Dalam dokumen ini terdapat panduan
bagaimana pemerintah melakukan kebijakan privatisasi dengan menghilangkan
persoalan hukum. Pertama, memastikan tujuan-tujuan pemerintah dan
komitmen terhadap privatisasi. Kedua, amandemen undang-undang atau
peraturan yang merintangi privatisasi. Ketiga, ciptakan institusi yang
memiliki kewenangan dalam implimentasi privatisasi. Keempat, hindari
kekosongan kewenangan kebijakan privatisasi yang dapat menyebabkan kebijakan
privatisasi tidak dapat dijalankan.
Dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008
disebutkan bagaimana lembaga bantuan Amerika Serikat ini bersama Bank Dunia
aktif terhadap permasalahan privatisasi di Indonesia. Sementara itu ADB dalam News
Release yang berjudul Project Information: State-Owned Enterprise
Governance and Privatization Program tanggal 4 Desember 2001, memberikan
pinjaman US$ 400 juta untuk program privatisasi BUMN di Indonesia. ADB
menginginkan peningkatan partisipasi sektor swasta dalam BUMN yang mereka sebut
bergerak di sektor komersial. Jadi lembaga-lembaga keuangan kapitalis,
negara-negara kapitalis, dan para kapitalis kalangan investor sangat
berkepentingan terhadap pelaksanaan privatisasi di Indonesia. Sebaliknya rakyat
Indonesia sangat tidak berkepentingan terhadap privatisasi.
Para kapitalis
ini menginginkan pemerintah Indonesia membuka ladang penjarahan bagi mereka.
Mereka sebenarnya tidak mengharapkan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat
Indonesia, tapi yang mereka inginkan adalah merampok kekayaan Indonesia.
Pasal 33 UUD 1945 memberi petunjuk bahwa
kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab
itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup
orang banyak harus dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penjelasan pasal 33 menyatakan bahwa
hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ditangan
orang seorang. Oleh karena itu maka pengaturan privatisasi dalam sektor usaha
yang berkaitan dengan kepentingan umum dan menguasai hidup orang banyak harus
menggunakan paradigma konstitusi (pasal 33) dan paradigma yuridis yang sejalan
dengan pasal 33 sebagai tolak ukurnya. Undang-undang privatisasi belum ada.
Pengaturan privatisasi di1aksanakan sesuai Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN. Menurut Undang-undang BUMN, bahwa badan usaha yang dapat di
privatisasi adalah bentuk perusahaan perseroan (Persero), sedangkan bentuk
perusahaan umum (Perum) karena keberadaannya untuk melaksanakan kemanfaatan
umum tidak dapat di privatisasi.
Namun tidak semua bentuk badan perseroan
(Persero) boleh di privatisasi. Hal ini diketahui dari isi pasal 77 UU No. 19
tahun 2003 tentang BUMN yang menegaskan Persero yang tidak boleh di privatisasi
adalah yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-undangan
hanya boleh dikelola oleh BUMN, Persero yang begerak disektor usaha yang
berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara.
Persero yang bergerak disektor tertentu
yang oleh pemerintah diberi tugas khusus berkaitan dengan kepentingan masyarakat,
dan Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas
berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan dilarang untuk di
privatisasi. Sejak diberlakukan UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, belum pernah
diterbitkan peraturan perundang-undangan sebagai implementasi pasal 77,
terkecuali melalui sinkronisasi hukum dapat dinyatakan bahwa Pasal 77 UU No. 19
tahun 2003 tentang BUMN menguatkan eksistensi dari pada UU No.1 tahun 1967
tentang penanaman modal asing (PMA). Bidang-bidang usaha yang penting bagi
negara dan meguasai hajat hidup orang banyak, untuk itu tidak boleh di
privatisasi di atur dalarn UU No. 1 tahun 1967 tentang PMA, sebagai berikut;
Pelabuhan-pelabuhan, Produksi, Transmisi dan Distribusi Tenaga Listrik untuk
Umum, Telekomunikasi, Pelayaran,
Penerbangan, Air Minum, Kereta Api Umum, Pembangkit Tenaga Atom dan Media
Massa. Termasuk bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam Pertahanan
Negara, seperti : produksi senjata, mesiu, alat-alat peledak dan peralatan perang.
Namun kenyataannya hal itu telah dilanggar oleh Telkom dan Indosat yang
sahamnya dibeli oleh SingTel dan STT (Singapore
Technologies Telemedia) yang merupakan anak perusahaan PT. Temasek
Singapore, sedangkan Indonesia dirugikan dengan penjualan saham yang begitu
murah yakni sebesar Rp 5,62 triliun untuk 41,94 persen saham sedangkan mereka
mendapat dividen sekitar 1,5 miliar dollar AS selama mengelola PT Indosat
selain menyisakan 1,14 persen saham, STT juga untung hampir dua kali lipat
dengan penjualan senilai 1,8 miliar dollar AS atau Rp 16,56 triliun (kurs Rp
9.200 per dollar AS) kepada Qtel (Qatar
Telecom).
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1)
BUMN adalah salah satu amanat UUD
1945 Pasal 33 Ayat 2 : “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara”. Jadi
keberadaan BUMN ini adalah wujud tanggung jawab Negara secara langsung dalam
berupaya menyejahterakan rakyatnya. Sangat mengejutkan bahwasannya pemerintah saat
ini memilih untuk memprivatisasi sejumlah BUMN tanpa didahului kajian yang
mendalam terutama dari sudut pandang hukum.
2)
Pelaksanaan kebijakan privatisasi
BUMN diharapkan mampu mendorong pelaksanaan dan perwujudan demokrasi ekonomi di
Indonesia sebagai upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Disamping,
privatisasi mampu meningkatkan nilai perusahaan. Kendati begitu, belum
optimalnya dampak privatisasi BUMN terhadap kesejahteraan rakyat disebabkan
oleh dorongan privatisasi BUMN di Indonesia yang lebih mengedepankan kebutuhan untuk
memenuhi defisit APBN dibandingkan kepentingan korporasi. Kasus itulah yang
terjadi dalam kepemilikan saham Telkom yang telah dijual ke SingTel (Singapore Telecomunications) sehingga
pemerintah hanya mempunyai saham sebesar 65% sedangkan Indosat yang telah di
jual ke STT (Singapore
Technologies Telemedia) sehingga pemerintah
hanya mempunyai saham sebesar 14,29%. Mirisnya Keduanya merupakan anak
perusahaan dari Tamasek Singapore yang pada akhirnya memonopoli perekonomian di
bidang telekomunikasi Indonesia.
3) Pelepasan
sejumlah BUMN adalah sama saja mengurangi kedaulatan dan kemandirian
perekonomian secara langsung maupun tak langsung. Alasan-alasan privatisasi
yang umum seperti: membebani keuangan Negara karena merugi dan inefisien dan
bahkan menjadi sumber tindak pidana korupsi dapat diminimalisir dengan law enforcement yang tegas.
Penguasaan cabang produksi yang strategis oleh perusahaan asing hanya akan
merugikan Negara dan rakyat. Idealnya diperlukan sebuah peraturan yang
memproteksi BUMN. Memang disatu sisi privatisasi dapat meningkat mutu pelayanan
serta berakibat timbulnya harga yang kompetitif dimata rakyat (konsumen)
namun tidak sedikit pula Negara menangung kerugiannya.
B. SARAN
1) Privatisasi
BUMN harus melalui suatu kajian yang mendalam dan komprehensif sehingga tidak
mengurangi kedaulatan dan kemandirian ekonomi Indonesia
2)
Mengubah orientasi pelaksanaan
program privatisasi dari berjangka pendek menjadi berjangka panjang. Artinya,
pelaksanan program privatisasi tidak hanya ditujukan untuk memancing masuknya
investor asing dan tercapainya target penerimaan anggaran negara, tetapi
langsung diarahkan untuk membangun landasan yang kuat bagi perkembangan
perekonomian nasional
3)
Segera menerbitkan UU Privatisasi
yang dapat menjamin berlangsungnya proses privatisasi secara demokratis dan
transparan. Dalam UU Privatisasi ini hendaknya tidak hanya diatur mengenai
proses privatisasi BUMN, tetapi harus mencakup pula proses privatisasi BUMD dan
harta publik lainnya. Semua itu tidak hanya diperlukan untuk melindungi kepentingan
publik, tapi juga untuk memperjelas peranan negara dalam pengelolaan
perekonomian nasional.
4)
Segera membubarkan kantor menteri
Negara BUMN dan mengubahnya menjadi sebuah badan otonom dengan nama Badan
Penyehatan dan Privatisasi BUMN (BPP-BUMN). Badan yang memiliki kedudukan
sederajat dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ini, tidak hanya
bertugas untuk menjual BUMN, tetapi terutama didorong untuk mengutamakan
peningkatan kinerja BUMN agar benar-benar bermanfaat bagi masa depan perekonomian
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
1.
Abdulkadir
Muhammad. Pengantar Hukum Perusahaan
Indonesia. PT. Citra Adtya Bhakti. Bandung, 1995.
2.
------------------------------.
Hukum Perusahaan Indonesia. Cetakan Kedua
Revisi. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung: 2002.
3.
Mulhadi. Hukum Perusahaan ( Bentuk-bentuk badan
Usaha ). Ghalia Indonesia. Bogor: 2010
4.
Sentosa
Sembiring. Hukum Dagang. Citra Aditya
Bakti. Bandung: 2004
Internet:
Diakses:
Senin, 8 Oktober 2012. Pukul: 17.34
Diakses:
Senin, 8 Oktober 2012. Pukul: 17.37
Diakses: Senin, 8 Oktober 2012.
Pukul: 17.48
Diakses: Senin, 8 Oktober 2012.
Pukul: 17.53
Diakses: Senin, 8 Oktober 2012.
Pukul: 17.58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar