BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran Mahkamah Agung pada pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Tentang Kekuasaan
Kehakiman bahwa “Kekuasaan Kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut
undang-undang”. Dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung-lah yang berperan
maksimal dalam proses penegakkan hukum dan keadilan di negara ini. Dengan adanya peran tersebut pada tanggal 27
Februari 2012 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 02
tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
dalam KUHP yang bertujuan menyelenggarakan peradilan sehingga dapat
tercipta penegakkan hukum dan keadilan di masyarakat.
Ada potensi dari Perma Nomor: 02 tahun 2012 ini kurang
efektif untuk memperbaiki rasa keadilan pada pihak korban tindak pidana ringan
tersebut. Terbukti di dalam Perma tidak memperhatikan pasal 64ayat (3) KUHP
tentang perbuatan berlanjut atau terus menerus (perbarengan).
Dari paparan
kalimat di atas, hal tersebut menjadi acuan dasar penulis untuk memberikan
kritikan tentang eksistensi Perma tersebut dengan mengulas beberapa teori ahli
akan pentingnya keadilan bagi pihak korban, terlepas dalam KUHP di negara kita
sendiri hal itu masih belum ada penjelasan yang kongkrit.
Pertama, korban
kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan
yang sifatnya immateriil maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat: “to
much attention has been paid to offenders and their rights,to neglect of the
victims”.[1]
Kedua, Korban
kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu
hanya sebagai saksi, sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh
keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil[2].
Rendahnya kedudukan korban dalam penanganan perkara
pidana dikemukakan pula oleh Prassell yang menyatakan: “Victim was a
forgotten figure in study of crime. Victims
of assault, robbery, theft, and other
offences were ignored while police, courts, and academicians
concentrated on known violators” [3].
Korban
tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses
penyidikan dan persidangan, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk
memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu kejahatan[4].
Ketiga, Korban hanyalah pelengkap atau
sebagian dari alat bukti, bukan pencari keadilan. Bahkan Geis berpendapat: “Tend
to be treated like pieces of evidence than like human beings”[5].
Perhatian kepada korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya
dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion
and respect for their dignity).[6]
penjatuhan pidana lebih banyak.
Keempat,
Menurut Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-bangsa,
sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention
of Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia,
September 1985, yang mana dalam salah satu rekomendasinya menyebutkan:
Offenders
or third parties responsible for their behaviourshould, where appropriate, make
fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution
should include the return of property or payment for the harm or loss suffered,
reimbursement of expenses incurred as a result of the victimization, the
provision of services and the restoration of rights[7].
Menanggapi urgensi hak korban dalam
kasus tindak pidana ringan tersebut penulis mendapati klausula yang
mempersoalkan tentang mekanisme restorative
justice sebagai alternative dalam pemenuhan hak korban karena sistem pemidanaan
yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated
justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan
bagi masyarakat. Hal itu diperkuat dengan data
serta kasus sebagai berikut:
Tabel 1. Jenis dan jumlah putusan serta
penyelesaian Tindak Pidana Ringan (Tipiring) yang diterima Bapas Purwokerto
tahun 2002-2008.
No
|
Jenis
Putusan
|
Jumlah
Putusan
|
Prosentase
Putusan (%)
|
1.
|
Pidana
Bersyarat
|
42
|
6,86
|
2.
|
Pidana
sesuai dengan perbuatan, Pidana pendidikan paksa ke Negara
|
543
|
85,45
|
3.
|
Kembali
ke Orang Tua
|
1
|
0,17
|
4.
|
Kekeluargaan
atau perdamaian atau non-litigasi yang disaksikan oleh Bapas dan kepolisian
|
60
|
7,52
|
|
Jumlah
|
646
|
100%
|
Sumber: Dokumen di
Bapas Purwokerto yang diolah dari tahun 2002-2008[8]
Kesimpulan dari tabel di atas bahwa
upaya non-litigasi telah menempati posisi kedua, masyarakat lebih menginginkan
pemulihan kerugian atas suatu tindak kejahatan dengan cara damai antar kedua
belah pihak. Dengan harapan antara pelaku dan korban sama-sama mendapatkan hak
dan kewajiban nya dalam ranah peradilan (Integrated
Justice).
Meski
dirasa Eksistensi penerapan Perma Nomor: 02 tahun 2012 telah menjamin keadilan
di masyarakat, namun dalam realitanya masyarakat masih haus akan rasa keadilan
khususnya penerapan criminal justice
system yang ada selama ini. Dalam kasusnya pada akhir tahun 2009, terdapat
kasus di mana Basar Suyanto (40) dan Kholil (51) warga Kelurahan Bujel,
Kecamatan Mojoroto, Kediri .
Mereka telah mengakui bersama-sama mencuri semangka di kebun milik Marwan
Susanto dengan dalih untuk menghilangkan rasa haus. Menurut pasal 363 KUHP
tentang Pencurian dengan Pemberatan Jaksa Penuntut Umum Dwianto Viantiska
dengan ancaman 9 tahun penjara. Namun Hakim memvonis mereka dengan penjara 2
bulan 10 hari. Hal tersebut memang meringankan kedua pelaku, namun kerugian
yang di derita oleh Korban Marwan Susanto atas lahan yang di obrak-abrik, buah
semangka yang dicuri. Belum lagi kerugian immateriil atas nama baik di lingkungan masyarakat yang
di derita nya[9]. Intinya, korban yang seharusnya di
lindungi dan dipulihkan atas kerugian yang di derita nya seakan-akan menjadi
pihak yang ter marginalkan atas pemenuhan hak nya sebagai subyek equality before law.
Hal inilah yang
mendorong kedepan konsep ”restorative justice Adapun tujuan hakiki yang
ingin diwujudkan adalah terciptanya moral
justice dan social justice dalam penegakan hukum selain mempertimbangkan
legal justice. Berdasarkan fakta-fakta dan urgensi perhatian terhadap hak
korban serta mekanisme restorative
justice dalam penyelesaian kasus tindak pidana ringan inilah, penulis
tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam sebuah karya tulis yang
berjudul ”Justifikasi Restorative Justice Sebagai
Alternatif Perlindungan Hak Korban Kejahatan di Indonesia (Studi
Evaluatif-Preskriptif Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02
Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
dalam KUHP)”.
[1] Gilbert Geis, “Victims and Witness Assistance Program”,
dalam: Sanford H.Kadish (ed.), Encyclopedia
of Crime and Justice, New York :
The Free Press: A Division of Macmillan Inc.,1983:Volume 4, hlm 1600
[2] Chaerudin, Syarif Fadillah, Korban
Kejahatan Dalam Perspektif Vikimologi Dan Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Grhalia Press,
Juli 2004), hlm 47
[3] Frank R. Prassel, Criminal
Law, Justice, and Society (Santa
Monica-California: Goodyear Publishing Company Inc.,1979), hlm 65
[4] Chaerudin, Syarif
Fadillah, Op.cit, hlm 48
[5]Gilbert Geis, Loc.cit, halaman 1601
[6] Muladi, “HAM Dalam Perspektif Sistem
Peradilan Pidana”, dalam : Muladi (ed), Hak
Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005,
hlm 107
[7] Dikdik M.Arief Mansur, Elisatris Gultom,
“Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan”, https://mail-attachment.googleusercontent.com/attachment/?ui=2&ik=7d9b6df43d&view=att&th=136441b30706ea6f&attid=0.1&disp=inline&realattid=f_h06h77fq0&safe=1&zw&saduie=AG9B_P8uGcENV_U4lghjilLDqhtQ&sadet=1333295967690&sads=pGLFeXHbGOev2BjUNNgPOrTy5Wg (02 April 2012 pukul 1:14 WIB)
[8] Angkasa, Saryono Hanadi, Muhammad Budi
Setyadi, “Model Peradilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Anak (Kajian
tentang Praktik Mediasi Pelaku dan Korban dalam Proses Peradilan Anak di
Wilayah Hukum Balai Permasyarakatan Purwokerto”, Jurnal Hukum, (vol.9 no.3 September 2009), hlm 9
[9] IGN Sawabi, “Pencuri Semangka Divonis 15
Hari Penjara”, http://regional.kompas.com/read/2009/12/16/13074643/pencuri.semangka.divonis.15.hari.penjara%20diakses%20tanggal%2028/01/12 (30 Maret
2012 pukul 14.50 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar