Mahasiswa vs Politik Praktis
Jika
ditanya tentang kelompok manusia yang berpengaruh besar pada perubahan bangsa,
yang mempunyai idealisme kuat untuk membela masyarakat, bangsa dan negara maka
jawabannya adalah Mahasiswa. Jika ditanya kelompok manusia mana yang mempunyai
intelektual tinggi dan sebagai penggerak arah paradigma bangsa maka jawabannya
juga adalah mahasiswa. Mahasiswa merupakan kaum intelektual yang selalu haus
akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, oleh karenanya mereka selalu berfikir
kritis, sistematis,radikal dan universal dalam menghadapi permasalahan yang
ada. wajar jika kita sering melihat para insan akademis itu menggelar aksi
menentang kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan konstitusi dan kepentingan
rakyat.
Berangkat
dari pemahaman diatas maka Hariman Siregar, seorang tokoh pergerakan mahasiswa
di Indonesia yang mempunyai pemikiran bahwa gerakan mahasiswa adalah merupakan
pilar ke-5 demokrasi setelah eksekutif, legislatif, yudikatif dan media massa
yakni institusi pers dan lain sebagainya yang juga sekaligus sebagai pembentuk
opini masyarakat atau public opinion.
Hal ini didasarkan pula oleh realitas sejarah yang menunjukkan bahwa pergerakan
mahasiswalah yang menjadi benteng terakhir proses demokrasi di negara Indonesia
selama ini.
Mahasiswa dan nilai idealisme
terhadap pembangunan bangsa
Jika
kita tengok ke belakang, ketika kondisi ketidaksinkronan pelaku demokrasi
dengan arah dan tujuan hakiki demokrasi bangsa seperti halnya pergerakan
angkatan tahun 1928 pada peristiwa sumpah pemuda yang menghantarkan semangat
kemerdekaan, angkatan tahun 1966 yang
berhasil menghancurkan komunisme dan rezim orde lama, serta angkatan tahun 1998
yang menggulingkan rezim orde baru, sehingga dengan tidak berlebihan bisa
dikatakan mahasiswa-lah sebagai ujung tombak perubahan bangsa ini.
Nilai-nilai
idealisme mahasiswa inilah yang searah dengan pergerakan bangsa indonesia yakni
mengedepankan kepentingan rakyat diatas kepentingan lain sehingga tidak salah
ketika ada kebijakan pemerintah yang terkesan tidak “pro rakyat” maka akan ada
aksi turun ke jalan oleh mahasiswa sebagai bentuk ketidakpuasan dan penolakan
atas kebijakan tersebut atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
Semangat
idealisme dan profesionalitas mahasiswa juga menjadi kekuatan besar dan momok
yang menakutkan bagi para pengambil kebijakan di negeri ini sehingga dalam
proses pembuatan kebijakan, pemerintah selalu berfikir matang dan selalu
mempertimbangkan aspek kepentingan masyarakat. Nilai idealisme ini yang
kemudian menjadikan mahasiswa sebagai aktor pengontrol kebijakan.
Fenomena politik praktis terhadap
mahasiswa.
Kita
semua tentu tahu, bahwa faktor penggerak dan “ruh” demokrasi adalah proses
politik yang juga outputnya adalah kepentingan politik itu sendiri. Namun
realita yang terjadi sering kita saksikan, aksi politik praktis di negeri ini
seakan menunjukan bahwa politik bangsa kita sudah mengarah pada politik
pragmatis murni dimana kepentingan partai dan elit-lah yang diutamakan juga
tidak kalah penting yakni kepentingan kekuasaan.
Sebagaimana
dijelaskan di awal, mahasiswa sebagai kelompok penentu paradigma publik pada
era reformasi ini menjadi sasaran empuk bagi para aktor politik praktis untuk
melibatkan mahasiswa dalam mencapai tujuan politiknya.
Fenomena yang
sudah sangat klasik ketika berbicara masalah mahasiswa sebagai pelaksana
politik etis yang ditunggangi oleh politik praktis dari golongan yang mempunyai
kekuasaan. Kong kali kong atau dengan kata lain“bargaining position”
antara mahasiswa dan praktisi politik atau partai tertentu sering diaanggap
sebagai pemanfaatan para politikus tersebut untuk mengejar kekuasaan. Berbeda
dengan era orde baru, memang mahasiswa terkekang oleh kekuasaan yang diktator.
Namun saat ini dimana demokrasi diagungkan, semua seakan leluasa berpendapat,
tak terkecuali mahasiswa yang sering mengkritik para penguasa.
Politik
memang terkesan kotor di mata kebanyakan orang. Bisa dibilang, untuk bisa
menggerakan mobilitas suatu sistem baik di skala makro maupun mikro harus
mendapatkan suatu kekuasaan. Kekuasaan yang didewakan terkadang menimbulkan
perilaku yang keluar dari nilai dan tatanan norma yang ada dalam masyarakat.
Butuh netralitas mahasiswa.
Bangsa
Indonesia dan tentunya sistem perpolitikannya mempunyai tujuan hakiki nan mulia
yakni menciptakan bangsa yang melindungi segenap bangsa, mencerdaskan bangsa
serta mencapai kesejahteraan rakyat seperti yang tertuang dalam amanat
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga
untuk menjaga tujuan baik tadi muncul-lah idealisme murni dari mahasiswa
sebagai social control dan agent of change untuk mengimbangi
kekuasaan yang cenderung berorientasi pada kepentingan tertentu yang
menyimpang.
Kenyataannya,
dalam sejarah keberhasilan pergerakan mahasiswa sebagai benteng terakhir
demokrasi, tidak tercatat keterkaitan mereka dengan politik praktis.
Keberhasilan gerakan mahasiswa justru ketika mereka berada di luar lingkaran
politik praktis yang meniscayakan kompromi dan kepentingan sesaat. Dengan
beradanya gerakan mahasiswa di luar politik praktis, maka akan secara leluasa melakukan
kritik dan pengawalan.
Sejatinya,
politik bukanlah suatu entitas yang haram, namun jika mahasiswa terlibat
didalamnya, maka akan berpotensi membusukkan karakter idealismenya. Mahasiswa
memang idealnya tidak boleh terlibat secara aktif dalam politik praktis, namun
merekalah yang harus menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap politik
praktis tersebut. Salah satu syarat yang mutlak adalah dengan memposisikan diri
menjadi pihak yang netral dan tidak memihak pada apapun dan siapapun. Itulah
ciri mahasiswa ideal dan berkarakter yang dicita-citakan dan dinantikan bangsa
indonesia.
Persoalannya, dalam praktiknya politik praktis hanya
dimainkan di tingkat rendah dan hanya untuk mencari kemenangan semata. Tanpa
prioritas dan tanpa arah, seperti tujuan selanjutnya apa setelah memenangkan
politik. Hal itu akan menumbuhkan loyalitas sempit yang merongrong
profesionalisme dan idealisme aparat pemerintahan, meningkatkan risiko
terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan bahkan korupsi," tandasnya. Untuk
itu, Boediono menegaskan aparat pemerintahan harus bersih dari politik praktis.
Politik praktis yang masuk ke dalam jajaran birokrasi bakal menyebabkan
orientasi dan loyalitas aparat menjadi kacau. Ditambahkan,
politik aparatur birokrasi hanya satu yakni politik kepentingan umum dan
politik kepentingan negara. Kondisi serupa diharapkan dipahami pula saat
berhadapan dengan kepentingan bisnis. "Politisasi dan komersialisasi
aparat birokrasi dan jabatan birokrasi harus kita tolak dan kita tangkal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar